This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 18 Januari 2012

SAKIT GIGI


Penyakit yang paling menyebalkan kata sebagian orang adalah sakit gigi. Benar tidaknya pernyataan itu tergantung dari orang yang pernah mengalami sakit gigi. Bagi mereka yang belum pernah sakit gigi mungkin pernyataan itu dianggap berlebihan. Agar tahu bagaimana rasanya orang sakit gigi sebaiknya di rasakan sendiri. Kalau tidak mau merasakan derita orang sakit gigi sebaiknya percaya saja bahwa sakit gigi sungguh menyakitkan.
Ketika orang menderita sakit gigi, semua jenis makanan terasa tidak enak. Hanya erangan dan ngedumel yang terus dinyanyikan karena hanya itu yang bisa dilakukan untuk mengurangi rasa nyeri. Rasa nyeri akibat sakit gigi dapat menjalar ke seluruh tubuh dan bahkan menyumpahi orang yang lalu lalang di hadapannya sebagai manusia yang tidak mau berempati atas sakit yang dideritanya. Bahkan ada yang sampai melempari ayam kesayangannya gara-gara terus berkokok. Sungguh sakit gigi membuat badan kita panas dingin dan membuat perilaku penderitanya sedikit beda, seperti bernyanyi walau sebenarnya tidak pandai bernyanyi.
Adalah Mursan salah seorang staff  di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Darussalam, Tanak Beak, Narmada, Lombok Barat, NTB ketika itu sedang sakit gigi. Ia menceritakan bahwa ketika siang, sakit giginya tidak apa-apa. Tetapi di dalam ketenangan malam, saat orang lain sudah tertidur lelap dibuai mimpi nan indah, ketika para dokter gigi sudah tidur dan toko obat tutup, ia mulai sakit.
Ketika orang sakit gigi, seluruh tubuh ikut menderita. Lingkungan sekitar kita ikut-ikutan menjadi tidak benar. Bagaimanapun merdu dan lembutnya lagu dengan judul “rambut” yang dinyanyikan biduwanita Evi Tamala menjadi tidak enak didengarkan atau lagu “wulan merindu”  yang dilantunkan Cici Paramida membikin pekak telinga si penderita sakit gigi dan cendrung menyumpahinya. Bahkan bunyi cecak yang karena gembiranya menangkap serangga juga ikut disumpahi dan dilemparinya. Sakit gigi sungguh menyebalkan.
Saya menganjurkan si Mursan untuk pergi periksa ke dokter gigi. Apakah di cabut atau diobati sangat tergantung dari hasil pemeriksaan dokter. Pagi harinya dia tidak sabaran (karena malam harinya tidak bisa tidur sampai fajar menjelang) dan tanpa pikir panjang dia pergi ke dokter gigi dan menyuruhnya untuk mencabut giginya yang sakit itu karena  membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak dan karena sakitnya mengubah keheningan malamnya menjadi erangan dan amukan. Si cecak yang tidak tahu menahu tentang sakitnya si empunya rumah menjadi sasaran kemarahan dan lemparan.
Pak dokter gigi setelah memeriksa si Mursan hanya tersenyum dan berkata, “adalah bodoh mencabut gigi yang dapat diobati”. Lalu si dokter mulai mengikir sisi-sisi gigi pasien dan membersihkan celah-celahnya dengan menggunakan sarana yang ada untuk memulihkannya dan membebaskannya dari kerusakan. Setelah selesai mengikir, si dokter menambalnya dan berkata, “gigimu yang rusak sekarang lebih kuat dan lebih mantap daripada gigimu yang lain”. Si Mursan sangat percaya pada dokter dan di bayar lalu pulang.
Jeda dua minggu, gigi si Mursan kembali sakit dan siksaannya mengubah nyanyian indah menjadi ratapan dan derita. Namun kali ini, si Mursan tidak datang ke dokter yang memeriksa dan telah menambalkan giginya. Dia pergi ke dokter gigi lain dan meminta dokter untuk segera mencabut giginya yang sakit. Cabutlah gigi yang terkutuk ini, kata Mursan yang tidak sabaran. Setelah memeriksa gigi dengan sangat teliti, “untung engkau minta gigi rusak ini dicabut” kata Dokter.
