This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 20 Juli 2012

PEMIKIRAN FALSAFATI TENTANG MANUSIA DAN MASYARAKAT (DARI YANG IDEALIS – NORMATIF KE - SAINTIFIC – POSITIVISTIC)


Perkembangan Filsafat dari zaman Yunani ke Kontemporer
Filsafat adalah tertib, atau cara/metode pemikiran yang berupa pertanyaan kepada diri sendiri tentang sifat dasar dan hakiki pelbagai kenyataan yang tampil di muka kita. Dalam  kehidupan  sehari-hari  sejak  jaman  purbakala  manusia  selalu  berusaha  mencari  hakekat  kebenaran  mengenai  hal-hal  yang  bersifat  hakiki,  seperti  masalah  alam, Tuhan,  kematian,  hidup  sesudah  mati,  cinta  dan lain-lain.  Manusia  berusaha  mengerti  dan  menaklukan  alam  semesta  yang  penuh  dengan misteri.  Sampai  jaman  yang  diwarnai  dengan  kecanggihan  teknologi  saat ini,  perasaan  untuk  mengerti  dan  memahami   rahasia-rahasia  alam  semesta  termasuk  rahasia  mengenai  dirinya  sendiri.
Pada  masa  jaman  pertengahan,  manusia  belum  menunjukkan  minat  terhadap  studi  sistematis  mengenai  dunia  fisik,  kondisi  tersebut  banyak  dipengaruhi  oleh  pendapat  filsafat  Yunani  yang lebih  mengutamakan  “Yang  umum”  daripada  “Yang  khusus”.  Pengetahuan  yang umum  mengacu  pada  hakekat  dan  esensi  hal-hal  yang  konkrit,  sedang  yang  khusus  membedakan  benda  satu  dengan  yang  lain.
Dalam  mitologi  Yunani  dikenal  adanya  istilah  dewa  Zeus  yang selalu  dihubungkan  dengan  persoalan  cuaca,  hujan  dan  kilat,  dewa  Poseidon  ynag  menguasai  lautan  dan  gempa  bumi.  Manakala  terjadi  bencana  alam  seperti  gempa  bumi,  banjir  dan  lain-lainnya;  manusia  selalu  menghubung-hubungkan  dengan  hal-hal  yang bersifat  supernatural.  Dalam  perkembangan  pemikirannnya  akhirnya  manusia  setelah  mengalami  berbagai  proses  berhasil  menggunakan  daya  nalarnya  (ratio)  dalam  memecahkan  persoalannya.  Seperti  yang  terjadi  pada  Abad  Pertengahan  dengan  penemuan-penemuan  ilmiah  oleh  Copernicus  dan  Thomas Alpha Edison[1].  Sebagaimana  pendapat  seorang  filosof  Rene  Descartes  yang  mengatakan  cogito ergo sum[2]  (Aku  ada  karena  berpikir)  maka  manusia  mulai  menggunakan  pikirannya  yang  luar  biasa  ajaibnya.
Jembatan antara abad pertengahan dan jaman modern disebut renesance, kelahiran kembali (dari kata Prancis renaissance). Dalam jaman renesance (periode antara 1400 dan 1600 SM), manusia seakan lahir kembali dari tidur abad pertengahan. Seluruh kebudayaan Barat dibangunkan dari suatu keadaan statis yang berlangsung seribu tahun lamanya. Pada aras ini, manusia tidak lagi menganggap dirinya sendiri sebagai viator mundi (orang yang berziarah di dunia ini), melainkan sebagai faber mundi (orang yang menciptakan dunianya)[3]. Manusia sendiri mulai dianggap sebagai pusat realitas, hal itu nampak dalam karya-karya seniman jaman renesance seperti Donatello, Botticelli, Migelangelo, Raphael dan Leonardo da Vinci; dan juga nampak pada sastrawan-sastrawan seperti Dante, Petrarca dan Boccaccio.
Sedikitnya ada tiga faktor yang mempercepat perkembangan baru dalam jaman renesance yakni penemuan baru berupa pemakaian mesiu, seni cetak dan kompas. Penemuan mesiu berarti titik akhir kekuasaan kekuasaan feodal yang dipusatkan dalam benteng-benteng feodalisme yang sudah tidak aman lagi. Penemuan seni cetak berarti pengetahuan tidak lagi merupakan milik eksklusif  suatu elite intelektual kecil, melainkan sudah terbuka untuk orang banyak. Sedangkan penemuan kompas berarti navigasi mulai aman, sehingga dimungkinkan perjalanan jauh yang membuka suatu dunia baru.


Filsafat modern sebagai ahli waris jaman renesance  bercorak antroposentris[4]. Manusia menjadi pusat perhatian. Dalam jaman Yunani dan abad pertengahan, filsafat selalu mencari substansi, prinsip induk yang “ada di bawah” seluruh realitas. Para filsuf Yunani menemukan unsur-unsur kosmologis sebagai prinsip induk atau arche ini. Artinya bahwa bangsa Yunani sudah tidak lagi mempercayai mitologi-mitologi dan pengalaman yang tidak didasarkan pada sikap receptive attitude (sikap menerima begitu saja), melainkan menumbuhkan sikap an inquiring attitude (suatu sikap yang senang menyelidiki sesuatu secara kritis). Sikap belakangan inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya ilmu pengetahuan modern dan sikap kritis-lah yang menjadikan bangsa Yunani tampil sebagai ahli fikir terkenal sepanjang masa, seperti Thales, Phytagoras, Socrates, Plato,dan Aristoteles.
Buah pemikiran Socrates diketemukan pada muridnya Plato. Plato mengatakan bahwa realitas seluruhnya terbagi atas dua dunia yang hanya terbuka bagi pancaindra dan rasio. Dunia yang pertama disebut dunia jasmani dan kedua dunia ide[5]. Apa yang dikatakan Plato mendapat kritikan dari Aristoteles dengan menyatakan bahwa yang ada itu adalah manusia-manusia yang konkrit; ide manusia tidak terdapat dalam kenyataan. Aristoteles dikenal sebagai filosof  realis dan sumbangannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan sangat besar, utamanya idenya yang sampai sekarang terus menjadi perdebatan adalah tentang abstraksi (aktivitas rasional dimana manusia memperoleh pengetahuan). Ada tiga macam abstraksi menurut Aristoteles, yakni abstraksi fisis, abstraksi matematis, dan abstraksi metafisis[6]. Abstraksi yang ingin menangkap pengertian untuk mencapai kualitas disebut abstraksi fisis. Abstraksi dimana subjek menangkap unsur kuantitatif  disebut abstraksi matematis; sedangkan abstraksi dimana seseorang menangkap yang hakiki disebut abstraksi metafisis.
