This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 23 Desember 2011

NON-SINERGIN LAHIRKAN KEKERASAN DI DUNIA PENDIDIKAN


Sabtu (10/12/2011) Institut Agama Islam (IAI) Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah, NTB mengadakan wisuda sarjana angkatan ke VIII. Jumlah wisudawan yang dikukuhkan menjadi Sarjana Strata satu dengan gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pdi) sebanyak 262 orang yang kesemuanya jurusan Pendidikan Agama Islam.
Tamu undangan yang hadir tidak kurang dari 700 orang termasuk para orang tua wisudawan sendiri. Tampak di antara tamu undangan yaitu Direktur Urusan Agama Islam Kementrian Agama RI Drs. Jauhari, M.Si (yang mewakili Wakil Menteri Agama RI Prof. Dr. Nazarudin Umar, MA), Drs. Lalu Wildan, MM (mewakili Gubernur NTB), Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama NTB Drs.H. Suhaimi Ismi, MM, Ketua STIKES Qamarul Huda, perwakilan dari Bank Mu’amalat, Kepala-kepala Lembaga di Lingkungan Pondok Pesantren Qamarul Huda dan tokoh Agama, tokoh Masyarakat, serta para Dosen di Lingkungan kampus Kubah Hijau.
Senyum bahagia terpancar dari para wisudawan dan wisudawati hari itu. Tidak tampak sedikitpun dari aura wajah mereka kegalauan dan kerisauan tentang situasi dunia pendidikan yang semrawut dan semakin membudaya tindak kekerasan. Bukan berarti mereka tidak tahu kondisi riil dunia pendidikan, tetapi demi untuk tidak mengganggu pesta yang telah ditunggunya tak kurang dari 4 – 5 tahun dan selama itu mereka bergelut dengan teori-teori pendidikan yang njelimet. Hari ini adalah hari bahagiaku, kata salah seorang wisudawati,  hari dimana aku dikukuhkan menjadi seorang Sarjana dan hari ini bukan hanya milik saya tetapi juga milik orang tua kami.
Memang ada benarnya, apa yang dikatakan wisudawati tersebut di atas terutama melihat dari antusiasme kehadiran para orang tua wali dan keluarganya pada saat wisuda sarjana. Melihat deretan mobil di sepanjang jalan menuju kampus IAI Qamarul Huda Bagu, saat pelaksanaan wisuda Sarjana, walaupun tidak sama persis dengan masyarakat yang mengantarkan keluarga untuk pergi haji. Kesamaannya pada antusiasme sanak keluarga yang ikut menghantarkan si wisudawan/i dan si calon haji, dimana satu wisudawan/i dihantarkan tidak kurang dari 10 orang anggota keluarga dan jika dikalikan 262 orang wisudawan maka konsentrasi massa pada hari sabtu sebanyak 2.062 orang. Makna dari setiap perhelatan wisuda bahwa masyarakat kita masih senang berpesta.
Berkaitan dengan semakin maraknya tindakan kekerasan di dunia pendidikan kita, menjadi keprihatinan Wakil Menteri Agama Prof. Dr. Nazaruddin Umar, MA dalam teks orasi ilmiah yang dibacakan oleh Drs. Jauhari, M.Si (Direktur Urusan Agama Islam) Kementrian Agama RI. Tidakan kekerasan di negara Indonesia sudah memasuki ruang dan institusi Pesantren (yang mestinya steril dari tindakan kekarasan). Pesantren mestinya menjadi pioner pendidikan karakter yang ramah dan lemah lembut, serta menghargai hak-hak orang lain berbasis nilai keislaman rahmatan lil alamin.
Kerukunan umat beragama sekarang ini sedang dijangkiti penyakit akut, saling curiga, truth claim dan tidak jujur. Kerukunan antar dan intra ummat beragama dalam kondisi labil dan sewaktu-waktu dapat meledak. Kerukunan antar ummat beragama sampai saat ini terus terjaga dengan baik, buktinya di negeri ini tidak pernah terjadi konflik antar ummat beragama, sebagaimana terjadi di Irlandia Utara. Namun, tidak diikuti dengan kerukunan intra ummat beragama yang gejalanya semakin tidak kondusif. Kelompok-kelompok dalam Islam menampakan gejala intoleran terhadap kelompok lainnya. Truth claim begitu kuatnya, tidak ada kebenaran sedikitpun pada kelompok lain sehingga muncul fitnah yang berujung pada pengusiran dari kampung halamannya (ingat pengungsi Ahmadiyah di transito Selagalas kota Mataram) yang sampai saat ini belum ada penyelesaian.
