This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Kamis, 30 Agustus 2012

MEMBANGUN BUDAYA AKADEMIK DI PTAI

Pada tanggal 30 Juli s/d 1 Agustus 2012 lalu, saya mengikuti kegiatan pembinaan akademik bagi PTAI di Hotel Marbella Bandung. Kegiatan tersebut diikuti oleh Rektor/Ketua PTAI seluruh Indonesia. Kehadiran saya selaku Rektor Institut Agama Islam (IAI) Qamarul Huda Bagu, Lombok Tengah NTB.

Budaya akademik merupakan suatu sistem nilai dan tata nilai yang hidup dan b...
erkembang di kalangan masyarakat ilmiah yang tercermin dalam sikap dan perilaku komunitasnya, kata H Zaenal Mukaraom sebagai salah satu nara sumber pada kegiatan itu. Fungsi budaya akademik sebagai norma, tradisi dan cara hidup dari masyarakat pendukungnya yang bernaung dalam sebuah institusi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kebenaran ilmiah dan objektivitas.

Labih lanjut dikatakan Mukarom bahwa sesuatu telah menjadi budaya apabila sesuatu itu sudah menjadi milik masyarakat pendukungnya. Dikatakan sebagai milik, apabila telah disenangi, dihargai, dipelihara dan bahkan dibela atau dipertahankan.

Secara teoritis ada beberapa prinsip budaya akademik yakni adanya kebebasan akademik, menjunjung tinggi kebenaran ilmiah, objektivitas, keterbukaan dan otonomi keilmuan (Mukaram, 2012). Tentu, jika ditelisik secara seksama kelima prinsip budaya akademik tersebut belum sepenuhnya dapat diterapkan oleh kampus PTAI. Hal itu disebabkan oleh banyaknya permasalahan yang dihadapi oleh PTAI (baik yang dikelola pemerintah maupun masyarakat) baik faktor eksternal maupun internal (Muhammad Zain, 2012).

Faktor eksternal meliputi bergesernya paradigma masyarakat terhadap makna pendidikan yang selalu dikaitkan dengan serapan lapangan pekerjaan; regulasi pendidikan yang selalu berubah dan cendrung tidak terintegrasi; beratnya tantangan yang yang dihadapi oleh ahli agama dalam profesinya; tingginya rivalitas diantara PTAI dalam merekrut calon mahasiswa yang berakibat terabaikannya kualitas.

Belum lagi rivalitas antara PTAI yang dikelola pemerintah dengan yang dikelola masyarakat dan terkesan PTAI yang dikelola masyarakat sebagai the second to campus. Itulah faktanya, sehingga PTAI yang dikelola masyarakat dibeberapa daerah harus menunggu limpahan calon mahasiswa dari PTAI yang dikelola pemerintah. Kalau rivalitas tersebut tidak segera dicarikan solusinya, bukan mustahil bayak PTAI yang dikelola masyarakat akan gulung tikar. Di ranah ini, pemerintah harus adil dalam menanganinya.

Sementara itu, faktor internal lebih tidak terurus, seperti penyelenggaraan tri dharma tidak terarah dan cendrung salah urus; penyelenggaraan pendidikan lebih bersifat formalitas dan munculnya praktek-praktek tidak terpuji dalam bentuk instanisasi pendidikan (buktinya menjamurnya jual beli ijasah sebagaimana kasus di Jawa Timur); minimya sarana dan prasarana pendidikan; lemahnya bargaining position PTAI dalam kancah pergaulan lokal, nasional dan internasional, dan berbagai persoalan lainnya.

Nah, di tengah berbagai permasalahan yang dihadapi oleh PTAI tersebut di atas, tentu para pengelolanya tidak boleh mandek dalam menumbuhkan budaya akademik. Indikator sederhana untuk menumbuhkan budaya akademik dengan mengupayakan tumbuhnya kebiasaan membaca, menulis dan meneliti dari kalanan civitas akademika; Proses Belajar mengajar harus diupayakan berlangsung secara demokratis; dibukanya ruang kompetisi secara sehat dikalangan civitas akademika: lalu bagi mereka yang berprestasi diberikan penghargaan terhadap prestasi dan kualitas; dan yang terpenting adalah mengurangi tradisi orality kemudian diupayakan tradisi literacy (Mukaram, 2012).

Untuk mewujudkan budaya akademik tersebut di atas maka diperlukan strategi yang tepat dan smart. Diantara strateginya meliputi perlu ada komitmen dan keseriusan mengelola PTAI; dibutuhkan kepemimpinan kuat (strong leadership); SDM yang berdaya saing (minimal S2 dan S3) dan sarana dan prasarana yang memadai (terutama pelayanan dengan memanfaatkan IT).

Pemeritah dalam ranah ini, seharusnya memberikan bantuan dan perhatian yang adil bagi semua PTAI agar strategi tersebut di atas dapat dilakukan demi tumbuhnya generasi cerdas dan bertanggungjawab. Bantuan-bantuan fisik sedapat mungkin diprioritaskan bagi PTAI yang dikelola masyarakat, demikian bantuan penelitian dan pengabdian masyarakat bagi para dosen harus berdasarkan rasa keadilan. Ya, rasa keadilan itu harus garis bawahi, sebab bagaimana bisa satu orang dosen ditahun anggaran yang sama bisa menerima bantuan penelitian lebih dari satu. Demi tumbuhnya dan berkembangnya budaya akademik hal-hal tersebut mesti menjadi perhatian. Wallahu muwafiq ila Darissalam.

POLITIK AKHLAKUL KARIMAH

Menjelang pesta demokrasi di daerah, suhu perpolitikan di NTB semakin memanas (lebih khusus Pilkada Lombok Barat). Banyak nama yang sudah disebut-sebut masyarakat untuk menjadi bakal calon bupati Lombok Barat, satu diantaranya adalah Tgh. Muharar Mahfuz. Bapak Tuan Guru sampai saat ini masih tercatat sebagai pimpinan Pondok Pesantren Nurul Hakim Kediri Lombok Barat NTB.


Tgh Muharar Mahfuz rasanya sudah sangat dikenal masyarakat, baik sebagai politisi maupun sebagai tokoh agama yang selalu memberikan siraman penyejuk rohani bagi masyarakat di Nusa Tenggara Barat, wabil khusus di kabupaten Lombok Barat. Kemunculan bapak Tuan Guru sebagai bakal calon bupati Lombok Barat sudah sangat dirindukan oleh masyarakat gumi patut patut patcu. buktinya sudah tidak terhitung lagi masyarakat yang datang baik perorangan maupun kelompok organisasi. Kedatangan mereka tidak lain kecuali untuk memberikan dukungan kepadanya untuk siap dan menjadi bupati Lombok Barat.

Sebagai seorang tokoh agama dan pimpinan pesantren, tentu bapak Tuan Guru tidak bisa menolak keinginan dan dukungan masyarakat tersebut, hal itu merupakan amanah dan mohon doanya, katanya singkat. Di samping itu, peran parpol juga sangat penting sebagai pintu masuk dan gerbong yang akan membawanya menuju bupati Lombok Barat mendatang. koalisai partai dan rakyat menjadi satu kesatuan yang mutlak agar cita masyarakat bisa tercapai.

Menjadi bupati atau menjadi apapun bukan menjadi tujuan, kata Abun Harar, tetapi yang lebih penting adalah menjalankan amanah yang diberikan oleh semua elemen masyarakat gumi patut patuh patcu untuk menuju masyarakat yang berkeadaban, sejahtera, aman, demokratis dan berahklakul karimah.

Politik yang berakhlakul karimah sebagaimana nabi Muhammad Saw memimpin negara Madinah pantas untuk bumisasikan agar tidak tercatat di lembaran sejarah semata. Konsep-konsep negara Madinah harus dapat diterapkan di Lombok Barat sebagai penggalan dari pulau seribu masjid (bukan seribu masjid lagi kata sahabat Suhaimi Samsuri, tetapi seribu satu masjid)...kok bisa khan tambahannya Islamic Centre.

Tentu, harapan besar untuk merubah wajah Lombok Barat menjadi lebih sejahtera, menjadi amanah yang musti harus dibumisasikan oleh Abun Harar sebagai Balon bupati Lombok Barat mendatang. Atau siapapun yang akan menjadi pimpinan Lombok Barat nantinya (termasuk incamben).

Diakui atau tidak suhu perpolitikan di Lombok Barat semakin memanas, namun kondisi perpolitikan itu dapat dibikin adem, sejuk kalau semua pihak mau mengedepankan politik akhlakul karimah. Politik akhlakul karimah sederhananya dapat menerapkan nilai kesantunan dalam melakukan aktivitas politik, sehingga endingnya siapapun yang menjadi pemenang tetap harus menghormati yang kalah dan tidak disoraki. Begitu pula, siapapun yang menjadi pemenang atau menjadi bupati nantinya harus tetap berlaku nilai-nilai akhlakul karimah. Dengan demikian, kalah menang menjadi sesuatu yang lumrah atau sudah given menurut peraturan alam.

Semoga saja politik akhlakul karimah ini dapat menjadi perhatian bagi petarung sejati. Peran penyelenggara Pemilu atau KPU pada ranah ini menjadi sangat strategis terutama untuk menerapkan nilai-nilai politik akhlakul karimah di Lombok Barat (sebagaimana Rasulullah Saw dulunya). Pluralitas masyarakat Lombok Barat menjadi fakta empiris untuk diterapkannya politik ahklakul karimah itu. semoga. wallahul muwafiq ila Darissalam.

ALIRAN SESAT AT-TIJANIYAH?

Dua hari menjelang lebaran, kita dikejutkan oleh amuk massa sebagian masyarakat Sukabumi Jawa Barat terhadap kelompok atau aliran Artijaniyah Mutlak. Keelompok ini oleh pelaku amuk massa diindikasikan sebagai aliran sesat. Sepengetahuan saya aliran sesat adalah aliran atau sekelompok orang yang ajaran-ajarannya melenceng dari ajaran Islam yang murni kemudian diajarkan kep...
ada orang lain. Permasalahannya, dimana letak perbedaan aliran Artijaniyah Mutlak ini dengan ajaran Islam?
Salah satunya adalah larangan untuk melaksanakan shalat subuh lalu diganti dengan shalat dhuha dan aliran ini tidak mau berbaur dengan warga masyarakat.

Semua kita menyangkan mengapa amuk massa terjadi lagi, apakah itu berarti pemerintah memang sangat lamban dan mungkin tidak pernah tuntas untuk menyelesaikan kasus-kasus aliran yang dikatagorikan sesat. Tragedi amuk massa terhadap aliran Artijaniyah ini bukan kali pertama terjadi, kejadian serupa terulang berulangkali, kasus yang satu belum terselesaikan (misalnya kasus Jamaat Ahmadiyah yang sampai sekarang masih mengungsi di Transito Mataram) kini muncul kembali kasus Artijaniyah. Kenapa kita tidak bisa menyelesaikan secara damai dan berkepala dingin, serta tenang (cooling down) dan mengapa harus mengamuk segala. Tidak bisakah kita sebagai warga masyarakat menyerahkan penyelesaiannya kepada pemerintah, sehingga tidak menimbulkan kerugian?