Sebagai seorang filosof  realis Arstoteles (384-322 s.M) memahami alam semesta ini sebagai suatu tertib yang tercipta dan menjadi ada sejak awal mulanya[7]. Lebih lanjut dikemukakan bahwa semesta itu tidaklah merupakan suatu tertib yang pre-establised, akan tetapi juga berkeselarasan yang sifatnya final, dan sekaligus juga merupakan suatu rancang bangun tatanan yang terwujud hanya karena adanya suatu penciptaan yang mengisyaratkan adanya tujuan yang final (causa finalis). Profesor Sutandyo sendiri, mengartikan semesta sebagai ekspresi kecerdasan dan kearifan illahi, dan setiap elemen dalam tatanan moral, seperti (yang an-organik maupun yang organik, tak kurang-kurangnya juga manusia) sudah dikodratkan dan karena itu haruslah pula berulahlaku menuruti keniscayaan yang sudah kodrati agar keteraturan dan keselarasan dalam tertib semesta ini akan senantiasa terjaga. Berbeda dengan premis dasar Galilean-Newtonian yang bertolak dari asumsi aksiomatik bahwa alam semesta itu hakikinya adalah himpunan variabel yang jumlahnya tak terhingga, yang berinteraksi dalam suatu proses yang berlangsung tanpa mengenal titik henti (causa finalis ala Aristotelian).
Bagi pemikir abad pertengahan Tuhan merupakan arche dengan menampilkan para teolog di lapangan ilmu pengetahuan, sehingga aktivitas ilmiah terkait dengan aktivitas keagamaan. Semboyan yang berlaku bagi ilmu adalah “ancilla theologia” atau abdi agama. Namun, harus diakui bahwa banyak juga temuan dalam bidang ilmu yang terjadi pada masa itu. Bahkan perbedaan dengan abad sebelumnya sangat mencolok; perbedaan itu terletak pada dominasi agama_terutama munculnya agama kristen yang di bawa Nabi Isa As. Kehadiran agama Kristen menjadi problema kefilsafatan karena mengajarkan bahwa Tuhanlah yang merupakan kebenaran yang sejati (sangat berbeda dengan pandangan Yunani Kuno yang mengatakan bahwa kebenaran dapat dicapai oleh kemampuan akal manusia).
Kekacauan agama Kristen yang terjadi di Barat pada abad ke-16 dan munculnya sains modern. Itulah masa gejolak. Tidak ada yang tetap, meskipun banyak yang terbuka_dunia dan gagasan baru. Dalam bidang sains, Covernicus dan Vesalius[8], dapat dipandang sebagai tokoh yang mewakili keduanya; keduanya melambangkan kosmologi baru dan penekanan ilmiah pada pengamatan langsung. Kematian Giordano Bruno misalnya telah meninggalkan  sombolisme yang tidak disadari, karena nada pemikiran ilmiah berikutnya_mengandung ketidakpercayaan terhadap jenis spekulasi imajinatif  yang bebas. Bahkan William James ketika menyelesaikan risalah “Principles of  Psychology” menyatakan bahwa “aku harus menempa setiap kalimat dalam gerigi fakta yang keras dan pasti”. Di mana saja dan kapan saja, selalu ada orang-orang yang praktis, yang tenggelam dalam fakta yang keras dan pasti; dan selalu ada orang yang bertemperamen filosofis yang tenggelam dalam gelombang prinsip-prinsip umum di dalam pikiran modern.
Isaac Newton mengatakan dalam referensi praktik metodologi ‘jika filsafat natural dalam semua bagian, akan menjadi sesuatu yang sempurna analisis filsafat moral yang berkembang. Dalam terminology Newtonian makna dari ‘filsafat moral’ tidak hanya termasuk etika tapi studi manusia dan fenomena social pada abad 18, Newton sebagai ilmuwan paling besar, tidak hanya akan penemuan terhadap mekanika tapi juga memunculkan metode yang benar berdasar investigasi ilmiah[9]. Masalahnya, Apakah ilmu-ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial_harus bekerja dengan bebas nilai[10], (bicara tentang yang ada, bukan yang harus ada).
Perselisihan metode awalnya terjadi di Jerman dan Austria sekitar tahun 1890-an, para pendekar utama adalah Menger dan Schmoller yang mempersoalkan apakah ilmu ekonomi harus memakai metoda eksak atau historis dan kemungkinan syarat-syarat ilmu-ilmu sosial dan ekonomi yang normatif. Istilah kebebasan nilai (wertfreyheit) dibentuk dalam perselisihan penilaian (werturteilsstreit) termasyhur berlangsung antara tahun 1909 dan 1914). Posisi yang paling terkenal adalah posisi Max Weber yang menuntut agar ilmu-ilmu sosial bekerja dengan bebas nilai_tetapi juga tetap relevan terhadap masalah nilai.
Para pendukung kebebasan nilai memberikan jawaban afirmatif_bahkan menambahkan bahwa metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak berbeda. Artinya, kalau ilmu-ilmu sosial mau berlaku sebagai ilmu pengetahuan, harus dapat menghasilkan dalil-dalil umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam ilmu alam. Untuk sampai ke tujuan itu_sebuah riset sosial harus dapat menghasilkan deskripsi dan penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan penilaian apapun. Oleh karena itu_seorang ilmuan atau peneliti harus dapat meninggalkan rasa-perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya, penilaian-penilaian moralnya atau bahkan kepentingan-kepentingannya, untuk mendekati objek sosial, sehingga diperoleh pengetahuan objektif tentang kenyataan sosial atau social fact. Berdasarkan anggapan itu_para pendukung kebebasan nilai di masukkan ke dalam kubu positivisme.
Dalam perselisihan Positivisme[11], Karl Popper dan Albert mengemukakan postulat kebebasan nilai yang sebaliknya dikritik oleh Adorno dan Habermas. Positivisme memang mau membatasi ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta dan mengesampingkan pertanyaan mengenai nilai sebagai irrasional. Kemudian pada segi yang lain, rasionalisme kritis sendiri menolak usaha yang dilakukan Adorno Cs. Untuk memasukannya ke dalam satu ranah (meminjam istilah Bourdieu) dengan positivisme dan menyatakan diri sebagai anti-positivistik.
Baik Popper cs. maupun Adorno cs. Berada pada suatu situasi yang saling serang dan saling tuduh sebagai positivistik. Adorno cs. Menuduh Popper cs. Sebagai positivistik (Habermas: “ein positivistisch halbierter Rationalismus”), sedangkan Popper cs, menuduh Adorno cs. Sebagai positivis yang sesungguhnya. Walaupun demikian_pada aras yang sama, dua-duanya menyatakan diri anti positivisme, sehingga Ralp Dahrendorf menyatakan bahwa secara kasat mata kedua belah pihak itu kelihatan berpendirian sama.
Namun kedua-duanya, menolak verifikasi sebagai kriteria kebenaran. Penolakan itu_baik oleh rasionalisme kritis maupun teori kritis, bukan hanya menyangkut ilmu-ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu alam. Pada aras ini, Habermas mengenai postulat kebebasan nilai bukan saja merupakan ilusi bagi ilmu-ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu pengetahuan alam sama saja tidak bebas nilai. Sebuah postulat yang menarik diungkapkan Habermas “apa yang berlaku bagi ilmu alam lebih berlaku lagi bagi ilmu-ilmu sosial”.
