This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 20 September 2011

Membangun di atas Serpihan Hati Yang Hilang


Rabu (21/09/11) pukul 2.30 Wita dini hari, saya tersentak atau dipaksa bangun dari tidur panjangku. Malam itu, entah kenapa saya juga tidur teramat pagi yakni selesai menunaikan kewajiban shalat Isya’ dan tidak biasanya seperti itu. Tapi sudahlah itu tidak penting untuk dibahas dalam tulisan ini. Hanya saya agak heran dan seolah terbimbing, entah oleh siapa, untuk menulis apa saja yang berkaitan dengan hal ihwal Yayasan Darussalam Tanak Beak. Sebelum saya memulai menulis apapun, terlebih dahulu saya menunaikan shalat sunat tahajjut 4 rakaat dan baru sesudah itu memulai membuat tulisan ini.  
Yayasan Darussalam Tanak Beak merupakan reinkarnasi atau peralihan dari yayasan Pendidikan Raudlatul Fadliyah yang didirikan pada tahun 2006 silam. Yayasan ini didirikanberangkat dari sebuah cita-cita besar dan bentuk pengabdian melahirkan SDM yang mempunyai skill, menguasai teknologi, dan mampu menghafal Al-Qur’an. Background kelahiran cita tersebut berangkat dari suatu keprihatinan kami terhadap kondisi anak bangsa, terutama di desa Tanak Beak yang sedari kecil saya mengetahui sebagai masyarakat yang gemar membangun, kaya amal, tetapi lupa akan dirinya sendiri. sehingga wajar kalau desa Tanak Beak tergabung dalam kelompok IDT dan miskin Sumber Daya Manusia.
Sebelum berinkarnasi menjadi YPP Darussalam, Yayasan Pendidikan Raudlatul Fadliyah mengelola kegiatan-kegiatan non-formal dalam bidang sosial keagamaan, seperi Majlis Ta’lim, Diniyah dan pelatihan-pelatihan keterampilan yang dikelola Drs. H. Sudiatun, S.Pd (Almarhum). Ia adalah perintis dan sekaligus pengelola yayasan tersebut dikenal sebagai seorang yang sabar, ahli ibadah, dan dermawan. Sampai kini, ia tidak pernah mati di hati kami, pemberi spirit untuk terus berkarya, mengabdi membangun masyarakat agar lebih beradab melalui medium pendidikan. Mendidik panggilan jiwanya, menjadikan manusia ‘alim adalah citanya, membantu sesama tanpa tedeng aling-aling adalah karyanya, walaupun ditebusnya dengan harga yang teramat mahal.
 Tonggak dan dasar pembangunan Yayasan Pondok Pesantren Darussalam Tanak Beak oleh Ustadz H. Sudiatun tidak dimulai dari sesuatu yang bersifat material, namun dimulai dari bermunajat, berzikir, wiridan, dan memohon kepada Allah SWT demi suksesnya pembangunan ini. Setiap selesai wiridan setiap malamnya, ia selalu cerita tentang bacaan-bacaan yang dibacanya kepada saya. Apakah ini termasuk ujub atau tidak wallahu ‘a’lam bissawab. Namun yang jelas, semua itu ia lakukan dengan didasari atas semangat yang luar biasa sebagai pengabdi.
Di suatu sore, minggu ke dua bulan September tahun 2010, saya dipanggil oleh Ustadz H. Sudiatun (yang juga kakak saya) ke rumahnya. Saya duduk saling bersebelahan, ia mulai bercerita tentang salah seorang kiai dari Pasuruan Jawa Timur yang sengaja datang ke Lombok, khususnya di Yayasan Darul Qur’an desa Bengkel, Lombok Barat, atas wangsit dari Syaikh TGH. Muhammad Saleh Hambali (guru dari Syaikh TGH. LM. Turmudzi Badaruddin Bagu Lombok Tengah). Kiai itu adalah Hasyim Asy”ari (tetapi Bukan Kakeknya Gus Dur) namanya. Ia tidak mau disebut kiai, namun lebih senang dipanggil mbah Hasyim saja. Inti pertemuan sore kamis itu adalah mengajak saya bersilaturrahiem ke Bengkel  dengan Mbah Hasim. Besok pagi kita bertemu Mbah Hasyim di Darul Qur’an Bengkel, ucapnya singkat mengakhiri pertemuan itu, karena memang sudah menjelang adzan shalat Maghrib.
Sesuai pertemuan sore itu, pagi jum’at sekitar jam 07.00 Wita, kami berdua (Saya dengan Ustadz H. Sudiatun) berangkat ke Bengkel dan bertemu dengan Mbah Hasyim di kantor Mts Darul Qur’an pinggir kali. Sebelum ketemu Mbah Hasyim dalam hatiku sempat bertanya, mengapa Mbah Hasyim tinggal di ruang seperti ini? Kenapa tidak ditempatkan di salah satu rumah keluarga? Kenapa mesti di sini. Saat bertemu dengan Ustadz H. Halisussabri (cucu dari Syaikh TGH. Saleh Hambali), semua pertanyaan yang tidak terucap itu terjawab bahwa Mbah akhirnya hanya mau tinggal di sini (maksudnya ruang Mts), awalnya Mbah mau tinggal di area Makam Dato’ Bengkel. Mbah Hasyim datang dengan tidak diketahui oleh pihak keluarga, dia datang langsung menuju area Makam dato’ , kata ustadz Halisussabri. Mbah Hasyim agak aneh kata Halis, ia sejak kecil tidak pernah makan nasi, namun yang dikonsumsi sampai sekarang adalah ubi jalar dan sayur-sayuran, ubi jalarpun dia bawa sendiri, kami hanya dimintai tolong untuk memasaknya, ucap ustadz Halis.
Tidak beberapa lama, kamipun di bawa bertemu dengan Mbah Hasyim. Harus kami akui bahwa agak sedikit lama menunggu Mbah, karena rupanya baru bangun tidur dan tertidur setelah menunaikan shalat subuh. Apa yang dilakukan Mbah, tanya saya kepada Ustadz Halis, katanya, Mbah tidak tidur karena melakukan shalat sunat hajat bersama 20 orang santri terpilih sebanyak 1000 rakat setiap malamnya. Masya Allah sahut saya spontanitas. Ditengah keheranan saya, tiba-tiba Mbah Hasyim mencul dari ruangan, lalu kami salaman satu persatu dengan cium tangan Mbah sebagai bentuk Ta’zim kami dan memang sesuai dengan tradisi Nahdlatul Ulama.
Kemudian kakanda Ustadz H. Sudiatun membuka pembicaraan dengan memperkenalkan diri dan saya diperkenalkan sebagai pengabdi sebagai Rektor di IAI Qamarul Huda Bagu, Pesantrennya Syaikh TGH. Turmudzi Badruddin. Lalu, ia mengeluarkan tulisan berbahasa Arab dan setahu saya itu do’a Nurun Buat kepada Mbah Hasyim untuk diijasahkan. Ustadz H. Sudiatun dan Mbah Hasyim masuk berdua ke dalam kamar, beberapa saat kemudian keduanya keluar dari kamar. Mbah Hasyim hanya berucap silahkan diamalkan dan dapat diturunkan do’a itu kepada siapa yang dikehendaki. Terima kasih, kata Ustadz H. Sudiatun.
Mbah, kata kakanda Ustadz Sudiatun, kami punya rencana membangun  Pondok pesantren yang diberinama “Darussalam”, kami mohon agar kiranya memberikan do’a pada lokasi pembangunan Pondok Pesantren itu. Insya Allah, jawab Mbah Hasyim singkat. Apa dibawa gambarnya? Tanya Mbah. Kamipun, mengeluarkan gambar sekolah yang memang sudah dipersiapkan sebelum berangkat. Gambar dipegang, ditiup, dibacakan do’a, ditiup lagi, lalu dibacakan do’a lagi, dan Senen Sore saya ke Lokasi pembangunan bersama pak Marinah Hardi kata Mbah Hasyim. Jangan dijemput, tunggu saja di rumah saya pasti datang katanya. Lalu, karena pertemuan kami cukup lama, kami mohon pamit.
Tepat jam 05.00 Wita, hari Senen, Mbah Hasyim datang dan langsung menuju rumah saya, duduk sebentar tanpa berkomentar apa-apa, berdiri dan kita ke lokasi ujarnya. Tidak usah pakai mobil kita berjalan kaki ke lokasi pondok. Mbah berjalan di temani oleh Ustadz H. Sudiatun, kanda H. Saefudin Farid, Mamik H. Fadli, H. Suwandi, H. Multazam dan saya waktu itu masih berada di Kampus, sehingga tidak sempat ketemu dengan Mbah Hasyim. Di lokasi Pondok sudah menunggu warga masyarakat dan semua tukang yang akan mengerjakan pembangunan Pondok, seperti Semah, Han, Amaq Rim, dan yang lainnya. Mbah mengelilingi lokasi Pondok dan sempat memegang pohon Pete dan berkata, tolong jangan ditebang pohon ini ya, ucapnya. Kemudian, Mbah pamit balik ke Bengkel.