Saya sangat setuju kalau penyelesaian berbagai bentuk aliran yang dikatagorikan sesat diserahkan saja ke pemerintah untuk mengurusnya (dalam hal ini Kementrian Agama). Bukankah kita sudah meyerahkan sebagian hak kita kepada negara, setidaknya menurut teori kontrak sosial. Negara tentunya harus serius untuk menyelesaikan permasalahan itu dengan cepat, tepat dan adil. Saya meyakini bahwa amuk massa terjadi sebagai pilihan terakhir karena pemerintah tidak pernah serius dan tuntas untuk menyelesaikan kasus aliran sesat tersebut, agar mereka bisa kembali ke ajaran Islam, kemudian bertaubat.

Dalam kaitan ini, saya teringat bait-bait syair Abu Nawas diantaranya demikian, "wahai Tuhanku, aku tidak pantas menjadi penghuni syurga Firdaus-Mu. Namun, aku tidak kuat dipanggang panasnya api neraka jahim-Mu. Izinkan aku bertaubat dan ampunilah dosa-dosaku karena Engkaulah pengampun dosa-dosa besar. Siapa yang tidak terpesona dengan syair ini. Kita menginginkan para jamaah aliran terkatagorikan sesat segera bertaubat dan pemerintah punya peran penting untuk pertaubatan itu. Pemerintahlah yang paling berhak untuk melarang semua bentuk aliran sesat di Indonesia (bukan masyarakat).

Sebenarnya menurut pemberitaan di media elektronik Trans TV (Senen, 20 Agustus 2012) bahwa amuk massa itu dipicu oleh adanya issu terbunuhnya salah satu tokoh agama yakni Ustaz Dindin yang dilakukan oleh jamaah Artijaniyah. Tentu, issu itu belum bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, tetapi sekali lagi sebenarnya amuk massa bisa redam kalau pemerintah cepat, tepat dan adil dalam menyelesaikan kasus tesebut. Sehingga yang terjadi kemudian masyarakat sendiri yang menjadi hakim dan akibatnya fatal. Rumah, mobil dibakar, dan warga masyarakat menjadi kurban sia-sia. Sungguh sangat disayangkan tragedi amuk massa itu.

Secara sosiologis sangat disayangkan kejadian itu dan sebaiknya siapapun pelakunya harus diberikan sanksi sesuai dengan tingkat kesalahan yang diperbuatnya. Siapapun orangnya, jika salah diberikan sanksi dan jika tidak, jangan dijadikan kriminalkan sekedar untuk mencari-cari kambing hitam. Keadilan mesti ditegakkan.

Saya kira, polisi sudah bertindak cepat untuk menahan pimpinan jamaah Artijaniyah untuk menghindari amuk massa yang lebih besar dan mengungsikan para jamaah Artijaniyah lainnya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk memberi rasa aman kepada mereka karena belum tentu mereka bersalah. Keikut sertaan mereka menjadi anggota kelompok karena minimnya pengetahuan agama. Dalam kondisi awam seperti itu sangat mudah untuk dipengaruhi dan dibaiat. Semoga saja mereka mau kembali ke ajaran Islam dan bertaubat. Ajaklah mereka kembali bil hikmah wal mauidzah hasanah, bukannya dengan jalan kekerasan. Wallahul muwafiq ila Darissalam.