Menurut Habermas, niat seperti itu tidak dapat dilaksanakan, karena untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi teknis dalam suatu situasi konkrit, tentu rekomendasi itu harus diinterpretasikan terlebih dahulu agar maching dengan situasi itu. Tetapi pada tahap ini, sarana-sarana dan tujuan-tujuan tidak lagi dapat diisolasikan. Artinya tujuan dapat menjadi sarana bagi tujuan selanjutnya, sarana-sarana dapat menjadi tujuan. Kelihatan bahwa realitas masyarakat tidak dapat ditangkap dalam kerangka peristilahan sarana-tujuan, melainkan harus dimengerti sebagai totalitas unsur-unsur yang saling menengahi.
Kesan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan itu bebas nilai sangat bersifat idiologis. Asumsi bahwa suatu pengertian yang murni, bebas dari kepentingan_padahal kepentingan murni ini tetap ditentukan secara normatif oleh kepentingan-kepentingan teknis. Pemisahan antara fakta dan keputusan sendiri hanyalah akibat dari reduksi yang tidak sah (yaitu reduksi segala bentuk pengetahuan pada pengetahuan dari jenis teknis dan ilmu pengetahuan alam). Oleh karena itu, menurut Habermas_ tidaklah kebetulan bahwa perpisahan keras antara fakta dan keputusan baru diadakan dengan tajam pada awal kapitalisme. Sebab reduksi di bawah kapitalisme_semua nilai pada nilai tukar atau nilai ekonomis mengakibatkan bahwa hubungan-hubungan sosial akhirnya dalam semua bidang kehidupan dibendakan[12] (dianggap benda atau barang dagangan). Kritik Habermas terhadap postulat kebebasan nilai ilmu pengetahuan_bukan sebatas teori ilmu pengetahuan, melainkan Habermas mau membuka kedok suatu idiologi yang kekuasaannya menghalang-halangi emansipasi manusia. Pembongkaran itu dilakukan Habermas dengan menggunakan metode kritik dan dialektika yang sekaligus menjadi ciri teori kritik yang dikembangkannya.
Pada perkembangannya, abad pertengahan kelihatan mulai kehilangan taringnya, yang ditandai dengan kebangkitan kembali pemikiran yang bebas dari dogma-dogma agama. Manusia merindukan kembali pemikiran yang bebas (seperti era Yunani Kuno); Manusia ingin mencapai kemajuan atas hasil usahanya sendiri_tidak didasarkan atas campur tangan ilahi dan era ini disebut dengan Reanaissance. Penemuan-penemuan ilmu pengetahuan modern sudah mulai dirintis dan ilmu pengetahuan yang berkembang adalah bidang Astronomi dengan tokoh-tokohnya, seperti Roger Bacon (pengalaman empiris), Copernicus (matahari menjadi pusat = heliosentrisisme)[13], Johannes Keppler (menemukan tiga buah hukum = gerak mengikuti lintasan elips; garis penghubung antara planet dan matahari melintasi bidang yang luasnya sama; bila jarak rata-rata dua planet A dan B dengan matahari adalah X dan Y, sedangkan waktu untuk melintasi orbit masing-masing adalah P dan Q, maka P2 : Q2 = X3 : Y3), Galileo Galilei (membuat teropong bintang dan mengamati beberapa peristiwa angkasa secara langsung; juga menyimpulkan bahwa planet Venus dan Mercurius, sebagaimana bulan_tidak memancarkan cahaya sendiri, melainkan hanya memantulkan cahaya dari matahari)[14].
Dalam jaman modern, peranan substansi diambil alih oleh manusia sebagai subjek. Yang terletak di bawah seluruh realitas, yang memikul realitas. Oleh karenanya, jaman modern sering disebut “jaman pembentukan subjektivitas”. Seluruh sejarah jaman modern dapat dilihat sebagai satu rantai perkembangan pemikiran mengenai subjektivitas. Semua filsuf jaman modern menyelidiki segi-segi subyek manusia “aku” sebagai pusat pemikiran, pusat pengamatan, pusat kebebasan, pusat tindakan, pusat kehendak dan pusat perasaan, maka, Louis Leahy menyebut “manusia sebagai sebuah misteri[15].
Jaman modern juga, ditandai dengan berbagai penemuan dalam bidang ilmiah, yang sesungguhnya sudah dirintis sejak jaman renaissance. Dimulai dari Rene Descartes yang dikenal sebagai bapak filsafat modern (juga seorang ahli ilmu pasti). Penemuannya dalam ilmu pasti adalah “orthogonal coordinate system” (sistem koordinat) yang terdiri atas dua garis lurus X dan Y dalam bidang datar dan tentunya “cogito ergo sum” dalam bidang filsafat. Isaac Newton dengan temuannya teori gravitasi. J.J. Thompson dengan temuannya elektron. Charles Darwin dengan teorinya struggle for life; the origin of species. Perjungan untuk hidup berlaku pada setiap kumpulan mahluk hidup yang sejenis, karena meskipun sejenis_namun tetap punya kelainan-kelainan kecil dan berpengaruh terhadap daya menyesuaikan dirinya dengan lingkungan. Mahluk hidup yang dapat menyesuakan diri memiliki peluang besar untuk bertahan hidup, pun sebaliknya_oleh karena itu, yang dapat bertahan adalah yang paling unggul atau survival of the fittest.
Kini, di abad ke 20 diakui para filosof  bahwa bidang fisika menempati kedudukan paling tinggi. Trout_misalnya, menganggap fisika sebagai dasar ilmu pengetahuan yang subjek materinya mengandung unsur-unsur fundamental yang membentuk alam semesta. Fisikawan terkenal abad ini adalah Albert Einstein. Ia menyatakan bahwa alam ini tidak berhingga besarnya dan tidak terbatas, tetapi juga tidak berubah status totalitasnya atau bersifat statis dari waktu ke waktu. Einstein percaya akan kekekalan materi, karenanya bersifat kekal dan tidak diciptakan. Di samping penemuan di bidang fisika, juga penemuan di bidang teknologi canggih (komputer, internet atau cyber), begitu pula dalam bidang kedokteran semakin terspesialisasi dan bahkan super-spesialisasi, sehingga dihasilkan sebuah ilmu baru bio-teknologi yang dikenal dengan teknologi kloning. Tentu saja, penemuan dalam bidang ilmu baru ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemikir ilmu sosial dan menjadi dilema moralitas termasuk agama.
Pengetahuan dan keyakinan (Idealitas dan Normativitas)?
Ilmu pengetahuan dan keyakinan sama-sama merupakan sikap mental seseorang dalam hubungan dengan objek yang disadarinya sebagai ada dan terjadi. Hanya saja, terdapat perbedaan yang mendasar antara keduanya; dalam hal keyakinan, objek yang disadari sebagai ada itu, tidak perlu harus ada sebagaimana adanya. Sebaliknya_dalam hal pengetahuan, objek yang disadari itu memang harus ada sebagaimana adanya. Juga, yang membedakan adalah keyakinan bisa saja keliru tetapi sah saja dianut sebagai keyakinan, namun_tidak dengan pengetahuan; pengetahuan tidak bisa salah atau keliru karena begitu suatu pengetahuan terbukti salah atau keliru, maka tidak bisa lagi dianggap sebagai pengetahuan. Begitu suatu pengetahuan dianggap keliru, maka pengetahuan serta merta berubah menjadi keyakinan. Sehingga, pada aras ini tampak jelas perbedaan antara keyakinan dan pengetahuan.