Secara medis sakit gigi dapat disebabkan oleh tidak istiqomahnya manusia menggosok giginya setiap hari. Menggosok gigi sebaiknya dilakukan tiga kali dalam sehari, sehabis makan, ketika akan tidur dan bangun tidur. Waktu-waktu gosok gigi yang dianjurkan secara medis tersebut dapat menghilangkan sisa-sisa makanan yang tertinggal di sela-sela gigi kita dan dapat menghilangkan bau mulut akibat mengkonsumsi berbagai jenis makanan.
Islam sebagai doktrin dan ajaran memberikan ajaran kepada pemeluknya (Muslim) untuk menjaga dan memelihara lidah. Perlu disadari bahwa lidah memiliki dampak negatif yang sangat besar bagi kehidupan manusia, karena itu Rasulullah Saw. Mengingatkan kepada ummatnya melalui sabdanya “kendalikanlah (peliharalah) lidahmu, tetaplah dalam rumahmu dan tangisilah dosa-dosamu” (HR Turmudzi).
Ada beberapa sebab mengapa orang-orang cendrung tidak mampu mengendalikan lidahnya. Pertama. Kurang menyadari bahwa lidah itu merupakan amanat Allah yang harus dijaga dan dipelihara dan dimanfaatkan untuk hal yang positif. Lidah menurut ajaran Islam akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat kelak. “...sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya akan dimintai pertanggungjawaban kelah di hadapan Allah Swt” (Qs. Al-Isra : 36). Kedua. Kurang menyadari bahwa diri manusia selalu berada dalam pengawasan Allah Swt. Segala gerak, ucapan, detakan hati manusia selalu diawasi dan diketahui Allah Swt. “...Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi” (Al-Fajr : 14). Ketiga. Kurang menyadari dampak negatif yang ditimbulkan oleh oleh ucapan lidahnya. Dampak negatif ucapan yang buruk jika disadarinya pasti ia akan selalu memelihara lidahnya dan berfikir sebelum berkata. Mengendalikan lidah seharusnya tetap dipelihara agar dapat berkata baik dan bermanfaat bagi kemaslahatan hidup manusia. Patut direnungi sabda Rasulullah Saw. “Sesungguhnya seorang hamba bisa tergelincir ke dalam neraka yang luasnya lebih luas dari jarak antara Timur dan Barat disebabkan mengucapkan sesuatu tanpa dipikirkan terlebih dahulu akibat yang akan ditimbulkan” (HR Muttafaqun Alaih).  
Di dalam mulut masyarakat ada banyak gigi yang rusak sampai ke tulang rahang, kata Kahlil Gibran dalam novelnya yang berjudul Renungan dan Meditasi. Tetapi masyarakat tidak berupaya untuk mencabutnya dan menyingkirkan derita yang diakibatkannya. Ia mencukupkan diri dengan tambalan dari bahan terbaik. Banyak dokter gigi yang merawat gigi masyarakat yang sakit dengan bahan terbaik. Itulah rayuan reforman yang membuat masyarakat menjadi tunduk dengan tetap membungkus kepedihan, penyakit dan maut menjadi nasib mereka.
Di dalam mulut bangsa Indonesia ada banyak gigi busuk, hitam dan kotor yang merongrong serta bau. Para dokter telah berupaya mengobatinya dengan tambalan dari bahan terbaik namun tidak mau mencabutnya. Dan karenanya penyakit tetap saja ada. Sebuah bangsa dengan giginya yang sakit pasti akan berimbas ke perut. Banyak bangsa yang menderita sakit pencernaan seperti itu.
Dewasa ini, di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sedang mengidap sakit gigi sekaligus pencernaan. Kedua penyakit tersebut dapat mempengaruhi rasa sakit ke seluruh sendi badan wadag kita. Bahkan mungkin dapat mempengaruhi mental spiritual. Memang kita lagi mengidap kedua penyakit itu. Buktinya, kita sangat mudah terpancing karena adanya isu-isu yang belum jelas sumbernya sehingga mudah terprovokasi oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab.
Lihat saja sekolah-sekolah, kalau ingin mengetahui gigi-gigi Indonesia yang sakit, dimana di tempat itulah putra-putri kita di didik, digembleng dan diajari sikap mental yang baik untuk menjadi manusia berguna di hari esok. Namun dikotori virus-virus yang mematikan, mereka dibikin tidak berdaya dan ikut-ikutan atau mungkin idiot. Bisakah berharap terlalu banyak dari output yang instan dan kuantitas menjadi skala prioritas pembangunannya. Tentu tidak.