Namun tidak bisa dinafikan bahwa hubungan antar ummat beragama sering terjadi gesekan-gesekan yang melibatkan penganut agama. Gesekan-gesekan itu sebagai konsekuensi logis dari pluralitas kehidupan sosio-keagamaan, khususnya di Indonesia. Faktisitas bahwa ketidakserasian kehidupan yang plural telah menjadi pemicu terjadinya pelbagai tindakan kekerasan dan kerusuhan yang melibatkan agama (walaupun agama bukan penyebab utamanya). Kerusuhan di Kupang dan Ambon melibatkan umat Islam dan Kristen. Di Ketapang (Jakarta) pernah muncul kerusuhan yang melibatkan orang Islam dan Kristen. Kerusuhan demi kerusuhan terus silih berganti dan yang dijadikan kambing hitam adalah provokator.
Muncul beragam analisis dari para ahli yang menyebutkan bahwa kerusuhan antar etnis dan antar agama seringkali dipicu oleh provokator, orang atau kelompok, bahkan lembaga atau negara tertentu yang sengaja memancing di air keruh dengan mengadu domba antar etnis dan agama dengan berbagai cara, yang seringkali bersifat misterius, sulit dikenali dan dideteksi, kata Sahrin Harahap dalam bukunya Teologi Kerukunan. Jika dicermati, sebenarnya yang berbahaya bukan para provokator tetapi rasa kebencian dan maksud buruk yang bersemayam di dada manusia.
Guna menciptakan keharmonisan hidup, setidaknya ada dua tawaran dan upaya yang dilakukan yakni pertama. Upaya konstitusional dan politik, seperti penetapan undang-undang dan peraturan pemerintah mengenai penataan pluralitas itu. Lahirnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 Tahun 2006 yang mengatur tugas Pemerintah dalam pembinaan kerukunan hidup umat beragama berbasis kesadaran masyrakat dan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat dikatagorikan sebagai upaya konstitusional dan politik. Kedua, membangun ketulusan pluralitas melalui penumbuhan kesadaran kalimatun sawa’ di aras esoterik agama-agama secara tulus.
Memahami dan menyikapi kehidupan multikultural secara tulus amat penting bagi terciptanya dan kelangsungan kehidupan sosial yang harmonis. Sebab mencurangi dalam menyikapi hidup yang plural dibuktikan sejarah dapat menghambat harmonitas sosial. Masyarakat Madinah yang dipimpin nabi Muhammad, demikian Marshal G.S. Hudgson[1] sebagaimana dikutip Sahrin Harahap, mengalami disintegrasi pada bagian akhir kebersamaan itu karena sebagian komponen masyarakat berlaku curang terhadap konsep piagam Madinah.
Di aras ini, kita tidak bersepakat untuk terus membiarkan kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Lawan kekerasan dengan nir-kekerasan kata Mahatma Gandhi. Bagaimana mewujudkannya? Jika ada kemauan nir-kekerasan bisa diwujudkan di Indonesia di saat tindakan kekerasan semakin membudaya. Salah satu medium yang tepat untuk menciptakan dan membudayakan nir-kekerasan dalam kehidupan sosial yakni medium pendidikan.
 Terlepas dari bagaimana gambaran kita tentang dunia dan sistem pendidikan di Indonesia, namun yang pasti bahwa medium pendidikan masih dapat diharapkan untuk melahirkan manusia-manusia yang jujur, berbudi, berahlak mulia, cerdas, berkarakter dan mempunyai hati. Jujur menjadi salah satu pilar penting Islam dan pilar pendidikan karakter yang sedang disosialisasikan pemerintah Indonesia, di samping tiga pilar pendidikan karakter lainnya yakni cerdas, tangguh dan peduli.
Pendidikan karakter seakan menjadi kebutuhan yang mendesak untuk diajarkan di lembaga persekolahan di Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan punya tanggungjawab besar melahirkan manusia-manusia paripurna melalui pendidikan karakter. Hal itu menjadi wajar karena melihat perkembangan dan meningkatnya tindakan kekerasan di dunia pendidikan. Tengok saja banyak kasus tindakan kekerasan yang dilakukan para peserta didik, seperti tawuran antar siswa, siswa Sekolah Dasar dapat membunuh seniornya siswa Sekolah Menengah Pertama, anarkisme yang dilakukan mahasiswa di beberapa daerah dan sampai dengan tindakan amoral yang dilakukan pendidik terhadap siswinya.
