This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 21 April 2012

TAHUN EMAS PONPES QAMARUL HUDA


(I)
Tahun emas identik dengan 50 Tahun keberadaan sesuatu (apakah itu menyangkut usia perkawian, berdiri atau keberadaan institusi-institusi pendidikan tertentu, dan sesuatu yang dianggap mempunyai nilai). Terus terang saya kurang memahami bagaimana asal muassal tahun emas diidentikkan dengan angka 50 Tahun. Namun, sebagai seseorang yang ingin selalu berhusnu dzon atau selalu berfikir positif, tentu siapa saja yang ingin merayakan Tahun emasnya dapat dibenarkan selama tidak menyalahi norma-norma kesusilaan dan tidak sampai orang lain terganggu.
Tahun emas bukan milik siapa-siapa bukan? Tetapi, ia dapat menjadi milik siapa saja orang atau lembaga yang mau memanfaatkan momen tersebut. Momen Tahun emas dapat melintasi Agama, kepercayaan, organisasi sosial keagamaan, kemasyarakatan dan apapun. Kita dapat meyarakan Tahun emas dengan kegiatan atau dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat guna menata kehidupan yang lebih baik lagi menuju 50 Tahun berikutnya.
Momen Tahun emas dimanfaat oleh keluarga besar Pondok Pesantren Qamarul Huda, Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Perayaan Tahun emas di Pondok Pesantren Qamarul Huda terbilang sangat istimewa, khususnya bagi Tgh. Turmudzi Badruddin (karena hari itu menjadi hari 50 Tahun usia perkawinan sang Tuan Guru dengan Istri tercintanya Ummi Hajah Haliman bin Haji Muhammad) dan umumnya para santri dan warga masyarakat.
Pada hari ini (maksudnya Tanggal 8 April), usia Pondok Pesantren Qamarul Hudha sudah berumur 50 Tahun,  kata Tgh. Turmudzi Badruddin dalam kata sambutannya pada acara perayaan Khoul Syekh Abdul Kadir Jilani, Tgh. Muhammad Soleh Hambali dan Khoul KH Abdurrahman Wahid (Gusdur). Setiap Tahun kita memperingati Khoul para Waliyullah dan menjadi tradisi Ponpes Qamarul Huda ke depannya.
Ya, perayaan khoul dilaksanakan secara rutin pada setiap tahunnya oleh keluarga besar PP Qamarul Huda Bagu (karena Tuan guru sebagai Mursyid Tariqah Khalwatiyah Qadiriyyah Wa Naqsabandiyah). Tetapi tahun ini sangat istimewa, kata Tgh. Turmudzi Badaruddin lebih lanjut. Kita semua keluarga besar Ponpes Qamaru Huda patut bangga dan bersyukur kepada Allah Swt atas semua prestasi yang telah didapatkan ponpes ini. Keberhasilan dan prestasi yang dicapai Pondok ini menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari kerja keras dan keihlasan dari semua warga masyarakat dan kaum Muslimin.
Terima kasih atas semua pihak, kata Tuan Guru yang yang telah memberikan sumbangsihnya, baik berupa tenaga, pemikiran maupun materi kepada Ponpes Qamarul Huda sejak didirikan sampai sekarang ini. Dengan bertambahnya usia, kami akan terus berkiprah dan berjuang memberikan yang terbaik untuk Agama, Nusa dan Bangsa tercinta ini.
Kita sebagai pengabdi, pendamping dan penterjemah ide-ide serta gagasan-gagasan Tuan Guru, patut berterima kasih dan mendo’akansang Mursyid  (Tgh. Turmudzi Badruddin dan Hj Halimah) atas dedikasi dan pengabdiannya dalam membangun masyarakat dan bangsa ini, serta tetap diberikan kesehatan, umur yang panjang guna terus mengemban amanah keummatan.
Perjalanan 50 Tahun bukan waktu yang sebentar dalam mengabdi kepada Masyarakat, Nusa dan Bangsa. Meskipun banyak aral melintang, Suka-duka, tangis-bahagia, senang-susah sudah kami rasakan, terang sang kiai atau Tuan Guru. Badai cobaan, suka tidak suka, fitnah dan segala kedengkian-pun sering dialamatkan kepada sang Tuan Guru dalam membangun Pesantrennya. Itulah perjuangan, katanya suatu ketika kepada saya. Dengan modal keihlasan dan berserah diri atau tawakkal kepada Allah Swt semua yang sulit menjadi mudah atas kehendak-Nya.
(II)
Perayaan Khoul Tahun EmasPonpes Qamaru Hudal dan Khoul Para Walyullah, serta 50 Tahun usia perkawinan sang Tuan guru dirayakan dengan khidmad dan khusuk di tengah terik matahari yang menyengat kulit wadag kita.  Perayaan Tahun emas dihadiri oleh sekitar 7000 (Tujuh ribu) lebih para alumni, Santri dan Jamaah memadati halaman pondok Pesantren Qamarul Huda, serta para tamu undangan.
Sederetan nama para tamu undangan tercatat namanya di panitia khoul Tahun emas, diantaranya Prof. Dr. Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi), Prof. Dr. Ahmad Sodiki, SH (Wakil Ketua MK), Drs. H. Suryadarma Ali (Menteri Agama RI), Prof. Dr. Nazarudin Umar (Wamen Agama RI), Dr. H.lalu Wildan (Deputi Harmonisasi dan Hubungan antar Lembaga Kemen Dikpora RI),  Prof. Dr. KH. Said Agil Sirad (Ketua PBNU), Dr. KH. M. zainul Majdi (Gubernur NTB), Tgh. Drs. Suhaili FT (Bupati Lombok Tengah), serta para tamu undangan dari dinas instansi di lingkup Provinsi dan kabupaten. Tidak lupa juga, para tamu undangan dari para Tuan Guru, Pimpinan Pondok Pesantern, tokoh agama dan tokoh masyarakat se-pulau Lombok.
Beberapa tamu undangan memberikan apresiasi dan kagum terhadap prestasi yang telah capai Ponpes Qamarul Huda. Perjuangan tanpa pamrih yang dilakukan Tuan Guru, sudah terlihat dan dirasakan oleh masyarakat, kata Drs. H. lalu Suhaimi Ismi, MM (Ka. Kemenag NTB) dalam kata sambutannya membacakan sambuatan bapak Menteri Agama RI yang berhalangan hadir. Pembangunan fisik terlihat sangat megah, pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar pesantren hidup, pembinaan batin masyarakat berjalan lancer, dan yang utama tentunya perkembangan lembaga-lembaga pendidikan di bawah Yayasan Ponpes Qamarul Huda sudah nyaris sempurna, mulai dari lembaga Raudlatul Athfal sampai dengan Perguruan Tinggi. Sungguh butuh perjuangan dan pengorbanan yang melelahkan dan besar.
Sementara Dr. Lalu Wildan (Deputi Harmonisasi dan Hubungan Antar Lembaga Kemen Dikpora) memberikan banyak kritikan dan masukan terhadap pembangunan yang ada di Lombok Tengah. Kritikan itu dialamatkan kepada bapak Bupati yang juga hadir pada acara perayaan Khoul Tahun Emas di Ponpes Qamarul Huda menjadi wajar, karena ia memang salah satu putra terbaik Lombok Tengah yang menduduki jabatan deputi.