Tentu kita semua harus segera sadar diri kalau tidak mau disadarkan atau dipaksa sadar. Sudah saatnya pemerintah mulai mengedepankan kualitas pendidikan. Sekolah-sekolah terutama sekolah-sekolah yang dibiayai negara, baik dasar, menengah dan atas untuk juga menjadikan kualitas sebagai acuan utamanya. Sekolah-sekolah negeri hendaknya menjadi pelopor peningkatan kualitas tidak malah terjebak ke kuantitas dengan perolehan Bantuan Operasioal Sekolah (BOS) sebagai target utamanya. Pihak Pemerintah Daerah juga harus bertanggungjawab dalam peningkatan kualitas ini jika tidak mau dikatagorikan sebagai pengidap penyakit sakit gigi.
Pemegang kekuasaan di Indonesia eksekutif, Legisltaif dan Yudikatif  lagi megidap penyakit gigi dan pencernaan yang akut dan termasuk dalam katagori studium tiga, sehingga kita tidak bisa menaruh harapan terlalu besar. Ketiga lembaga pemegang kekuasaan itu menurut Karni Ilyas Pemred TV One terjebak ke dalam kubangan korupsi. Yang mengawasi dan diawasi sama-sama berada dalam kubangan korupsi. Sungguh butuh strategi dan pemikiran yang luar biasa untuk dapat keluar dari kubangan itu. Salah satu strategi luar biasa itu menurut Burhanudin Muhtadi (pengamat politik dan peneliti dari LSI Jakarta) dengan menyudahi politik transaksional di republik Indonesia. Politik transaksional itu adalah sumber segala petaka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kata Muhtadi. Menyudahi politik transaksional cara luar biasa dan tidak ada cara lain katanya.
Kelihatannya sakit gigi yang diderita bangsa ini sudah mengalami komplikasi, dimana semua organ kenegaraan telah terkena dampaknya dan rakyat yang tidak tahu menahu tentang sakit gigipun mengalami sakit yang amat sangat. Kita sebagai rakyat hanya bisa berteriak, menuntut keadilan dan atau diam membisu untuk selamanya. Harus diketahui bahwa berteriak, menuntut, dan membisu bukan pilihan tetapi lebih merupakan proses yang linier yang terpaksa dijalani sebagai sebuah akibat dari penyakit gigi yang komplikasi.
Sakit gigi harus segera dicarikan dokter yang excelen gabungan dari dokter spesialis agar tidak berlama-lama merasakan nyeri, derita dan tidak menggejala ke seluruh sendi kehidupan bernegara. Kita sudah terlalu lelah menanggung derita akibat dari perilaku orang yang menderita sakit gigi. Dokter yang pemberani, bersih, tidak korup, pekerja dan yang terpenting tidak termos (terus omong kosong). Hanya dokter yang excelen yang dapat diandalkan untuk dapat menghilangkan derita sakit gigi, apakah dengan cara ditambal giginya yang sakit atau dicabut sekalian supaya rasa nyerinya cepat hilang. Kita serahkan saja kepada dokter untuk bekerja, tidak usah dicampuri apalagi ditekan dan diintimidasi. Biarkan bekerja sesuai keahliannya dan kita percaya sakit gigi akan segera berlalu. Wallahul Musta’an ila Darussalam.
*********
  

Selasa, 17 Januari 2012

MATA AIR DAN AIR MATA PUN MENGERING


Hari Selasa (17/1/2012) saya kedatangan tamu dan ingin diantarkan ke daerah wisata alam Suranadi, kecamatan Narmada, kabupaten Lombok Barat, NTB. Di Suranadi saya sengaja memilih tempat duduk yang paling nyaman yakni di pinggir sungai kecil sambil memakan sate bulayak (makanan khas daerah Narmada). Kami membincangkan tentang permasalahan dan kasus-kasus aktual yang menimpa bangsa ini (kasus Mesuji, kasus Bima berdarah, pembakaran pesantren Syi’ah di Sampang Madura, kasus Nunun Nurbaiti dan tidak lupa kasus Nazarudin).