Saat itu, kondisi kakanda Ustadz H. Sudiatun kesehatannya sudah menurun, penyakit diabetes yang dideritanya sering kambuh, terlihat dari gula darahnya yang tidak stabil. Saya berkesimpulan karena ia terpukul dan shock karena meninggalnya adik kami Siti Sarah (dengan meninggalkan 3 anak perempuan). satu yang tidak pernah padam darinya adalah semangat membangun Pesantren Darussalam di tengah bertahan hidup melawan penyakit yang dideritanya selama hampir empat tahun. Sungguh perjuangan hidup yang tidak ringan. Dr HL. Ahmadi merupakan dokter spesialis penyakit dalam yang selalu merawatnya sampai akhir hidupnya.
Kami berdua cukup intens mempersiapkan peletakan batu pertama pembangunan gedung Yayasan Pondok Pesantren Darussalam Tanak Beak. Saat penggalian pondasi Yayasan Darussalam Tanak Beak terjadi hujan yang sangat deras yang dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong. Penggalian di mulai jam 02.00 Wita atau habis shalat Jum’at, hadir saat itu Dato’ TGH Turmudzi Badarudin, TGH Muhammad Syafi’in, Ustadz H. Abdul Manan, serta tokoh agama dan Masyarakat Desa Tanak Beak. Di sore Jum’at itu, saya melihat gelagat yang tidak biasa dari kakanda Ustadz H. Sudiatun, ia berbaur dengan masyarakat basah kuyup tanpa mau menggunakan payung walaupun sudah diantarkan oleh murid-murid setianya (Rawisah, Sahril, Jupri, dan lainnya). Sebagian keluarga yang melihat yang tidak biasa itu, marah-marah karena hawatir atas kondisi kesehatannya. Ia tetap tidak menghiraukan teguran dan nasehat untuk segera berlindung dari derasnya hujan seraya berucap “satu titik dari hujan ini membawa berkah bagi berjuta-juta hamba Allah yang berdiam di bumi ini”. Apa lacur, itulah watak keras yang diturunkan secara genetika dari orang tua (terutama ayah)  kami.
Setiap pagi selesai menunaikan shalat subuh, ia datang dan kadang diantar oleh istri, anak, dan lainnya ke lokasi bangunan.  Ia mengelilingi lokasi bangunan sebanyak 7x putaran dengan membaca amalan-amalan tertentu. Setelah itu, baru ia pulang sebentar dan datang lagi ke lokasi bangunan sampai menjelang tengah hari, duduk bertafakkur atas balai-balai yang terbuat dari ilalang. Suatu ketika ia pernah berucap, “dinda hanya ini yang dapat saya lakukan dan semoga Allah SWT meridhloi perjuangan kita”. Saya hanya terdiam seraya mengucap “Amin Alhamdulillah”.  Oh ya, kanda, apa yang kita rintis sebagai suatu bentuk pengabdian dalam rangka menanam saham dan bekal kita memasuki alam yang kekal abadi; apalah artinya ilmu yang begitu tinggi tapi tidak bisa memberikan manfaat bagi banyak orang dan harta yang kita miliki saat ini hanya titipan Allah SWT sementara kita hidup. Investasi dan warisan seperti inilah yang mestinya kita wariskan kepada anak-anak kita. Marilah kita berdo’a, semoga apa yang kita karyakan dapat memberi manfaat bagi keluarga dan ummat.
Walaupun saya adik kandung dari Ustadz H. Sudiatun, tetapi saya tidak pernah tahu dan faham jalan fikirannya. Secara rasional saya menangkap terlalu banyak beban dan masalah yang dihadapainya, namun ia tertutup dan tidak pernah mau berbagi atas kesedihan dan permasalahan yang dihadapinya, seolah dia mengatakan bahwa biarlah kesedihan itu menjadi miliknya, biar ku selesaikan dengan caraku sendiri.
Ustadz H. Sudiatun dapat menyaksikan pembangunan gedung Pondok Pesantren sampai terpasang jendela angin dan bahkan dia sendiri yang memilih model dan bentuknya. Itulah saya kira kali terakhirnya datang ke bangunan sampai akhirnya kesehatannya terus menurun. Satu hari sebelum ajal menjemputnya, ia sempat meminta kepada beberapa orang yang dekat dengannya (salah satunya H. Halid Isnaeni) untuk minta dibelikan dibelikan jubah berwarna putih. Secara kebetulan waktu itu, H. Halid Isnaeni bertindak selaku khatib dan tidak mendapatkan firasat apapun dari permintaan itu. Di hari jum’at itu juga, H. Syafi’in dan H. Darwan sengaja menunggu beliau selesai wirid. Kami melihat wajah lain, ucapnya, tetapi tidak berfirasat apa-apa kecuali tetap berkhusnu zhon dan berdoa untuk kesehatannya.
Selesai shalat jum’at, kami berdua bertemu pada acara zikiran di rumah Tuak Jumaah gubug Sukun (sebuah gubug dimana kami berdua dan adik Siti Sarah) dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh orang tua kami. Dialah yang memimpin acara zikiran hari itu, kami semua tidak punya firasat. Menurut cerita istrinya, kanda pada sore harinya sempat terkena diare dan tidak mau dibawa ke dokter. Istri dan anak-anaknya sempat khawatir sementara ia sendiri tidak pernah tidur sampai pagi karena cairan yang terus keluar. Sekitar jam 6.30 Wita pagi menurut pengakuan istrinya, kanda sempat menyuruhnya untuk berangkat kuliah, saya sudah baikan katanya. Kak, kata istrinya, saya akan tetap mendampingi sampai sehat. Belum saat kemudian, dia tidak sadar, kemudian saya ditelepon dan langsung meluncur ke rumahnya. Tanpa berpikir panjang saya langsung ambil keputusan untuk membawanya ke rumah sakit Islam walaupun ia meminta untuk jangan di bawa ke rumah sakit “saya tersiksa” katanya.
Perjalanan dari rumah ke rumah sakit Islam Siti Hajar Matarm, kami meyaksikan seluruh tubuhnya sudah dingin, kata-katanya sudah tidak jelas terdengar (mirip dengan apa yang dialami oleh Putri Intan Rahma Ilmiani menjelang kematiannya). Saya meminta kepada keluarga yang mengantar untuk terus mengingatkan Asma Allah Azzawajalla.
Di RSI Siti Hajar Mataram akhirnya kakanda Ustadz H. Sudiatun  menghembuskan nafas terakhirnya setelah hampir  3 jam di rawat. Tepat pukul 10.15 menit ia meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya. Saya tidak bisa berucap apa-apa selain mengirimkan SMS berita duka kepada semua keluarga yang sedang berada di rumah. Segera kami putuskan untuk membawa jenazahnya kembali ke rumah.
Membangun Pondok Pesantern Darussalam di tengah serpihan hati yang menghilang terasa sangat berat. Adik tercinta Siti Sarah meninggal dunia, lalu kakanda Ustadz H. Sudiatun, kemudian putri tersayang Intan Rahma Ilmiani juga ikut menghadap Allah SWT di tengah usianya yang masih suci bersih. Sungguh cobaan yang teramat berat yang saya rasakan, begitu juga dengan Mamik H. Fadli terlihat begitu terpukul sampai di setengah kesadarannya berucap “Ya Allah, adean anak sak seke ne, dendek bait juluk” dalam bahasa Indonesia artinya “ Ya Allah, sisakan anakku yang tinggal satu ini, jangan kau ambil dulu”.
Saya berharap, semoga Allah SWT selalu membimbing dan menolong, serta meridhoi semua tugas suci yang sedang kami jalani dalam rangka pengabdian kepada Ya Allah. Apa hikmah di balik semua kejadian dan cobaan ini. Wallahul Mustaan ila Darussalam.