Rabu, 29 Agustus 2012

POKOK-POKOK PIKIRAN JURGEN HABERMAS


A.    Konteks historis
Untuk memahami teori kritis Jurgen Habermas_penting terlebih dahulu memahami konteks sejarah dan konteks pembentukan teori-teori yang melatar_belakangi pemikiran-pemikirannya. Sebagai pemikir otentik, Habermas tidak dikungkung oleh warisan pemikiran mazhab Frankfurt, tanpa melihat titik-titik lemahnya untuk kemudian berupaya memperbaharuinya. Di sinilah posisi penting Habermas dalam teori kritis mazhab Frankfurt.
Pemikiran mazhab Frankfurt merupakan pemikiran yang sangat kritis terhadap pemikiran Karl Marx dan penerusnya. Namun_pemikiran mazhab Frankfurt tidak dapat dipisahkan dari sejarah pemikiran Marxis itu sendiri, karena bagaimanapun pemikiran teori kritis merupakan perkembangan lebih lanjut dari Marxisme di Barat[1]. Dalam “Das Kapital”, Karl Marx mengemukakan bahwa perkembangan masyarakat kapitalis akan berjalan sedemikian rupa sehingga sistem ini akan menuju penghancuran oleh dirinya sendiri. Friederich Engels_sahabat dekat Marx, mempopulerkan teori Marx ini sampai dijadikan idiologi politik gerakan buruh di Jerman dengan “Partai Sosial Demokrat Jerman”. Di dalam kongresnya tahun 1891 di Erfurt_gerakan buruh terbesar pada waktu itu_dengan tegas menerima ajaran Marx sebagai dasar program partainya dan dalam kongres internasional II telah menyebabkan teori Marxis diterima oleh gerakan buruh di luar Jerman (termasuk Partai Sosial Demokrat Rusia) dimana Lenin menjadi wakilnya[2]. Dengan demikian_pandangan Marx tentang perkembangan kapitalisme menjadi pandangan resmi gerakan buruh internasional.
Kapitalisme sebagai suatu bentuk masyarakat akan terus menghisap kaum buruh dan konsentrasi modal ada di tangan kaum kapitalis_yang secara kuantitas klas proletar akan bertambah. Ada keyakinan bahwa_sistem kapitalis akan ambruk dengan sendirinya dan digantikan dengan sistem sosialisme (dimana kekuasaan ada di tangan kaum proletar atau buruh). Keyakinan atau pandangan Internasionale II di  sebut determinisme ekonomis atau ekonomisme, yakni suatu penafsiran positivistis atas ajaran-ajaran Marx di dalam “Das Kapital”. Penafsiran ini tentu telah melenyapkan peran historis klas proletariat melalui perjuangan kelasnya karena anggapan dasar bahwa sistem sosialis akan datang dengan sendirinya secara alamiah.
Sebuah kenyataan sejarah bahwa sampai dengan perang dunia I, ramalan ilmiah ini tak pernah terbukti. Konflik klas yang diharapkan terjadi tidak pernah terjadi_dan datangnya zaman baru, zaman sosialisme_secara otomatis juga tidak dapat diharapkan lagi. Pada aras ini, seorang cendekiawan Marxis Eduard Bernstein mempunyai pandangan bahwa sistem kapitalisme mampu membenahi dan menyesuaikan diri dengan keadaan-keadaan yang baru. Negara Jerman dan negara-negara kapitalis-Industrial berhasil menstabilkan dirinya dengan meredam kemungkinan munculnya krisis sebagaimana yang diharapkan pendukung teori Marx. Kemudian Bernstein mengusulkan agar Marxisme juga disesuaikan dengan kenyataan,_tetapi gagasan ini ditolak dan dicap sebagai “revisionisme”[3]. Lenin adalah salah satu penganut determinisme ekonomis yang tetap setia dengan teori-teori ortodoksnya.
Dalam revolusi tanggal 7 Oktober 1917_Lenin punya peran untuk meruntuhkan Tsarisme Russia dan memberikan kemenangan gemilang kaum Bolshevik; juga memberikan dampak yang mendalam pada gerakan buruh Internasional. Pada waktu yang bersamaan didirikan Uni Soviet di bawah kaum Bolshevik, namun  gerakan buruh terpecah menjadi dua sayap: sayap demokratis anti-soviet (partai-partai sosial demokrat) dan sayap komunis yang pro-soviet (partai-partai komunis). Sayap moderat dalam perkembangan lebih lanjut telah kehilangan sifat Marxisnya, sementara sayap komunis semakin memperteguh diri dengan determinisme ekonomis Marxis yang telah digabungkan dengan ajaran-ajaran Lenin.
Munculnya Stalin sebagai pengganti Lenin, partai komunis melakukan pembersihan terhadap anasir-anasir partai yang tidak sejalan dengan ajaran pusat di bawah dominasi ajaran Uni Soviet sebagai kakak tertua dari sosialis[4]. Di  bawah pimpinan Stalin, pemikiran-pemikiran Karl Marx dan Lenin dibekukan menjadi idiologi resmi Soviet. Pada aras ini, kontrol dan sensor diadakan untuk meluruskan pikiran para cendekiawan (baik pada tataran akademis maupun kritik atas ajaran Marx sendiri tidak dimungkinkan); karena bagi Moskwa tidak ada sesuatu yang lebih berbahaya daripada kritik emansipatoris berdasarkan ajaran-ajaran Marx sendiri. Akibatnya_segala usaha merevisi atau memperbaharui ajaran-ajaran Marx dan tafsir resminya pasti akan dicurigai dan pasti berdampak pada kelesuan di kalangan para cendekiawan.
Berkisar tahun 1885-1971 muncul pemikiran kritis dari Georg Lukacs, Karl Korsch. Lukacs menolak determinisme ekonomis dari kalangan penganut Marxisme ortodok dan menekankan bahwa kesadaran kelas proletariat sebagai subyek dialektika sejarah. Sementara Korsch_mengemukakan bahwa hakikat dari Marxisme adalah tafsiran praktis atas kesadaran manusiawi akan tetapi maksud Marx ini telah dileyapkan oleh tafsiran positivistis atas Marxisme dalam internasional II; lebih lanjut Korsch menyatakan bahwa sebenarnya pemikiran Marx merupakan teori-teori yang memiliki maksud praktis.
Pemikiran kritis kedua filsuf masuk ke dalam aliran pemikiran neo-Marxisme atau Marxisme kritis; Antonio Gramsci menyebut pemikiran kedua filsuf itu filsafat praxis. Pada perkembangan selanjutnya_filsafat praxis mendapatkan kritik dari kubu Marxis ortodoks dan pembersihan dari pihak partai mereka sendiri_akibatnya filsafat praxis memudar, keduanya telah meninggalkan kosnep-konsep penting bagi pembentukan teori Marxisme kritis berikutnya, yaitu konsep alienasi (diambil dari pemikiran Marx Muda; hegemoni, praxis dan konsep reifikasi dari Lukacs). Dan inilah yang dikatagorikan sebagai pemikiran kritis gelombang pertama, sementara pemikiran kritis gelombang kedua yaitu pemikiran kritis mazhab Frankfurt.
Generasi pertama Teori Kritis memperkembangkan gagasan-gagasan Lukacs dalam Geschichte und Klassenbewusstein. Usaha menarik yang dilakukan Lukacs adalah mengaitkan konsep rasionalisasi menurut Max Weber dan konsep fetisisme komoditi menurut Karl Marx. Hasil sintesis kedua konsep itu_Lukacs menghasilkan konsep reifikasi (verdinglichung), yaitu pandangannya mengenai hubungan antara manusia yang nampak sebagai hubungan antara benda-benda[5]. Konsep reifikasi ini muncul dengan wajah baru dalam pemikiran teori kritis mengenai Rasio Instrumental, kritik mereka atas masyarakat modern dan rasionalitasnya.
Kritik adalah konsep kunci untuk memahami teori kritis dan juga merupakan suatu program bagi mazhab Frankfurt untuk merumuskan suatu teori yang bersifat emansipatoris tentang kebudayaan dan masyarakat modern. sasaran kritik mereka pada berbagai bidang kehidupan masyarakat modern, seperti : seni, ilmu pengetahuan, ekonomi, politik dan kebudayaan_pada umumnya dianggap mazhab ini telah menjadi rancu karena diselubungi idiologi-idiologi yang menguntungkan pihak-pihak tertentu yang sekaligus mengasingkan manusia individual di dalam masyarakatnya.
Teori kritik mempergunakan konsep kritik_dihubungkan dengan konsep kritik yang diperkembangkan pada masa-masa setelah renaisasnce (masa aufklarung-abad ke 17 dan 18) serta abad ke 19. Pada masa ini muncul filsuf-filsuf seperti: Immanuel Kant, Friederc Hegel, Karl Marx_yang oleh mazhab Farkfurt di pandang sebagai filsuf-filsuf kritis.
Teori kritis yang dirintis oleh Max Horkheimer, Adorno, Markus dari mazhab Frankfurt  atau Frankfurt schule pada awalnya merupakan sebuah upaya untuk mengatasi determinisme ekonomi dari Marxisme ortodoks yang dianut sebagai ideologi resmi Uni Soviet. Pemikiran Karl Mark betapapun dibela dan dianggap tabu, tetap dapat diperlakukan sebagai sebuah teori sosial. Bahkan lebih radikal lagi, teori Marx adalah salah satu produk rasionalisme Barat yang dikembangkan sejak Yunani Kuno dan rasionalisme Barat itu mulai mendapat aktualisasi historisnya pada zaman renaissance melalui pemikiran Rene Descartes.
Upaya Mazhab Frankfurt untuk mengatasi determinisme ekonomis, bagaimanapun, adalah sebuah proyek  dalam rasionalisme  Barat. Pemikiran Barat sejak Descartes ditandai oleh gairah yang sangat besar untuk kebebasan manusia secara universal. Keyakinan yang menandai para perintis modernisasi Barat itu bahwa kebebasan manusia dapat diraih lewat penggunaan rasio sampai tak terbatas, kalau perlu dengan menerjang batas-batas yang ditetapkan berdasarkan iman keagamaan. Oleh karena itu, modernitas yang ditandai rasionalisme Barat itu adalah bentuk kehidupan atau bentuk kesadaran. Sebagai bentuk kehidupan, berkembanglah sistem ekonomi kapitalis dan sistem politik liberal. Sebagai bentuk kesadaran, modernitas ditandai oleh individualisme, kritik, dan kebebasan.
Jurgen Habermas dikenal sebagai pewaris utama mazhab Frankfurt dan dapat dikatagorikan ke dalam salah satu  dari tiga aliran utama atau mainstream filsafat dewasa ini, yaitu aliran kritis. Dua aliran utama lainnya yaitu gaya pemikiran fenomenologis dan analitis. Aliran kritis sebenarnya bertitik tolak dari pemikiran Karl Marx yang berkaitan kritiknya terhadap hubungan-hubungan sosial yang riil. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi.
Aliran kritis berbeda dengan aliran fenomenologis ataupun analitis; dimana teori kritis tidak mentasbihkan diri ke dalam menara gading teori murni, seakan-akan filsafat dapat secara netral menganalisa hakekat manusia dan masyarakat tanpa sekaligus terlibat di dalamnya[6]. Sementara aliran fenomenologis dan aliran analitis mentasbihkan diri berada pada teori murni yang secara netral menganalisa hakekat manusia dan masyarakat, sementara pemikiran kritis tetap merasa bertanggung_jawab terhadap kenyataan sosial.
Sampai sekarang Habermas masih dikenal sebagai pembaru tradisi intelektual yang dirintis oleh Marx Horkheimer. Sekarang sudah hampir 28 tahun yang sudah begitu jauh dari sendi-sendi pertama program Teori Kritis yang diletakkan oleh Horkheimer. Di Jerman Horkheimer sebagai seorang direktur “Insitut fur Sozialforschung (Institut Penelitian Sosial) Frankfurt yang didirikan tahun 1923; dan Juga dikenal sebagai peletak dasar-dasar pengembangan sebuah program multidisipliner yang disebutnya Teori Kritis. Program ini sebenarnya tidak bergerak pada ruang hampa_tapi bergerak melalui jalur Filsafat kritis yang sudah dirintis sejak Hegel dan Karl Marx.
Orang-orang yang mengikuti perkembangan ilmu-ilmu sosial Barat tidak akan terkejut jika mendengar bahwa secara intelektual, Marxisme dalam bentuk ortodoknya sudah lebih dari setengah abad yang silam ditanggapi dengan sikap kritis. Horkheimer bukanlah orang pertama yang tidak puas dengan Marxisme ortodoks, sebab sebelum dia sudah ada para revisionis dan orang-orang, seperti Antonio Gramsci, Lukacs dan Korsch yang tidak kurang kritisnya. Akan tetapi di tangan Horkheimer_lah Marxisme dijadikan sebagai sebuah pendekatan akademis-filosofis yang diharapkan dapat memberi terang teoritis pada praksis kehidupan bermasyarakat. Atau dengan kata lain_Horkheimer berjasa sangat besar untuk mengembalikan Marxisme menjadi filsafat kritis_yang kemudian dipadukan dengan kritisme Emmanuel Kant, Hegel, dan juga metode psikoanalisis Freud. Kemudian dua tokoh lainnya, yakni Theodor Adorno dan Herbert Marcuse ikut bergabung di dalam program teori ini dan membentuk mazhab tersendiri yang disebutnya “Mazhab Frankfurt” atau “die Frankfurter Schule”_mazhab ini yang selalu memberikan kritik-kritik tajam terhadap masyarakat industri maju di tahun 1960-an.[7]