Waktu berjalan terasa begitu cepat dan tidak terasa kami sudah berbincang selama satu jam lebih. Perbincangan yang kami lakukan tidak memberikan solusi apapun selain rasa keprihatinan karena memang diantara kami tidak ada satupun pejabat negara yang mendengarkan perbincangan kami. Dan kita hanya bisa berharap siapapun yang terlibat dalam kasus-kasus tersebut di atas harus diberikan sanksi seadil-adilnya karena perbuatan menghilangkan nyawa orang lain termasuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Perbincangan kami tiba-tiba terhenti sejenak karena melihat seekor kera yang datang mendekat seakan minta dikasihani (itu terlihat dari cara kera itu menatap serta isyarat kedua kaki depannya). Si kera terlihat lucu dengan tingkah seperti itu dan tidak mau pergi sampai akhirnya kami menyodorkan sebuah bulayak lalu si kera nyelonong pergi dengan melompat tanpa di paksa. Si kera terlihat begitu sangat gembira menerima sebuah bulayak yang kami berikan, lalu berlari ke tepi sungai dan duduk di atas batu. Kami menatap perilaku sang kera dan di hati kecilku bertanya mengapa si kera turun ke pemukiman manusia? Apakah memang habitatnya sudah tidak mampu lagi mensuplai kebutuhannya sehingga harus berbaur dan meminta belas kasihan manusia? Atau manusia telah sengaja merusak habitatnya? Entahlah.
Saya pun melihat air yang mengalir di sungai terlihat sangat sedikit. Seharusnya di musim penghujan seperti ini mestinya air sungai dipinggiran hutan itu mestinya besar. Saya teringat ketika masa-masa bersekolah di bangku Sekolah Menengah Pertama dahulu. Kami dan kawan-kawan sering bermain di tepian hutan Suranadi. Waktu itu kami melihat air mengalir di sungai-sungai tepian hutan dengan bebasnya hatta di musim kemarau. Pepohonan besar kokoh berdiri yang darinya air keluar mengaliri sungai di tepiannya. Sungguh suatu berkah dari Tuhan sang Pencipta Alam Semesta ini.
Segala sesuatu berasal dari air, kata Thales, filsuf Yunani kuno sebelum era Plato dan Aristoteles. Air dan mata air bagi manusia merupakan hidup dan harapan untuk terus hidup. Tanpa air ternak akan mati. Tanpa air, sayur-sayuran dan segala macam tanaman akan mati. Tanpa mata air, para petani akan kehilangan harapan akan hidup karena setetes air mengajak tetesan-tetesan air yang lain menjadi mata air. Dalam kebersamaan, air yang membual dari mata air-mata air telah menjadi sumber harapan akan hidup bagi tanaman, ternak dan para petani (Sunu Hardiyanta dalam Basis, Nomor 11-12 Tahun ke 58 - 2009).
Daerah kawasan hutan Suranadi dan Sesaot adalah sumber mata air untuk mensuplai kebutuhan para petani di kabupaten Lombok Barat dan kota Mataram. Kawasan hutan Suranandi dan Sesaot termasuk kawasan hutan lindung yang harus dijaga kelestariannya. Tetapi apa lacur kawasan hutan ini sudah mulai kehilangan daya serapnya untuk mensuplai kebutuhan manusia. Sungai-sungai di beberapa tepian hutan Sesaot sudah mulai mengering di musim kemarau karena pepohonan sudah banyak yang menghilang dari hutan. Akibat dari perilaku manusia yang sudah tidak mau lagi bersahabat dengan alam.
Kawasan hutan Sesaot sudah terlihat gundul, pepohonan besar tidak tanpak lagi, yang ada hanya pohon-pohon pisang dan pepohonan kecil yang hanya memiliki sedikit daya untuk menyimpan serapan air hujan. Para penghuni hutan lindung Sesaot ini sudah mulai resah melihat sungai-sungai di tepian hutan yang mengering (termasuk si kera yang sudah mulai kehilangan habitatnya). Para petanipun sudah mulai merasakan kesulitan air untuk mengairi sawah ladangnya. Sementara mereka yang mempunyai modal memanfaatkan sisa-sisa air mata air untuk mencari keuntungan.