Apa yang dianggap sebagai pengetahuan lalu dirumuskan sebagai proposisi. Pengetahuan yang diungkapkan dalam proposisi itu hanya sah sebagai pengetahuan kalau proposisi itu pada kenyataannya benar, sebagaimana yang diungkapkan. Misalnya 25 + 25 = 50 hanya merupakn sebuah pengetahuan kalau memang dalam kenyataannya 25 + 25 = 50. Semua burung gagak berwarna hitam_hanya sah menjadi sebuah pengetahuan, kalau dalam kenyataannya semua burung gagak berwarna hitam. Kalau dalam kenyataan tidak benar demikian, maka proposisi tadi hanya menjadi sebuah keyakinan. Dengan demikian, pengetahuan selalu berarti pengetahuan tentang kebenaran. Plato sendiri mengungkapkan bahwa pengetahuan tentang kebenaran adalah pengingat kembali apa yang sudah diketahui sebelumnya[16].
Dalam banyak kasus, kita tahu sesuatu walaupun tanpa menyadari bahwa kita tahu; baru setelah orang lain menyinggung hal itu_baru kita sadar bahwa sesungguhnya kita tahu. Kita memang tahu banyak hal, tetapi ketika kita tidak sadar akan apa yang kita ketahui itu, ini belum merupakan pengetahuan. Contoh yang relavan Isac Newton. Jauh sebelum Newton sadar mengenai hukum garvitasi_ketika satu buah apel jatuh persis mengenai kepalanya, dia dan banyak orang sezamannya tahu akan hukum itu. Hanya saja, hukum itu baru dianggap sebagai pengetahuan ketika Newton menyadari dan merumuskannya. Jadi pengetahuan selalu menuntut adanya kesadaran bahwa si subjek itu sendiri tahu; si subjek harus tahu bahwa dia tahu dengan pasti.
Persoalannya yang muncul adalah bagaimana kita tahu secara pasti tentang sesuatu? Dalam sejarah filsafat_persoalan itu di jawab oleh dua aliran pemikiran, yaitu rasionalisme dan empirisisme[17].  Kaum rasionalis beranggapan bahwa kita dapat sampai kepada pengetahuan yang pasti hanya dengan mengandalkan akal budi, sedangkan kaum empirisme punya anggapan bahwa kita sampai pada pengetahuan yang pasti dengan mengandalkan pancaindra kita yang memberi informasi tentang objek tertentu. Kaum rasionalis menolak anggapan bahwa pengetahuan di peroleh melalui pancaindra, baginya akal budi sudah cukup memberi pemahaman dan terlepas dari pancaindra.
Di dalam Teologi Islam, perdebatan semacam itu juga muncul_terutama berkaitan dengan sejauhmana akal budi mampu mengetahui tentang kebenaran atau apakah manusia diberi kemerdekaan oleh Tuhan dalam mengatur hidupnya, ataukah manusia terikat sepenuhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan? Ada tiga aliran dalam Teologi Islam, yakni kaum Qadariah (free will dan free act); kaum Jabariah (fatalisme atau predestination); dan kaum Mu’tazilah (designatie)[18]. Bagi kaum Qadariah (dengan tokohnya Ma’bad al-Jauhani), manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sebaliknya, kaum Jabariah (dengan tokohnya al-ja’d Ibn Dirham dan disebarkan oleh Jahm Ibn Safwan dari Khurazan) menyatakan bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak Tuhan.
Kaum Mu’tazilah (dikenal sebagai kaum rasionalis Islam) karena menggunakan pendekatan filosofis dan mendewakan akal; tokoh dan pendirinya adalah Wasil Ibn ‘ata’. Lima ajaran kaum Mu’tazilah yaitu pertama, posisi menengah (al-manzilah bain al-manzilatain) maksudnya_orang yang berdosa besar bukan kafir, bukan pula mukmin tetapi fasiq (posisi antara kafir dan mukmin). Kedua, Tuhan bersifat bijaksana dan adil; Tuhan tidak dapat berbuat jahat dan zalim. Tidak mungkin Tuhan menghendaki supaya manusia berbuat sesuatu yang bertentangan dengan perintah-Nya. Dengan demikian, manusia sendirilah sebenarnya yang mewujudkan perbuatan baik dan perbuatan jahatnya (kepatuhan dan ketidakpatuhannya sama Tuhan). Kemudian muncul nama-nama Jamaludin Al-Afgani (1839-1897), Muhammad Abduh (1849), Muhammad Rasyid (1865). Dengan potensi akal yang dimiliki manusia, demikian diungkapkan Muhammad Abduh, maka manusia dapat mengetahui tentang baik dan buruk perilaku manusia. Dari kalangan Filosof  Muslim[19], muncul nama-nama seperti Al-Kindi (185H) dengan konsepnya, pengetahuan rasional, Pengetahuan Isyraqi, metafisika; Al-Razi (251H), Al-Farabi (257H) tentang sepuluh kecerdasan, emanasi; Ibnu Sina (340H) dengan teori fisika (benda, form, masa, dan gerak); dan Al-Ghazali ( (450M) tentang filsafat metafisika, iradat Tuhan, Qadimnya Alam dan tasauf.  
Untuk memahami lebih jauh tentang rasionalisme, penting mengurai pemikiran dua tokoh dari paham rasionalisme yakni Plato dan Rene Descartes. Plato dapat dikatakan sebagai rasionalis pertama. Satu-satunya pengetahuan sejati adalah pengetahuan tunggal dan tidak berubah sesuai dengan ide-ide abadi. Apa yang ditangkap melalui pancaindra hanya merupakan tiruan dari ide-ide tertentu yang abadi. Hanya ide-ide itu yang bersifat nyata dan sempurna. Maka pengetahuan menurut Plato adalah sekumpulan ingatan terpendam dalam benak manusia dan untuk sampai kepada pengetahuan sejati_hanya dapat dicapai dengan mengandalkan akal budi. Sementara Descartes melalui metode “meragukan segala sesuatu” atau “clara et distincta”. Ia beranggapan bahwa hanya akal budi yang dapat membuktikan bahwa ada dasar bagi pengetahuan manusia, ada dasar untuk merasa pasti dan yakin akan apa yang diketahui. Unsur utama yang menipu[20] dan menghalangi manusia untuk sampai pada pengetahuan sejati adalah pengalaman indrawi.
Bagi Descartes, keraguan metodis bukanlah tujuan yang harus dicapai; melainkan keraguan hanya sebuah sarana  untuk bisa menemukan segala sesuatu yang bisa diketahui secara pasti. Atas dasar inilah_Descartes menyatakan akal budi sebagaimana dalam ilmu ukur dan matematika_ sebagai indikator untuk sampai pada pengetahuan pasti. Kenyataan yang pasti dan yang tidak diragukan Descartes adalah “ia ada”. Beradanya berarti ia bisa meragukan segala sesuatu, jika ia tidak ada_ berarti ia tidak bisa meragukan sesuatu. Jadi, saya berfikir berarti saya ada “cogito ergo sum”. Dari pernyataan itu_sekaligus sebagai penegasan bahwa berfikir, akal budi adalah unsur paling pokok dari manusia dan juga bagi pengetahuan manusia.