Bagi Habermas_ada enam tema sentral yang menjadi pokok kajian mazhab Frankfurt, yaitu bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat postliberal, sosialisasi dan perkembangan ego, media massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes, teori seni dan kritik atas positivisme.[8] Keenam tema sentral teori kritis itu seolah menjadi ilham bagi gerakan mahasiswa pada tahun 1960-an yang kemudian dikenal dengan gerakan “The New Left Movement”.
Gagasan sebuah teori kritis masyarakat ditemukan Habermas pada Karl Marx. Berhadapan dengan penindasan-penindasan yang dialami kaum buruh dalam sistem kapitalisme Marx membongkar kepercayaan bahwa hukum ekonomi kapitalistik adalah sesuatu yang alamiah dan abadi. Kapitalisme adalah buah karya manusia sendiri; penindasan-penindasannya bukan sesuatu yang dapat diterima begitu saja. Bila membaca sejarah secara kritis (sejarah sebagai hasil pekerjaan manusia) struktur-struktur sosial, politis dan ekonomis yang kita temukan bukan hasil ketentuan sebuah nasib yang buta melainkan hasil pekerjaan manusia dan sekaligus sebagai sejarah penderitaan[9].  Dua hal yang dapat dibaca dari kapitalisme, pertama. Keadaan di bawah kapitalisme tidak wajar dan kedua, apa yang tampak sebagai hukum objektif bidang ekonomi adalah perbuatan manusia sendiri_hasil sejarah dan oleh karena itu terbuka untuk perubahan. Dengan demikian teori Marx membuka jalan ke tindakan emansipasi.
Jurgen Habermas mendalami pikiran ini dengan menggunakan pendekatan model psikoanalisa[10]. Akan tetapi menurut Habermas_Karl Marx tidak konsisten mempertahankan pendekatannya. Daripada memahami teorinya sebagai kegiatan kritis yang merangsang kegiatan mereka yang tertindas akan kemungkinan pembebasan, maka Marx memahami teorinya menurut pola teori ilmu alam (jelas pengaruh scientis abad ke 19). Sebagai teori objektif yang sekedar mendeskripsikan hukum-hukum objektif perkembangan masyarakat; Habermas dalam hal ini bicara tentang salah faham positivistik Marx terhadap teorinya sendiri. Akibatnya, teorinya menjadi sebuah dogma yang justru kehilangan daya pembebas dan malah berubah menjadi daya dominasi. Maslahnya, mengapa Marx berubah menjadi seorang positivistik sosial? Menurut Habermas karena Marx mereduksikan manusia pada satu macam tindakan saja yakni pekerjaan.
Kritik terhadap Marx ini kemudian menjadi inti pemikiran Habermas berikutnya. Bukan hanya Marx yang mereduksikan manusia pada pekerjaan, melainkan seluruh teori kritis masyarakat mengikuti Marx dalam penyempitan perspektif itu. Menurut Habermas itulah sebabnya mengapa Horkheimer dan Adorno tidak melihat jalan keluar dari dialektika pencerahan, dari analisis mereka_bahwa manusia semakin ia mau merasionalkan kehidupannya, malah semakin menjadi irrasional.
Jurgen Habermas sering bicara tentang interaksi atau komunikasi. Komunikasi adalah hubungan yang simetris atau timbal balik_terjadi diantara dua pihak yang sama kedudukannya. Komunikasi bukan hubungan kekuasaan, melainkan hanya dapat terjadi apabila kedua belah pihak saling mengakui kebebasannya dan saling percaya. Komunikasi juga merupakan interaksi yang diantarakan secara simbolis_menurut bahasa dan megikuti norma-norma. Bahasa harus dapat dimengerti, benar, jujur dan tepat. Keberlakuan norma-norma itu hanya dapat dijamin melalui kesepakatan dan pengakuan bersama bahwa kita terikat olehnya. Komunikasi tidak mengembangkan keterampilan melainkan kepribadian orang dan kita menjadi ahli komunikasi melalui internalisasi peran-peran sosial.
Karl Marx memahami interaksi dalam kerangka pekerjaan, maka pada aras ini teorinya gagal sebagai teori emansipatif. Jelas bahwa Marx mau mengembalikan seluruh perkembangan masyarakat pada perkembangan alat-alat produksi. Tetapi Habermas menegaskan bahwa perkembangan alat-alat produksi_meskipun tetap memainkan peranan dalam perkembangan masyarakat, tidak memelopori, melainkan menyusul perubahan sosial.
Maka pada penelitian yang dilakukan Habermas pada tahun 1970-an semakin di arahkan pada pengembangan sebuah teori perkembangan masyarakat. Bagi Habermas, perkembangan masyarakat adalah proses kompleks dimana sebuah masyarakat belajar bukan hanya dalam dimensi keterampilan-keterampilan teknis, melainkan juga dalam dimensi normatif – etis. Dan pada perkembangan selanjutnya kajian Habermas semakin terarah pada logika perkembangan pandangan-pandangan dunia dan proses-proses masyarakat belajar dalam bidang moral dan komunikasi dan proses belajar dalam bidang kesadaran moral-praktis mempunyai fungsi kritis.
B.     Biografi dan kehidupan Habermas
Habermas dikenal sebagai pemikir sosial dan pewaris teori kritis Frankfurt Schule_yang sangat penting saat ini. Dia di lahirkan di Dusseldorf, Jerman tanggal 18 Juni 1929_dari lingkungan keluarga kelas menengah yang agak tradisional. Ayahnya pernah menjabat Direktur Kamar Dagang_ketika berusia belasan tahun, sedang terjadi perang dunia II dan sangat dipengaruhi oleh perang itu. Usai perang_dunia II membawa harapan dan peluang baru bagi pemuda Jerman_termasuk Habermas_namun Habermas kecewa karena hampir tidak ada kemajuan yang berarti di tahun-tahun awal sesudah terjadinya perang.
Tidak berlebihan_kalau Habermas dianggap sebagai pewaris dan pembaharu teori kritis Frankfurt,[11]  sebab sebagai pewaris dan pengembang_dia tidak termasuk ke dalam kelompok Frankfurt (aliran Frankfurt sudah berakhir setelah kematian Horkheimer, Adorno, Marcuse), tetapi Habermas punya jasa besar dalam menumbuh_suburkan gaya pemikiran Frankfurt  itu bagi filsafat dan ilmu-ilmu sosial yang lebih luas.
Jurgen Habermas walaupun dianggap sebagai pewaris teori kritis, namun juga dikenal sebagai seorang rasionalis besar terakhir. Rasionalisme yang dikembangkannya punya ciri tersendiri; dengan gaya dialektik yang begitu apik_berusaha memasukkan core entral kritik atas rasionalisme ke dalam rasionalismenya tersebut[12]. Theorie des Kommunicativen Handelns yang diterbitkan dalam dua jilid di tahun 1981, mewakili titik puncak upaya-upaya yang dilakukannya itu.
Hancurnya Nazisme menimbulkan optimisme bagi masa depan Jerman_semua jenis peluang intelektual muncul dan buku-buku yang semula dilarang dibaca kini boleh dibaca dan tersedia bagi semua warga Jerman_termasuk Habermas (termasuk literatur Jerman dan Barat maupun risalah yang ditulis oleh Marx dan Engels). Pada tahun 1949 dan 1954 Habermas mempelajari berbagai topik (antara lain filsafat, psikologi, kesusastraan Jerman) di Gottingen, Zurich dan Bonn. Namun, tidak seorang-pun di tempat Habermas sekolah_yang benar-benar terkenal dan kabanyakan mereka mendukunh Nazi secara terang-terangan atau hanya melanjutkan pelaksanaan tanggung_jawab akademis mereka di bawah rezim Nazi sebelumnya. Habermas mendapat gelar akademik tertingginya atau Doktor dari Universitas Bonn tahun 1954 dan selama dua tahun bekerja sebagai jurnalis.
Tokoh-tokoh aliran kritis pada waktu itu George Lukacs, Karl Korsch, Erns Bloch, Antonio Gramsci. Salah satu aliran yang dalam kes,uruhan gaya pemikiran kritis yang berinspirasi pada filsafat Marx itu apa yang disebut kemudian sebagai teori Kritis Masyarakat atau “Eine kritische Theorie der Gessellchaft”. Teori Kritis dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh tokoh-tokoh yang semula sampai melarikan diri dari kejaran pemerintah Nazi di Jerman, bekerja di Institut fur Soziaforschung pada Universitas Frankfurt. Mereka itu adalah dwi tunggal Marx Horkheimer, Theodor W. Adorno dan Herbert Marcuse. Anggota lainnya adalah Freiderich Pollock, Leo Lowenthal, Walter Benjamin, Franz Neumann, Otto Kirchheimer dan Karl August Wittfogel. Erich Fromm pun semula masuk dalam aliran ini dan merek ini yang disebut sebagai Mazhab Frankfurt atau “Die Frankfurter Schule”.
Pada tahun 1956 Habermas bergabung dengan The institute for Social Research di Frankfurt dan dikenal dengan aliran Frankurt_menjadi asisten riset dari Theodor Adorno, anggota aliran Frankfurt yang sangat terkenal. Namun_posisi Habermas di dalam aliran Frankfurt sebagai orang yang mempunyai orientasi intelektual yang bebas; dan posisi itu membuat hubungannya dengan Max Horkheimer_pimpinan Institut itu_terutama ketika artikel yang ditulisnya pada tahun 1957. Habermas menekankan pemikiran kritis dan tindakan praktis_namun Horlheimer takut pendirian seperti itu dapat membahayakan pendanaan dan keberlangsungan Institut secara umum. Sehingga Horkheimer menyatakan bahwa “ia agaknya mempunyai karir yang baik atau bahkan cemerlang sebagai penulis di masa depan, tetapi ia hanya akan menyebabkan kerusakan besar terhadap Institut”. Artikel Habermas itu akhirnya diterbitkan juga_tetapi tidak dengan bantuan Institut dan sebenarnya tidak merujuk ke institut dan atas kejadian itu_Horkheimer tidak enak hati dan menghadapi kondisi yang sangat sulit berkenaan dengan karya Habermas itu_kemudian Horkheimer mengundurkan diri dari jabatannya di institut.
Habermas tidak bersifat radikal dalam seumur hidupnya; nampaknya setelah pertumbuhan dalam Nazi Jerman_dia hanya mulai bergerak ke kiri di bawah pengaruh dari Adorno. Pada tahun 1960-an dia seorang pendukung yang kuat dari mahasiswa sayap kiri_tetapi kemudian menjauh dari mereka, sambil mengatakan bahwa mereka hanya membangun bentuk-bentuk dominasi baru. Karya-karyanya sering diambil oleh golongan kiri_tetapi hal itu termasuk suatu perpindahan yang radikal dari bentuk-bentuk Marxisme.
Tahun 1961_Habermas menyelesaikan disertasi keduanya di Universitas Marburg Jerman. Setelah menerbitkan sejumlah karyanya yang terkenal_Habermas direkomendasikan menjadi profesor filsafat di Universitas Heidelberg_bahkan sebelum menyelesaikan disertasi keduanya_hingga tahun 1964 dan kemudian pindah ke universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat dan sosiologi (sebagai pengganti Adorno_suatu pengangkatan yang sangat bergengsi), mengalami begitu banyak gangguan dan demonstrasi dari pihak mahasiswa sehingga pada tahun 1971_hanya enam tahun kemudian, berhenti sebagai profesor. Dari tahun 1971 sampai 1981 (setelah mundur dari profesor di universitas Frankfurt)_Habermas menjadi Direktur Institut Max Planck di Starnberg. Sejak tahun 1983 dalam alam akademis yang berbeda_ Ia kembali ke Universitas Frankfurt sebagai profesor filsafat dan tahun 1994 pensiun di Frankfurt. Selama karirnya di dunia akademis_Habermas telah menerima sejumlah penghargaan bergengsi dan menerima gelar profesor kehormatan dari sejumlah universitas.