Kritikan dan masukan menyangkut pembangunan infrastruktur jalan di kabupaten Lombok Tengah, khususnya jalan menuju Ponpes Qamarul Huda. Padahal, kata Wildan kami sudah menganggarkan dana 1,8 Triliun Rupah untuk pembangunan Gelanggang Olahraga (GOR) di Ponpes ini. Kami berharap, kata wildan setelah GOR ini terbangun akan lahir pemuda-pemudi yang sehat dan mempunyai prestasi dalam bidang olah raga.
Bupati Lombok Tengah dalam kata-kata sambutannya banyak memberikan gambaran tentang kekayaan, potensi-potensi yang sedang dan akan dikembangkan oleh Lombok Tengah. Kekayaan dan keindahan pantai selatan menjadi pesona tersendiri yang tidak kalah dengan keindahan pantai di daerah lain, tidak terkecuali Bali. Begitu juga dengan potensi pertanian, peternakan, dan perikanan, kata bupati lebih lanjut. Hanya saja, kami butuh investor yang mau menanamkan sahamnya di kabupaten Lombok Tengah.
Disinggung tentang pendidikan yang ada di Ponpes Qamarul Huda, Bupati Suhaili sangat bangga dengan keberadaan Lembaga-lembaga formal di bawah naungan Ponpes ini. Betapa tidak, mau mencari lembaga apa saja ada, ada TK, MI, Tsanawiyah, MA, SMK, Institut Agama Islam, STKIP, dan Stikes. Apa yang ada di Ponpes Qamarul Huda belum tentu ada di Ponpes yang lain, walaupun ada yang ada, namun tidak selengkap lembaga yang ada di Qamarul Huda. Kesemuanya merupakan prestasi buah dari kerja keras dan keihlasan dari Tuan guru, urainya. Pemkab Loteng sangat bangga dan berharap agar Ponpes ini menjadi pelopor Perguruan Tinggi Swasta di loteng khususnya dan menjadi panutan PTAIS di NTB umumnya.
Prof. Dr. Abdul Madani, MA dalam tausiyahnya (mewakili Ketua PBNU) berdecak kagum melihat pembangunan yang tiada hentinya. Dua tahun lalu, saya belum melihat gedung-gedung ini, tetapi sekarang Subhanallah, gedung-gedung kampusnya sudah berlantai tiga, bahkan sudah memiliki tiga lembaga Pergurun Tinggi (tinggal naik kelas menjadi Universitas), harapannya.  Ya, marilah kita banyak-banyak bersyukur agar rizki selalu tetap mengalir kepada keluarga besar Ponpes Qamarul Huda.
Sebagai salah satu Ponpes NU terbesar di NTB kiprah pondok ini sangat besar untuk ikut mencerdaskan warga Negara. Di bawah pimpinan Tuan Guru, terang Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta, yakin bahwa Ponpes ini akan terus berkembang dan mampu bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya. Walaupu demikian, keberadaan Ponpes ini perlu terus mendapat dukungan dan perhatian berbagai pihak supaya perkembangannya sesuai dengan apa yang diharapkan masyarakat dan pemerintah, serta sesuai dengan Rencana strategis yang ada.
(III)
Jejak langkah dan kiprah  Ponpes Qamarul Huda dalam membangun Masyarakat nampak terang dan dirasakan keberadannya oleh berbagai pihak, tidak hanya oleh kalangan kaum Nahdliyin. Kiprah perjuangan dan pengabdian tidak hanya terbatas pada dimensi pendidikan semata, tetapi juga menyangkut dakwah, budaya, pertanian, peternakan, kesehatan, ekonomi dan merambah ke dimensi pelayanan atau jasa. Kesemua dimensi itu dilandasi semangat mencerdaskan dan mendidik berlandasakan nilai-nilai keislaman yang hanief.
Semangat memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat berlandaskan nilai-nilai keislaman yang hanief menjadi sesuatu yang inheren di dalam diri para pengelola Ponpes Qamarul Huda. Karena darinya akan melahirkan karya-karya yang  terbaik dan berkualitas, serta dapat terjalin hubungan yang harmonis dengan semua elemen masyarakat; serta tidak terjadi pengkotak-kotakan antar sesama.
Menjadi seorang Mursyid Tarekat Tgh Turmudzi Badruddin telah menjadikannya sebagai seorang guru yang mampu mengayomi siapapun dan sifatnya lintas budaya. Sang Mursyid tidak pernah membeda-bedakan apalagi membesar-besarkan perbedaan yang ada, malahan, ia sangat menyadari bahwa perbedaan itu sebagai medium untuk berbuat yang lebih baik dan maksimal terhadap masyarakat. Bukti kecil dari tiadanya pembedaan itu, ketika sang Mursyid (Tgh Turmudzi Badruddin) diundang untuk menghadiri suatu acara, selama tidak ada udzur pasti menghadirinya. Tetapi, beliau akan tersenyum ketika suatu medium dakwah dipersalahkan dan perolokkan, dengan suatu ungkapan penuh nilai kearifan lokal masyarakat Sasak terungkap dalam ungkapan, “ Ye gawek, Ye dait”.
Ungkapan nilai kearifan lokal tersebut, oleh Tuan Guruterilhami dari ungkapan dalam Alqur’an, “barang siapa yang mengerjakan kebaikan sebesar biji sarah, pasti akan di balas, dan barang siapa yang mengerjakan kejelekan sebesar biji sarah pasti akan diberikan ganjaran oleh Allah”.Sunguh suatu bentuk perilaku yang patut ditiru dan digugu oleh kita semua, agar perbedaan medium dakwah tidak menjadi malapetaka dan dapat merugikan ummat sendiri.
Cara-cara berperilaku Tgh Turmudzi yang didasari oleh nilai-nilai agama dan kearifan lokal menjadi kebutuhan yang perlu diterapkan dan menurut hemat saya dapat menjadi strategi untuk meredam konflik lebih besar. Membangun dan mengembangkan Ponpes Qamarul Huda memang penuh dengan strategi dan cara-cara yang moderat berdasarkan nilai-nilai tersebut di atas. Sungguh, selama pengabdian saya (hampir sepuluh Tahun) dalam membangun dan mengembangkan Perguruan Tinggi sampai sekarang ini,  belum pernah saya menyaksikan kemurkaan Tuan Guru. Sungguh.
Namun, tidak berarti Tuan Guru tidak pernah marah khan. Beliau manusia biasa yang bisa merasakan senang-susah, sehat-sakit, bahagia-nestapa, ia tidak terbebas dari semua rasa-rasa itu. Hanya, ia bisa meredam dan mempunyai cara yang jitu agar orang yang dimarahi tidak marah, tetapi akan membuat orang itu jera dan tidak berani berbuat kesalahan serupa. Ungkapan “Ye gawek, Ye dait” merupakan bentuk ungkapan yang dapat dibaca bahwa beliau sangat marah.Bagi kami dan siapa saja yang dekat dengan Mursyid pasti mengetahuinya.