Rumusan yang bisa diberikan mengenai rasionalisme dari uraian di atas, bahwa kaum rasionalis lebih mengandalkan geometri atau ilmu ukur dan matematika (dengan demikian kaum rasionalis hanya menerima metode deduktif)_yang memiliki aksioma-aksioma umum terlepas dari pengamatan atau pengalaman pancaindra. Juga_kaum rasionalis menerima semua pengetahuan adalah pengetahuan apriori[21] yang terutama mengandalkan sillogisme. Ada ide-ide bawaan yang telah ada dalam benak manusia sejak lahir, demikian kaum rasionalis. Data dan fakta tidak begiti penting bagi munculnya pengetahuan, walaupun mungkin berguna. Dengan demikian, kaum rasionalis meremehkan peran pengalaman dan pengamatan pancaindra bagi pengetahuan.
Apa yang diungkapkan kaum rasionalis mendapat tantangan dari kaum empirisme, hanya keduanya bertemu pada suatu keinginan menanggapi persoalan yang diajukan skeptisisme, bagaimana bisa sampai kepada pengetahuan yang pasti benar? Bagi kaum empirisme (tokohnya John Locke dan David Hume) pada pokonya menyatakan bahwa sumber satu-satunya bagi pengetahuan manusia adalah pengalaman[22]. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman yang terjadi melalui dan bantuan pancaindra (bersifat spontan dan langsung)[23]. Pancaindra memainkan peranan terpenting dibanding dengan akal budi (rasionalis). Karena itu, bagi kaum empiris_akal budi hanya mengkombinasikan pengalaman indrawi untuk sampai kepada pengetahuan.
Dengan mengikuti fisika Newton, Locke kemudian mengembangkan pandangan masyarakat yang atomistik, yang menggambarkannya dalam pengertian balok dasarnya, manusia. Sebagaimana fisikawan yang mereduksi sifat-sifat gas menajdi gerak atom atau molekul; Locke mencoba mereduksi pola-pola yang diamati dalam masyarakat menjadi perilaku individu. Analisis Locke tentang hakekat manusia dipengaruhi filosof  Thomas Hobbes yang menyatakan bahwa sumber pengetahuan berdasarkan persepsi indra_yang kemudian menggunakan metafora “tabula rasa”[24].
Lalu, bagaimana sampai kepada pengetahuan sebab-akibat? Menurut kaum empirisme_(David Hume), pengetahuan ini dicapai berdasarkan pengalaman ketika menemukan bahwa objek tertentu selalu berkaitan dengan objek lainnya (bukan melalui penalaran apriori[25], sebagaimana kaum rasionalis). Pengalaman yang mengajarkan, bagaimana satu peristiwa selalu diikuti oleh peristiwa lainnya, kata Hume. Demikian pula halnya, kenyataan bahwa semua angsa berwarna putih_tidak dengan sendirinya berarti semua angsa berwarna putih.
Hanya saja, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi menyangkut pandangan kaum empirisme. Pertama, sampai tingkat tertentu_kaum empirisme mengakui bahwa persepsi atau proses penginderaan tidak dapat diragukan (indibituble). Persepsi bebas dari kemungkinan salah_karena kekeliruan tidak punya tempat pada apa yang given dan sesuatu yang given pada tataran tertentu harus diterima sebagai nyata. Kedua, dari empirisme Hume, terungkap bahwa empirisme hanya sebuah tesis tentang pengetahuan empirisme, tetapi ada pengetahuan tertentu yang tidak diperoleh melalui pengalaman indrawi. Ketiga, kaum empirisme lebih menekankan metode pengetahuan induktif[26]. Sikap dasar kaum empiris ini mempunyai sumbangan besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan modern, karena mendorong percobaan yang di dasarkan pada observasi dan penelitian empiris. Pada aras ini, ilmuan tidak lagi terpaku pada rumusan yang bersifat apriori dan berlaku mutlak, melainkan lebih giat melakukan penelitian lapangan untuk membutikan kebenaran berbagai proposisi dan pengetahuan universal. Dan terutama pengaruh Hume dan Francis Bacon, semakin kuat untuk merelatifkan kebenaran berbagai pengetahuan manusia. Keempat, kepastian mengenai pengetahuan empiris harus dicek berdasarkan pengamatan, data, pengalaman.
Bagi Arsitoteles (dikenal sebagai seorang realis), mengungkapkan bahwa pengetahuan manusia tercapai melalui hasil kegiatan manusia yang mengamati kenyataan yang banyak, lalu menarik unsur-unsur universal dari yang partikular. Jadi, pengetahuan diperoleh dengan jalan abstraksi yang dilakukan atas bantuan akal budi terhadap kenyataan yang diamati. Kendati ada empirisme kuat  dalam pemikiran Aristoteles_secara tersirat seakan mendamaikan pandangan rasionalisme dan empirisme. Bagi Aristoteles, akal budi hanya melakukan abstraksi atas data yang diperoleh melalui pengamatan. Pengetahuan yang melibatkan pancaindra dan akal budi adalah pengetahuan yang lebih umum dan lebih pasti.
Menuju Saintifik – Positivistik
Sejarah filsafat berjalan paralel dengan perjalanan sains dan asal usul filsafat modern sama dengan asal usul sains, juga sezaman.  Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa terjadi pergolakan kultural yang kompleks dan rumit, dengan diwarnai oleh suasana relativisme, skeptisisme, dan anarki. Muara dari pergolakan itu_dimulai dari pergeseran pendulum epistemologi dari objek ke subjek dan berkembang dalam rasionalistis filsafat Perancis dan Jerman. Dimulai dari Descartes, Leibniz dan Immanuel Kant. Juga perkembangan dalam tradisi Anglo-Saxon yang epistemologinya berorientasi psikologis, seperti tampak dalam filsafat Hobbes, Locke, Berkeley, dan David Hume.
Arus modernisasi menancapkan keyakinan bahwa lebih sahih meyelidiki  kondisi fikir manusia (subjek) daripada memperdebatkan masalah ada tidak adanya Tuhan, kebenaran, kebebasan, kenyataan tertinggi (objek). Pada aras ini, Immanuel Kant tidak hanya mendukung Descartes yang penekanannya pada subjek, juga memperlihatkan the condition of possibility dari fikiran manusia. Di masa kant, ilmu-ilmu alam dan penerapannya dalam teknologi mulai memasuki zaman keemasannya dan epistemologi, serta memperkokoh ilmu alam secara filosofis sebagai salah satu bentuk pengetahuan yang mungkin tentang kenyataan.