*********

Minggu, 18 September 2011

Dari Tradisi Haji Menggapai Haji Mabrur


Senen pagi (19/09/2011),  saya melihat waktu di handpon dan waktu menunjukkan jam 6.30 pagi Wita. Tiba-tiba handphone saya berdering dan ternyata Syaikh Tgh. Turmudzi Badruddin memanggil. Tanpa berfikir panjang, sesuai tradisi pesantren, saya bergegas ke gedeng Dato’ Turmudzi  untuk mengetahui  hal apa yang bakal disampaikannya. Sesampainya di gedeng atau rumah beliau, ternyata Dato’ Turmudzi sudah menunggu  dan menyapa dengan bahasa khas “kaifa haluka ya waladi”, saya  menjawab dengan singkat   Ana bi khair”.
Saya kemudian bersalaman seraya mencium tangan Dato’ sebagai bentuk ta’zim. Saya sama Dato’ berdua saja. Kami banyak berbincang tentang ijin operasional STKIP Qamarul Huda dan siapa yang akan menggantikan Kepala Kementrian Agama Wilayah NTB pasca kepemimpinan Drs. H. Suhaimi Ismy, MM yang akan memasuki masa pensiun atau kemungkinan ditarik ke Jakarta.
 Di saat kami  berbincang dalam suasana hati yang tenang dan bahagia, kemudian datang seorang jama’ah yang mengundang Dato’ untuk mengadakan acara selamatan dan do’a atas keberangkatan calon jama’ah haji bernama Saparuddin dari desa Peneguk kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah. Kami berdua berangkat menuju rumah sang empunya gawe dan ternyata sedang mengadakan acara tasyakkuran atau begawe  besar dalam rangka keberangkatannya ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Tradisi begawe itu sudah mentradisi dalam masyarakat Sasak. Hal itu dimaksudkan untuk ungkapan rasa  syukur dan mohon do’a agar diberikan kekuatan, ketabahan, dan kesehatan oleh Allah SWT, sebelum berangkat, saat berada di tanah suci, dan sampai kepulangan kembali di Tanah air. Juga acara tersebut dimaksudkan untuk informasi secara resmi kepada masyarakat, handai taulan dan sahabat bahwa mulai hari itu acara ziarahan mulai dibuka sampai menjelang keberangkatannya ke tanah suci. Acara ziarahan dilaksanakan mulai pagi sampai malam hari dan lama waktu pelaksanaannya tidak ditentukan berapa lama, bisa 10 hari, 20 hari, dan bisa juga sampai 30 hari tergantung situasi dan kondisi.
                Selama masa ziarahan, waktu siang sampai malam hari diisi dengan kegiatan Yasinan atau membaca surat Yasin secara berkelompok, al-Barzanji (sesuai tradisi Nahdlatul Ulama) dan bacaan serta amalan-amalan lainnya (sesuai tradisi atau kebiasaan masyarakat). Masyarakat dari pagi, siang dan sampai malam hari datang silih berganti untuk memberikan do’a dan ucapan selamat atas keberangkatan si calon jama’ah haji dan tak lupa para jama’ah yang datang juga mohon di do’akan di tempat-tempat yang ijabah agar secepatnya mendapat panggilan Allah SWT untuk naik haji.
                Ada satu hal yang unik dan sudah menjadi keyakinan masyarakat Sasak bahwa barang-barang bawaan, seperti baju, kain sarung, sandal, dan peralatan lainnya, tidak boleh dimasukkan ke dalam koper atau tas secara sembarangan sebelum di do’akan oleh para Tuan Guru (baca kiai). Sebab kalau tidak di do’akan kemungkinan besar barang-barang bawaan itu akan hilang atau nyasar. Sehingga sampai sekarang ini mengundang Tuan Guru untuk memasukkan barang bawaan ke dalam koper menjadi tradisi yang sulit dihapuskan. Oleh sebagian Tuan guru hal itu dianggap sebagai tradisi yang baik ala etnis Sasak, namun sebagian lainnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dan dianggap mengada-adakan sesuatu yang belum tentu benar.
                Hemat saya, permasalahan itu tidak perlu diperdebatkan benar atau salah, namun lebih baik dianggap sesuatu bagian dari tradisi etnis Sasak yang baik yang lahir dari sebuah konstruksi etnis Sasak yang cukup lama. Itu saja. Kalau ada yang tidak setuju dengan tradisi itu, sebaiknya jangan menjadi palang pintu  atau penghalang orang berbuat baik, tetapi berlaku lebih arif dan bijaksana, toh tidak ada orang yang dirugikan dari pelaksanaan tradisi ziarahan calon haji itu. Mungkin lebih banyak nilai positifnya. Hal itu diakui oleh Syaikh Tgh. Turmudzi Badruddin, Pimpinan Pondok Pesantern Qamarul Huda Bagu.
                Dan yang pasti bahwa tradisi tidak menghalangi calon jama’ah haji untuk menggapai haji mabrur. Kita berdo’a agar calon jama’ah haji mendapatkan haji yang mabrur dan sepulangnya dari pelaksanaan ibadah haji, nilai-nilai kemabruran itu akan dipancarkan kepada masyarakat, serta si pemegang gelar haji dapat menjadi panutan yang baik bagi masyarakat sekitarnya.
                Di tahun 1970-an, saat itu saya masih sangat kecil, terutama ketika kedua orang tua menunaikan ibadah haji, bayangan saya waktu itu bahwa orang naik haji berarti orang kaya dan sangat terhormat. Tentu, bayangan itu tidak salah dan mungkin benar adanya sebab orang tidak akan naik haji kalau dia tidak kaya. Pak haji bayangan waktu kecil adalah orang yang sangat ikhlas dalam segala aktifitasnya. Tingkah laku dan mimik wajahnya sangat normal dan tidak dibuat-buat. Ucapan dan perbuatannya benar-benar keluar dari hati nuranya. Sungguh sangat menyenangkan cara bergaulnya. Masyarakat sekitarnya sangat betah kalau dekat dengannya dan ia menjadi panutan dan tauladan bagi keluarga dan orang-orang sekitarnya. Secara sosiologis pak haji model ini yang saya sebut sebagai haji mabrur sosial.
                Di samping mabrur sosial, ada juga yang disebut sebagai mabrur vertikal artinya kehajiannya diterima oleh Allah SWT namun tidak memberikan dampak sosial kepada masyarakat sekitarnya. Bukannya menjadi panutan dan tauladan bagi masyarakat tetapi malah ia diurus oleh masyarakat. Sepulang menunaikan ibadah haji, bukannya menjadi lebih dermawan dan ihklas dalam segala aktivitasnya, tetapi menjadi lebih pelit, medit, alias bahkhil dan selalu pamrih dalam tindakannya. Masalahnya kemudian, dimana tempat kelirunya? Wallahu a’lam bissawab.
                Kawannya Agus Mustofa (penulis buku “menjadi Haji tanpa Berhaji”) mengatakan bahwa “sekarang ini banyak haji yang haji-hajian. Sudah memakai kopiah dan pakaian haji, namanya juga sudah diberi tambahan haji atau hajah, tapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan sifat seseorang yang sudah melaksanakan haji”. Kutipan tersebut sebagai sebuah renungan dan mungkin otokritik bagi siapa saja yang bertitel haji atau hajah.
                Haji yang ideal adalah haji yang mabrur secara vertikal maupun sosial. Ia dapat menjadi panutan dan tauladan bagi masyarakat. Ketaatannya dalam beribadah, keikhlasan hatinya dalam beribadah, kesabarannya menghadapi berbagai masalah, dan sifat pengorbanannya yang tanpa pamrih dapat tercermin dan dijadikan panutan. Inilah kualitas muslim paripurna yang sebenarnya. Tradisi haji yang dilaksanakan oleh muslim Sasak  dengan waktu yang relatif lama dapat menjadi batu pijakan menggapai haji yang mabrur dalam makna yang ideal. Sehingga berhaji menjadi puncak pencapaian peningkatan kualitas muslim sejati sesuai tingkatan rukun Islam yang diyakini selama ini. Amin. Wallhul Musta’an ila Darussalam.

*********
              

Perguruan Tinggi Pesantren Sudah Mulai Kehilangan Orientasi


Hari Selasa (13-9-2011), saya memberikan materi Orientasi Cinta Almamater (Oscar) atau oreintasi pengenalan kampus di kampus IAI Qamarul Huda Bagu, Lombok Tengah, NTB. Dalam acara oscar itu, saya sampaikan rasa keprihatinan terhadap fenomena mulai memudarnya nilai-nilai kepesantrenan pada Perguruan Tinggi Pesanter (PTP). Nilai-nilai itu menyangku perilaku, adab sopan santun, memudarnya budaya akademik, etiket berpakaian, dan orientasi hidup. Memudarnya nilai-nilai kepesantrenan itu, mungkin disebabkan oleh orientasi dari masyarakat yang masuk ke Perguruan tinggi sangat pragmatis yakni untuk mendapat pekerjaan layak dan gaji yang memadai. Tentu masih ada yang idealis untuk memperdalam ilmu pengetahuan, tetapi kuantitasnya sangat sedikit. Permasalahannya, pragmatisme masyarakat itu membawa pengaruh besar pada PTP kita?

Cita PTP selama ini dapat melahirkan ulama-ulama yang ahli dalam Islam dan memberikan warna serta wajah Islam yang damai, demokratis, dan toleran. Melahirkan ulama-ulama intelek dengan membawa misi suci itu diharapkan terlahir dari STAIN, IAIN, UIN, dan PTAIS yang ada. untuk membumisasikan misi suci itu, Perguruaan Tinggi yang berbasis Pesantren harus mampu mengelaborasi dan mengembangkan nilai-nilai kepesantrenan dalam sistem pendidikan, baik itu melalui kurikulum, pembentukan Pesantren Mahasiswa, Lembaga Kajian kitab, dan lainnya. Dalam kaitan ini, apresiasi harus diberikan kepada Profesor Imam Suprayogo, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang telah melakukan inovasi-inovasi membangun Pesantern Mahasiswa. Langkah Profesor Imam Suprayogo tersebut kini banyak diikuti dan diamini oleh beberapa IAIN dan UIN, seperti IAIN Sunan Ampel Surabaya (kini persiapan menuju UIN) membangun Pesantren Mahasiswa di bawah kepemimpinan Profesor Dr. H. Nursyam, M.Si.