Alkisah, pernah suatu ketika, di awal-awal perintisan dan pembangunan Ponpes Qamarul Huda oleh Tuan Guru. Terdapat orang yang tidak sepaham dan tidak setuju atas perintisan Madrasah Qamarul Huda. Dengan reaksi dan dengan cara yang sedikit menyinggung perasaan dan eksistensi Tuan Guru sebagai Da’i, orang tersebut berusaha mempengaruhi masyarakat agar tidak mendaftarkan anak-anaknya ke madrasah Qamarul Huda dan lebih tidak simpatik lagi, ia meminta santri yang telah mendaftarkan diri di Qamarul Huda untuk bergabung dengan lembaga yang dipimpin orang itu. Tgh. Turmudzi tentu tidak marah, tetapi dengan senyum khasnya berkata anda punya jalan sendiri sebagai medium dan saya pun punya jalan sendiri, “mari bertasbiqul khairat”. Ya, itulah cara-cara dan strategi yang dilakukan sang Mursyid dalam menyikapi perbedaan yang ada. Sehingga semua menjadi nyaman dan aman. Tidak ada siapapun yang tersakiti, itulah Mursyid sesungguhnya.
(IV)
Kini Qamarul Huda sudah merayakan khoul Tahun Emasnya, atas perstasinya yang sudah digapainya selama 50 Tahun mengabdi kepada Agama, Nusa dan Bangsa. Walaupun, demikian, kami merasa bahwa masih panjang perjuangan yang mesti dilakukan agar ummat lebih cerdas, toleran, kompetitip, demokratis, dan sejahtera. Masih banyak mimpi-mimpi dan program-program kerja Ponpes Qamarul Huda yang belum terealisasi, salah satunya adalah mewujudkan Universitas Islam Qamarul Huda (UIQH).
Cita melahirkan UIQH menjadi mimpi Tgh Turmudzi yang belum kesampaian. Tiga tahun yang lalu, saat pelaksanaan Wisuda Sarjana IAI Qamarul Huda, kami sudah mencanangkan berdirinya Universitas Islam Qamarul Huda (UIQH) yang master plannya sebenarnya sudah final.Kadang kami merasa bersalah, ketika melihat gambar Master Plan kampus tersebut yang terpajang di rumah kediaman Tuan Guru dan belum bisa kami realisasikan. Sungguh suatu pekerjaan yang amat berat, untuk mewujudkan UIQH. Kami menyadari hal itu. Namun, kami tetap yakin, bahwa UIQH pasti terwujud secara perlahan tapi pasti atau slow but sure kata orang Barat.
Ya, perlahan tapi pasti. Itulah keyakinan, yang selalu bersemayam pada diri kami dalam mengembangkan program-program di Ponpes Qamarul Huda, terutama melahirkan Universitas Islam Qamarul Huda (UIQH). Memiliki tiga lembaga Perguruan Tinggi yang mandiri (IAIQH, Stikes, dan STKIP) menjadi modal utama kami untuk mewujudkan UIQH, sehingga tinggal satu langkah saja UIQH dapat terwujud. Di samping itu, political will dari tiga lembaga Pendidikan Tinggi tersebut menjadi hal utama untuk memuluskan cita besar Tuan Guru.
Dengan modal-modal yang dimiliki tersebut, kami yakin tinggal menunggu waktu yang tepat untuk alih status menjadi Universitas yang kita dambakan. Tentu disamping itu semua, sebagaimana tradisi pesantren, restu Tuan guru menjadi hal lain yang tidak dapat diabaikan oleh keluarga pesantren. Kami menyadari itu. Sebagus dan sesiap apapun program yang dilakukan, namun tidak mendapatkan restu kiai maka menjadi kurang afdhol. semoga kita semua dapat menterjemahkan keinginan besar Tuan Guru tersebut. Wallahul Musta’an Ila Darussalam.  
*********

PENEGAKAN HUKUM JALANAN ALA GENG MOTOR


Pendahuluan
Adalah Anggi Darmawan seorang warga Jakarta yang baru kemarin di makamkan di pemakaman umum Sawit Sari Jakarta Selatan.Anggi Darmawan adalah bocah remaja putra dari keluarga buruh pencuci pakaian di sekitar tempat tinggalnya.Iamenjadi korban kebrutalan Geng motor yang sampai kini belum dapat diungkap eksistensinya oleh pihak kepolisian. Manusia jenis apa sebenarnya Geng Motor ini sehingga kepolisian sangat sulit utuk mengungkap jati dirinya, padahal sudah banyak kurban berjatuhan.
Dalam konteks Ilmu Sosial, Geng motor termasuk dalam katagori penyakit sosial dan lebih khusus Juvenile Delinquency atau kenakalan remaja. Kenakalan remaja biasanya muncul di kota-kota besar akibat dari pertumbuhan dan kemajuan fisik perkotaan yang cepat serta pola hidup yang materialistik.Turut sertanya faktor lingkungan keluarga dan sosial menambah kenakalan remaja semakin menjadi dan berkembang ke arah negative dan kriminal.Sungguh suatu tindakan biadab dan a-moral, kata sebagian warga Jakarta yang anak-anaknya menjadi kurban si Geng Motor.
Kesulitan masyarakat perkotaan (terutama anak-anak muda) melakukan adaftasi dan adjustment menyebabkan banyak kebimbangan, kecemasan dan konflik eksternal yang terbuka maupun yang internal dalam batin sendiri yang tersembunyi dan tertutup sifatnya. Sebagai dampaknya, orang lalu mengembangkan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum, dengan jalan berbuat semau sendiri demi keuntungan sendiri dan keperntingan pribadi, kemudian mengganggu dan merugikan pihak lain.
Amalgamasi atau keluluhan bermacam-macam budaya di kota-kota besar dapat berlangsung lancar dan lembut, akan tetapi tidak jarang beproses melalui konflik personal dan social yang hebat. Banyak pribadi yang mengalami gangguan jiwa dan muncul konflik budaya yang ditandai dengan keresahan social serta ketidakrukunan kelompok-kelompok social.Akibatnya timbul ketidaksinambungan, disharmoni, ketegangan, kecemasan, ketakutan, kerusuhan social dan perilaku yang melanggar norma-norma hokum formal.Situasi social sedemikian itu mengkondisionir timbulnya banyak perilaku fatologis social atau penyakit social yang menyimpang dari pola umum yang salah bentuknya adalah munculnya Geng Motor.
Geng Motor bukan fenomena baru, tetapi muncul bersamaan dengan modernisasi masyarakat.Di sekitar wilayah Jabodetabek perilaku Geng Motor semakin beringas dan tidak terkendali.Banyak kurban Jiwa dan luka ulah dari perbuatan Geng Motor.Walaupun demikian, tampaknya, aparat kepolisian masih sulit untuk melakukan penangkapan terhadap kelompok Geng Motor yang semakin meresahkan masyarakat. Polisi untuk sementara waktu hanya bisa beretorika bahwa mereka pasti akan ditangkap.
Geng Motor adalah penyakit social atau sosiopatik yang perlu dicarikan formulasi obat yang tepat sehingga bisa sembuh dengan segera dan kembali kepada kehidupan yang normal. Persoalannya kemudian mengapa Geng Motor sampai bisa melakukan tindakan-tindakan biadab dan tidak bermoral seperti membunuh kurbannya?.Lalu, bagaimana Geng Motor melakukan tindakan biadab secara berkelompok? Dan adakah cara yang efektif agar Geng Motor tidak kembali meresahkan masyarakat.