Ya, debit air dari mata air kawasan hutan Sesaot semakin mengecil. Kira-kira 10 sampai 20 tahun mendatang sangat mungkin kita akan kesulitan air, terutama bagi para petani. Saat ini para petani di kecamatan Narmada dalam satu tahunnya masih dapat menggarap sawahnya dua kali. Namun memasuki penggarapan triwulan kedua setiap tahunnya, debit air sungai semakin kecil sehingga para petani seringkali di waktu malam terpaksa harus berjaga dan melek sampai pagi demi mendapatkan air untuk mengairi sawahnya dan seringkali para petani bersitegang dengan petani lainnya untuk memperebutkan air. Sungguh air menjadi sumber kehidupan bagi para petani kita.
Di aras ini, pekasih punya peran yang sangat penting dan krusial. Pekasih adalah seseorang yang mempunyai tugas untuk mengatur pembagian air secara merata dan adil. Pekasih merupakan aparat desa yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala desa atas nama bupati. Tugas pekasih cukup berat dan mulia karena sebagai pengawal dan penjaga sumber hidup petani. Walaupun tugas pekasih sangat vital tetapi tidak diimbangi dengan penghargaan yang diperolehnya terutama dari pemerintah. Sementara dari masyarakat (petani) pun tidak ada, baik itu berupa zakat ataupun insentif. Menurut hemat saya, pekasih berhak menerima zakat khususnya dari para petani.
Saat saya menulis tulisan ini, fakta di lapangan menunjukan bahwa para petani kita sangat membutuhkan air karena berada pada musim tanam. Sementara debit air dibeberapa saluran irigasi tampak sangat limit. Debit air di sungai babak Gebong juga terlihat sangat kecil. Sungai babak Gebong merupakan batas alam antara desa Bagu kabupaten Lombok Tengah dengan desa Tanak Beak, kabupaten Lombok Barat. Debit air sungai babak ini memang sangat kecil, maka petugas pengairan (pekasih) mengatur dan memberikan jadwal lima hari dalam satu minggunya kepada para petani sesuai dengan wilayah subaknya. Perlu diketahui bahwa sumber air sungai babak Gebong ini adalah dari kawasan hutan lindung Sesaot. Jika air sungai ini mengering berarti ancaman bagi kehidupan manusia. Ya, segala sesuatu berasal dari air.
Di pertengahan tahun (antara bulan Juli sampai Oktober) dalam setiap tahunnya, kekurangan air bersih juga sangat dirasakan oleh masyarakat desa Bagu dan sekitarnya. Sumber-sumber mata air, seperti sumur, lingkok, dan pancuran di wilayah itu mengering, sementara air bersih yang dikelola PDAM ikut-ikutan tidak mengalir. Ya, karena sumber mata airnya kering. Di aras ini, air menjadi sangat bernilai dan tanpa air hidup menjadi tidak bermakna.
Kita belum terlambat untuk kembali berbaikan dengan alam. Kita segera membangun kesadaran baru mengenai makna dan nilai air dan mata air bagi kehidupan manusia. Khusus bagi para petani harus berani menegakan kembali martabat alam, nilai pembangunan dan kemuliaan manusia secara kreatif dan mendalam. Faktisitas menunjukan bahwa manusia tidak pernah lepas dari keinginan dan sahwat memajukan pembangunan di satu sisi dan mempromosikan martabat alam di sisi yang lain. Manusia sering kali mendua di antara kepentingan pembangunan dan pelestarian alam. Walaupun secara bermazhab menganut keduanya.
Jalan terbaik yang harus dilakukan di samping segera membangun kesadaran baru di atas, rujuk kembali dengan alam, hentikan penebangan pohon-pohon di sekitar hutan lindung secara serampangan karena hutan berfungsi sebagai daerah penangkap air hujan atau sumber mata air. Hutan yang sudah gundul dengan kesadaran baru dari masyarakat agar menanam pohon secara swadaya demi masa depan hidup manusia. Tanah-tanah kosong sebaiknya di tanami pohon, baik di halaman rumah maupun di pematang-pematang sawah. Dengan menenam pohon berarti kita peduli dengan keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Ya, kesadaran baru harus segera terbangun, jika tidak, tentu malapetaka akan datang kapan saja tanpa diundang. Gunung-gunung banyak yang gundul, hutan-hutan lindung sudah banyak kehilangan pasak buminya (baca pepohonan) dan daerah resapan air kini semakin mengecil, akibatnya sungai-sungai banyak yang mengering di musim kemarau dan pada musim penghujan banjir. Pada aras ini, air tidak banyak memberi manfaat bagi manusia malah mendatangkan mudharat atau malapetaka.