Trend untuk meletakkan ilmu-ilmu alam sebagai norma dan penelitian empiris sebagai kegiatan pengetahuan yang sahih menjadi semakin radikal dalam sejarah teori pengetahuan­­_serta memuncak pada positivisme Comte_pengetahuan indrawi (khususnya yang terwujud dalam ilmu alam), bukan hanya norma, melainkan justru menjadi satu-satunya norma bagi kegiatan pengetahuan[27]. Dalam positivisme, pendulum epistemologis bergerak ke pihak objek indrawi (bukan spekulatif  sebagaimana tampil dalam abad pertengahan). Positivisme tampil untuk membangun kembali tatanan objektif baru yang bukan di dasarkan pada metafisika, melainkan pada metode ilmu-ilmu alam; positivisme menjadi saintisme. Saintifikasi berbagai bidang hidup mengimplikasikian teknologisasi berbagai bidang hidup dan akhirnya mereduksi manusia pada matra objektifnya.
Gagasan Auguste Comte tentang ilmu-ilmu positif  mencapai puncaknya dalam sosiologi; ilmu ilmiah yang menguasai segenap bidang kehidupan manusia dan diteruskan pada abad ke XX (dikenal abad modern atau disebut zaman Barok oleh Hammersma)_ oleh lingkungan Wina, yang dikenal sebagai positivisme logis, neo-positivisme atau empirisme logis. Pada prinispnya lingkungan wina (salah satu tokohnya Victor Kraft) menolak perbedaan antara ilmu-ilmu alam dengan ilmu sosial; berusaha menyatukan semua ilmu pengetahuan dalam suatu bahasa ilmiah yang universal; menganggap pernyataan yang tidak dapat diverifikasikan secara empiris (seperti etika, estetika, metafisika) sebagai nonsense[28].
Retorika positivisme[29] tentang representasi meliputi satu ketergantungan pada wacana semacam hukum dan aura ilmiah yang didorong secara metodologis. Meskipun, positivisme sejati_mengisahan teori tiga tahap Comte misalnya, kini sebagian besar sosiolog menggantikan argumentasi naratif dengan piroteknik figural, yang mirip dengan ilmu alam dan juga memproduksi representasionalitas metaforis (misalnya, grafik yang merefresentasikan pola fisik dunia luar). Aura ilmiah diproduksi dengan mengubah kata-kata dengan matematika, dimana positivisme logis pada Vienna Circle mengidentifikasikannya sebagai esensi sains[30]. Atau seperti dikatakan Ben Agger bahwa sosiologi berpacu mengejar ilmu fisika dalam pematematikannya, sehingga meningkatkan legitimasi disipliner dan memperkuat pandangan beku terhadap masyarakat yang mencegah kemungkinan perubahan sosial radikal[31].  Hukum Positivisme bersifat membatasi pada dasar hukum-hukum penyebaban dan hukum materialisme sebagai core keilmuan. Karenanya, positivisme telah memacu lahirnya perkembangan ilmu-ilmu positif  (sains).
Kultur positivisme yang bersifat materialistis telah membawa akibat terhadap pengabaian kodrat hidup dan kehidupan manusia. Kultur positivisme menjunjung tinggi ilmu-ilmu fisika alam yang eksperimental (sains) sebagai satu-satunya pengetahuan. Teologi, filsafat, dan tradisi tidak diakui bobot keilmuannya. Agama perlu diperbaharui berdasarkan hukum positivisme untuk sejejahteraan rakyat. Pada aras ini, Comte menegaskan bahwa suatu kultur, dimana dikembangkan hukum-hukum sosial yang positivistis dan penerapan hukum positivisme penting bagi penataan kehidupan masyarakat agar menjamin adanya masyarakat yang berkembang. Di samping positivisme, problem lainnya yang menghiasi zaman modern adalah Evolusionisme, Psikologisme, Sosiologisme, Marxisme, Metodologi, Ideologi, dan Teknologi.
Lalu bagaimana dengan suasana zaman Kontemporer? Ada dua suasana yang menghiasinya, pertama, suasana yang dibawa periode sebelumnya yakni kelanjutan dari pencerahan dan positivisme. Kedua, suasana baru yang ditimbulkan oleh gerakan pemikiran pencerahan dan positivisme[32]. Problem kultural zaman modern di bawah pencerahan dan positivisme lebih bersifat kemanusiaan, mengikuti hukum perkembangan alam dan ilmu pengetahuan (humanis, naturalis, dan intelektualis). Namun juga_mengikuti hukum perkembangan alam anti-intelektualis (humanis, naturalis, dan anti-intelektualis) yang menghiasi zaman kontemporer.
Gerakan positivisme punya pengaruh yang kuat pada era ini; evolusi ilmu menjadi sangat cepat dan makin bercabang. Timbulnya spesialisasi semakin memperbesar pengaruh ideologi dan teknologi keilmuan. Pertumbuhan pengetahuan semakin pesat dan sebagai konsekuensinya adalah tumbuhnya konflik-konflik yang saling memperebutkan hegemoni kebenaran dan kepastian. Suasana pemikiran yang semakin memperkuat pengaruh positivisme_akhirnya memaksa adanya penerapan ilmu tertentu terhadap kebudayaan (psikologisme misalnya mengajarkan bahwa yang membentuk kebudayaan adalah rasa ketakutan). Rasisme menerangkan kebudayaan dan peradaban dipengaruhi oleh ras atau warna kulit suatu bangsa; juga determinisme ekonomi menerangkan bahwa kebudayaan ditentukan oleh ekonomi sebagai faktor tunggal.
Kondisi ini semakin menampakkan bahwa ilmu telah menjadi pegangan pokok (atau bukan ideologi) bagi segala perjuangan kultural ke depan. Ilmu pengetahuan menjadi satu-satunya kekuatan dalam rangka perjuangan pembaharuan kultural, politik, negara, hukum serta kemasyarakatan. Ilmu-ilmu eksperimental (sains) menjadi semakin kuat posisinya di era ini. agama dan filsafat juga akhirnya telah menjadi semakin terlempar dari kedudukannya. Tuhan yang supranatural menjadi tergeser oleh saintisme dan naturalisme_sehingga memunculkan apa yang disebut sebagai sekularisme dan atheisme modern sebagai gejala yang mendunia.
Sebagai sistem berfikir_ilmu pengetahuan menjadi sebab lenyapnya banyak kepercayaan tradisional (agama dan filsafat). Setidaknya ada empat hal baru ilmu pengetahuan sebagai penyebabnya yakni pertama, pengamatan lawan otoritas. Motif  filosof Yunani seperti Thales, Anaximenes dan Herakleitos ketika berbicara arche dari alam semesta dan motif ini merupakan motif  terdalam dari para ilmuan. Kedua, otonomi dunia fisik. Dunia fisik mengikuti hukum fisika_tidak ada pengaruh roh-roh halus dan dengan sendirinya Dewa-Dewi lenyap dengan sendirinya, dan tergantikan dengan hukum-hukum gravitasi dari Galileo, teori kuantum, serta hukum Boyle tentang “tekanan berbanding terbalik dengan volume”. Ketiga, tersingkirnya konsep tujuan. Hukum sebab akibat terhadap peristiwa_yang utama dari ilmu pengetahuan dibanding dengan konsep finalitas, karena itu masyarakat akan lebih percaya terhadap Charles Darwin tentang konsep Adaftasi “the survival of the fittest”, daripada percaya pada tujuan finalitas dari seluruh evolusi kosmik dari Tuhan, misalnya. Keempat, tempat manusia dalam alam. Gambaran yang diberikan agama-agama yang menempatkan bumi dan manusia sebagai pusat dari alam semesta; namun ilmu pengetahuan justru, menjelaskan bahwa manusia tidak banyak artinya dalam alam semesta. Copernicus menyatakan bahwa bumi bukanlah pusat alam semesta. Dalam semesta terdapat ruang hampa yang tidak terkira luasnya, dan dalam ruang hampa itu ada sekitar 300.000 juta bintang. Dengan penggambaran ini_ tidak mudah untuk mempartahankan posisi sentral manusia dalam alam semesta, jika berhadapan dengan kebesaran Bimasakti.