Karakter Geng Motor
Geng Motor adalah sekelompok orang yang memiliki motor dan tidak taat pada aturan berlalu lintas. Definisi tersebut diberikan oleh Irjen Pol Boy Rafli (Kabagpenum Polri) pada acara Indonesian Luyer Club, tanggal 17 April 2012 di TvOne.Kelihatannya definisi itu tidak berlebihan dan itulah faktanya.Tetapi masalahnya, apakah perilaku melanggar dan tidak tunduk pada aturan berlalu lintas menjadi karakter semua Geng Motor?Ya, semuanya bisa diperdebatkan untuk mencari titik temu.Paling tidak itulah gambaran sederhana tentang Geng Motor yang akhir-akhir ini meresahkan masyarakat.
Geng Motor boleh jadi merupakan fenomena baru anak-anak muda Indonesia akibat dari pengaruh lingkungan sosialnya. Perilaku keras dan kejam yang dipertontonkan anggota Geng Motor juga merupakan  bentuk dari rasa prustasi dan putus asa yang disebabkan oleh penilaian negative masyarakat terhadap mereka. Nah, untuk mendapat perhatian dan sekaligus menunjukkan jati dirinya, mereka berperilaku yang aneh-aneh dan bertentangan dengan norma-norma umum yang berlaku di masyarakat. Artinya, apa yang mereka perbuat menjadi pilihan guna merebut kembali dunia social yang hilang. Hanya salah langkah, bukannya simpati yang didapatkan malah hinaan dan label sebagai kelompok perusuh dan pembunuh.
Ya, akibat perilakunya, anak-anak Geng Motor telah dicap oleh masyarakat sebagai  kelompok penjambret, perusuh dan pembunuh, karena itu disebut sebagai anak cacat secara social. Mereka menderita cacat mental disebabkan oleh pengaruh social yang ada di tengah masyarakat.Baik itu pengaruh eksternal maupun internal (seperti lingkungan keluarga).Perilaku komplotan Geng Motor yang brutal dan tidak segan-segan menyakiti serta membunuh korbannya menjadi karakteristik utamanya.Karena itu, masyarakat tidak mau berurusan dengannya, kalau masih sayang jiwa-raganya.
Labeling  sebagai perusuh dan pembunuh terhadap Geng Motor telah menambah citra buruk yang memang sudah jelek. Adalah Laksamana Sukardi, mantan Menteri BUMN pada era Pemerintahan Megawati Sukarno Putri dan kini menjadi Ketua Geng Motor BRIGESmembatah penilaian masyarakat yang menyatakan Geng Motor identik dengan kekerasan. Pernyataan itu, Ia sampaikan saat membuka Rapat Kerja Geng Motor BRIGES di Sumedang, Jawa Barat. Geng Motor tidak selalu identik dengan kekerasan jelasnya, malahan kami sedang merancang BRIGES menjadi Ormas.
Di Negara Paman Sam atau AS, ternyata Geng Motor sudah berdiri pada Tahun 1948 yang bernama Hells Angels dan didirikan oleh seorang peteran perang AS, kata Neta S Pane dari Indonesia Police  Watch.. Kelahiran Geng Motor tersebut sangat berkaitan dengan kondisi psikologis yang dialami pendirinya. Betapa tidak, ia telah berdarah-darah berjuang untuk membela negaranya dalam perang tetapi Negara tidak menghargainya. Sehingga kelahiran Hells Angels sebagai bentuk pencarian jati diri dan peneguhan identitas di tengah pluralitas masyarakat.Asumsi dasar berdirinya Hells Angels tertuang dalam kalimat bahwa “ketika kami melakukan sesuatu kebaikan tidak ada seorangpun yang lihat, tetapi ketika kami melakukan kejelekan, malah semua orang berpaling dan menghujat”.
Jadi jelas bahwa Geng Motor terlahir dari suatu kondisi social masyarakat yang lagi sakit di satu pihak dan di pihak lain masyarakat ingin menemukan jati dirinya yang telah tergerus oleh modernisasi. Kelahiran mereka karena marah dengan keadaan yang tidak menentu dan pemerintah tidak mampu memberikan rasa aman secara ekonomi, sehingga mereka mencari jalan lain yakni jalan kekerasan dengan berkelompok.
Sepak terjang Geng Motor sudah meresahkan masyarakat, kata Neta S Pane dari IPW dalam acara dialog di TVOne, oleh karena itu, tugas polisi untuk mengungkap, menangkap dan menghukum kelompok Geng Motor itu. Polisi harus bertindak cepat menangkap Geng Motor itu sebelum memakan korban lebih banyak lagi.Sementara dari pihak kepolisian harus tetap bertindak hati-hati untuk menangkap Geng Motor, kata Irjen Pol Untung S. Radjab, Kapolda Metro Jaya, karena polisi harus menggunakan barang bukti.
Memang polisi harus berhati-hati, tetapi bukan berarti mati suri sebab kurban semakin bertambah dan meluas sampai ke Makassar. Dari catatan dan rekam jejak Geng Motor, ternyataterus melakukan aksi kekerasan dengan modus operandi yang hampir sama dengan kekerasan dan pembunuhan. Berawal dari penyerangan di sebuah mini market di sebuah SPBU di Sunter, kemudian penyerangan terhadap anggota TNI AU di jalan Pramuka Kemayoran, lalu penyerangan terhadap seorang Mahasiswa di Makasar, Sulawesi Selatan, dan penyerangan terhadap beberapa rumah di jalan Adi Darma Cirebon, Jawa Barat. Kesimpulan apa yang dapat diambil dari rentetan peristiwa itu? Ya, ternyata Polisi telah gagal melindungi dan memberikan rasa aman terhadap masyarakat.
Secara teoritis, perilaku delinkuen adalah perilaku jahat, dursila, durjana, criminal, sosiopatik, melanggar norma social dan hukum, serta ada konotasi pengabaian (Kartini, 1992). Lebih lanjut diuraikan Kartini Kartono dalam bukunya Patologi Sosial bahwa delinkuen merupakan produk konstitusi mental serta emosi yang sangat labil dan defektif, sebagai akibat dari proses pengkondisian lingkungan buruk terhadap pribadi anak, yang dilakukan oleh anak muda tanggung usia, puber dan adolesens.
Perilaku menyimpang dengan demikian menjadi karakter Geng Motor dan wujudnya bisa bermacam-macam.Kebut-kebutan di jalanan, perilaku ugal-ugalan, brandalan, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan sekitar.Tingkah tersebut menurut Kartini, bersumber pada kelebihan energy dan dorongan primitive yang tidak terkendali serta kesukaan meneror lingkungannya. Perkelahian antar gang, antar kelompok, antar sekolah, antar suku, membolos sekolah dan bergelandangan sepanjang jalan merupakan ciri lain dari delinkuen Geng Motor.