Di musim penghujan seperti sekarang ini, kita dituntut untuk ekstra hati-hati, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah pinggiran bantar sungai. Air dapat datang sesukanya dan siap meluluh lantahkan apapun yang menghadangnya. Ketika air sungai Bengawan Solo meluap, puluhan ribuan rumah dapat terendam dan penghuninya sudah pasti pergi mengungsi untuk cari selamat. Begitu juga di daerah-daerah di sekitar Jakarta yang setiap tahunnya langganan baniir. Apakah itu pertanda sedang alam marah, tetapi marah kepada siapa? Ya, marah kepada manusia yang tidak bisa menahan nafsunya untuk tidak merusak alam.
Diakui atau tidak mengeringnya sumber mata air adalah andil dari manusia sendiri. Tuhan sebagai pencipta alam,  jauh-jauh waktu telah mengingatkan kita untuk tidak merusak alam. Manusia punya andil terbesar sebagai penyebab kerusakan alam ini dan Tuhan telah menyindirnya melalui firman-Nya di dalam Alqur’an...bahwa “ kerusakan di daratan dan lautan adalah kreasi manusia”. Jika kita tidak segera sadar dan mengambil tindakan nyata dengan menanam pepohonan bukan hanya mata air yang mengering tetapi air mata kitapun ikut mengering. Adalah tugas kita semua untuk membangun kesadaran baru itu untuk kembali menggauli dan menjaga harmoni bersama alam,  jika tidak, maka air mata kitapun pasti kering. Wallahul Musta’an Ila Darussalam.
*********

Senin, 02 Januari 2012

SELAMAT DATANG TAHUN 2012


Mengakhiri Tahun 2011 menuju Tahun 2012  saya membayangkan keindahan hidup berbangsa dan bernegara tanpa kekerasan di negeri sejuta impian yang bernama Indonesia, khusus di pulau Lombok yang dikenal sebagai pulau seribu masjid. Bayang-bayang kuasa tanpa kekerasan semakin jelas di kepala saya ketika detik-detik terakhir menjelang pergantian tahun dan jam terus berputar mendekati pukul 24.00 Wita. Ternyata bayang-bayang itu laksana fatamorgana di padang pasir pemberi harapan palsu bagi sang musafir. Akhir 2011 meninggalkan kondisi buram di Nusa Tenggara Barat dan daerah Lambu, Sape, kabupaten Bima.
Memasuki Tahun 2012, saya mengikuti acara refleksi bersama semua pejabat dan guru di lingkungan SMK Plus Darussalam Tanak Beak, Narmada, Lombok Barat, NTB. SMK Plus ini berada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Darussalam Tanak Beak, Narmada, kabupaten Lombok Barat, NTB. Acara refleksi diadakan sangat sederhana dan selesai sekitar pukul 22.30 wita lalu kami bubar secara teratur dan kemudian hanya berdiam diri di rumah menonton Televisi menyaksikan detik-detik pergantian Tahun menuju Tahun 2012 yang penuh harapan dan do’a menuju kehidupan yang lebih sejahtera dan bermartabat.
Refleksi malam itu dibicarakan tentang tema-tema sekitar kekerasan yang bertumbuh di sekitar kita, baik di dunia pendidikan, ekonomi, politik, budaya dan agama. Kekerasan di dunia ini seakan terus berlanjut dan mencari bentuk dalam setiap sendi kehidupan ini. Anak-anak sudah berani baku hantam dengan orang tuanya sendiri, siswa di beberapa sekolah berani duel dengan gurunya, pemimpin semakin tidak dihormati oleh rakyatnya, tawuran antar siswa yang berakhir dengan korban jiwa menjadi sesuatu yang biasa terjadi dan anarkisme yang dilakukan mahasiswa. kasus Mesuji Lampung, Lambu, Sape kabupaten Bima dan  pembakaran Pesantren Syi’ah di Madura. Kesemuanya merupakan muara dari tindakan kekerasan.