Kejadian-kejadian tersebut membuat stakeholder pendidikan meradang atau kalau tidak mau dikatakan linglung. Terutama pemerintah yang paling terpukul atas tindakan kekerasan di dunia pendidikan. Lalu permasalahannya, apa yang salah di dunia pendidikan di negeri ini? Sistem pendidikan, kurikulum, kebijakan, atau muatan materi pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat? Bisakah pendidikan keagamaan cuci tangan atas perilaku kekerasan itu? Dan apakah budaya mentoleransi tindakan kekerasan itu? Tentu tidak ada yang patut dipersalahkan dan tidak perlu saling menyalahkan bukan? Yang penting adalah bagaimana solusi dan mendiagnosa dengan tepat agar tindakan kekerasan di dunia pendidikan tidak terulang lagi.
Tindakan kekerasan di dunia pendidikan tidak berdiri sendiri, tetapi dapat disebabkan oleh berbagai faktor sosiologis. Adalah teori Sisiogenis memberikan penjelasan tentang tindakan kekerasan yang terjadi di masyarakat dan komunitas persekolahan. Menurut teori ini tindakan dan perilaku kekerasan yang dilakukan para peserta didik adalah murni sosiologis atau sosial – psikologis sifatnya[2]. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya, partisipasi sosial serta konsep diri atau pendefinisian dirinya.
Dalam proses penentuan konsep diri, disebutkan lebih lanjut oleh Kartini Kartono, yang terpenting adalah simbolisasi diri atau penamaan diri. Dalam proses simbolisasi diri, subjek mempersamakan diri mereka dengan tokoh-tokoh penjahat (misalnya El Capone, Mat Peei dari Cidadas, Mat Item dari Pasar Senen).  Konsep umum mengenai sesuatu ide itu dioper oleh anak yang bersangkutan menjadi kekayaan batinnya dan dijadikan konsep hidupnya. Kemudian berlangsung proses penentuan konsep diri yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi sesaat, seperti pembentukan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum yang progresif sifatnya yang kemudian dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh anak lewat mekanisme negatif  serta pembiasaan diri.
Semua kita terkejut oleh tindakan kekerasan di dunia pendidikan seakan datang silih  berganti. Tindakan penghilangan nyawa siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang dilakukan oleh siswa Sekolah Dasar tanpa jelas motipnya; Tawuran antar pelajar SMU dan SMK di Jakarta beberapa waktu lalu; anarkisme yang dilakukan Mahasiswa di Perguruan Tinggi di Makasar; sampai tindakan asusila yang dilakukan oknum guru terhadap siswinya di kabupaten Bima telah menambah daftar panjang tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan di negeri yang menghargai dan menjunjung tinggi sopan santun ini. Pertanyaannya siapa yang harus dipersalahkan?
Jika merujuk ke teori sosiogenis sebagaimana terurai di atas jelas bahwa ada andil dari sistem dan komunitas pendidikan (termasuk keluarga). Keluarga dikatakan sebagai unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak, sedangkan lingkungan sekolah ikut memberikan nuansa pada perkembangan anak. Oleh karena itu, baik-buruknya struktur keluarga dan lingkungan sekolah memberikan pengaruh terhadap baik-buruknya pertumbuhan kepribadian anak.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak pada umumnya merupakan produk dari konstitusi defektif mental orang tua, keluarga, dan lingkungan sekolah, ditambah dengan nafsu primitif dan agresifitas yang tidak terkendali. Kesemuanya menurut Kartini Kartono (1986) mempengaruhi mental dan kehidupan perasaan anak-anak yang belum matang dan masih labil. Akibatnya, tindakan kriminal itu merupakan mekanisme  kompensatoris untuk mendapatkan pengakuan dan dikenal oleh orang banyak terhadap egonya, kompensasi terhadap perasaan minder dan ingin ditebusnya dengan tingkah laku nyeleneh, aneh-aneh, kriminal dan sok jagoan. Jadi, tindakan kekerasan yang dilakukan anak-anak juga akibat dari kegagalan sistem pengontrol diri dan produk ketidakmampuan anak dalam mengendalikan emosinya.
Untuk mengamputasi tindakan kekerasan yang dilakukan anak-anak, menurut hemat penulis perlu ada kerjasama sinerginitas antara pemerintah, sekolah, orang tua dan atau masyarakat (ketiganya merupakan pilar pendidikan) atau dengan kata lain tindakan kekerasan di dunia pendidikan lahir dari tidak adanya sinerginitas dari ketiga pilar pendidikan itu. Diakui atau tidak ketiga pilar pendidikan itu seakan berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah sudah sangat puas ketika mereka mampu menelorkan kebijakan baru (sebut saja pergantian kurikulum dari KBK ke KTSP), sementara pihak sekolah berjalan sesuai dengan juklak dan juknis walau dirasakan tidak rasional untuk diterapkan. Lalu pihak orang tua atau masyarakat lepas tangan atau tidak peduli terhadap persoalan yang dihadapi di sekolah. Akibatnya peserta didik menjadi korban dan mencari jati diri melalui tindakan tidak populer semisal tawuran antar pelajar dan sebagainya.