Dalam kondisi statis, kata Kartini Kartono, gejala juvenile delinquency merupakan gejala social yang sebagian dapat diamati serta diukur kuantitas dan kualitas kejahatannya, namun sebagian lagi tidak bisa diamati dan tetap tersembunyi dan hanya bisa dirasakan ekses-eksesnya. Sedangkan dalam kondisi dinamis, gejala delinkuen tersebut merupakan gejala yang terus menerus berkembang berlangsung secara progresif sejajar dengan perkembangan teknologi, industrialisasi dan urbanisasi.
Bagaimana Memahami Geng Motor
Fenomena Geng motor dengan karakter jahatnya merupakan penyimpangan sosial dan dapat diambil sebagai kesimpulan sementara. Namun, persoalan utamanya mengapa juvenile delinquencymenggejala dikala masyarakat dunia menjadi semakin maju dan modern.Tentu secara teoritis ada sebab musabab yang majemuk dan sifatnya multi-kausal.
Para sosiolog berpendapat bahwa penyebab munculnya fenomena Geng Motor dengan berbagai tindakan kekerasan murni sosiologis atau social-psikologis sifatnya (Setiadi dan Kolip, 2011).Misalkan disebabkan oleh pengaruh struktur social yang deviatif, tekanan kelompok peranan social, status social dan internalisasi simbolis yang keliru.Maka factor-faktor kultural dan social itu sangat mempengaruhi bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga social dan peranan social setiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya, partisipasi social dan pendefinisian diri atau konsep dirinya.
Proses simbolisasi diri pada umumnya berlangsung tidak sadar dan berangsur-angsur, untuk kemudian menjadi bentuk kebiasaan jahat. Semua berlangsung sejak usia muda, dimulai dari keluarga sendiri yang berantakan, sampai pada masa remaja dan dewasa di tengah masyarakat. Berlangsunglah kini pembentukan pola tingkah laku yang menyimpang dari norma-norma umum yang progresif sifatnya untuk kemudian dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh anak dalam kelompoknya lewat mekanisme negative dan proses pembiasaan diri.
Healy dan Bronner sebagaimana dikutip oleh Kartini Kartono (1986) adalah seorang Sarjana Sosial dari Universitas Chicago, ia sangat terkesan oleh kekuatan kultural dan disorganisasi social di kota-kota yang berkembang pesat dan membuahkan banyak tingkah laku delinkuen pada anak-anak remaja serta pola criminal pada orang dewasa. Healy dan Bronner menyatakan bahwa frekuensi kejahatan atau delinkuensi anak remaja itu lebih tinggi dari frekuensi kejahatan orang dewasa di kota-kota besar.  Jadi ciri-ciri karakteristik sosio-kultural yang stereotypis itu selalu saja berkaitan dengan kualitas kejahatan tingkat tinggi  yang dilakukan secara bersama-sama dalam bentuk Geng Motor misalnya.
Konsep kunci untuk dapat memahami sebab musabab terjadinya kenakalan remaja, pergaulan remaja dengan anak-anak muda lainnya yang memang sudah delinkuen, karena itu Sutherland (1960) mengembangkan teori asosiasi diferensial.Teori Sutherland menyatakan bahwa anak dan para remaja menjadi delinkuen disebabkan oleh partisipasinya di tengah-tengah suatu lingkungan social, yang ide dan teknik delinkuen tertentu dijadikan sarana yang efisien untuk mengatasi kesulitan hidupnya. Karena itu, semakin lama anak bergaul dan semakin intensif relasinya dengan anak-anak jahat lainnya, maka akan menjadi semakin lama pula proses berlangsungnya asosiasi diferensial tersebut. Dan semakin besar kemungkinan anak-anak remaja tadi benar-benar menjadi criminal.
Jadi, teori Sutherland menekankan hal-hal yang dipelajari atau proses pengkondisian terhadap individu anak, serta tipe kepribadian anak yang menjalani proses pengkondisian tersebut. Proses pengkondisian itu sangat mudah berlangsung pada anak-anak remaja yang memiliki struktur kejiwaan yang sangat labil pada periode perkembangan yang transisional sifatnya dan ditambah lagi dengan mental yang lemah dan tidak terdidik dengan baik.
Selain teori tersebut di atas, teori subkultur dapat dikedepankan untuk menganalisis sebab musabab kebringasan yang dilakukan oleh Geng Motor.Teori subkultur menyatakan bahwa sumber juvenile delinkquency ialah sifat-sifat suatu struktur social dengan pola budaya atau subkultur yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang didiami oleh para remaja. Sifat-sifat remaja tersebut antara lain punya populasi yang padat, status social ekonomis penghuninya rendah, kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk (Dirdjosisworo, 1994) dan banyak disorganisasi familial dan social bertingkat tinggi.
Bermunculannya geng-geng subkultur itu merupakan reaksi terhadap permasalahan suatu stratifikasi penduduk dengan status social rendah yang ada di tengah suatu daerah yang menilai secara berlebihan status social tinggi dan harta kekayaan.Hanya faktanya pencapaian status social tinggi dan penumpukan harta kekayaan tadi sangat sulit dilakukan lewat jalan yang wajar (Kartono, 1986). Besarnya ambisi materiil dan kecilnya kesempatan untuk meraih sukses, memudahkan pemunculan kebiasaan hidup yang menyimpang dari norma hidup wajar, sehingga banyak anak remaja menjadi a-susila dan criminal, serta pengaruh lebih jauh memunculkan banyak anomi dalam lingkungan masyarakat.
Kondisi lingkungan yang buruk, ternyata tidak selamanya memunculkan delinkuen di kalangan anak-anak remaja.Dewasa ini muncul dan berkembang di kalangan kelas menengah dan tinggi dalam masyarakat modern.Pada dekade terakhir ini, anak-anak mudanya yang hidup sejahtera dan makmur banyak yang ikut-ikutan menjadi delinkuen, khususnya terdapat di Negara-negara yang sejahtera dan maju.
Mereka banyak menjadi delinkuen atau mengelompok ke dalam Geng-geng disebabkan factor kejenuhan dan kejemuan (jenuh hidup di tengah kemakmuran).[1]Kemewahan dan kemakmuran membuat anak-anak menjadi manja, lemah secara mental, bosan karena terlalu lama menganggur dan tidak mampu memanfaatkan waktu kosong dengan perbuatan yang bermanfaat, serta terlalu enak hidup santai.Maka dalam iklim subkultur makmur-santai tadi anak-anak remaja menjadi agresif dan memberontak, lalu berusaha mencari konpensasi bagi kehampaan jiwanya dengan melakukan perbuatan delinkuen jahat atau masuk kelompok gengster.
Juga, anak-anak delinkuen dari subkultur kelas menengah banyak yang terjebak menggunakan obat perangsang dan minuman alkoholik.Kebiasaan ini dipakai untuk menghilangkan kejemuan dan kejenuhan, untuk menghilangkan konflik batin sendiri, serta untuk memberikan kegairahan dan keberanian hidup.Kebiasaan mabuk ini banyak memunculkan keresahan dan permasalahan sosial baru.
Jadi jelas bahwa kemunculan Geng Motor dengan semua perilaku bringasnya merupakan mata rantai yang saling kait mengkait.Kondisi sosial dan subkultur budaya ikut memberikan andil bagi lahirnya kelompok Geng Motor itu.Pola perilaku jahat dan bringas sebagai medium agar eksistensinya diperhitungkan oleh masyarakat dan minimal dianggap ada oleh lingkungan family dan tetangganya.