Ide tentang prinsip tanpa kekerasan sangat mungkin diterapkan di daerah Nusa Tenggara Barat yang  dikenal dengan daerah Bumi Gora. Sebagai jaminannya adalah seorang gubernur dari Tokoh Agama yang berpredikat Tuan Guru (Kiai orang Jawa menyebutnya dan Ajengan di daerah Sunda) dengan didukung oleh masyarakatnya yang sangat religius. Bila ide tanpa kekerasan ini dapat terwujud di daerah Nusa Tenggara Barat jelas itu menjadi sebuah prestasi dan sukses besar.
Ide tentang prinsip tanpa kekerasan ini hanya dikenal oleh sedikit orang dan sulit diterapkan kata Maurice Friedman, tetapi tidak bagi Mahatma Gandhi. Pemimpin India ini telah membuktikan melalui satyagraha melakukan kampanye prinsip tanpa kekerasan dan pembebasan di India. Terinspirasi konsep satyagraha Gandhi di banyak negara muncul gerakan yang menuntut hak-hak warga negara yang mulai sebagai suatu gerakan tanpa kekerasan. Banyak orang telah mengambil sikap tanpa kekerasan sebagai suatu teknik dalam perlawanan politik dan ekonomi sesuai dengan semangat yang termuat dalam pernyataan Filosof kritis Herbert Marcuse, “sikap tanpa kekerasan bukanlah suatu kebajikan, tetapi keharusan”.
Saat ini kita disibukkan oleh kekuasaan dengan cara kekerasan yang tumbuh dan membudaya di sekitar kehidupan kita dalam bentuk-bentuk yang lebih buas, biadab, tidak berperikemanusiaan dan melanggar Hak Asasi Manusia. Sementara di sisi lain, mereka yang sadar akan keharusan untk perubahan sosial makin lama makin sedikit menaruh perhatian pada cara tanpa kekerasan sebagai unsur penopang perubahan dan malah cendrung pada kekerasan dinamis sebagai tanggapan atas kekerasan status quo yang beku dan statis. Oleh karena itu, pemahaman kita mengenai kekuasaan tanpa kekerasan harus diperdalam dan diperkuat melalui suatu pemahaman baru mengenai kekuasaan yang menggunakan kekerasan.
Adalah ironis, ketika kita hendak memasuki Tahun baru 2012, tahun yang penuh harapan untuk perbaikan nasib menuju kesejahteraan yang lebih beradab dan berkeadilan, malah kita disuguhi pemandangan yang mengerikan yakni tindakan refressif  aparat kepolisian terhadap rakyat Lambu, kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat yang memakan 5 (lima) korban jiwa dan ratusan orang luka-luka. Kasus Sape Bima belum tertangani muncul kasus pembakaran Pondok Pesantren Aliran Syi’ah di Sampang Madura dan menurut pemberitaan media, hal itu disebabkan karena perselisihan faham diantara pimpinan pesantren.
Kasus Lambu, Sape Bima menjadi raport merah kepemimpinan gubernur Tgh. Muhammad  Zaenul Majdi umumnya dan khususnya Bupati Bima di akhir tahun 2011. Kasus Lambu kabupaten Bima sudah menjadi issu nasional dan ditengarai telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena memang telah memakan korban jiwa manusia. Ide kuasa tanpa kekerasan atau satyagraha ala Gandhi, seolah sia-sia saja untuk dihayalkan apalagi diterapkan di Gumi Gora ini. Dari sudut pandang politik jelas kejadian Sape itu mengindikasikan wajah buram politik Nusa Tenggara Barat memasuki Tahun 2012. Lalu masalahnya masihkah kita berharap di Tahun baru kehidupan kuasa tanpa kekerasan dapat terwujud di provinsi Seribu Masjid ini?
Tentu harus tetap optimis bukan. Kasus Bima, Mesuji (Lampung) dan kasus Sampang Madura sebagai pembelajaran yang kesekian kalinya agar kita lebih dewasa dan tetap memiliki cinta (sebenarnya keadaan alamiah manusia). Bagi Jean Jacques Rousseau membayangkan manusia dalam keadaan alamiahnya sebagai ciptaan yang baik, sempurna dan memiliki cinta. Hanya rantai peradabanlah yang telah mengubah manusia menjadi binatang yang memiliki sifat menyerang seperti kasus-kasus yang terjadi saat ini.