Membudayakan kejujuran mestinya dijadikan sebagai pilar utama pendidikan agar anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berkarakter. Disadari atau tidak, bukankah kita (masyarakat) dan pemerintah punya andil melahirkan generasi yang tidak jujur dalam segala hal. Masih ingatkah kita, kasus contek massal di Surabaya beberapa waktu yang lalu, dapat dijadikan bukti bahwa kejujuran telah tergadaikan dan digantikan dengan ketidakjujuran. Sungguh ironis, yang jujur malah di asingkan dan diusir dari tempat tinggalnya. Dengan kata lain, sebenarnya tindakan kekerasan dimulai dari ketidakjujuran yang terdesain dengan rapi dan sistemik. Berlaku jujurlah niscaya kamu akan selamat atau Kul al-haq walau Kana Murron (katakan yang benar walau itu sulit) (makna satu hadits Rasulullah SAW). Waalhul Musta’an ila darussalam.

*********


[1] Penulis buku The venture of islam Conscience and history in a World Civilization (Chicago, Illionis, USA: Chicago University Press, 1974).
[2] Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press

Sabtu, 17 Desember 2011

LAHIRNYA RAJA-RAJA KECIL DI ERA OTONOMI DAERAH


Pengantar
Otonomi daerah atau desentralisasi[1] menjadi pilihan rasional dan terbaik, ketika pemerintahan yang sentralistik (baca Orde Baru) tidak mampu  menjawab pelbagai permasalahan yang dialami daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Persoalan utama yang dirasakan pemerintahan di daerah menyangkut rasa keadilan dan pemerataan pembangunan. Pembangunan dikesankan atau bisa jadi benar hanya difokuskan di wilayah Indonesia Bagian Barat (titik pusatnya di Jakarta), sementara wilayah Indonesia Timur hampir tidak tersentuh. Sementara dalam rasa keadilan ternyata sangat dirasakan, dimana pendapat asli daerah (PAD) hampir 75% disetorkan ke pemerintah pusat dan 25% tetap tinggal di daerah. Kondisi seperti inilah yang menggerakkan beberapa daerah kaya, seperti Aceh, dan Papua terus bergejolak.
Konsep otonomi daerah menjadi begitu populer dalam wacana publik ketika reformasi digulirkan atau setelah Orde Baru runtuh seiring lengsernya Soeharto dari kursi presiden setelah 32 tahun berkuasa. Harapan publik tertumpu pada lahirnya demokrasi yang dipercaya sebagai obat penyembuh penyakit-penyakit kronis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan seolah menjadi impian yang kian dekat dengan kenyataan dan demokratisasi sebagai penawar yang mampu membawa perubahan dalam berbagai aspek ketatanegaraan, baik sistem maupun aktor, dan pada pola hubungan pusat dan daerah.
Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi yang dimilikinya untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola sumber daya-sumber daya yang dipunyainya. Reformasi telah menghantarkan ke gerbang demokrasitisasi yang akan membawa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula sentralistis menjadi desentralistis. Perubahan itu berimplikasi pada terjadinya pergeseran lokus kekuasaan, dari pusat ke daerah. Desentralisasi memberikan surga baru pada daerah-daerah, karena selama 3 (tiga) dekade kekayaan alam yang dimiliki daerah tidak pernah dinikmatinya. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang mencolok di daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap miskin.
Desentralisasi telah membawa perubahan bagi aktor dan pola relasi kekuasaan menjadi lebih berimbang antara pusat dan daerah. Pada tataran aktor terlahir bak jamur di musim hujan para pelaku baru dalam arena pertarungan kekuasaan. Birokrat dan militer tidak lagi dominan, para pengusaha yang selama ini bermain dibelakang layar kini sudah mulai turun gunung ikut bertarung memperebutkan jabatan politik kekuasaan di daerah. Bahkan lebih maju lagi, dengan desentralisasi memunculkan tokoh-tokoh lokal, seperti aktris, bintang film, kyai, kaum bangsawan, dan budayawan, sebagai pemain baru yang turut mempengaruhi relasi kekuasaan di daerah.
Di aras relasi kekuasaan, desentralisasi membawa perubahan yang signifikan menjadi lebih berimbang antara pusat dan daerah, antara suprastruktur politik dengan infrastruktur politik. Masyarakat mempunyai peluang besar ikut berpartisipasi untuk mengontrol kebijakan-kebijakan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah. Partisipasi masyarakat menjadi semakin nyata ketika diterapkannya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung atau pilkada langsung, sehingga masyarakat dapat memilih calon pemimpinnya sesuai kehendak dan keinginan masyarakat.