 Civitas akademika, lebih khusus Mahasiswa sebagai salah satu pilar keadaban harus menyadari bahwa memasuki perguruan tinggi sebagai proses belajar untuk menjadi manusia paripurna atau Insan Kamil (meminjam istilah Muhammad Iqbal) saat keluar dari pembelajaran di Perguruan Tinggi Pesantren. Jika kesadaran itu tidak tertanam dari sekarang besar kemungkinan akan menjadi sarjana tidak siap pakai (mungkin kuliah dianggap sebagai proses formalitas yang tinggal menunggu tibanya waktu wisuda). Jika kesadaran itu yang tertanam, maka PTP dan lainnya perlu kerja ekstra keras untuk dapat merubahnya dan menciptakan suatu sistem yang dapat terus memacu semangat mahasiswa. Fenomena itu sudah tidak bisa disangkal, walaupun belum ada hasil penelitian yang menyatakannya.

Mahasiswa sebagai pilar keadaban harus mampu menyatukan dan mendayagunakan tiga pilar potensi manusia yakni nizhomul akli, nizhomil qolbi dan nizhomul amal. Tiga potensi yang dimiliki manusia tersebut mesti mampu disatukan untuk menjadi Insan Kamil. Akal harus diberikan kebebasan berfikir tentang segala sesuatu, tetapi kontrol qolbu harus jalan agar tidak salah arah, dan begitu sebaliknya. Kemampuan menyeimbangkan antara akal dan qolbu dapat menghasilkan peradaban itulah amal. Jika ketiga pilar potensi keadaban tersebut dapat dibangun, maka melahirkan pemikir-pemikir baru yang menghasilkan karya monumental seperti Al-Faraby, Imam Al-Ghazali, Ibn Sina, dan para Imam Mazhab menjadi sesuatu yang sangat mungkin.

Oleh karena itu, PTP sebagai pengelola pendidikan tinggi yang ada di Pesantren atau PTAIN yang memiliki Pesantren Mahasiswa harus mempu membangun suatu sistem budaya akademik yang sudah mulai memudar. Budaya akademik yang saya maksudkan adalah kasratul tilawah wa muzakarah, kasratul tafakkur, kasratul sodaqah, dan kasratul amal. Diakui atau tidak budaya akademik tersebut sudah mulai kehilangan wadahnya dan sistem kejar semalam (SKS) menjadi budaya baru untuk mendapat nilai akhir dari pembelajarannya. Jika, hal itu terus dibiarkan pasti akan berdampak kepada orientasi suci Perguruan Tinggi sendiri. Mencitakan Insan Kamil sudah pasti berada dalam dunia mimpi semata. Akibatkan Insan Kamil hanya tinggal menjadi perbincangan yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Lalu, bagaimana melakukan pembenahan? Untuk meningkatkan dan menumbuhkan tilawah wa muzakarah Perguruan Tinggi Pesantren harus menyediakan sumber belajar atau perpustakaan yang memadai. Saya teringat saat satu bulan berada di National University of Singapore (NUS) untuk mengikuti program writing academik kerjasama dengan Direktur Pendidikan Islam, Depag RI. Kami sangat kagum (bukan membela tapi itulah faktanya) bahwa satu pusat studi di NUS mempunyai perpustakaan yang sangat lengkap dan tidak pernah kami bayangkan. Perpustakaan yang sempat kami kunjungi waktu itu adalah Pusat studi Asia Tenggara dan Perpustakaan Pusatnya. Rasanya, waktu 12 jam setiap harinya berada di perpustakaan terasa begitu cepat berlalu, karena literatur yang dibutuhkan tersedia. Jadi, membudayakan  tilawah wa muzakarah harus didukung oleh perpustakaan yang memadai. Saya fikir, budaya tilawah wa muzakarah menjadi pintu masuk kepada budaya tafakkur, sodaqah, dan amal.

Masalahnya sekarang, bagaimana pengelola PTP melakukan elaborasi dan mensinergikan nilai-nilai kepesantrenan, pilar potensi keadaban, dan amal agar terlahir Insan Kamil yang mampu membawa pencerahan bagi ummat manusia. Memudarnya nilai-nilai kepesantrenan dan budaya akademik itu harus  kembali dibudayakan dengan jalan menyediakan sumber-sumber belajar dan media pembelajaran yang memadai sesuai dengan kebutuhan. Ingatlah bahwa lonceng persaingan bebas di era global sudah dibunyikan. Menjadi pemenang atau pecundang saangat tergantung pada kemampuan sendiri. PTP yang tidak mampu bersaing akan menjalani jalannya sendiri. Wallahul Musta’an ila Darussalam.


*********

TGH. TURMUDZI BADRUDDIN (KIAI KHOS TANPA JUBAH KEKUASAAN)



A. Kelahiran dan Keluarga
TGH.L. Muhammad  Turmuzi Badruddin lahir 74 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1937 di Desa Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Turmudzi kecil (saya tulis untuk memudahkan dalam penulisan) dilahirkan dari lingkungan darah biru atau keluarga Bangsawan). Karena itu, beliau memiliki gelar kebangsawanan “lalu” sebagai symbol status sosial yang dianggap lebih tinggi di kalangan masyarakat Sasak-Lombok. Dalam istilah masyarakat Sasak dikenal dari lingkungan Perwangse (Raden : Jawa). Tetapi, tidak seperti kaum Perwangse abangan, keluarga Turmuzi dikenal sebagai keluarga santri. Bagaimana tidak, sejak baluknya/datuknya (Buyut : Jawa) hingga kakeknya memiliki tradisi santri yang taat.
TGH. Abdul Wadud, dikenal sebagai ustadz kitab kuning yang memiliki keluasan ilmu dan kedalaman spiritual. Sebagaimana penuturan Turmudzi, datuknya pernah merintis pengajaran kitab kuning di Bagu Dasan. Tentu saja ini tidak merupakan pertanda bahwa benih-benih atau akar-akar pemunculan sebuah pesantren di Desa Bagu sudah tergambar sebelumnya. Cuma, pengajaran kitab kuning yang dilakukan oleh datuknya saat itu belum terkoordinir dengan rapi dan sistematis sehingga ketika datuknya wafat, maka aktivitas pembelajaran kitab kuning pun berhenti begitu saja.
Untung datuknya memiliki seorang putra, ustadz Abdul Hakim. Walaupun tradisi keilmuan yang dikembangkannya berbeda, namun, setidaknya image Bagu sebagai tempat mengaji agama tetap terjaga. Abdul Hakim yang sejak awal mendalami tarekat, atas restu gurunya TGH. Muhammad Siddiq Karang Kelok diperkenankan mengajar tarekat Qadariyah Wan Naqsabandiyah di Desanya. Karena itu, kegiatan keagamaan di Desa Bagu tidak mengendur dan bergairah kembali. Malah kesan nuansanya semakin bagus, karena setiap pagi dan sore, gaung dzikir tarekat para jamaah tarekat hampir tidak pernah berhenti.
Kondisi ini berjalan sampai era bapaknya sendiri. Ustadz Badruddin bin Abdul Hakim. Walaupun beliau sehari-hari merintis pengajian al-Qur’an, sebagai putra mursyid tarekat beliau juga dapat izin untuk mengamalkan tarekat tersebut. Karena itu, sehari-hari beliau dikenal sebagai penganut dan pengamal tarekat yang sangat taat.
Namun demikian, keahlian yang sebenarnya adalah dalam bidang al-Qur’an. Setiap pagi dan sore, beliau tidak pernah dipisahkan dengan tradisi belajar dan membaca al-Qur’an. Setiap pagi dan sore, beliau selalu meluangkan waktunya sehingga menurut penuturan Turmudzi, ayahnya menghatamkan al-Qur’an setiap minggu atau empat kali dalam sebulan.
Sejak kecil, Turmudzi dididik di lingkungan santri seperti itu dan diprioritaskan menjadi tokoh agama. Karena itu, didikan kakek dan ayahnya demikian ketat kepada cucu dan anak kesayangannya ini. Bagi mereka, hanya Turmudzi yang bisa diandalkan untuk mewarisi tradisi keagamaan di Bagu khususnya. Karena itu, pendidikan terhadap Turmudzi saat itu memang dikenal sangat disiplin. Berdasarkan keyakinan mamiknya (ayahnya) Turmudzi-lah orang yang tepat dan dapat diandalkan menjadi penerus atau estapeta yang akan membawa desa Bagu menjadi lebih baik dan dikenal. Oleh karena itu, Turmudzi kecil dicarikan sekolah dan guru yang baik dan berdasarkan petunjuk yang diperoleh mamiknya, dia di sekolahkan ke desa Bengkel di Pondok Pesantren Darul Qur’an d yang diasuh oleh Syekh TGH. Muhammad Soleh Hambali.