Protes, aksi dan demontrasi yang dilakukan rakyat jangan dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan musuh. Aksi-aksi yang dilakukan adalah murni bentuk kontrol yang dilakukan rakyat karena rakyat menganggap ada yang salah dalam kebijakan yang dilakukan pemerintah. Masyaraat Bima butuh penjelasan, sosialisasi dan partisipasi dalam soal pertambangan di daerahnya. Mereka khawatir akan dampak lingkungan pasca eksploitasi nantinya. Apa itu salah? Tentu tidak, tetapi mengapa mereka harus dihadapkan dengan pihak keamanan (akibatnya lima jiwa manusia melayang).
Ya, itulah kuasa yang tidak bisa lepas dari kekerasaan. Kekerasan seolah menjadi satu kesatuan dengan kekuasaan yang sulit dipisahkan. Kekerasan menjadi alat yang legal untuk mengamankan kebijakan walau harus mengorbankan rakyatnya sendiri. Sejarah kapitalisme dan sosialisme telah mencatatnya dengan sangat apik, dimana kapitalis maupun komunis dapat menunutut pengakuan yang sama dengan cara kekerasan.
Kuasa dengan kekerasan tidak perlu terjadi lagi. Satyagraha harus diberikan space dalam kuasa yang cendrung keras. Aksi yang dilakukan masyarakat Bima menolak tambang hanya sebuah akibat dari sistem kuasa yang tertutup dan tidak transparan. Ada sesuatu yang terlupakan oleh pemerintah sebelum ijin pertambangan itu dikeluarkan yakni analisis sosial terhadap kesiapan struktur sosial dan budaya masyarakat di lingkar tambang. Akibatya masyarakat di lingkar tambang seolah shock dengan kedatangan peralatan tambang canggih yang lalu lalang di daerahnya. Belum lagi persoalan batas-batas wilayah pertambangan yang diklaim sepihak dan bahkan termasuk tanah ulayat serta hak milik rakyat, urai Mesir Suryadi dalam acara Mataram dialog forum di TV9 (1/1/2012).
Membangun struktur sosial yang egaliter di lingkar tambang adalah kewajiban pemerintah dan korporasi. Struktur sosial yang egaliter itu menjadi penting karena di dalamnya akan terjadi proses perubahan sosial dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa proses industrial suatu masyarakat di lingkar tambang benar-benar akan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat dan mampu melakukan transformasi terhadap masyarakat itu, apabila terjadi dalam suatu masyarakat yang memiliki struktur sosial yang mampu mendukung proses tersebut.
Ketika pulau Jawa jatuh ke tangan penguasa kolonial Belanda, struktur sosial yang feodalisitis tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda, bahkan dipergunakan sebagai wahana mengeksploitasi sektor pertanian pulau Jawa untuk membiayai industri negeri Belanda. Tentu pemberdayaan struktur sosial masyarakat di sekitar tambang dimaksudkan untuk mendukung proses eksplorasi dan eksploitasi tambang. Dan yang tidak kalah pentingnya mengemas model partisipasi masyarakat di sekitar tambang agar tidak memunculkan konflik sosial, sebagaimana yang terjadi di banyak tempat pertambangan.
Kita hanya bisa berharap agar kasus Lambu, Sape Bima tidak terulang kembali. Pemerintah dan pemerintah daerah harus melakukan kajian dan analisis sosial, terutama kesiapan struktur sosial dan nilai budaya masyarakat Bima agar tidak berbenturan dan bertentangan. Ya, kasus Bima telah terjadi dan memakan korban jiwa manusia. Kita hanya bisa berharap pihak kepolisian segera menemukan dan mengadili siapapun pelaku penembakan itu. Pemerintah dan para anggota DPR sebaiknya berempati terhadap penderitaan dan apa yang yang dirasakan rakyat, tidak malah tunggang langgang seolah tidak terjadi kasus apapun. Bima berdarah sebagai bukti wajah buram politik kekuasaan dengan kekerasan di Nusa Tenggara Barat. Selamat datang Tahun 2012 tahun yang penuh harapan dan cita untuk perubahan menuju NTB yang lebih sejahtera. Wallahul Musta’an Ila Darussalam.

*********