Pada tataran praxis, keikutsertaan masyarakat dalam penentuan kepala daerah secara langsung tidak dijadikan jaminan pemimpin daerah untuk memperjuangkannya menuju kehidupan yang lebih baik dan sejahtera secara ekonomis. Lalu permasalahannya, apakah dengan pemilihan kepala daerah secara langsung akan ada jaminan menuju perubahan yang lebih baik dalam tata kelola pemerintahan daerah? Tulisan ini mencoba memberikan deskripsi tentang sisi gelap pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi dalam pelayanan publik dan tersedianya ruang bebas bagi kemunculan local strongmens.
Demokratisasi sebagai sebuah pilihan pasca pemerintahan sentralistik bermakna sebagai upaya daerah dalam menerjemahkan otonomi yang dimilikinya untuk mensejahterakan masyarakat. Di aras ini, daerah dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam menjabarkan kebebasan dan kewenangan yang dimilikinya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Ada beberapa daerah yang sukses menerapkan desentralisasi, seperti Solo, Sragen (Jawa Tengah), Blitar (Jawa Timur), Jembrana (Bali), Solok, Banjarmasin, dan beberapa daerah lainnya, sementara banyak daerah yang jalan di tempat (kalau tidak mau dikatakan gagal) dalam pelaksanaan desentralisasi. Sesungguhnya bagi daerah-daerah yang berhasil desentralisasinya telah membuktikan bahwa desentralisasi dapat menjadi alat untuk bangkit dari keterpurukan dan kemiskinan. Namun, ada pula daerah yang terseok-terseok dan bahkan terkesan gagal dalam penerapan otonomi daerah.

Pilkada dan Demokratisasi Politik Lokal
                Pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) di Indonesia merupakan mukjizat demokrasi bagi rakyat di daerah[2]. Karena Pilkada menjadi media transformasi politik dengan melahirkan hak politik dan kebebasan sipil (political rights and civil liberties) yang lebih nyata untuk rakyat. Dengan perkataan lain, Pilkada langsung menjadi solusi elegan sekaligus terobosan untuk mengatasi kemacetan demokrasi lokal[3]. Karena itu, proses perubahan akan terus berlangsung dari level Nasional sampai level lokal atau daerah, khususnya dalam memilih pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat sesuai hak pilihnya.
Pilihan pada sistem demokrasi menjadi pilihan terbaik bagi kegiatan pemerintahan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dibelahan dunia lainnya, seperti Amerika Latin, Asia dan Afrika, juga sekaligus sebagai pembenaran terhadap tesis Huntington tentang gelombang demokratisasi dunia ketiga.  Dalam konteks Indonesia, sebenarnya sejak era tahun 1980-an muncul fenomena gerakan demokratisasi politik yang menuntut perubahan ditandai tampilnya kekuatan masyarakat sipil dan kaum intelektual melalui gerakan reformasi yang titik puncaknya pada Mei 1998 dengan lengsernya Presiden Soeharto sebagai simbol pemerintahan sentralistik ala Orde Baru. Kondisi tersebut memicu dinamika politik berdemokrasi agar dilakukan reformasi total di segala bidang kehidupan bangsa.   
Di bidang Politik, masyarakat menuntut pemerintahan baru yang legitimate yang dihasilkan dari proses demokrasi. Di aras ini, pekerjaan utama yang harus dilakukan pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan presiden B.J. Habibie adalah melaksanakan pemilu secepat mungkin. Gerbong reformasi politik mulai bergerak yang ditandai dengan keluarnya Undang-undang No.2 Tahun 1999 tentang partai politik, Undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentan pemilihan umum dan Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR-DPR-DPRD. Semua kebijakan dan ketentuan tersebut telah diimplementasikan pada pemilu 1999 dan 2004 yang telah melahirkan pemerintahan baru yang dianggap paling demokratis selama sejarah pemerintahan Indonesia. Kemudian di aras lokal, reformasi politik pemerintahan dilakukan dengan dikeluarkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, lalu diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kemudian direvisi menjadi Undang-undang  Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah membawa implikasi yang significan terhadap diperbolehkannya peserta pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dari jalur perseorangan.
Pemilihan Presiden Langsung dan Kepala Daerah Langsung menjadi poin baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Pemilu langsung merupakan respons dari keinginan warga bangsa untuk mengembalikan kedaulatan rakyat secara demokratis “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” dan inilah inti dari demokrasi substantif atau normatif. Demokrasi dalam kajian ilmu Politik dipahami dari dua aspek yakni demokrasi normatif (substantive demokracy) dan demokrasi Empirik (procedural Demoracy)[4]. Dengan demikian, menurut Huntington, sebagaimana dikutip J. Kaloh bahwa sistem politik yang demokratis adalah sejauh mana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala[5]. Para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh dukungan suara pemilih dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.