Jurgen Habermas dikenal sebagai rasionalis besar terakhir; namun rasionalismenya mempunyai ciri tersendiri dengan gaya dialektik_dia berusaha memasukan insight-insight sentral kritik atas rasionalisme ke dalam rasionalisme-nya tersebut. Theorie des kommunicative Handelns_diterbitkan dalam dua jilid pada tahun 1981_mewakili titik puncak upaya yang dilakukannya itu.
Juga_Habermas dikenal sebagai pemikir neo-Marxis yang paling terkenal di dunia_walau hanya beberapa tahun, namun setelah itu karyanya diperluasnya meliputi berbagai masukan teoritis yang berbeda dan tetap optimis terhadap masa depan kehidupan modern; dan dengan sikap optimismenya itu_ia menulis tentang modernitas sebagai proyek yang belum selesai; sementara Marx menulis dan tetap pada kajiannya pada pekerjaan dan tenaga kerja, Habermas terutama memusatkan perhatiannya pada masalah komunikasi yang ia anggap sebagai proses yang lebih umum ketimbang pekerjaan. Sementara Marx memusatkan perhatian pada pengaruh distorsif dari struktur masyarakat kapitalis terhadap pekerjaan_titik tekan Habermas pada cara struktur masyarakat modern mendistorsi komunikasi. Marx membayangkan kehidupan masa depan ditandai oleh pekerjaan penuh dan tenaga kerja kreatif_sedangkan Habermas membayangkan masyarakat masa depan ditandai oleh komunikasi bebas dan terbuka. Pada aras ini, terdapat benang merah kesamaan antara Marx dan Habermas yakni keduanya merupakan pemikir modernitas masih belum selesai (terciptanya pekerjaan penuh dan kreatif menurut Marx dan terciptanya komunikasi yang bebas dan terbuka menurut Habermas) dan keduanya berkeyakinan bahwa di masa depan proyek modernitas yang belum selesai itu akan selesai.
Komitmen terhadap modernisme dan keyakinan terhadap masa depan...inilah yang membedakannya dengan para pemikir sosial kontemporer lainya (seperti Jean Baudrillard dan pakar post-modernisme lainnya)_sementara pakar post-modernisme sering terjebak ke arah nihilisme_namun Habermas terus yakin terhadap proyek jangka panjangnya_modernitas. Sementara para pemikir lain seperti Lyotard menolak kemungkinan terciptanya teori agung (grand theory)_Habermas tetap bekerja berdasarkan dan menyokong teori agung paling terkemuka dalam teori sosial modern. pada aras ini_Habermas menghadapi banyak resika ketika menghadapi pemikir post-modernisme; dan jika mereka menang_Habermas mungkin akan dianggap sebagai pemikir modernitas besar terakhir_bila Habermas (para penyokongnya) yang tampil sebagai pemenang, ia mungkin akan dipandang sebagai juru selamat proyek modernitas dan teori agung dalam ilmu-ilmu sosial.
 Habermas adalah tokoh terkemuka filsafat kritis dan sangat berpengaruh dalam dunia filsafat maupun ilmu-ilmu sosial. Sebagaimana diketahui bahwa filsafat kritis terinspirasi oleh tradisi besar dan karya Karl Marx. Ciri yang menonjol dari filsafat kritis adalah selalu berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan sosial yang nyata; juga merefleksikan dirinya dan masyarakat dalam konteks dialektika struktur-struktur penindasan dan emansipasi. Juga_filsafat kritis tidak mengisolasi diri dalam menara gading teori murni, seakan-akan filsafat dapat secara netral menganalisis hakekat manusia dan masyarakat tanpa sekaligus terlibat di dalamnya; atau dengan kata lain bahwa filsafat kritis merasa diri bertanggungjawab terhadap keadaan sosial yang nyata.
Siapapun tidak bisa berharap banyak pada filsuf-filsuf kritis yang mengharapkan bimbingan dalam usaha mewujudkan keadilan sosial_semacam teori transformasi sosial masyarakat yang tinggal dilaksanakan; tapi justru mereka menolak untuk menjadi ajaran yang dapat menjadi pegangan oleh gerakan mahasiswa kala itu_malahan mereka curiga terhadap segala ajaran.[13] Diskursus pada tingkat filosofis-teoritis tetap menjadi ciri khas filsafat kritis dan tetap menolak untuk menjadi sebuah idiologi perjuangan dan menjadi guru[14] (itulah sebabnya murid-murid yang mau berguru pada mereka itu selalu kecewa dan salah paham); tetapi di lain pihak filsafat kritis berdasarkan anggapan-anggapan mana masuk ke dalam inti metodologinya_bahwa justru sebagai kegiatan teoritis yang tetap tinggal dalam medium fikiran_filsafat kritis menjadi praktis.[15]
Aliran pemikiran kritis memang dikenal sangat heterogen; antara satu pemikir dengan pemikir aliran kritis tidak selamanya sepaham_mereka suka saling menanggapi dan saling kritik. Pemersatu diantara mereka barangkali hanya_mereka melanjutkan pemikiran Karl Marx secara kritis dan anti-dogmatis dan malah menolak apa yang disebut “Marxisme Resmi” (terutama mereka tanpa kecuali menolak idiologi komunis, Marxisme-Leninisme_oleh karenanya aliran ini sangat dibenci dan dikutuk oleh kaum komunis.
Bagi mazhab Frankfurt dan Lukack teori merupakan Reason_dengan huruf besar “R” yakni suatu pengetahuan rasional mengenai dunia dan diri kita sendiri. Bagi Lucaks_cara Reason bisa maju berkembang ke arah suatu pengetahuan yang bersifat totalisasi; bagi Adorno_hal itu dikembalikan ke dalam kemampuan individu untuk menolak kesimpulan dalam totalitas; tetapi bagi keduanya_hal itu adalah sesuatu yang harus dipercaya_dan akan menjadi sesuatu kemungkinan dari suatu dunia yang lebih baik. Tetapi_bagi Habermas, tidak berurusan dengan Reason tetapi dengan pemikiran rasional dan lebih tertarik dengan penggambaran perbedaan-perbedaan yang tipis daripada generalisasi-generalisasi yang luas.
Kata teori berasal dari kata Yunani “theoria” berarti pemandangan atau kontemplasi.[16] Paham Yunani tentang theoriat erat hubungannya dengan sebuah kosmologi; melakukan theoria merupakan kegiatan tertinggi manusia karena berarti mengaktifkan logos (percikan logos ilahi yang ada dalam diri manusia). Orang yang berfilsafat akan mengembangkan ethos, yaitu sikap hidup yang teratur_karena ia mengorientasikan diri pada tatanan kosmik yang mencerminkan tatanan abadi.
Ilmu-ilmu modern_seolah kehilangan kerangka acuan kosmologis; ilmu-ilmu positif dengan metode yang bersifat nomotetik_mencari pengetahuan terlepas dari orientasi yang abadi; kosmos menjadi empiris dan kosmologi tidak terpakai lagi_yang dicari adalah fakta-fakta (ilmu sejarah dan ilmu sosial umumnya mengikuti kecendrungan ini).  Ilmu-ilmu modern dalam satu hal tetap terikat pada tradisi kontemplatif (mereka mengandaikan bahwa penelitian harus bebas nilai_pengetahuan harus dipisahkan dari kepentingan, dan pernyataan-pernyataan logis harus dibebaskan dari yang normatif). Ilmu pengetahuan modern mempertahankan kesan obyektifitas ilmu dalam pengertian bahwa pengetahuan yang diusahakan itu diclaim tidak tercampur kepentingan dan lirikan manfaat.
Habermas menunjukan bahwa (atau bahkan Edmund Husserl_bapak fenomenologi yang hendak mengembalikan obyektifitas murni pada pemikiran)_mengkritik anggapan naif seakan-akan ilmu-ilmu dapat dipisahkan dari dunia kehidupan (lebenswelt), justru buta terhadap pengandaian-pengandaian terselubung pemikirannya sendiri.
C.    Habermas dan para pendahulunya
Jurgen Habermas bergabung ke dalam Institut fur Sozial forschung pada tahun 1956, yaitu lima tahun setelah Institut ini didirikan di bawah kepemimpinan Adorno. Satu hal penting untuk memahami posisinya sebagai pemikir Marxis adalah peranannya di kalangan mahasiswa Frankfurt, seperti Adorno dan Horkheimer; Habermas melibatkan diri dalam gerakan-gerakan mahasiswa kiri Jerman (meski keterlibatannya hanya sebagai pemikir Marxis). Habermas menjadi populer dikalangan mahasiswa sosialis Jerman dan mendapatkan reputasi sebagai pemikir baru untuk melanjutkan tradisi pemikiran Horkheimer, Adorno dan Marcuse.
Pada tahun 1970-an gerakan-gerakan mahasiswa mulai melancarkan aksi-aksi kekerasan yang tidak dapat dibenarkan oleh pemikir institut. Pada aras ini, Habermas melakukan kritiknya terhadap gerakan-gerakan itu. Aksi-aksi itu dikecamnya sebagai revolusi palsu, bentuk pemerasan yang diulangi kembali, picik dan counterproductive (juga seperti yang dialami pendahulunya; Habermas menghadapi konflik langsung dengan para mahasiswa secara dramatis). Konfrontasi itu_menempatkan Habermas dalam posisi sebagai pemikir Neo-Marxis.
Pokok-pokok pikiran Habermas sebagai upaya penyegaran kembali teori kritis menyangkut posisinya pada kontinuitas dan diskontinuitas pemikirannya dengan pendahulunya; juga menekankan pada perbedaan jalan pemikirannya dengan Marxisme; dan posisi teoritis mengenai konsep sentralnya dan yang membedakannya secara radikal dari pemikiran Marxis dan Neo-Marxis (terutama konsepnya mengenai praxis).
Sebagaimana uraian sebelumnya, para pendahulunya (Adorno, Horkheimer dan Marcuse)_memandang pencerahan telah menghasilkan Zweckrationalitat atau rasionalitas tujuan_sumber dari berbagai bentuk saintisme, positivisme, teknokratisme dan barbarisme gaya baru. Rasionalitas modern sebenarnya merupakan radikalisasi teori rasionalisasi Max Weber dan dapat dipandang sebagai teori rasionalisasi versi teori kritis setelah mendapat inspirasi dari Lukacs. Teori rasionalisasi tidak hanya menyangkut analisis atas berbagai macam bentuk rasionalitas dalam sejarah, melainkan juga perwujudan rasionalitas itu dalam berbagai bentuk kehidupan politik, ekonomi, sosial, kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Habermas meminati masalah rasionalisasi ini sebagai masalah kemanusiaan; keprihatinan terhadap masalah ini mendorongnya untuk memikirkan kembali permasalahan rasionalitas dan proses rasionalisasi itu dengan membuat analisis_baik terhadap rasio manusia maupun perwujudannya di dalam praxis hidup sosial. Satu hal yang membedakannya dengan para pendahulunya, adalah sikapnya terhadap masalah ini (jika para pendahulunya mengahadapi rasionalisasi secara sistematis sebagai jalan tunggal menuju perbudakan gaya baru; Habermas menemukan aspek positif dari proses itu sehingga dalam arti tertentu masih ada harapan real yang dapat di tempatkan dalam konteks rasionalisasi).
Habermas, sebagaimana para pendahulunya_hendak membangun sebuah teori dengan maksud praxis, karena itu dalam banyak hal tidak meninggalkan konsep kritik menurut warisan Mazhab Frankfurt. Pada aras ini_Habermas menghadapi masalah positivisme dalam ilmu-ilmu tentang masyarakat dan aplikasinya sebagai teknologi sosial[17]. Jika para pendahulunya menolak sama sekali pemikiran modern tersebut, Habermas melihat segi-segi positipnya. Unsur-unsur modernitas, seperti teknologi, ilmu-ilmu empiris dan positivisme sendiri sebagai cara berfikir_merupakan faktor penting bagi salah satu dimensi dari praxis hidup manusia yaitu kerja. Dengan jalan itu, manusia berhasil membebaskan diri dari alam eksternalnya. Hanya saja_walau Habermas menerima cara berfikir positivistis dan teknologi dalam konteks kerja_tapi tetap bersikap tegas terhadapnya bila diterapkan dalam konteks interaksi sosial. Positivisme dalam konteks idiologi dan saintisme_tetap dikecam Habermas, karena positivisme mengklaim diri sebagai pengetahuan sejati yang meliputi segala bidang_termasuk kehidupan sosial manusia.