Hanya saja, dari segi praktis, ilmu pengetahuan dapat mengangkat manusia justru karena penguasaan ilmu pengetahuan dan dengannya telah meningkatkan kesadaran akan kekuasaan. Dampak ilmu pengetahuan terhadap cara berfikir manusia dan masyarakat sungguh dahsyat. Rasionalitas ilmu pengetahuan itu_tidak hanya merubah cara pandang tradisional kita, tetapi juga Teologi yang terlalu teosentris. Ilmu pengetahuan membantu proses emansipasi manusia terhadap Dewa – Dewi Tradisional dan Tuhan Allah-Nya Deisme[33]. Ilmu pengetahuan membangun suatu rasionalitas yang berbeda dari rasionalitas kepercayaan-kepercayaan tradisional dan agama itu.
Pada aras ini, memacu tumbuhnya bentuk-bentuk determinisme dan partikularisme yang tidak utuh; terjadi pergeseran dari pemikiran dengan hukum perkembangan yang bersifat mutlak kepada perombakan dan pembaruan dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang sifatnya non-kumulatif[34]. Ilmu pengetahuan berparadigma jamak berganti menjadi berparadigma tunggal yang pusatnya pada manusia. Muncul kesadaran adanya tanggungjawab kultural dalam rangka pengembangan epistemologi dan kesadaran akan diri sebagai pusat dari seluruh perkembangan sejarah. Sehingga muncul kerinduan akan bangkitnya “a new humanism which tends to make man more trully human”.
Manusia pasca perang dunia II menginginkan kebebasan, keleluasaan yang tidak serba deterministik baik oleh agama, teologi, filsafat, ilmu pengetahuan, ideologi maupun teknologi. Manusia semakin menyadari bahwa pengetahuan, kepastian dan kebenaran adalah sebagian saja dari dari situasi kemanusiaan. Kebenaran dan kepastian bukan problem intelektual saja, tetapi problem hidup manusia (kultural) dan problem pilihan, sehingga selalu ada tanggungjawab kultural yang menyatu. Karena itu_pemikiran yang muncul di era kontemporer dengan diwarnai oleh asumsi-asumsi psikologi untuk mengungkap situasi kemanusiaan, seperti Fenomenologi, Eksistensialisme, Personalisme, Antropologi Kefilsafatan, Neo-positivisme, Pragmatisme, Neo-Marxisme, dan Hermeneutika.
Pergolakan kultural dan krisis akan terus menghiasi pengetahuan manusia, tumbuh semakin majemuk dan kompleks, tetapi juga akan tumbuh menjadi saling berhubungan. Manusia akan semakin sadar untuk terus melakukan aktualisasi dirinya di dalam sejarah (menyangkut hakikat diri dan kehidupan manusia) dan alam semesta. Pendekatan Eksistensialisme, semakin menguatkan serta menempatkan manusia dan kemanusiaan sebagai subjek dan orientasi utama dalam perkembangan epistemologi. Harapannya_dengan pengetahuan akan menjadi kekuatan yang tidak merusak dan memecah belah, melainkan memperkaya dan mempersatukan kemanusiaan dan kemasyarakatan.

*********



DAFTAR  PUSTAKA

Alfred North Whitehead,2005, Sains dan Dunia Modern, Bandung: Nuansa
A.F.Chalmers,1982, Apa itu yang dinamakan ilmu?, Jakarta: Hasta Mitra
Ahmad Mustofa,2004, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia; lih.
Aholiab Watlolly,2001, Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius
Ben Agger,2006, Teori Sosial Kritis, Yogyakarta: Kreasi Wacana
Fritjof Capra,2007, The Turning Point sudah ditejemahkan dengan Judul Titik Balik Peradaban, Bandung: Nuansa Cendekia
F. Budi Hardiman,1990, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dengan kepentingan. Yogyakarta: Kanisius
Harry  Hammersma,1990, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia
Harold H.Titus, Marilyn S. Smith, Richard T.Nolan,1979, Living Issues In Philosophy, seventh edition, New York: D. Van Nostrand Company.
Harun Nasution, 2002, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa perbandingan, Jakarta: UI Press.
Louis O.Kattsoff,1992, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana
K. Berten, 1990, Panoraman Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
_______, 1975, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: kanisius
_______, 1983, Filsafat Barat abad XX: Inggris_Jerman, Jakarta: Gramedia
Louis Leahy,1989, Manusia, sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia
Muhammad Hatta, 1990, Alam Fikiran Yunani, Jakarta: UI Press
Musa Asy’ari,1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Lesfi.
Rizal Mustansyir (1996), Sejarah Perkembangan Ilmu, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty bekerjasama dengan YP Fakultas Filsafat UGM.
Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Rumpun Ilmu dan Tempat Ilmu pengetahuan Sosial dan Humaniora Dalam Rumpun itu, Makalah sebagai bahan  perkuliahan Filsafat Ilmu Sosial Program S3 Ilmu Sosial Unair.
Scott Gordon, The History and Philosophy of Social  Science, London and New York: Routledge, 1991
Thomas S. Kuhn,1993, Peran Paradigma dalam  Revolusi Sains, Bandung:  Rosda Karya


[1] Alfred North Whitehead,2005, Sains dan Dunia Modern, Bandung: Nuansa
[2] Harry  Hammersma,1990, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia
[3] Harold H.Titus, Marilyn S. Smith, Richard T.Nolan,1979, Living Issues In Philosophy, seventh edition, New York: D. Van Nostrand Company.
[4] Louis O.Kattsoff,1992, Pengantar Filsafat, Yogyakarta: Tiara Wacana
[5] K. Berten, 1990, Panoraman Filsafat, Yogyakarta: Kanisius
[6] _______, 1975, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: kanisius
[7] Soetandyo Wignjosoebroto, 2008, Rumpun Ilmu dan Tempat Ilmu pengetahuan Sosial dan Humaniora Dalam Rumpun itu, Makalah sebagai bahan  perkuliahan Filsafat Ilmu Sosial Program S3 Ilmu Sosial Unair.