B. Dakwah Lewat Jalur Pendidikan
Semenjak pulang dari Makkah, aktivitas TGH. Turmuzi cukup padat mulai dari aktivitas pendidikan, dakwah dan  sosial kemasyarakatan lainnya. Sudah jamak bahwa  dalam pandangan masyarakat Sasak (nama suku masyarakat Lombok), seseorang yang berhak menyandang gelar Tuan Guru adalah orang yang pernah menimba ilmu dan menetap (mukim) di Makkah dalam waktu yang cukup lama dan dianggap menguasai seperangkat ilmu agama.
Mereka secara informal disyaratkan untuk bermukim di Makkah al-Mukarramah sambil melanjutkan studinya bersama ulama-ulama dunia dan  Indonesia yang menjadi guru besar di Masjidil Haram seperti Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabawi, Syek Nawawi Al-Bantani, Syekh Banjari dan lain-lain, di samping guru besar dari kalangan bangsa Arab (Mahmud Yunus, 1966). Tuan Guru di Lombok, memang rata-rata sudah merasakan iklim akademik di Makkah yang dikenal sebagai pusat ilmu-ilmu agama. Taruhlah seperti TGH Umar Kelayu, TGH. M. Zainuddin AM, TGH. Umar Gerantung, TGH. Ibrahim al-Kholidy, TGH. Abdul Karim, TGH. Abdul Hafiz masing-masing di Kediri dan  TGH. Saleh Hambali dan segenerasi dengan mereka adalah sosok-sosok pencari ilmu yang dikenal tekun, ulet dan istiqamah dalam menimba ilmu di Makkah. Tak heran jika sekembalinya ke tanah air, mereka sukses menebar peradaban Islam melalui pondok-pondok pesantren.
Demikian juga halnya dengan TGH.Turmuzi sendiri (selama bermukim di Mekah Al-Mukarramah ditemani oleh sang Istri yang sampai saat ini setia mendampinginya menjalani hidup) dalam pengalaman pendidikannya tercatat menimba ilmu pada delapan guru besar, baik dari Indonesia maupun dari Bangsa Arab sendiri. Sehingga, masyarakat setempat sangat berkeyakinan bahwa beliau memang memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas dan sangat representatif untuk dianugrahi gelar Tuan Guru (baca : Kiyai).
Sebagai konsekwensi gelar sosial dalam bidang keagamaan itulah, maka Turmuzi mau tidak mau harus menampilkan diri sebagai sosok ustadz atau ulama yang berpengetahuan agama yang luas. Hal itu harus terlihat dari simbol-simbol yang dianggap representatif oleh masyarakat seperti cara bergaul, berpakaian hingga dalam bentuk perilaku sehari-hari. Semuanya harus ditampakkan dengan santun di hadapan masyarakat.
Mengapa? Kultur masyarakat Sasak atau masyarakat santri  umumnya memang menilai dari sisi itu.  Simbol-simbol itu menjadi terasa penting dalam masyarakat karena bagi mereka itu merupakan refresentasi keulamaan seseorang. Bahkan, simbol-simbol itu merupakan syarat informal jika seseorang ingin menjadi pemuka agama atau masyarakat .
Jika syarat-syarat informal tersebut terpenuhi, maka seorang tokoh agama mau tidak mau, pasti akan memiliki peran-peran sosial keagamaan yang sangat padat. Sebagaimana yang dialami Turmuzi, karena apa yang diinginkan masyarakat bisa dipenuhi, maka peran-peran sosial kemasyarakatan dan peran keagamaan benar-benar melekat pada dirinya. Karena gelar Tuan Guru atau tokoh agama benar-benar sudah sesuai dengan perilaku sehari-hari yang ditampilkannya. Sebagai seorang ulama Sasak, Turmuzi benar-benar mampu menunjukkan dirinya sebagai seorang sosok ulama yang sesuai dengan zamannya. Berpenampilan apa adanya, sederhana dan bersahaja, serta tidak dibuat-buat merupakan ciri khasnya sampai kini.
Sebagai seorang ulama, peran-peran keagamaan Turmuzi sungguh cukup memadai, mulai dari urusan-urusan kematian, perkawinan hingga dakwah Islamiyah telah menjadi kegiatan rutinnya yang tidak bisa dielakkan. Hampir setiap ada musibah kematian, beliau selalu tampil,  yang tidak saja di desanya, Bagu, juga sudah meluas ke desa lainnya. Begitu juga dengan acara-acara walimah (pesta perkawinan), beliau juga menjadi tokoh sentralnya.
Kehadirannya dalam setiap undangan sangat dinantikan oleh setiap jamaah, walaupun Turmudzi dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama dan termasuk dalam bingkai Kiai Khos, tidak pernah sampai memetakan jamaah yang didatanginya sebagai “in group” dan “out garoups” sebagaimana dilakukan oleh sebagian Kiai. Tingkah polah sang Tuan Guru seperti ini yang sangat disukai masyarakat di Lombok, sehingga dalam melakukan dakwahnya dengan cepat diterima masyarakat. Mahyudin warga masyarakat yang penulis temui menyatakan bahwa keberhasilan dakwah yang dilakukan Tuan Guru tidak lepas dari kebersahajaan, sederhana, memperlakukan jamaah secara sama dan husnu zhon yang tinggi dalam menghadapi setiap perkara, sehingga dapat mempertimbangkan dan memutuskan segala perkara atau permasalahan ummat dengan baik berdasarkan dalil naqli, akli, bahkan dengan qiyas sekalipun. 
Dalam bidang dakwah pun demikian, selain kesibukannya mengurus pesantrennya, dakwah juga tidak bisa dilepaskan dari sosok Turmuzi, sejak menjadi Tuan Guru Bajang (muda) hingga sekarang (walau sudah tergolong Tuan Guru sepuh),  Jadwal pengajiannya sangat padat, terutama di kantong-kantong Nahdliyyin di beberapa daerah pedesaan. Maklum sosok Turmuzi sangat erat kaitannya dengan tokoh NU, Syekh TGH. Muhammad Saleh Hambali. Beliau sangat dikenal sebagai ulama NU yang kharismatik. Wilayah dakwahnya pun sangat luas. Tidak saja di Lombok Tengah tetapi juga sudah meluas ke Lombok Timur, Lombok Barat, Sumbawa, Dompu, Bima, dan sampai ke pulau Bali terutama pada basis-basis Nahdlatul Ulama.