Perlu Solusi Tepat
Mengapa polisi sangat sulit menangkap gerombolan Geng Motor? Padahal dalam dua hari terakhir Geng Motor telah memakan dua korban jiwa melayang dan merusak puluhan rumah di Cirebon Jawa Barat.Menurut Neta S Pane dari Indonesian Police Watch (IPW) kesulitan polisi menangkap Geng Motor disebabkan oleh/atau disinyalir adanya keterlibatan anak pejabat dan pihak kemanan sendiri. Penangkapan terhadap anggota Geng Motor seringkali dilakukan oleh kepolisian di sektor dan Polres, namun belum sempat ditindak, malah sudah dibebaskan. Kenapa?Karena ada permintaan dan telpon dari pejabat, kata Neta.Maka menjadi wajar, jika kepolisian kesulitan menangkap komplotan Geng Motor tersebut.
Namun, yang pasti bahwa tingkah polah Geng Motor semakin meresahkan masyarakat karena modus operandinya yang bringas dan tidak segan-segan membunuh korbannya. Selang beberapa hari, secara continue kita dikagetkan oleh pemberitaan dari media elektronik tentang korban jiwa yang terus berjatuhan akibat perlakuan Geng Motor.Tampaknya, Geng Motor terus melakukan aksinya di beberapa tempat di Jakarta dan bahkan kini sudah meluas sampai ke beberapa daerah di Jawa Barat dan Makassar Sulawesi Selatan.
Masyarakat seakan phobia terhadap aksi brutal Geng Motor. Polisi semestinya harus bertindak cepat dan cekatan mengungkap keberadaan Geng Motor tersebut.Aksi Geng Motor dengan tindakan kekerasan dan pembunuhan sudah berjalan hampir tiga bulan, tetapi aparat kepolisian belum menemukan titik teranguntuk mengungkap jati diri Geng Motor dan siapa yang berada di balik semua kejadian dan tindakan tersebut.Sampai saat ini, Polisi hanya bisa beretorika dan belum bisa menangkap satu pun dari anggota komplotan Geng Motor itu.
Polisi tidak bisa terus-terusan beretorika seperti itu, sementara korban dari masyarakat yang tidak berdosa akibat kebrutalan Geng Motor terus bertambah.Namun, kita tidak bisa memaksa polisi untuk menangkap sembarangan tanpa ada bukti yang kuat, tetapi polisi dapat melakukan itu sebagaimana Densus 88 menangkap orang-orang yang terindikasi atau diindikasikan teroris.Kita harus tetap memberikan kepercayaan terhadap polisi agar mengungkap dan menangkap gerombolan Geng Motor yang membuat masyarakat resah.
Malahan pihak TNI sudah memberikan dan ikut turun tangan dalam mengungkap Geng Motor tersebut.Awalnya rakyat bertanya, kenapa TNI ikut-ikutan dan ambil bagian dalam menangani kasus Geng Motor itu?TNI pada tahap ini, merasa berkepentingan serta ikut turut serta karena memang ada salah satu dari anggota TNI angkatan laut yang menjadi korban kebrutalan Geng Motor di jalan Pramuka Jakarta.
Masyarakat juga (termasuk keluarga dan tetangga), semestinya ikut ambil bagian di dalam mengungkap dan minimal memberikan informasi kepada aparat keamanan tentang keberadaan Geng Motor tersebut, pinta Kapolda Metro Jaya Iejen Pol Untung S Radjab. Jika masyarakat diam, maka bukan tidak mungkin Geng Motor akan kembali bereaksi dan korbannya masyarakat sendiri. Atau masyarakat sendiri takut untuk mengungkapkannya dan melaporkannya ke polisi? Tapi entahlah, namun yang jelas masyarakat tetap merasa tidak aman dan was-was terhadap Geng Motor yang datang dan pergi sesuka hatinya. Pada kondisi seperti ini, polisi seharusnya hadir untuk memberikan dan menjamin rasa aman masyarakat.
Penanganan terhadap Geng Motor diperlukan solusi yang tepat dan cepat, sehingga rasa aman masyarakatdapat segera pulih seperti sedia kala. Polisi harus segera menangkap komplotan Geng Motor dengan cepat.Beberapa hari lalu, pihak kepolisian mengungkapkan bahwa seseorang yang bernama “Josua”telah ditangkap dan terindikasi anggota Geng Motor (walaupun pihak keluarganya membatah keterlibatan Josua).Nah, tindakan cepat dan cekatan seperti itu yang mesti dilakukan kepolisian agar masyarakat tidak terus menerus merasa pesimis dan meragukan kemampuan kepolisian dalam menungkap pelbagai kasus di negeri ini, termasuk Geng Motor.
Atau diperlukan langkah structural formalistic guna menangani kebringasan Geng Motor, seperti rencana Laksamana Sukardi selaku ketua Geng Motor BRIGES yang akan menjadikan Geng Motor BRIGES sebagai Ormas atau Organisasi Sosial Kemasyarakat secara folmal.Keinginan pak Laksamana Sukardi pada satu sisi baik, namun di sisi lain pasti akan mendapat penentangan atau penolakan dari masyarakat. Sebagai sebuah ide, tentu ide Laksamana Sukardi itu baik karena ia sendiri (selaku Ketua Geng Motor BRIGES) sangat mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan Geng Motor yang tidak jelas seperti itu serta mendukung upaya kepolisian untuk secepatnya menangkap para pelaku kekerasan tersebut.
Pendekatan sosial dan budaya perlu dilakukan untuk meminimalisir berkembangnya Geng Motor di Indonesia. Pemerintah melalui Kementrian terkait dapat membebaskan rakyat dari kemiskinan, baik kemiskinan structural maupun budaya, terutama kemiskinan ekonomi.Jaminan social masyarakat menjadi program prioritas pemerintah, begitu juga jaminan kesehatan dan hidup layak.
Saya malah khawatir, tindakan kekerasan yang dilakukan Geng Motor sebagai bentuk kritik terhadap kondisi politik di negeri ini.Pemerintah terlena dan nyaman dengan kekuasaan yang diembannya, tanpa pernah berfikir tentang nasib rakyatnya.Isu kenaikan BBM menjadi contoh nyata betapa pemerintah tidak berempati terhadap nasib rakyat yang tidak mampu menyesuaikan diri (hidup) seiring dengan kenaikan harga kebutuhan pokok.Sementara pemerintah tidak pernah sedikitpun menyinggung tentang kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat.Mereka tetap sibuk dan terus mencari strategi agar kenaikan BBM segera dapat dilaksanakan.
Sementara DPR sebagai representasi atau wakil rakyat justru sibuk dengan permainan drama dimana lakon atau cerita dan endingnya sudah mereka ketahui atau bahkan sepakati.Drama dengan lakon BBM menjadi cerita yang menarik dipentaskan di gedung Rakyat, sementara rakyat tidak menikmati lakon itu.Rakyat hanya ingin BBM tidak dinaikan oleh pemerintah, itu saja permintaan rakyat.Tidak perlu lagi pemerintah dan DPR mementaskan drama kolosal BBM seperti itu, kalau tok akhirnya naik juga tiga atau empat bulan mendatang.Jadi, lakon Geng Motor menjadi lakon kontra produktif terhadap lakon drama kolosal BBM yang dipentaskan di gedung rakyat.Semoga kita semua lebih mawas diri.Wallahul Musta’an ila Darussalam.