Proses institusionalisasi sistem demokrasi sepertinya sulit dibendung di negara-negara nondemokratik yang baru merdeka, termasuk di Indonesia. Pilihan desentralisasi dalam tata kelola pemerintahan daerah menjadi bagian dari proses institusionalisasi demokratik pasca kekuasaan rejim otokrasi dan sentralisasi kekuasaan selama Orde Baru. Sistem sentralisasi kekuasaan tidak lagi menjadi pilihan yang menarik bagi warga bangsa karena pengaruh yang ditimbulkannya terhadap disparitas ekonomi, kesenjangan pusat-daerah begitu menganga, dan suburnya oligarki kekuasaan.
                 Bagi Samuel P. Huntington proses institusionalisasi sistem demokrasi diistilahkan sebagai gelombang demokratisasi ketiga[6]. Peristiwa besar ini disebut Fukuyama sebagai The end of history[7]. Demokrasi liberal merupakan pemerintahan terbaik bagi umat manusia (yang terakhir) sebagai puncak dari evolusi ideologi menurut Fukuyama. Dengan demikian, sesudah gelombang demokratisasi ketiga menyebar ke seluruh dunia, maka tekanan ke arah desentralisasi semakin menguat, sebab demokrasi memberikan space pada pelembagaan kewenangan yang lebih mandiri dan luas kepada pemerintahan di daerah dan tentu berbeda dengan rejim otokratik yang sentralistik.
                Berangkat dari pola pikir di atas,  bahwa desentralisasi atau demokrasi di aras lokal menjadi kebutuhan yang mesti diterapkan. Setidaknya, ada beberapa argumen dimana desentralisasi bermanfaat bagi pembangunan politik atau demokrasi di daerah. Pertama, akuntabilitas dan responsivitas. Kedua, pengembangan warga. Ketiga, pelembagaan mekanisme check and balances. Keempat, pemantapan legitimasi politik[8]. Dalam konteks demokrasi lokal, akuntabilitas dan responsivitas diartikan sebagai kemampuan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan untuk pemerataan ekonomi dan politik, sementara responsivitas diartikan sebagai kemampuan pemerintah lokal untuk menanggapi kebutuhan, keperluan dan kemauan untuk mendistribusikan pelayanan publik kepada warga setempat, karena selama sistem sentralisasi berkuasa tidak pernah terlaksana.
                Dengan demikian, di era desentralisasi partisipasi masyarakat menjadi sesuatu yang penting dan diberikan ruang atau ruang publik (public sphere)[9] dalam sistem pemerintahan daerah. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik di tingkat lokal diharapkan akan melahirkan masyarakat yang terampil sehingga menjadi modal sosial yang bermanfaat bagi pelembagaan desentralisasi. Ending dari semua proses itu adalah tumbuh, kembang dan matangnya organisasi dan jaringan masyarakat sipil di daerah yang pada gilirannya dapat meindungi sistem demokratik dari alienasi (meminjam istilah Karl Marx) masyarakatnya terhadap kehidupan politik di tingkat lokal.
                Harus diakui bahwa sampai saat ini ghiroh dari philosofi desentralisasi belum terwujud (untuk tidak mengatakan gagal) di banyak daerah di Indonesia. Yang dimaksudkan pelembagaan mekanisme check and balances. Desentralisasi sebagai antitesis dari sentralisasi, sebenarnya kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk bertindak sebagai pengawal dan dan pengawas bagi pemerintah pusat dari tindakan-tindakannya yang mengarah pada munculnya kembali rejim sentralistik. Di samping itu, organisasi-organisasi di tingkat lokal, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, Organisasi sosial kemasyarakatan, Pers, dan lembaga lainnya, harus berperan lebih aktif sebagai pengontrol dan pengawal proses desentralisasi. Jika tidak, bukan tidak mungkin reinkarnasi pemerintahan sentralistik akan muncul dalam bentuknya yang lain, apalagi dari hasil evaluasi pelaksanaan desentralisasi dianggap gagal dan malahan yang terjadi munculnya raja-raja kecil di banyak daerah.