Periode Perintisan Pesantren Qamarul Huda
1. Pengajian Al-Qur’an
Memperhatikan akar sejarahnya, benih-benih pesantren di Desa Bagu memang sudah terlihat jauh sebelum Turmuzi lahir. Yaitu sejak kegiatan datuk dan kakeknya dalam pengajaran agama Islam melalui pengajian kitab maupun pengajian tarekat.
Namun, sejauh itu, “moyang” beliau tak sedikit pun memiliki gambaran untuk mendirikan pesantren. Baru setelah ayahandanya ust. Badruddin mengembangkan pengajian Al-Qur’an, benih-benih itu kian lama kian tampak tumbuh dan berkembang. Karena itulah, ketika Turmuzi dikirim ke Bengkel. PP Darul Qur’an, harapan untuk membangun pesantren kian nyata.
Pengajian Al-Qur’an yang dibina oleh ust. Badruddin merupakan suatu tipe pendidikan dalam bentuk yang paling sederhana. Belajarnya dengan duduk bersila dan belum memakai bangku dan meja. Guru pun duduk bersila. Para santri belajar secara bergiliran kepada guru satu persatu dan belum berkelas.
Pada dasarnya, pendidikan ini berupa pelajaran membaca beberapa bagian dari Al-Qur’an. Untuk permulaan, diajarkan surat Al-Fatihah dan kemudian surat-surat pendek lainnya dalam jus Amma, khususnya yang penting untuk melaksanakan ibadah. Sedangkan materi pelajarannya sendiri terdiri atas empat kelompok, yaitu: (a) membaca Al-Qur’an, (b) ibadah : Wudlu’, Sholat dsb., (c) keimanan/tauhid, seperti rukun iman, sifat dua puluh dsb., (d) akhlaq mulia melaluyi cerita-cerita kenabian atau sahabat Rasulullah SAW (Ainul haris, 2000).
Pengajian ini diberikan secara individual di rumahnya. Kadang-kadang di Santren (Langgar: Jawa). Namun, pada awal-awalnya, beliau menggelar pengajian di rumahnya. Setelah memiliki santri dan Masjid di Bagu, beliau memungsikannya dengan baik. Seperti penuturan TGH. Turmuzi;
“Pada awalnya, sejak perintisan pengajian Al-Qur’an ini, biasanya bertempat di rumah. Baru setelah Masjid Bagu dibangun, pendidikan Al-Qur’an ini dipindahkan ke Santren (langgar) terdekat“.
Apa yang dilakukan Ustadz Badruddin ini tidak jauh bedanya dengan yang dilakukan di daerah lain seperti yang digambarkan oleh Snoucj Hurgronjes dalam Karel A. Steenbrinl (1986) sebagai berikut:
“Pengajian Al-Qur’an ini diberikan secara individual kepada para murid. Biasanya mereka berkumpul di salah satu langgar atau di serambi rumah sang guru, Mereka membaca dan melagukan ayat-ayat suci di hadapan guru satu-persatu di bawah bimbingannya selama seperempat jam hingga setengah jam. Ketika salah seorang menghadap guru, murid lainnya dengan suara keras mengulang kajian kemarin atau lanjutan pelajaran yang telah diperbaiki gurunya. Jadi dalam Langgar atau rumah semacam itu, orang dapat mendengar bermacam-macam suara yang bercampur aduk menjadi satu. Tetapi karena semenjak kanak-kanak terbiasa hanya mendengar suara mereka sendiri, para murid tersebut tidak terganggu suara murid yang lain”.
Selama bertahun-tahun, dengan penuh kesabaran, Ust. Badruddin melayani semua santrinya satu-satu. Namun, dalam beberpa tahun kemudian, ketika diantara mereka ada yang sudah dianggap bias, dia dapat membantu gurunya untuk mengajar teman-temannya yang lebih bawah/rendah tingkat pemahamannya. Karena itu secara tidak langsung, ada semacam regenerasi dalam proses pembelajaran Al-Qur’an. Santri Al-Qur’an ini umumnya terdiri dari anak-anak sekitar umur 6 – 10 tahun yang berasal dari sekitar desa Bagu sendiri. Biasanya, mereka mengaji pada malam hari, setelah sholat Maghrib hingga masuk waktu Isya’.
Dalam pengajian Al-Qur’an ini, Badruddin, tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an saja, tetapi seringkali diselingi oleh pelajaran lain seperti fiqih-ibadah (sholat, wudlu dan lain-lain) dan beberapa do’a pendek seperti yang dituturkan TGH. Turmuzi (2001).
“Dalam pengajian Al-Qur’an (dulu), memang beliau kerap kali memberikan selingan bagi para santri, seperti mengajarkan tata-cara shalat dan wudlu’. Umumnya, beliau mengajarkan pelajaran ini setelah selesai mengajar membaca Al-Qur’an atau kadang-kadang ditetapkan waktu lain secara khusus seperti malam Jum’at setelah kegiatan mengaji dan shalat selesai. Biasanya, setelah sholat, para santri tidak langsung pulang tetapi menunggu instruksi dari guru ngajinya. Kadang-kadang dalam kesempatan itulah beliau memberikan pelajaran tambahan“.
Tidak itu saja, ada juga pelajaran tambahan yang diberikan, yaitu pelajaran seni membaca Al-Qur’an dan Tajwid. Bidang ini merupakan kemahiran Badruddin. Sama dengan pengajian tambahan itu, pelajaran tajwid ini juga memiliki waktu tersendiri. Tidak berbarengan dengan pengajian Al-Qur’an, meskipun sekali-kali beliau menekankan aspek tajwidnya ketika mengajar Al-Qur’an.
Pengajian tajwid ini sangat penting, terutama untuk memperbaiki bacaan para santri. Karena itulah, khusus dalam pengajian ini, beliau menyelenggarakan setiap malam Jum’at, dimana semua santri mengikuti kegiatan ini tanpa terkecuali. Pengajian Al-Qur’an ini, di samping sebagai kegiatan rutin Badruddin, juga sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap umat Islam serta sebagai modal dasar bagi pengembangan pendidikan Islam lebih lanjut. Beliau, memang tampak sungguh-sungguh dalam mempersiapkan segala sesuatu yang dijadikan sarana pendidikan yang refresentatif, khususnya bagi masyarakat Bagu.
Karena itu, setelah putra kesayangannya menginjak remaja, beliau mengirimnya belajar ke TGH. Saleh Hambali, seorang Tuan Guru pemangku PP. Darul Qur’an Bengkel yang sangat berpengaruh saat itu. Turmuzi benar-benar diharapkan oleh ayahnya sebagai pengganti sekaligus penerus cita-citanya membangun sebuah pesantren.
Setelah empat tahun lebih nyantri di Bengkel,akhirnya pada tahun 1952, beliau meminta izin kepada Tuan Gurunya agar diperkenankan untuk melakukan pembinaan terhadap santri di desanya. Permintaan itu dikabulkan dan sangat direstui oleh gurunya.

2. Pengajian Kitab
Akhirnya Turmudzi memutuskan untuk membina satu kali dalam seminggu dengan mengajarkan beberapa kitab dasar kepada para remaja dan generasi muda Bagu. Mereka dianjurkan untuk mengikuti pengajian kitab yang merupakan bentuk kelanjutan dari pengajian Al-Qur’an. Mata pelajaran yang diajarkan pada level ini adalah berkaitan dengan ilmu nahwu dan sharf sebagai kunci untuk membaca kitab kuning. Di samping itu, pada tingkat ini, diajarkan pula kitab-kitab lain seperti tafsir, fiqih dan lain-lain.
Menurut TGH. Turmuzi, kitab yang dipakai dalam pembelajaran nahwu yang paling dasar adalah Matan Jurmiyah, lalu diteruskan dengan Syekh Khalid. Pada tingkat selanjutnya beliau mengajarkan kitab Mutammimah hingga Al-Fiyah. Sedangkan pada tataran ilmu sharf dimulai dengan kitab Dhammun yang dikombinasikan dengan kitab nahwu seperti Al-Awamil hingga Al-Jurumiyah atau Al-Kalam.
Lama belajar pada tingkat pengajian kitab yang kerapkali disebut Khalaqah ini tidak ditentukan dan sangat tergantung pada kecerdasan dan kerajinan para santri. Biasanya santri-santri yang rajin dan cerdas bias menamatkan kitabnya pada waktu yang jauh lebih awal lalu diteruskan dengan kitab-kitab lanjutannya. Sebaliknya, para santri yang mengalami kesulitan belajar bias tinggal di surau atau rumah Tuan Guru lebih lama lagi hingga bertahun-tahun. Bahkan ada yang keluar dari khalaqah tanpa mendapatkan apa-apa (Mahmud Yunus, 1996).
Pada sistem ini khlaqah ini, Turmuzi benar-benar meniru gaya pembelajaran gurunya, TGH. Saleh Hambali Bengkel yang juga tokoh NU yang disegani di Lombok. Sehingga tidak heran jika ajakannya untuk membina pengajian kitab di desanya tidak bertepuk sebelah tangan. Masyarakat menyambutnya dengan senang hati, begitu juga generasi mudanya. Mereka memang sudah lama menanti kegiatan seperti ini. Maka “Tuan Guru Bajang” ini memulai “karir”-nya sebagai Ustadz di desanya. Menurut beliau ada beberapa bidang ilmu yang sempat diajarkannya antara lain fiqih, tasawuf, aqidah yang masih diajarkannya sampai sekarang secara khalaqah baik untuk para santri maupun masyarakat umum lainnya.
Jika dilihat secara cermat, pengajian kitab ini jelas sekali berbeda dengan pengajian Al-Qur’an yang dirintis ayahnya. Setidak-tidaknya dapat diperhatikan dari beberapa segi antara lain:
a.       Para santri pengajian yang terdiri dari para remaja dan generasi muda pada umumnya sudah mahir membaca Al-Qur’an.
b.       Mata pelajaran utamanya adalah Bahasa Arab yang dianggap sebagai “pembuka” pintu ilmu.
c.        Pendidikan tidak diberikan secara individual, tetapi secara kolektif.
Memang, pada awalnya, tingkat pertama yang diberikan dalam pengajian kitab ini adalah pendidikan bahasa Arab terutama grammar atau rumusnya yang dikenal sebagai ilmu nahwu. Dalam pemahaman masyarakat, orang sangat tidak mungkin bisa memahami fiqih, aqidah maupun tasawuf tanpa memahami bahasa Arab dengan baik. Karena itu, pelajaran nahwu dan sharf menjadi pelajaran utama di pesantrennya.
Demikian pula, para alumni dari pengajian khalaqah ini biasanya meniru gaya dan metode mengajar gurunya ketika mereka pulang kampung dengan membuka Santren [baca; Langgar] dan mengajar sebagaimana gurunya.Hal semacam ini, dialami pula oleh para santri TGH. Turmuzi yang sejak awal mengikuti pengajian khalaqahnya.Mereka sebagian besar telah menjadi pemuka masyarakat di desanya masing-masing sambil meneruskan ajaran gurunya.