*********



[1]Kondisi itu mirip dengan kisah hidup Raden Said alias Sunan Kalijaga yang harus pergi meninggalkan kadipaten Tuban (penuh kemewahan) untuk mengembara mencari jati diri dan hidup bersama masyarakat Tuban yang kekurangan. Bahkan demi untuk menolong nyawa rakyat Tuban yang akan mati kelaparan Raden Said menjadi perampok berbudi baik, dimana hasil rampokannya dibagi-bagikan kepada rakyat Tuban yang miskin. Orang-orang yang dirampok Raden said adalah perampok juga, tidak terkecuali para pejabat Kadipaten Tuban yang korup dan suka menggelapkan pajak Rakyatnya (lih. Novel Sunan Kalijaga, karya).

Kamis, 05 April 2012

RANCANG BANGUN KONSEP ISLAM RAHMATAN LIL AL-ALAMIN (Studi tantang Formulasi Islam Rahmatan lil al-alamin dan Strategi Aplikasinya)


( I )
Menghadirkan Islam yang rahmatan lil al-alamin adalah suatu keniscayaan di tengah tumbuh dan berkembangnya firqah-firqah dalam Islam. Tampak sepintas selalu, antara satu firqah dengan firqah lainnya tidak saling menyapa, malahan saling menyalahkan dan mengkafirkan (takfir). Tersadari atau tidak, kondisi tersebut berpengaruh terhadap sikap dan perilaku komunitas firqah dan lebih jauh dapat berbenturan atau konflik sosial. Kasus pembakaran pessantren dan pengusiran Jamaah Syi’ah oleh masyarakat di Madura Jawa Timur (Majalah Forum, 2011) dan pengrusakan masjid Salafy di Sesela Lombok Barat dapat dijadikan acuan.
Konflik-konflik sosial yang bernuansa sosial-keagamaan datang silih berganti seakan tiada henti di negeri ini. Konflik-konflik itu sebagai akibat saja dari suatu fase sejarah yang panjang jika ditilik dari teori konflik (Ritzer dan Barry Smart, 2011). Setiap terjadi konflik sosial-keagamaan atau konflik antar ummat-beragama, kita merasa kesulitan untuk mendeteksi akar tunggal yang menjadi penyebab utamanya. Sebab seringkali penyebab utamanya bukan pada aspek doktrin yang merupakan inti agama, melainkan pada akar serabut (seperti bid’ah dan khurafat), juga karena persaingan politik-kekuasaan dan ekonomi.
Karena seringnya terjadi konflik sosial-keagamaan, maka muncul harapan akan kehadiran konsep beragama yang baru, lebih lapang, toleran, nirkekerasan, terbuka dan kearifan atau minimal diperlukan rekonstruksi muslim yang rahmatan lil al-alamin, guna menepis pesimisme terhadap kemampuan agama sebagai sumber pencerahan dan acuan praktis bagi masyarakat yang harmonis di masa kini dan mendatang.
(II)
Disebutkan dalam hadits sahih yang telah diriwayatkan oleh Tirmidzi, Ibnu Maajah dan Abu Dawud dengan beberapa jalur riwayat yang marfu’ bahwa Rasulullah Saw telah berwasiat kepada kita bahwa “...Sesungguhnya Bani Israel terpecah menjadi 72 golongan, dan ummatku terpecah menjadi 73 golongan. Semua akan masuk ke dalam neraka kecuali hanya satu golongan”. Mereka bertanya, “Siapakah mereka wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, “orang yang mengikuti (sunnah) ku dan (sunnah) sahabat-sahabatku.
Mana di antara 73 golongan dalam Islam itu yang selamat? Jika, garis damarkasi antara satu golongan dengan lainnya dan satu golongan yang selamat pada ittiba’ atau mengikuti sunah rasulullah dan para sahabat. Lalu siapa sahabat yang dimaksudkan? Apakah yang dimaksudkannya “ittiba’ us – salaf” dengan segala perkembangan dan perubahannya?
Dari riwayat Abdullah bin Mas’ud, Rasulullah bersabda “...sebaik-baik manusia adalah pada zamanku, orang-orang pada zaman berikutnya, dan orang-orang zaman berikutnya. Kemudian datanglah suatu kaum yang mana kesaksian salah seorang dari mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya” (HR Bukhari dan Muslim).
Terlepas dari adanya perbedaan pendapat tentang tiga kurun tersebut, tetapi yang jelas menurut pendapat Jumhur ulama bahwa kebaikan dan keutamaan itu tertujukan kepada semua ummat Islam pada ketiga masa atau kurun tersebut. Tetapi tingkatan mereka berbeda sesuai dengan derajat ketakwaan dan istiqomah mereka. Golongan ummat Islam pada tiga kurun waktu tersebut yakni kelompok sahabat sebagai garda terdepan yang menerima pengajaran akidah dan dasar-dasar agama Islam secara langsung dari Rasulullah Saw, sehingga hukum-hukum dan etika-etika Rabbani melekat dalam hati dan pikiran mereka secara murni tanpa tercampuri dengan bid’ah, penyimpangan dan dugaan keraguan. Kemudian diikikuti kelompok tabi’in (pengikut) dan tabi’it tabi’in. Kelompok ini merupakan pungkasan dari kelompok yang lurus pemikirannya dan murni ajaran Islamnya dari segala penyimpangan internal.
Setelah tiga kurun waktu tersebut, mulai bermunculan bid’an dan penyimpangan dengan pesat. Di samping itu muncul pula kelompok-kelompok sesat yang menyimpang dari ketiga kurun waktu sebelumnya. Penyimpangan, bid’ah dan khurafat terus menyebar dan meluas dari waktu ke waktu sampai sekarang ini. Sehingga pada konteks ini menjadi benar sabda Rasulullah Saw riwayat Anas bin Malik bahwa “...tidak akan datang kepadamu zaman kecuali yang lebih jelek dari zaman sebelumnya”(HR Bukhari dan Muslim).
Ternyata rasulullah Saw telah dapat membaca dan menerawang kejadian yang bakal dialami oleh ummat Islam mendatang. Karena itu, beliau selalu memberikan tauladan, tidak saja pada ucapan tetapi juga perbuatan. Sehingga dalam konteks Islam suatu perbuatan dikatagorikan baik hanya dilihat dari tiga hal yakni niat, cara dan tujuan. Ketiganya menjadi satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan inilah yang dimaksudkan dengan etika Islam. Jadi kebaikan dan citra Islam yang rahmatan lil al-alamin dapat terbangun dari formula etika Islam itu.