Latar belakang pemikiran Habermas berakar pada tradisi idealisme Jerman, seperti para pendahulunya (khususnya transendentalisme Kant, idealisme Fichte dan Hegel, serta materialisme Marx)[18].  Psikoanalisis Sigmund Freud_juga terintegrasi ke dalam teori kritis Habermas, sebagaimana jamaknya mazhab Frankfurt dan bahkan bila dibandingkan dengan mazhab Frankfurt ternyata psikoanalisis Freud lebih ditonjolkan Habermas. Di tangan Habermas, teori kritis mendapatkan wawasan baru yang diperolehnya dari tradisi Anglo_Amerika_yaitu linguistic-analysis dari Wittgenstein, Searle dan Austin_Habermas mencoba mengintegrasikan pemikiran analitis ini ke dalam pemikiran dialektis teori Kritisnya. Perhatiannya terhadap linguistik manusia dapat dijumpai dalam karya-karya awalnya_bahkan kerap dikatakan oleh sebagian ahli bahwa dalam pemikiran Habermas telah terjadi “linguistic turn” dari pemikiran Marxis. Analisis bahasa dapat dimengerti dalam konteks pemahaman baru teori kritisnya mengenai komunikasi sebagai salah satu dimensi praxis. Habermas juga dipengaruhi oleh pemikiran pragmatis Amerika, seperti Peirce, Mead dan Dewey[19]. Pelbagai tradisi yang melatar_belakangi pemikirannya, Habermas mencoba meramunya sebagai suatu teori yang integral dan sistematis; watak sistematis dari teori-teorinya itu yang secara nyata membedakannya dari para pendahulunya (Mazhab Frankfurt) yang terkenal sebagai anti-sistem.
Bidang-bidang kajian dan kritik Habermas_tidak terbatas pada apa yang pernah di kaji para pendahulunya, namun berangkat dari pemahamannya tentang praxis_membawanya untuk menyentuh wilayah-wilayah pengetahuan yang berkembang dewasa ini (meskipun teori-teori itu berkembang dari tradisi pemikiran yang bagi intelektual Marxis dicap sebagai “ilmu-ilmu borjuis).  Misalnya, dengan minat yang besar sebelum melontarkan kritiknya_ia mencoba menelaah teori fungsionalisme-struktural dan teori sistem Parsons; perkembangan metodologi dalam lapangan etnometodologi dan ilmu fenomenologi dan hermeneutis; bahkan dalam beberapa kesempatan_Habermas berdiskusi dengan filsuf semisal Gadamer[20].
Endingnya, melalui pengetahuan ensiklopedisnya_Habermas membangun sebuah teori Komunikasi Masyarakat sebagai jalan baru bagi teori kritis. Walau demikian, pihak-pihak kiri yang tetap memegang teguh jalan konflik-nya tetap menuduhnya sebagai sebagai seorang Marxis yang sesat dan bekerja demi ilmu-ilmu borjuis[21]. Tuduhan itu dapat dipahami karena_Habermas memberi tempat sentral bagi konsensus di dalam kritik idiologinya. Namun, yang jelas bahwa Habermas dengan teori komunikasinya dianggap sebagai generasi baru teori kritis atau generasi kedua teori kritis (bersama para sahabatnya Clauss Offe, Albrecht Wellmer, Klaus Eder, dan Rainer Dobert).
D.    Pokok-pokok Pemikiran Jurgen Habermas
1. Ilmu bebas nilai?
Apakah ilmu-ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial_harus bekerja dengan bebas nilai[22], (bicara tentang yang ada, bukan yang harus ada). Perselisihan metode awalnya terjadi di Jerman dan Austria sekitar tahun 1890-an, para pendekar utama adalah Menger dan Schmoller yang mempersoalkan apakah ilmu ekonomi harus memakai metoda eksak atau historis dan kemungkinan syarat-syarat ilmu-ilmu sosial dan ekonomi yang normatif. Istilah kebebasan nilai (wertfreyheit) dibentuk dalam perselisihan penilaian (werturteilsstreit) termasyhur berlangsung antara tahun 1909 dan 1914). Posisi yang paling terkenal adalah posisi Max Weber yang menuntut agar ilmu-ilmu sosial bekerja dengan bebas nilai_tetapi juga tetap relevan terhadap masalah nilai.
Para pendukung kebebasan nilai memberikan jawaban afirmatif_bahkan menambahkan bahwa metode yang dipakai dalam ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak berbeda. Artinya, kalau ilmu-ilmu sosial mau berlaku sebagai ilmu pengetahuan, harus dapat menghasilkan dalil-dalil umum dan prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam ilmu alam. Untuk sampai ke tujuan itu_sebuah riset sosial harus dapat menghasilkan deskripsi dan penjelasan ilmiah yang tidak memihak dan tidak memberikan penilaian apapun. Oleh karena itu_seorang ilmuan atau peneliti harus dapat meninggalkan rasa-perasaannya, harapan-harapannya, keinginan-keinginannya, penilaian-penilaian moralnya atau bahkan kepentingan-kepentingannya, untuk mendekati objek sosial, sehingga diperoleh pengetahuan objektif tentang kenyataan sosial atau social fact. Berdasarkan anggapan itu_para pendukung kebebasan nilai di masukkan ke dalam kubu positivisme.
Dalam perselisihan Positivisme[23], Karl Popper dan Albert mengemukakan postulat kebebasan nilai yang sebaliknya dikritik oleh Adorno dan Habermas. Positivisme memang mau membatasi ilmu-ilmu pengetahuan pada fakta dan mengesampingkan pertanyaan mengenai nilai sebagai irrasional. Kemudian pada segi yang lain, rasionalisme kritis sendiri menolak usaha yang dilakukan Adorno Cs. Untuk memasukannya ke dalam satu ranah (meminjam istilah Bourdieu) dengan positivisme dan menyatakan diri sebagai anti-positivistik.
Baik Popper cs. maupun Adorno cs. Berada pada suatu situasi yang saling serang dan saling tuduh sebagai positivistik. Adorno cs. Menuduh Popper cs. Sebagai positivistik (Habermas: “ein positivistisch halbierter Rationalismus”), sedangkan Popper cs, menuduh Adorno cs. Sebagai positivis yang sesungguhnya. Walaupun demikian_pada aras yang sama, dua-duanya menyatakan diri anti positivisme, sehingga Ralp Dahrendorf menyatakan bahwa secara kasat mata kedua belah pihak itu kelihatan berpendirian sama.
Namun kedua-duanya, menolak verifikasi sebagai kriteria kebenaran. Penolakan itu_baik oleh rasionalisme kritis maupun teori kritis, bukan hanya menyangkut ilmu-ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu alam. Pada aras ini, Habermas mengenai postulat kebebasan nilai bukan saja merupakan ilusi bagi ilmu-ilmu sosial, melainkan juga ilmu-ilmu pengetahuan alam sama saja tidak bebas nilai. Sebuah postulat yang menarik diungkapkan Habermas “apa yang berlaku bagi ilmu alam lebih berlaku lagi bagi ilmu-ilmu sosial”.
Apa penjelasan yang diberikan terhadap postulat itu? Postulat itu dapat disederhanakan sebagai berikut : ramalan-ramalan ilmiah dapat dialihkan menjadi rekomendasi-rekomendasi teknis; rekomendasi-rekomendasi itu dapat membedakan antara situasi semula yang sudah ada, sarana-sarana alternatif dan tujuan-tujuan hipotetis”. Penilaian-penilaian masuk ke dalam tujuan, tetapi begitu tujuan telah ditetapkan, maka untuk mencapainya harus dipergunakan sarana-sarana yang netral nilai.
Menurut Habermas, niat seperti itu tidak dapat dilaksanakan, karena untuk melaksanakan rekomendasi-rekomendasi teknis dalam suatu situasi konkrit, tentu rekomendasi itu harus diinterpretasikan terlebih dahulu agar maching dengan situasi itu. Tetapi pada tahap ini, sarana-sarana dan tujuan-tujuan tidak lagi dapat diisolasikan. Artinya tujuan dapat menjadi sarana bagi tujuan selanjutnya, sarana-sarana dapat menjadi tujuan. Kelihatan bahwa realitas masyarakat tidak dapat ditangkap dalam kerangka peristilahan sarana-tujuan, melainkan harus dimengerti sebagai totalitas unsur-unsur yang saling menengahi.
Paling tidak_ada dua hal yang perlu dijadikan pertimbangan, yaitu: pertama,  ilmu-ilmu pengetahuan yang dikatakan bebas nilai sebenarnya ditentukan secara normatif oleh suatu kepentingan teknis. Kedua, ruang keputusan-keputusan normatif  yang secara keliru dianggap irrasional dapat saja dijelaskan secara rasional. Dengan demikian_kesan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan itu bebas nilai sangat bersifat idiologis. Asumsi bahwa suatu pengertian yang murni, bebas dari kepentingan_padahal kepentingan murni ini tetap ditentukan secara normatif oleh kepentingan-kepentingan teknis. Pemisahan antara fakta dan keputusan sendiri hanyalah akibat dari reduksi yang tidak sah (yaitu reduksi segala bentuk pengetahuan pada pengetahuan dari jenis teknis dan ilmu pengetahuan alam). Oleh karena itu, menurut Habermas_ tidaklah kebetulan bahwa perpisahan keras antara fakta dan keputusan baru diadakan dengan tajam pada awal kapitalisme. Sebab reduksi di bawah kapitalisme_semua nilai pada nilai tukar atau nilai ekonomis mengakibatkan bahwa hubungan-hubungan sosial akhirnya dalam semua bidang kehidupan dibendakan[24] (dianggap benda atau barang dagangan). Kritik Habermas terhadap postulat kebebasan nilai ilmu pengetahuan_bukan sebatas teori ilmu pengetahuan, melainkan Habermas mau membuka kedok suatu idiologi yang kekuasaannya menghalang-halangi emansipasi manusia.
Apa yang diuraikan Habermas tentang kebebasan nilai berangkat dari krisis ilmu pengetahuan Barat. Keprihatinan Habermas terhadap krisis ilmu pengetahuan pada awalnya diungkapkan saat pengukuhan guru besar di Universitas Franfurt tahun 1965; teks pidatonya berjudul Knowledge and Human Interests_kemudian menjadi sebuah teks filosofis yang sangat termashur. Apa yang diungkapkan Habermas dalam teks itu menjadi semacam rumusan dari posisinya berhadapan dengan positivisme dan sekaligus menjadi proyek filsafatnya.
Dalam pidatonya_Habermas mengemukakan lima tesis yang dianggap sebagai suatu kesadaran baru yang bertentangan dengan paham yang lazim dalam ilmu-ilmu positif. Pertama, pencapaian-pencapaian subjek transendental memiliki dasar dalam sejarah alam spesies manusia. Pengetahuan adalah hasil perkembangan evolusioner spesies manusia dan pengetahuan yang bisa melampaui data-data konkrit (transendental), kata Habermas tidak berasal dari langit[25]. Lalu apa bisa dikatakan bahwa rasio manusia adalah semacam organ adaftasi (seperti kuku atau taring pada hewan)?. Pada aras ini, Habermas tidak menapik kemungkinan itu, tetapi dia juga menyadari bahaya dari anggapan itu yakni mereduksi pengetahuan pada proses-proses biologis. Karenanya_kepentingan yang mengarahkan pengetahuan muncul dari alam sekaligus dari keterputusan dengan alam sebab kebudayaan.
Kebudayaan adalah hasil kerja manusia, menurut Habermas. Dan lewat kerjanya manusia mewujudkan hasrat-hasrat naluriahnya justru lewat penundaan naluri-naluri itu. Di satu pihak_kebudayaan adalah hasil pembebasan dari paksaan alamiah manusia (antara lain mempertahankan diri), juga dari dalam (naluri) dan dari luar (proses-proses fisik). Habermas menunjuk pada sistem sosial sebagai pengganti organ pertahanan diri di satu pihak, tetapi juga sebagai hasil perwujudan proses-proses kognitif manusia yang bersifat utopis di lain pihak. Untuk status kepentingan ini, Habermas menggunakan istilah “kuasi-transendental”.
Kedua, pengetahuan berlaku sebagai alat pertahanan diri sekaligus melampaui pertahanan diri semata-mata. Pembahasan proses-proses pengetahuan sebagai sesuatu yang terwujud dalam proses institusional masyarakat dan kebudayaan dimulai sejak Hegel. Pandangan idealistik menyatakan bahwa pranata-pranata atau organisasi sosial pada hakekatnya adalah rasio atau roh yang mendapat sosok tetapnya. Habermas mengakui bahwa ia tidak sepenuhnya setuju dengan idealisme (namun bersama mazhab Frankfurt), tentu tidak bisa lepas dari wawasan tradisi ini.