3. Memperkenalkan sistim Madrasah (1948-1962 )
Pada periode ini, PP Maarif Qomarul Huda mulai melakukan pembenahan baik secara kelembagaan maupun menejemen serta struktural. Secara kelembagaan,Qomarul Huda mulai melakukan pembenahan organisasi kelembagaan pendidikan dengan mendirikan madrasah [baca; sekolah].Kebijakan TGH.Turmuzi ini sangat terkait erat dengan pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam pada awal abad ke-20 (A. Timur Jaelani 1982). kelahiran kebijakan ini menurutnya tidak terlepas dari ketidakpuasan  terhadap sistim suruau atau pesantren yang semata-mata menitikbertakan pada kajian agama. Sementara di lain pihak sistim pendidikan Barat (umum) justru tidak menghiraukan agama.
Dengan demikian, kehadiran madrasah ini di latar belakangi oleh keinginan memberlakukan secara berimbang antara pendidikan yang berbasis ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan di kalangan ummat Islam. Atau dengan kata lain, madrasah merupakan perpaduan antara sisitim pendidikan pesantren/surau dengan sistim pendidikan kolonial (Hasbullah, 1996).
Di pondok pesantren Qomarul Huda, sebagaimana juga umumnya pesantren-pesantren  lainya, juga melakukan perubahan-perubhan kelembagaan., dari sistem tradisi psantren, sorongan, kesistim madrasah. Sehingga terdapat dulisme kelembagaan dan pada sisi lain mengikutui alur perkembangan dunia pendidikan dunia pendidikan dengan mendirikan dan mengembangkan sistem madrasah sebagai kebijkan sistem pendidikan nasional.
Kebijkan pembentukan madarasah ini tidak lepas dari pengaruh organisasi-organisasi islam modernis seperti al-Khoir, al-Irsyad Muhammadiyah dan lain-lain (Azyumarzdi Azra, 2000). Sebagai sekolah madrsah memang melakukan beberapa perombakan dalam sisitim pendidikannya. Umumnya diadopsi dari sisitem pemerinthan kolonila yang terlebih dahulu merupakan sisitem modern. Hanya saja, dalam menentukan materi pelajaranya, selalu dikombinasikan dengan mata pelajaran agama Islam. Hanya saja pesantren yang memilih sistem madrasah sebagai model pengembangan pendidikanya tidak begitu saja mengadopsi sisitem pendidikan modern Belanda seperti Muhammadiyah. Organisasi Muhammadiyah yang mengadopsi sistem kelembagaan Belanda secar konsisiten dan menyeluruh dengamn mendirikan sekolahsekolah ala Belanda, seperti MULO, HIS dan lain-lain. Akan tetapi, Muhammadiyah dapat membedakan diri dengan memasukkan materi pendidikan agama ke dalam kurikulumnya.
Namun pesantren juga mengadopsi sistem kelembagaan warisan pendidikan yang sudah ada sebelumnya. Dalam masalah kurikuklum, teknik dan metode mengajar sangat diperhatikan, sehingga ada keluasan bagi madrasah untuk mengembangkan dirinya secara mandiri,
Di PP Qomarul Huda sendiri upaya eksperimentasi sudah dilakukan sejak tahun 1962 dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Awalnya, muridnya pun cukup significant untuk sebuah nodel pendidikan yang dianggap baru. Hal tersebut, diakui oleh TGH. Turmuzi dimana penyelenggaraan sistempendidikan madrasah sangat memerlukan waktu dan pikiran. Seperti ungkapan beliau:
“Saya memang harus memusatkan perhatian yang cukup besar untuk merintis madrasah ini. Sebab, system dan kondisinya sangat berbeda dengan pesantren yang hanya cukup dengan seorang guru dengan aneka materi pelajaran. Tetapi, dengan sistem madrasah, kita harus berpikir banyak hal, mulai perangkat lunaknya hingga perangkat kerasnya. Seperti kurikulum, ustadz hingga kepala madrasah yang bertugas menangani kegiatan belajar-mengajarnya“.
Memang, bagi banyak pesantren, proses perubahan orientasi pendidikan dari sistem sorogan ke madrasah cukup merepotkan. Walaupun diakui pada sisi lain sangat memudahkan dalam proses pembelajaran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya tradisi berorganisasi yang dikembangkan pesantren. Akibatnya, ketika pesantren menghadapi perubahan seperti itu, kadang-kadang kurang siap beradaptasi. Kalaupun bisa mewujudkankannya, itu tidak lebih karena mengikuti irama kebijakan pemerintah.
Terkaiat dengan kelanjutan sistem madrasah, TGH. Turmuzi, juga merintis berdirinya madrasah lanjutan yang dikenal dengan madrsah Tsanawiyah, setingkat SLTP, pada tahun 1969. Proyek ini bertujuan untuk menampung lulusan dari Madrsah Ibtidaiyah yang ada. Proses pendirian MTS ini pun dilalui dengan lancar, karena di samping calon muridnya sudah ada, animo masyarakat untuk sekolah di madrasah sangat tinggi.
Kemudian pada tahun 1984, beliau merintis lagi berdirinya Madrasah Aliyah. Namun, diakui bahwa proses pendirian Madrsah Tsanawiyah dengan Madrasah Aliyah ini memiliki tempo waktu yang sangat panjang. Hal ini menurut TGH. Turmuzi disebabkan oleh beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama, animo lulusan MTs. Untuk melanjutkan ke jenjang madrasah yang lebih tinggi sangat kurang. Hal ini karena para orang tua santri rata-rata berekonomi lemah, sehingga semangat untuk melanjutkan studi anaknya menjadi lemah pula.
Kedua, para santri (termasuk orang tuanya), lebih terkesan jika melanjutkan dengan sistem modern tersebut, mereka banyak yang mengakui kurang mendapatkan ilmu agama yang cukup significant. Karena itu, mereka kebanyakan kembali menjadi santri dengan sistem sorogan.
Ketiga, ada anggapan teologis, bahwa mengaji melalui sorogan lebih banyak barokahnya ketimbang belajar dengan sistem madrasah. Sebab, menurut anggapan ini, belajar ilmu agama itu hukumnya wajib, sedangkan ilmu umum itu tidak wajib. Bagi mereka di akhirat nanti yang paling berguna adalah ilmu agama itu sendiri.

4. Menjangkau Perguruan Tinggi
Kedekatannya dengan KH. Abdurahman Wahid yang juga mantan Presien RI ke-4 telah membawa berkah tersendiri bagi PP Qomarul Huda. Pasca penyelenggaraan Konperensi Besar Nadlatul Ulama tahun 1994, Gus Dur menyarankan agar di Bagu didirikan sebuah perguruan tinggi. Saat itu juga, atas nama Pengurus Besar Nahdaltul Ulama, Gus Dur mengamanahkan agar Pondok Pesantren salafiyah al-Syafiiah Situbondo dapat bekerjasama dan membuka cabang perguruan tingginya di Bagu.
Maka pada tahun 1999 Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo secara resmi membuka cabang di Qomarul Huda dengan membuka dua fakultas yaitu Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari’ah. Atas prakarsa dari KH. Fawaid As’ad di Qamarul Huda didirikan lembaga tinggi yang diberi nama Sekolah Tinggi Agama Islam Ibrahimy (STAII) Qamarul Huda. Berdirinya perguruan tinggi ini, bagaimana pun, telah menorehkan sejarah tersendiri. Pasalnya, tak pernah ada yang menyangka kalau di desa Bagu sendiri akan bisa berdiri sebuah perguruan tinggi. Tapi, faktalah yang menjawabnya.
Kemudian pada tahun 2000, berdasarkan kesepakatan bersama, Qomarul Huda, memberanikan diri membuka perguruan tinggi secara mandiri yang berwujud STAI Ibrahimy Qamarul Huda. Di tahun 2002 STAI Ibrahimy Qamarul Huda Bagu berdiri secara resmi setelah mendapatkan  Surat Keputusan (SK) Operasional dari Direktur Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama Republik Indonesia yang ditandatangani oleh Dr.H. Husni Rahim, MA. SK Operasional STAI Ibrahimy Qamarul Huda diserahkan langsung oleh Bapak Menteri Agama KH. Tolhah Hasan dalam suatu acara Haul Syekh Abdul Kadir Jaelani dan Syekh TGH. Muhammad Saleh Hambali, serta dirangkaikan dengan milad Yayasan Pondok Pesantern Qamarul Huda Bagu. Kehadiran Perguruan tinggi di desa Bagu kami anggap sebagai berkah dan diijabahnya do’a para kiai dan Tuan Guru yang hadir pada saat pada pertemuan besar Nahdlatul Ulama dan tentunya tak lepas dari restu KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur).
STAI Ibrahimy Qamarul Huda Bagu tumbuh dan berkembang secara dinamis, hal itu dapat dilihat dari besarnya antusiasme masyarakat untuk melanjutkan pendidikannya. STAI Ibrahimy Qamarul Huda semenjak berdirinya dipimpin oleh Drs. Kamaruddin (Almarhum) dari tahun 1999 sampai 2001 akhir. Kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh M. Ahyar Fadli, S.Ag. M.Si sejak tahun 2002 sampai 2008. Lalu, Desember 2008 STAI Ibrahimy Qamarul Huda melakukan alih status menjadi Institut Agama Islam (IAI) Qamarul Huda sampai sekarang dengan tiga Fakultas yakni Tarbiyah, Syari’ah dan Ushuluddin. Fakultas Tarbiyah terdiri dari jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan Akta IV. Fakultas Syari’ah terdiri dari dua jurusan yakni Mu’amalah dan Ekonmi Syari’ah. Sementara fakultas Ushuluddin dengan jurusan Pemikiran Politik Islam (PPI). Untuk memberikan pelayanan terbaik bagi ummat IAI Qamarul Huda berencana membuka jurusan-jurusan baru sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat ke depan.
Dalam perkembangannya sampai sekarang ini, IAI Qamarul Huda terus melakukan peningkatan kualitas dan kerjasama agar alumni-nya terus dapat bersaing dengan perguruan tinggi lain dalam mengisi formasi-formasi yang tersedia pada setiap tahunnya. Dalam bidang kerjasama IAI Qamaru Huda bekerja sama tidak hanya dengan instansi pemerintah tetapi juga dengan perbankan (terutama Perbankan Syari’ah, seperti Mu’amalat, Syari’ah Mandiri, Bank NTB). Dalam bidang pengelolaan program IAI Qamarul Huda dipercaya untuk mengelola program beasiswa Pendidikan Guru Agama Islam (PGPAI) pada Sekolah oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI Jakarta.
Kemudian, melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian (LP2M) IAI Qamarul Huda melakukan kerjasama dalam pengelolaan program Pendidikan Keaksaraan Fungsional (KF) Dasar dengan Kementerian Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Wilayah NTB. Selanjutnya, oleh subdit Penelitian, Pengabdian Masyarakat, dan Karya Ilmiah Depag RI diberikan hibah penelitian kepada staf pengajar IAI Qamarul Huda.  
Merasa tertantang untuk mengembangkan perguruan tinggi, lagi-lagi TGH. Turmudzi Badruddin (yang juga menjadi guru spiritual KH. Abdurahman Wahid) ini membuka perguruan tinggi baru yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan pada tahun 2006 dengan program studi Keperawatan, Kebidanan, dan Rekam Medik. Dan di tahun 2010 kembali merintis Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Qamarul Huda dengan program studi Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Matematikan.
Kini terdapat tiga lembaga Perguruan Tinggi yang berada di bawah Yayasan Pondok Pesantren Qomarul Huda Bagu. Sungguh prestasi pencapaian yang terbilang luar biasa dari seorang TGH. Turmudzi. Kadang kami sulit mencerna menurut akal sehat sejarah pendirian dan perkembangan lembaga-lembaga mulai dari Pendidikan Usia Dini sampai Perguruan Tinggi yang ada di Yayasan Ponpes Qamarul Huda. Ya, kata yang bisa mewakili tentang itu adalah “Luar Biasa”.