[8] Vesalius memperoleh reaksi keras ketika ia membedah mayat untuk mempelajari anatomi tubuh manusia, yang ternyata berkemiripan dengan anatomi mahluk-mahluk hewani lainnya (lih. Soetandyo Wignjosoebroto, Log.Cit.; lih. Alfred North Whitehead, 2005, Log.Cit.h.11)
[9] Scott Gordon, The History and Philosophy of Social  Science, London and New York: Routledge, 1991
[10] Bahwasanya orang sering tidak sepakat mengenai nilai-nilai dan masalah nilai sesungguhnya adalah masalah pengutamaan, selera (de gustibus non est disputandum), jadi orang tidak perlu mempertentangkannya. Kalaupun dipertentangkan itu sudah mengarah kepada kepentingan (Ralph Barton Perry dalam bukunya “General Theory of Value”).
[11] Disebut perselisihan Positivisme, karena para wakil teori Kritis masyarakat berpendapat bahwa tuntutan agar ilmu-ilmu sosial bekerja bebas dari pelbagai penilaian, pada dasarnya berakar dalam pendekatan positivistik.
[12] Frans Magnis Suseno, Log.Cit. hal.202
[13] Pendapat Copernicus berlawanan dengan pendapat umum yang berasal dari Hipparcus dan Ptolomeus yang menganggap bahwa bumi sebagai pusat alam semesta (geosentrisme).
[14] Rizal Mustansyir (1996), Sejarah Perkembangan Ilmu, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty bekerjasama dengan YP Fakultas Filsafat UGM.
[15] Louis Leahy,1989, Manusia, sebuah Misteri, Jakarta: Gramedia
[16] Muhammad Hatta, 1990, Alam Fikiran Yunani, Jakarta: UI Press
[17] Rasionalisme lebih dikenal sebagai filsafat kontinental karena tokoh-tokoh utamanya berasal dari Eropa Daratan seperti Rene Descartes, W.G.Leibniz dan Barukh Spinoza. Sementara Empirisme lebih dikenal sebagai filsafat Inggris_ karena tokoh-tokohnya berasal dari Inggris, seperti John Locke, David Hume dan Berkeley.
[18] Harun Nasution, 2002, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah analisa perbandingan, Jakarta: UI Press.
[19] Ahmad Mustofa,2004, Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia; lih. Musa Asy’ari,1992, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: Lesfi.
[20] Bagi kaum rasionalis pancaindra bisa menipu, sebagaimana dicontohkan Rene Descartes sendiri tentang objek tata surya dan botol berisi air dan sebuah tongkat yang dimasukan ke dalam air akan kelihatan bengkok_tidak lurus sebagaimana aslinya. Jadi pancaindra tidak bisa diandalkan, yang dapat dapat ditangkap hanya dunia gejala, yang semu, yang tidak nyata dan tidak sempurna, demikian kata Plato.
[21] Dikatakan apriori karena manusia sudah memiliki pengetahuan itu sebelumnya dan mendahului pengalaman. Contohnya, “Lilin pasti mencair kalau dimasukan ke dalam air yang mendidih”. Proposisi ini mesti benar secara apriori tanpa perlu dicek dengan kenyataan, karena prinsip umumnya bahwa “parafin selalu mencair pada suhu 60’ C”. Karena unsur utama dari lilin adalah parafin, maka dapat diambik kesimpulan bahwa lilin pasti mencair dalam air yang sedang mendidih sebab air mendidih pada suhu 100’C.
[22] Harold H.Titus, Marilyn S. Smith, Richard T.Nolan,1979, Log.Cit.
[23] Pengalaman, percobaan, pengamatan, penelitian langsung di lapangan untuk mengumpulkan fakta dan data, itu merupakan titik tolak dari pengalaman manusia_karena pada dasarnya manusia tahu tentang segala sesuatu hanya berdasarkan dan titik tolak pengalaman indrawi.
[24] Locke mengadopsi teori Hobbes dengan metaforanya yang terkenal_membandingkan akal manusia yang baru lahir dengan sebuah tabula rasa, sebuah meja kecil yang kosong sama sekali yang akan ditulisi dengan pengetahuan sesudah pengetahuan diperoleh melalui indra. Juga gambaran itu_meninggalkan pengaruh aliran behaviorisme dan psikoanalisis.
[25] Apriori secara harfiah berarti dari yang lebih dulu atau sebelum, sedang aposteriori berarti dari apa yang sesudahnya. Menurut Aristoteles,  A lebih dahulu dari B, jika dan hanya jika B tidak bisa ada tanpa A. Dengan pembedaan itu, berarti A lebih dahulu dari B jika dan hanya jika kita tidak bisa mengetahui B jika kita tidak mengetahui A.
[26] yaitu cara kerja ilmu-ilmu empiris yang mendasarkan diri pada pengamatan dan eksperimen untuk sampai pada pengetahuan yang umum tak terbantahkan, karenanya pengetahuan yang ditekankan kaum empiris adalah pengetahuan aposteriori (A.F.Chalmers,1982, Apa itu yang dinamakan ilmu?, Jakarta: Hasta Mitra).h.16.
[27] F. Budi Hardiman,1990, Kritik Ideologi: Pertautan Pengetahuan dengan kepentingan. Yogyakarta: Kanisius.h.127. Dalam kata positif _bukan hanya termuat prinsip normatif  pengetahuan kita hendaknya  tidak melampaui fakta objektif, melainkan juga tampak penghancuran subjek yang berfikir keras pengetahuan_kita peroleh dengan menyalin fakta objektif.  Karenanya, dalam positivisme, pendulum epistemologi bergerak ke ke pihak objek lagi (maksudnya objek  indrawi).
[28] K.Bertens, 1983, Filsafat Barat abad XX: Inggris_Jerman, Jakarta: Gramedia, hlm 33.
[29] Istilah positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon dan baru kemudian disebarkan oleh Aguste Comte. Inti ajarannya adalah menolak segala pemikiran kefilsafatan dan teologi. Di Perancis Simon dan Comte di jadikan referensi, diJerman referansi aliran Positivisme adalah Von Feuerbach. Timbulnya positivisme merupakan kelanjutan dari perkembangan zaman modern tengah. Juga positivisme dipandang sebagai kelanjutan dari empirisme (sebagaimana rasionalisme dipandang kelanjutan dari idealisme).Lih. Aholiab Watlolly,2001, Tanggung Jawab Pengetahuan, Yogyakarta: Kanisius; Fritjof Capra,2007, The Turning Point sudah ditejemahkan dengan Judul Titik Balik Peradaban, Bandung: Nuansa Cendekia.
[30] Scott Gordon, The History and Philosophy of Social  Science, London and New York: Routledge, 1991
[31] Ben Agger,2006, Teori Sosial Kritis, Yogyakarta: Kreasi Wacana, hlm 374
[32] Aholiab Watloly,2001, Log.Cit.hlm.88
[33] Suatu pandangan yang menegaskan bahwa hanya Tuhan yang memecahkan seluruh problem kehidupan manusia, dan manusia hanya menunggu kapan Tuhan bisa menyelesaikan problem kemanusiaan.lih. Muhamad Rasyidi, 1987, Filsafat Agama, Jakarta: Panji Masyarakat.
[34] Thomas S. Kuhn,1993, Peran Paradigma dalam  Revolusi Sains, Bandung:  Rosda Karya