                Guna merealisasikan penguatan dan pemberdayaan demokrasi di tingkat lokal, maka ada beberapa nilai dan harapan dari pelaksanaan Pilkada Langsung menurut J. Kaloh yaitu pertama. Pilkada Langsung memungkinkan terwujudnya penguatan demokratisasi di tingkat lokal, khususnya legitimasi politik. Kedua, Pilkada Langsung mampu membangun serta mewujudkan local accountability. Ketiga, terciptanya optimalisasi mekanisme check and balances antara lembaga-lembaga pemerintahan yang dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan penguatan demokrasi di tingkat lokal.

Raja-raja Kecil di Daerah?
                Reformasi muncul sebagai konsekuensi logis dari keinginan masyarakat lokal melepaskan diri dari oligarki elit-elit pusat yang selama kekuasaan Orde Baru sangat dominan. Slogan “Abdi Negara” menjadi sangat berarti saat kekuasaan Orde Baru karena dapat memberikan kenyamanan bagi aparatur birokrat dan pundi-pundi mereka. Berangkat dari rasa nyaman dan pundi-pundi tersebut membawa implikasi kepada bagaimana mengkonstruksi mekanisme agar kepentingannya tetap terpelihara. Salah satu caranya gubernur, bupati dan/atau wali Kota dipilih oleh DPRD (dianggap sebagai representasi rakyat) atas restu pemerintah pusat. Kebijakan tersebut ternyata cukup ampuh, terutama dalam menjaga aset-aset elit-elit pusat di daerah. Upaya-upaya tidak demokratis itu hancur berantakan seiring dengan lengsernya Presiden Soeharto.
                Reformasi membawa harapan baru dan angin syurga bagi warga bangsa untuk menata kehidupan menjadi lebih baik, seiring dengan runtuhnya kekuasaan oligarki (meminjam istilah Herbert Feith) Orde Baru yang sudah puluhan tahun terpatri di relung hati dan pikiran masyarakat Indonesia. Harapan itu tidak terlalu berlebihan karena pemerintahan baru dapat lahir dari sistem pemilihan yang langsung dipilih oleh rakyat. Seharusnya, slogan birokrasi “Abdi Negara” secara otomatis juga berubah menjadi “Abdi Masyarakat” atau “Pelayan Masyarakat”.  
Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan wujud dari kemerdekaan warga di aras lokal untuk memilih kepala daerahnya sendiri. Asumsinya, menurut Leo Agustino, dengan mekanisme itu, maka akan terputuslah intervensi tangan-tangan oligarki elit-elit pusat di daerah. Masalahnya, benarkah demikian? Atau jangan-jangan malah elit-elit daerah yang justru menggantikan hegemoni elit-elit pusat. Atau dengan kata lain, dengan sistem yang dianggap representasi keinginan dan kepentingan masyarakat lokal akan memunculkan masalah baru yakni tumbuh suburnya raja-raja kecil baru atau new local strongmen. Dan jika itu terjadi justru malah menjadi mala petaka bagi demokrasi lokal melalui mekanisme pemilihan secara langsung.
                Pada tataran teoritis pilkada langsung dapat melahirkan demokrasi lokal sebab para pemimpin di daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun, pada tataran praxis, sepertinya tidak ada yang bisa menjamin demokrasi lokal, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat terlahir dari proses pilkada yang telah berlangsung selama ini, atau dengan kata lain pemimpin daerah yang terlahir dari Pilkada langsung cendrung melupakan masyarakat yang memilihnya secara langsung. Fenomena yang tampak justru para pemimpin daerah terus melakukan pesta, pesta dengan pikiran sendiri, pesta dengan kekuasaan, pesta dengan menina bobokkan partai pengusungnya saat Pilkada, dan tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Pesta demi pesta seperti itu, secara tidak langsung telah memberikan ruang gerak bagi lahirnya kekuasaan kesukuan atau kekuasaan ashabiyah[10] (meminjam istilah Ibnu Khaldun).
Rasa pesimisme dan mungkin apatisme masyarakat justru tumbuh di ruangnya sendiri, mengingat banyaknya kasus-kasus pilkada yang diwarnai money politik, mobilisasi massa, kecurangan, dan ketidakjujuran, serta ancaman pencederaan demokrasi itu sendiri. Kini telah lahir local strongmen baru di daerah sebagai pemain politik yang menggantikan peran langsung oligarki elit Orde Baru[11] dan bersemayam di institusi pemerintahan daerah. Dengan demikian, Pilkada langsung sebenarnya tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi kehidupan rakyat, justru elit-elit daerah yang mendapatkan banyak keuntungan dari sistem pemilihan langsung tersebut.