C. TGH Turmuzi dan Gus Dur
Siapa sangka jika TGH L Turmuzi yang lahir dan tumbuh di lingkungan pedesaan yang agak jauh dari kota, bisa akrab dengan KH. Abdurrahman Wahid, sang mantan Presiden RI ke 4. Tapi itulah faktanya. Secara khusus TGH. Turmuzi bercerita tentang kedekatannya kepada penulis, keakrabannya dimulai dari pelaksanaan Mubes NU di Ponpes Qamarul Huda Itetapi sebelumnya sudah sering bertemu Gusdur dalam banyak kesempatan). Baginya kedekatannya dengan Gus Dur sebenarnya merupakan karekteristiknya yang asli, tidak ada muatan politis sedikitpun (walau dalam perkembangan Tuan Guru menjadi pendukung setia Gus Dur sampai akhir hayatnya). Saya melihat Gus Dur kata Tuan Guru, tidak semata-mata karena faktor Gus Durnya, tetapi saya juga melihat siapa dibalik sosok Gus Dur yaitu Syekh Hasyim As’ary, yang tidak saja dikenal sebagai ulama besar tetapi beliau juga adalah tokoh kunci berdirinya organisasi Nahdaltul Ulama. Nah Gus Dur ini adalah titisan ulama besar yang juga harus dihormati. Kedekatan saya dengan Gus Dur kata Tuan Guru tidak bisa dipisahkan oleh siapapun kecuali kematian, ungkapnya. Kedekatan kami sudah ditakdirkan Allah SWT. Karena itu sampai akhir hayatnya Gus Dur selalu mendengar nasehat saya dan dilaksanakan, baik sebelum menjadi presiden maupun setelah menjadi presiden, baik saat senang ataupun susah. Saat susah Gus Dur selalu minta do’a dan saat senang sering ngelucon (dengan sering mengatakan “tuan Guru saya tidak punya apa-apa yang bisa diberikan”, apa makna perkataan Gus Dur, saya tidak pernah tahu sampai sekarang, kata Tuan Guru).
Ketawadu’an Dato’, panggilan akrabnya,  kepada guru-gurunya bahkan kepada guru dari guru-gurunya memang luar biasa. Apalagi dengan TGH Saleh Hambali yang mendidiknya secara langsung, tentu benar-benar beliau ekspresikan dengan meneruskan perjuangan beliau baik dalam organisasi maupun dalam pengabdiannya di dunia pendidikan.
Dalam organisasi Nahdatul Ulama, kecintaan TGH. Turmuzi terhadap organisasi yang didirikan oleh para ulama besar di pulau Jawa ini memang sudah mendarah daging. Beliau sudah identik dengan NU. 
Oleh karena itu, sepeninggal TGH. Saleh Hambali dan juga TGH. Lalu Faisal Praya Lombok Tengah, beliau benar-benar mampu menjadi pengganti yang arif untuk meneruskan organisasi yang diwariskan oleh guru-gurunya. Sampai sekarang ini, tidak ada tokoh sekaliber TGH Turmuzi yang memiliki penghidmadan yang luar biasa selain beliau. Banyak tokoh-tokoh muda NU yang bermunculan tetapi belum ada yang menyamai maqomat beliau. Sehingga Dato’ Turmudzi termasuk dalam kelompok Kiai Khos di zaman Gus Dur.
                Lalu, apakah persahabatan Gus Dur terputus setelah kembalinya Gus Dur ke tempat asalnya yang abadi? Tentu tidak, ungkap beliau. Saya masih tetap menghormati keluarga besar Gus Dur sampai kapan pun. (di samping tetap mengirimkan Al-Fatihah untuk Gus Dur dalam setiap kesempatan). “ Inilah makna persahabatan yang sejati ” pikir saya. Bentuk penghormatan itu, nampak terlihat ketika Gus Solah (Kiai Solahudin Wahid) mencalonkan diri menjadi ketua Tanfiziyah PBNU. Dukungan kepada Gus Solah untuk menjadi ketua Tanfiziyah berangkat dari kecintaan Dato’ kepada keluarga besar Gus Dur dan saat itu tidak ada pengurus wilayah dan cabang NU NTB yang mendukungnya kecuali TGH. Turmudzi. Lalu, ketika Yeni Abdurrahman Wahid mendeklarasikan berdirinya PKBN setelah secara resmi bercerai dengan PKB Muhaimin Iskandar.

D. Politik untuk Dakwah
TGH. Turmuzi benar-benar menemukan jati dirinya sebagai tokoh ulama NU di NTB yang sudah menasional. Terutama setelah keterlibatannya pada kepengurusan Dewan Mustasyar Pengurus Besar NU maupun Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hampir setiap ada gawe besar baik di NU maupun Partai Kebangkitan Bangsa, TGH. Turmuzi tidak pernah absen dan apalagi Gus Dur ada disitu. Mengurus PKB sama juga dengan mengurus NU“, katanya suatu ketika. Berpartai bagi Dato’ Turmudzi tidak untuk mengejar jabatan, tetapi semata-mata sebagai media dakwah. Ya, sebenarnya, inilah yang dimaksud “tanpa jubah kekuasaan” dalam tulisan ini.
Mengambil posisi seperti Dato’ Turmudzi di sekarang ini, menjadi aneh dan dianggap tidak masuk akal. Sebab faktisitas menunjukkan bahwa para Tuan Guru atau Kiai banyak turun gunung dari singgasana Pesantrennya merebut kekuasaan untuk duduk di Parlemen ataupun eksekutif. Namun, beliau tetap istiqomah pada posisinya. Dan tentu pilihan-pilihan para tokoh agama untuk turun gunung itu tidak salah dan harus di apresiasi, asal sesuai dengan keahlian dan tidak lupa jati dirinya sebagai pemegang amanah ummat.
Saat ini, Dato’ Turmudzi terlihat sudah mengurangi aktivitas-aktivitas politiknya, karena memang umur Dato’ yang sudah mulai sepuh atau tua. Kegiatan-kegiatan Dato’ saat ini lebih banyak memberikan pengajian pada Majlis Ta’lim dan lebih banyak melakukan munajat kepada Allah SWT. Sesekali tetap menghadiri undangan dari masyarakat itupun sesuai dengan kesehatan Dato’. Semoga Allah SWT. Tetap memberikan perlindungan dan kesehatan untuk membimbing ummat diusianya yang tergolong sepuh.

*********