(III)
Dalam konteks makro, ada banyak sebab yang bisa menjelaskan buruknya citra Islam yakni reportase yang selektif (cetak dan elektronik), kurangnya penelitian akademis tentang aktivitas dan tradisi yang positif dan berorientasi nirkekerasan di masyarakat muslim, warisan subordinasi kolonial negara-negara muslim di bawah Barat, ketidakpedulian terhadap perbedaan budaya, kegagalan kaum muslim dalam menyampaikan pesan-pesan agama mereka. Hasilnya adalah tumbuh dan bertahannya pandangan negatif yang berkepanjangan tentang Islam di kalangan para pembuat kebijakan dan sarjana (Norman 1993; John L. Esposito, 1992).
Ketidakpedulian terhadap perbedaan budaya adalah salah satu sebab buruknya citra Islam yang perlu mendapatkan perhatian lebih. Karena saat ini, ummat berhadapan dengan era globalisasi, dimana pertemuan unsur-unsur budaya telah terjadi secara intens tanpa mengenal dimensi ruang dan waktu. Pluralitas kultural dan segala aspeknya akan mengiringi nilai-nilai dan konsep-konsep parsial ke dalam kotak primordialisme.
Oleh karenanya, budaya selain dapat merupakan pemersatu atau integrative factors, juga menjadi faktor penyebab konflik. Tumbuh suburnya sikap berlebih-lebihan dalam masalah takfir, irja’, bid’ah dan khurafat adalah faktor lain penyebab konflik antar firqah dalam Islam (Syaikh Bakr dan Abdul Muhsin, 2009). Artinya ada proses meniadakan dialog kebudayaan yang sebenarnya telah terbangun saat Rasulullah Saw membangun kota dan masyarakat Madinah.
Disharmoni diantara firqah semakin tampak, diberbagai tempat dan setiap waktu sering terjadi kecendrungan ketidakcocokan dengan firqah lainnya. Fenomena itu merupakan dampak dari perubahan sosio-kultural yang terjadi dan lebih jauh menimbulkan krisis identitas, akibatnya sebagian orang mengalami dislokasi dan disorientasi. Manusia banyak yang linglung, tidak tahu posisinya dalam tatanan masyarakat yang sedang berubah dan kehilangan orientasi dan arah tujuan hidupnya akibat transisi kehidupan yang tidak dapat dikuasainya.
Penyesuaian perilaku manusia terhadap nilai baru menjadi pilihan rasional yang tidak terhindari, tetapi tidak selalu berjalan mulus dan bahkan sering mengakibatkan konflik sosial. Pengelolaan terhadap perubahan sistem nilai seringkali menjurus kepada terjadinya konflik. Pihak yang satu melakukan koreksi terhadap pihak lain, sebaliknya pihak yang dikoreksi juga melakukan hal yang sama. Masyarakat Indonesia dengan budaya Timurnya yang kental cendrung memberikan resistensi atau bahkan perlawanan terhadap koreksi. Keadaan yang demikian membuat konflik cendrung semakin berkembang dan semakin tajam dan klimaksnya terjadi benturan fisik yang mengakibatkan jatuhnya kurban jiwa.
Anggota suatu masyarakat majemuk atau plural selalu terlibat dalam dinamika pluralitas yang kritis sebagai terlihat dalam tiga kecendrungan berikut: Pertama, masyarakat majemuk mengidap konflik yang kronis dalam hubungan antar kelompok. Sebab konpromi-konpromi antar pada platform tertentu sering tercapai, namun pada kenyataannya kompromi ini belum menutup kemungkinan terjadinya konflik, contoh konpromi pela-gandong (pada konflik kekerasan di Ambon). Kedua. Pelaku konflik cendrung secara secara stereotif memandang ketegangan dari perspektif kelompok sendiri, sehingga konflik dipandang sebagai perang all out war. Ketiga. Proses integrasi sosial lebih banyak terjadi melalui dominasi suatu kelompok terhadap kelompok lainnya. Sehingga integrasi sosial lebih bersifat heteronom dan bukan didasari karena ketulusan, melainkan faktor eksternal (Sahrin, 2011) dan mungkin kepentingan.
Dinamika kemajemukan yang kritis dan berujung pada konflik terjadi di kecamatan Sekotong, desa Berora kecamatan Lembar, Gelogor kecamatan Kediri dan desa Sesela kecamatan Gunungsari, kabupaten Lombok Barat yang melibatkan jama’ah Salafy. Konflik dengan kelompok salafy tersebut lebih disebabkan karena perbedaan tafsir, bid’ah, khurafat dan takfir.
Terhadap konflik-konflik yang terjadi, seharusnya masyarakat melalui lembaga-lembaga pendidikan, organisasi sosial keagamaan dan kemasyarakatan, termasuk pemerintah, Kementrian Agama, tokoh-tokoh agama dan  MUI,  harus peka terhadap potensi dan gejala konflik. Kenyataannya tidak, baru setelah potensi itu menjadi gelombang konflik, Pemerintah, ummat, MUI dan tokoh-tokoh agama merasa kebingungan dan kerepotan. Akhirnya yang muncul komentar-komentar liar dan tidak mengerti persoalan. Bukan mendamaikan malah memperuncing konflik yang sudah membara.
(IV)
Menampilkan wajah Islam yang rahmat (rahmatan lil al-alamin) dengan mengutamakan pendekatan toleransi (tasamuh) dalam berkomunikasi dengan komunitas lain menjadi keniscayaan. Bukankah pluralitas keberagamaan merupakan kenyataan yang bersifat nushush (didasarkan pada firman dan sabda suci). Oleh karenya, ummat Islam dan lembaga-lembaga keagamaan Islam, dalam pikiran, gagasan, program dan tindakannya selalu mengedepankan komitmen pada terwujudnya harmonitas intra – ummat dan antar – ummat beragama.
Mencontoh pengalaman berkomunikasi masyarakat Madinah bentukan Rasulullah Saw patut dijadikan referensi guna menampilkan wajah Islam yang sebenarnya yakni Islam yang moderat dan akomodatif. Cara beragama yang moderat secara internal melahirkan cara beragama yang bijak, tidak kaku dan memandang kewajiban beragama sebagai sesuatu yang sesuai dengan fitrah dan membahagiakan. Sementara secara eksternal melahirkan cara beragama yang terbuka, lapang, akomodatif dan selalu mengutamakan titik temu dalam membangun kehidupan yang lebih baik, harmonis dan maju, sehingga keberagamaan menjadi rahmat bagi kehidupan yang plural.
Penganut cara beragama yang moderat dapat dilihat dari sikapnyanya yang selalu ingin membuktikan agar agamanya menjadi rahmat bagi seluruh ummat manusia, selalu mencari titik temu dari keberagamaan yang pluralis, serta selalu megajak pihak lain untuk memperjuangkan kebebasan, keadilan, kesejahteraan dan masa depan bersama yang lebih baik.
Ummat Islam harus membangun kembali kesadaran mendalam terhadap kemestian dialog peradaban dan interdependensi manusia dalam pinjaman-pinjaman kebudayaan. Sebab hanya dengan itulah peradaban menjadi milik bersama dan untuk kesejahteraan ummat manusia dan dengan itu pula progres peradaban dapat dipacu perkembangannya. Dengan demikian kemampuan agama sebagai sumber pencerahan dan acuan praktis bagi masyarakat yang harmonis di masa kini dan mendatang tidak perlu diragukan. Wallahul Mustaan ila Darussalam.
*********