Ketiga, kepentingan-kepentingan kognitif manusia sebagai spesies sejak awal terwujud dalam tiga medium organisasi sosial, yaitu: kerja, bahasa dan kekuasaan. Ketiga medium itu, menurut Habermas memiliki fungsi pertahanan diri atau penjagaan kelangsungan hidup bangsa manusia. Demi kelangsungan hidupnya_ manusia harus menggunakan media sistem kerja sosial dan penegasan diri lewat kekerasan[26]. Juga_bahasa sehari-hari sebagai sarana komunikasi kehidupan bersama dalam cakrawala tradisi yang melindungi manusia dari ancaman kekacauan sosial yang mungkin akan membinasakan manusia. Dalam kehidupan sosial itu_ada tahapan dimana manusia memperkokoh kesadaran akan ke-aku-an berhadapan dengan norma-norma kelompok_demi kelangsungan hidupnya dalam bermasyarakat. Dan sebagai perekat ketiga medium itu adalah informasi untuk memperluas kontrol teknis, interpretasi yang memungkinkan arah tindakan dalam wawasan tradisi bersama, dan analisis yang membebaskan dari kekuatan-kekuatan yang membeku. Lalu permasalahan adalah, bagaimana keterkaitan kepentingan dengan pengetahuan? Guna menjawab permasalahan itu_sangat berkaitan dengan tesis Habermas di bawah ini.
Keempat, di dalam kekuatan refleksi diri[27], pengetahuan dan kepentingan menyatu. Konsep refleksi diri dipahami dalam konteks idealisme Jerman (mengacu pada Hegel dan Fichte).  Rasio mengandung dua segi yaitu kesadaran dan kehendak[28]. Hegel menunjukan bahwa rasio manusia memiliki kemampuan untuk menemukan kendala-kendala yang merintangi perkembangan manusia untuk mencapai otonomi dan tanggung jawab atau kedewasaan (Mundigkeit)[29]. Sebuah ilustrasi di berikut ini untuk menjelaskan konsep itu, adalah dialektika tuan dan budak. Lewat kerja paksanya_si budak menjadi sadar diri akan posisinya di hadapan tuannya. Kepentingan kognitif emansipatoris dari rasio untuk mencapai otonomi dan tanggungjawab ini, menurut Habermas sudah melekat dalam bahasa. Karena itu, apa yang diungkapkannya sejalan dengan idealisme Jerman (universalitas rasio merupakan arah refleksi diri bagi Habermas). Dan memang sangat kentara pidato pengukuhan guru besar Habermas dipengaruhi filsafat sejarah Hegel.
Kelima, kesatuan antara pengetahuan dan kepentingan dapat dibuktikan dalam suatu dialektika yang memiliki jejak-jejak sejarahnya dari dialog yang ditindas dan merekonstruksi apa yang telah ditindas. Artinya_kesatuan pengetahuan dan kepentingan tampak dalam usaha-usaha manusia dalam sejarah untuk mencapai konsensus itu lewat dialog dan pada gilirannya, lewat tafsiran atau refleksi atas dialog yang ditindas.
Kritik-kritik idiologi dari positivisme yang menyingkirkan dogmatisme dengan memisahkan rasio dari keputusan yang mengandung komitmen yang bermuara pada otomatisasi keputusan menurut rasionalitas dominan, yakni rasionalitas teknologis. Masalahnya, apakah pemisahan rasio dan keputusan itu sendiri dalam kenyataan mungkin? Menurut Habermas_itu tidak mungkin. Sebab jika positivisme melakukan kritik dan tentunya kritik itu tidak bisa dilepaskan dari pemihakan tertentu. Hanya lewat pemihakan terhadao rasionalitas tertentu_kritik itu mendapat isi rasionalnya. Dan itulah_yang terjadi dalam positivisme_betapapun dibatasi, rasionalisasi tidak bebas dari nilai apalagi idiologi.
2. Krisis Legitimasi
Konsep krisis yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial dewasa ini adalah konsep krisis yang berparadigma sistemik-teoritis. Suatu krisis muncul ketika suatu struktur sistem sosial hanya mampu membuka sedikit sekali pemecahan masalah daripada kepentingan untuk menjaga sistem itu tetap eksis. Artinya bahwa krisis lebih dipahami sebagai gangguan terus menerus yang hendak mencerai beraikan kesatuan sistem
Pendekatan Habermas terhadap konsep krisis memanfaatkan teori sistem Parsonian_setelah memodifikasi secara kritis. Dari pendekatan sistem Parson ini, Habermas mengeksplesitkan dua paradigma untuk menjelaskan krisis, yaitu paradigma dunia-kehidupan dan sistem[30]. Paradigma diartikan Habermas sebagai perspektif atau sudut pandang. Masalahnya kemudian adalah bagaimana menunjukan kesaling_terkaitan diantara kedua paradigma itu?.           
Fakta sosial didekati sebagai sistem-sistem sosial, menurut perpektif sistem dan sistem sosial dipandang sebagai semacam organisme yang memiliki identitas dan tujuan yang jelas. Habermas membedakan tujuan sistem-sistem sosial itu dalam dua aspek yang saling berkaitan, yaitu integrasi sistem dan integrasi sosial. Suatu masyarakat atau sistem sosial dapat dikatakan memiliki integrasi sosial manakala para anggotanya berhubungan satu sama lain secara sosial membentuk sistem-sistem institusi. Jadi, sistem sosial pada aras ini_dilihat sebagai dunia-kehidupan (Lebenswelt), sebuah dunia yang dihayati oleh para anggotanya yang terstruktur secara simbolik.
Berbeda halnya, sebuah sistem sosial memiliki integrasi sistem kalau sistem sosial itu menunjukan dirinya sebagai sistem pengendalian diri. Sistem sosial_dilihat sebagai dengan sudut pandang kemampuannya untuk menjaga batas-batas identitasnya dan keberadaannya dengan mengatasi berbagai masalah dari lingkungannya yang berubah-ubah. Dan dari pendekatan sistem inilah_Habermas melahirkan dua paradigma untuk menjelaskan krisis sebagaimana tersebut di atas.
Dengan perspektif dunia kehidupan, yang akan disoroti adalah struktur-struktur normatif (nilai-nilai dan institusi-institusi) masyarakat. Persitiwa-peristiwa dan kondisi-kondisi berdasarkan ketergantungan terhadap fungsi-fungsi integrasi sosial (dalam istilah Parson, integrasi dan pemeliharaan pola)akan dianalisa, sementara komponen non-normatif sistem berfungsi sebagai kondisi-kondisi pembatasnya. Sementara dengan perspektif sistem_akan dapat disoroti mekanisme-mekanisme pengendalian masyarakat dan perluasan wilayah kemungkinan (contingency). Dengan pendekatan ini_yang akan dianalisa peristiwa-peristiwa dan kondisi-kondisi ketergantungan pada fungsi-fungsi integrasi sistem (istilah Parson, adaftasi dan pencapaian-tujuan), sedangkan nilai-nilai tujuan berfungsi sebagai data[31]. Karena itu, jika mencoba memahami sistem-sistem sosial sebagai dunia kehidupan, maka aspek pengendalian akan terungkap, akan tetapi_jika mencoba memahami masyarakat sebagai sistem, maka fakta atau realitas sosial terletak di dalam faktisitas klaim-klaim kesahihan yang diakui_bahkan kontra-faktual, tetap tidak akan terungkap.
Pertumbuhan pesat berbagai proses dalam masyarakat kapitalis-lanjut menurut Habermas, telah menghadapkan dunia sosial kepada persoalan yang tidak bisa dianggap sebagai kesalahan fenomena krisis sistem, meskipun kemungkinan terbesar terjadi berbagai krisis disebabkan oleh keterbatasan sistem. Seiring dengan kompleksitas yang terus tumbuh, sistem dunia sosial melebarkan batas-batasnya sebegitu jauh sehingga mencapai perbatasan outer nature serta inner nature[32]. Habermas melihat empat kecendrungan krisis yang mungkin terjadi, sebagaimana tabel di bawah ini:
Titik Asal
Krisis sistem
Krisis Identitas
Sistem Ekonomi
Krisis Ekonomi
_
Sistem Politik
Krisis Rasionalitas
Krisis legitimasi
Sistem Sosio-kultural
_
Krisis motivasi
Sumber: Jurgen Habermas, 1979, Legitimation Crisis, Beacon
Menurut Joseph Heath, Habermas sebenarnya memposisikan diri dalam buku “Legitimation Crisis” sebagai serangkaian usulan programatis. Meski cukup provokatif_namun tidakmenyuguhkan detil-detil yang memuaskan_walau sudah melakukan perbaikan terhadap seluruh pandangan sosio-teoritisnya. Perkembangan pemikiran Habermas tentang persoalan legitimasi semenjak “legitimation crisis” kemudian dalam “The Theory of Communication Action”, sampai pada karya “Between Facts and Norms” posisi Habermas dicirikan oleh dua komitmen inti yang tampak pengaruh teori sistem Parsonian dan pandangan luas Lukacsian tentang modernitas kebudayaan (cultural modernity). Persoalan yang bisa diselesaikan Habermas dengan penerapan komitmennya itu dan mencoba memetakan versi rekonstruksi dari analisis krisis dan bagaimana konsep kuasa komunikatif (communicative power) untuk bisa menemukan hubungan yang tepat antara dunia kehidupan dan negara.
Walaupun Habermas menerima model sistem sosial Parson, tetapi terdapat perbedaan utama keduanya yakni mencakup penafsiran tentang sub-sistem pola pemeliharaan (L) dan integrasi (I). Sub-sistem pola pemeliharaan bagi Parson_mengatur sosialisasi agen dengan sistem nilai yang dianut bersama, sistem integrasi (I) bertanggungjawab atas kontrol sosial melalui seperangkat norma yang diakui bersama. Kedua sub-sistem ini berbeda dari sub-sistem adaptasi (A) dan sub-sistem pencapaian tujuan (G) dalam bentuk mekanisme umum yang menyalurkan resource-nya. Parsons menegaskan bahwa resource yang terdapat pada masing-masing sub-sistem dimunculkan dalam bentuk media umum untuk memperantarai hubungan pertukaran. Media-media itu adalah uang (A), kuasa (G), pengaruh (I) dan komitmen (L). Masing-masing media digunakan untuk menstrukturkan interaksi dengan cara tertentu sehingga tuntutan fungsional sub-sistem  bisa dihargai (tetapi cara-cara yang digunakan oleh masing-masing media untuk menstrukturkan interaksi itu berbeda). Semua menyiapkan sangsi (baik positif maupun negatif). Agen bisa mengendalikan elemen-elemen situasi dimana agen lainnya harus bertindak, atau bisa juga mengusahakan untuk mengubah niat mereka terlepas dari berbagai perubahan yang terjadi di dalam situasi.
Habermas menegaskan bahwa perbedaan dalam hal saluran ini mengakibatkan analogi antara dua kasus tersebut menjadi tidak cocok[33]. Karena tujuan agen adalah sikap proforsional, maka setiap sarana yang bekerja berdasarkan tujuan seperti itu akan menggunakan bahasa natural sebagai substratumnya. Namun, di sisi lain, faktor situasi bisa dikendalikan tanpa harus merujuk kepada bahasa. Dalam pandangan Habermas_penggunaan bahasa seperti ini memberikan batasan signifikan pada rentang pola interaksi yang tersedia bagi agen. Pembatasan ini ditentukan secara a priori oleh persyaratan komponen pragmatis teori makna. Karena itu, Habermas_menegaskan bahwa sarana pengendalian yang tepat harus dibedakan dari bentuk komunikasi yang umum dan bahasa natural tidak dimungkinkan untuk membedakan fungsi , seperti yang dilakukan oleh sarana pengendali.
Jadi yang dimaksud Habermas dengan integrasi sistem adalah interaksi sub-sistem-sub-sistem melalui sarana pengendalian sedangkan integrasi sosial adalah integrasi melalui komunikasi dalam bentuk umum. Sementara lifeworlds dimaknai sebagai wilayah interaksi sosial yang diintegrasikan secara sosial dan kesemuanya berkat ketergantungan pada bahasa natural yang distrukturkan secara menyeluruh.
3. Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat = Modernisasi
Persoalan rasio dan rasionalitas merupakan persoalan yang biasa mengusik perhatian para filosof[34]. Habermas mempersoalkan kembali makna rasio di dalam masyarakat industri modern. mazhab Frankfurt terutama melalui tiga tokohnya Horkheimer, Adorno dan Marcuse; berhasil merumuskan hakekat rasio yang berlaku dalam masyarakat industri Modern, yakni rasio yang berfungsi sebagai alat yang netral untuk mengoperasionalisasikan sebuah sistem. Rasio bisa diperalat untuk mengoperasikan sistem sosial atau sistem teknologi tertentu_justru karena rasio ini dipisahkan dari praxis[35].