Atas nama putra daerah, banyak kepala daerah atau elit-elit lokal yang mendapatkan keuntungan dari pelabelan itu, tetapi tidak bagi rakyat. Sungguh ironis nasib rakyat, tetapi apa lacur kata teman saya yang baru pulang dari studi program doktornya di Universitas Malaya, Malaysia. Jika demikian keadaanya, maka sama saja dengan “jeruk minum jeruk” kata Joshua yang mengiklankan produk minuman nutri sari. Inilah yang penulis sebut dengan istilah “ruang hitam otonomi Daerah”. Tumbuh kembangnya raja-raja kecil di daerah semakin kuat seiring dengan satu persatu dari para Gubernur dan Bupati/Wali kota di banyak daerah di ungsikan ke rumah tahanan. Hal itu sebagai bukti begitu kuatnya kekuasaan mereka selama ini.
Di aras ini, warga masyarakat tidak bisa mengharap terlalu banyak untuk mendapatkan pelayanan terbaik dari perubahan paradigma birokrasi “dari abdi negara ke abdi Masyarakat” seolah hanya isapan jempol belaka. Pembuatan Kartu Tanda Penduduk misalkan, mestinya tidak perlu menunggu sampai berhari-hari, karena sistem pembuatannya hampir mirip dengan pembuatan Surat ijin mengemudi. Kenyataannya, tidak demikian. Keinginan pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat terus diupayakan, namun di sisi lain juga terus bermasalah, seperti rencana penerapan e-KTP. Kritikan terhadap pelaksanaan proyek e-KTP dari masyarakat yang terindikasi bermasalah dianggap angin lalu. Kementerian Dalam Negeri selaku penanggungjawab jawab proyek e-KTP menjamin proyek itu berjalan sukses dan bila gagal si Menteri siap meletakkan jabatannya.
Akhirnya, warga masyarakat hanya bisa ngedumel (ngerumun dalam bahasa Sasak), pekerjaan yang seharusnya selesai dalam beberapa jam saja sampai harus ditunda menjadi beberapa hari. Itulah, kaledoskop budaya perilaku para birokrat di negeri ini tidak banyak berubah, malah cendrung mempertahankan status quo, mereka lebih banyak berdiam diri dalam ruangan yang sejuk dan nyaman, seolah tidak mau tahu dengan kondisi nyata yang dihadapi masyarakat dan kelihatannya lebih senang bermain-main dengan dunia maya. Saling membalas Email dengan teman menjadi demikian mengasikkan dan ber- facebook ria dengan ribuan teman, kawannya teman, dan temannya teman-teman menjadi pekerjaan yang harus dikerjakan para abdi masyarakat, sementara di sisi lain, menelantarkan tugas pokoknya sebagai pelayan masyarakat.
Budaya birokrasi semacam itu disebut sebagai ruang birokrasi virtual. Budaya birokrasi itu akan menambah catatan pada ruang hitam otonomi daerah. Belum lagi fenomena banyak kepala daerah Bupati/wali kota seolah menjadi raja-raja kecil dengan pola kepemimpinan yang otoritatif dan semaunya sendiri, sehingga memunculkan banyak konflik kepentingan antara rakyat dengan pemerintah daerah dan atau antara pemerintah daerah dengan gubernurnya. Sungguh ironis dan hal itu sebagai indikasi gagalnya otonomi daerah. Kesuksesan otonomi daerah dapat dilihat dari kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik yang prima dan berjalannya check and balances dari masyarakat. Wallahul Musta’an ila Darussalam.

*********




[1] Istilah otonomi daerah dan Desentralisasi dua konsep yang secara teoritis dapat dibedakan tetapi secara praksis sulit dibedakan.
[2] Leo Agustino, 2011, Sisi Gelap Otonomi Daerah, Bandung: Widya Padjajaran, hal 30
[3] J. Kaloh, 2008, Demokrasi dan Kearifan Lokal, Jakarta: Kata Hasta Pustaka
[4] Ramlan Surbakti, 2001, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
[5] J. Kaloh, op.cit. 65
[6] Gelombang demokratisasi ketiga bermula pada pertengahan tahun 1970-an di Portugal dan kemudian berkembang ke pelbagai belahan dunia mulai Eropa Selatan dan Eropa Timur, kemudian memberikan dampaknya di Amerika Latin, Asia dan Afrika (Huntington S.P. 1991 The third wave: democratization in the late twentienth century, Oklahoma: University of Oklahoma Press).
[7] Francis Fukuyama, 1999, The end of history and the Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal,Yogyakarta; Qalam Press.
[8] Leo Agustino, op.cit. hal 4
[9] Jurgen Habermas, 2008, Ruang Publik, Yogyakarta: Kreasi Wacana
[10] Ibnu Khaldun, 1986, Mukaddimah, Pentj. Ahmadie Thaha, Jakarta: Pustaka Pirdaus
[11] Leo Agustino, Op.Cit. hal. 37