Habermas dalam kaitan ini (netralisasi rasio)_berpendirian yang sama denga mazhab Frankfurt walau penjelasannya berbeda. Rasio insrumental dewasa ditempatkannya dalam konteks yang lebih luas_yaitu maslah kaitan teori teori dengan praksis yang selalu menjadi persoalan dalam tradisi filsafat Barat di masa pencerahan. Artinya_bahwa Habermas mengembalikan masalah kaitan teori dan praksis pada akar filsafat Barat (Yunani kuno). Pada era ini Filsuf seperti, Sokrates, Plato, Aristoteles berfilsafat untuk kebijaksanaan hidup; filsafat menjadi way of life. Mereka berteori, tetapi teori mereka pada gilirannya memberi pengarahan bagi praksis kehidupan sosial. Habermas menyebut_bagi tradisi klasik ini pertautan teori dan praksis senantiasa mengacu pada hidup yang baik dan layak, atau hidup yang benar; sebagaimana diungkapkan dalam bukunya Knowledge and Human Interests, teori cendrung dipisahkan dari praksis kehidupan sosial-individual manusia. Teori yang dicari dalam sejarah filsafat adalah teori murni[36].
Dalam alam pemikiran abad ke 18, demikian Habermas menunjukkan bahwa terdapat minat yang besar terhadap emansipasi sosial. Praksis perubahan sosial yang dibimbing oleh teori mencakup tahap-tahap emansipasi yang ditafsirkan Habermas sebagai pembebasan dari paksaan-pakasaan atau pembatasan-pembatasan yang berasal dari luar individu. Karena itu_teori mengandung pencerahan untuk bertindak secara tepat dan benar[37]. Hegel dan Sigmund Freud banyak menginspirasi Habermas tentang makna kritik; tilikan kritis ke dalam hubungan-hubungan kekuasaan menghasilkan pengalaman emansipasi.
Emansipasi itu_di abad 18 dapat terjadi karena manusia memakai rasionya_bukan iman dan bukan juga kepercayaannya. Rasio dalam menghadapi dogmatisme yaitu metafisika, kekuasaan feodal dan gereja_mengambil posisi memihak; rasio tidak netral, melainkan berkepentingan untuk membebaskan diri dari dogmatisme[38]. Emansipasi yang diperoleh rasio mengarah pada otonomi individu, peleyapan penderitaan dan perwujudan kebahagiaan konkret. Dan tentu saja_rasio yang memihak pada masa pencerahan ini terjewantahkan dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuahkan sukses-sukses konkret itu. Rasio yang memihak itu menghasilkan emansipasi karena terwujud dalam keputusan untuk emansipasi itu. Atau dengan kata lain, teori dan praksis terkait dalam wujud rasio yang memutuskan untuk mewujudkan kepentingan emansipasi.
Merujuk pada Karl Marx, Habermas menguraikan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi pada abad 18_semakin menjadi kekuatan produktif di dalam masyarakat. Dalam kondisi sosial semacam ini, hubungan teori dan praksis mengalami perubahan. Akibatnya, apa yang dimengerti sebagai rasio dogmatisme dan keputusan mengalami perubahan juga, ungkap Habermas. Kegiatan produktif masyarakat dalam industri, teknologi, ilmu pengetahuan dan administrasi menjadi saling terkait dan saling menopang mengarah kepada penaklukan alam, yang oleh Habermas disebut sebagai “kontrol Teknis atas Alam”. Dan dalam perkembangan dewasa ini, menurut Habermas_potensi sosial rasio dalam ilmu pengetahuan_direduksi menjadi kekuatan kontrol teknis. Artinya_rasio telah mengalami pergeseran yang tidak lagi dipahami sebagai kemampuan kognitif manusia untuk membebaskan diri dari dogmatisme, melainkan sebagai kemampuan kognitif untuk memanipulasi alam secara teknis.
Permasalahannya sekarang, mengapa pergeseran pemahaman itu terjadi? Bagi Habermas_hal itu diakibatkan oleh hilangnya kemampuan orang-orang modern untuk membedakan antara dimensi teknis dan praktis di dalam masyarakat[39]. Di dalam kebudayaan ilmiah_masyarakat industri maju, riset, teknologi, produksi dan administrasi berinteraksi menjadi sebuah sistem yang saling tergantung_yang kemudian menjadi basis kehidupan masyarakat modern. manusia modern hidup dalam jaringan organisasi dan rangkaian barang-barang konsumsi, sistem teknologi dan administrasi menjadi kebutuhan hidup yang menentukan (namun di lain pihak, sistem itu tertutup bagi pengetahuan dan refleksi).
Habermas_melihat paradoks pada aras ini “semakin pertumbuhan dan perubahan masyarakat ditentukan oleh rasionalitas proses-proses riset ilmiah, mengalami pembagian kerja, kebudayaan masyarakat itu (yang sekarang menjadi makin ilmiah)_semakin kurang berakar dalam pengetahuan dan kesadaran para warganya”. Dalam hal ini_istilah dogmatisme (seperti juga rasio dan keputusan) mendapatkan pengertian baru sebagai pemutlakan dimensi teknis pada bidang-bidang sosial dalam kebudayaan ilmiah dan diartikan sebagai dogmatisme baru; atau Fichte menyebutnya sebagai “kesadaran yang membeku”[40].
4. Modernisasi: Proyek yang belum selesai
Jurgen Habermas mencoba mengatasi jalan buntu yang dihadapi pendahulunya dengan paradigma komunikasinya, proyeknya menuju masyarakat komunikatif itu tetap bergerak pada jalur yang sama_dirintis oleh Hegel meneruskan proyek pencerahan dan proyek emansipasi kemanusiaan universal. Sebagai generasi baru Mazhab Frankfurt, Habermas melangkah mantap untuk mengemban tugas intelektual teori kritis.
Sementara itu, kritik terhadap pencerahan_yang dianggap berakhir dengan kebuntuan dan kebingungan, Adorno dan Horkheimer justru melangkah ke sebuah jalur filsafat yang berbeda. Pada aras ini, Habermas menghadapi tantangan yang paling menggelisahkan untuk seluruh proyeknya. Mereka yang menantang ini sangat kritis terhadap rasionalitas modern dan banyak terinspirasi oleh filsafat Nietszche dan seorang diantaranya adalah Jean-Francois Lyotard_yang di tahun 1980-an meluncurkan tema “Post-modernisme”[41]. Tema tersebut_bagaikan hantu yang menyembul ke atas genangan kesadaran sejarah Habermas, karena segera menempatkannya dalam posisi tertentu yang diandaikan sudah out of date, yaitu modernisme dengan segala proyek-proyek sejarahnya. Bagi Habermas_masih banyak yang harus dikerjakan dalam kehidupan modern sebelum mulai berfikir mengenai kemungkinan Post-modern_yang kemudian modernitas dilihatnya sebagai “proyek yang belum selesai”[42].
Ada satu kata sepakat dalam semua lingkungan pemikiran, bahwa modernisasi merupakan suatu kekuatan terbesar dalam sejarah[43]. Satu kekuatan pemacu perkembangan peradaban umat manusia yang hampir tidak ada presedennya di masa lampau. Bumi sebagai sebuah planet terus bergejolak dengan berbagai perubahan radikal, menghadirkan ketidakpastian dalam sebuah krisis besar peradaban. Lalu bagaimana_Habermas memberikan gambaran mengenai proyek modernitas yang belum selesai itu?
Bagi Habermas, produk akhir dari proyek modernitas adalah masyarakat rasional penuh dimana, baik sistem maupun rasionalitas kehidupan-dunia dimungkinkan untuk mengungkapkan dirinya sendiri sepenuhnya tanpa yang satu menghancurkan yang lain[44].  Saat ini, manusia sedang mengalami penderitaan pemiskinan kehidupan-dunia yang segera diatasi, dan jawaban tidak pada aras penghancuran sistem (terutama sistem ekonomi dan administrasi), karena sistem itulah yang semestinya menyediakan persyaratan material yang diperlukan untuk memungkinkan kehidupan dunia menjadi rasional.
Satu masalah yang mendapat perhatian Habermas adalah masalah yang dihadapi oleh negara kesejahteraan sosial yang birokratis dan modern. penyelesaian masalah tersebut bagi Habermas tidak bisa terselesaikan pada tingkat sistem saja, melainkan dalam kerangka hubungan antara sistem dan kehidupan dunia. Rintangan pengendali (restraining barrier) harus digunakan untuk mengurangi pengaruh sistem terhadap kehidupan-dunia, jelas Habermas. Begitu pula_sensor harus di bangun untuk meningkatkan pengaruh kehidupan –dunia terhadap sistem. Jadi, masalah kontemporer  tidak dapat terselesaikan dengan sistem pembelajaran untuk berfungsi secara lebih baik; impuls-impuls kehidupan dunia harus mampu berperan dalam pengendalian sendiri dari sistem fungsional. Hal ini merupakan langkah penting, menurut Habermas menuju terciptanya saling memperkaya antara kehidupan-dunia dan sistem.
Pada aras itulah, gerakan sosial mulai memainkan peran, karena gerakan itu mencerminkan harapan akan pensejajaran sistem dan kehidupan-dunia sehingga keduanya dapat mencapai tingkatan rasional setinggi mungkin dan bisa hidup berdampingan secara damai dan setara dalam kehidupan modern. persekutuan penuh antara rasionalitas sistem dan rasionalitas kehidupan-dunia itulah manurut Habermas  cara penyelesaian proyek modernitas.      
Rasio Komunikatif dan Pencerahan lanjut: suatu Alternatif
Kritik radikal atas rasio dan pencerahan yang dilontarkan pemikir Post-modernitas (seperti Heidigger, Bataille dan Derrida)...tidak ditolak sepenuhnya oleh Habermas; hal ini dapat dilihat dalam program teori kritisnya yang memperlihatkan bahwa rasio dikondisikan secara empiris oleh masyarakat, zaman, sejarah, kebudayaan dan bahasa. Juga, sama dengan pemikir Post-modernitas, Habermas memandang ada sesuatu yang tidak beres dengan pencerahan dan modernitas yaitu adanya hubungan antara rasio dan kekuasaan..Namun_semua persamaan ini berubah menjadi ketidaksetujuan manakala kritik mereka menjadi total dengan menolak kemungkinan rasio menjadi kritis, termasuk menolak bahwa soalnya bukan rasio pada dirinya, melainkan distorsi rasio dalam modernisasi kapitalis.   
Perbedaan Habermas dengan pemikir Post-modernitas, sebagaimana pendapatnya bahwa cacat-cacat pencerahan tidak bisa diatasi dengan meninggalkan modernitas dan pencerahan, melainkan dengan pencerahan lebih lanjut[45]. Tawaran alternatif rasional yang ditawarkan Habermas berangkat dari sebuah kritik atas rasio yang mungkin menjadi kritis. Karena itu_ kritik radikal atas rasio yang berpusat pada subjek akan menjumpai paradoks yang sulit di atasi kalau tidak meyakini kemampuan kritis-emansipatoris dari rasio atau menggunakan sementara untuk kemudian meninggalkannya. Paradoksanya adalah bagaimana melangsungkan kritik itu tanpa tergelincir ke dalam rasio yang berpusat pada subjek yang ingin dihancurkannya itu?.
Habermas yakin bahwa rasionalisasi dunia-kehidupan dimungkinkan lewat tindakan komunikatif. Rasionalisasi akan menghasilkan tiga segi, yaitu reproduksi kultural, integrasi sistem, dan sosialisasi. Dimana masing-masingnya menjamin keberlangsungan tradisi, koherensi pengetahuan, koordinasi tindakan tetap terpelihara dengan sarana-sarana hubungan antar pribadi dan kemampuan untuk bertindak bagi generasi mendatang tetap terjamin dalam bentuk kehidupan kolektif terpelihara.keterkaitan ketiganya menurut Habemas melalui tindakan komunikatif.








DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K,1983, Filsafat Barat abad XX: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia.

Budiman, Hikmat, 1997, Modernisme dan Krisis Rasionalitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Frankel, Boris l,1974, Habermas Talking: An Interview, dalam : Theory and Society vol 1
Frans Magnis Suseno, memberikan pengantar  buku yang diterjemahkan oleh Hassan Basari ”Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi ”, karya Jurgen Habermas, Tecknik und Wissenschaft als Ideologi, 1990.

George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana

Habermas, Jurgen, 1990, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES
______, 2006, Teori Tindakan Komunikatif, buku satu, Yogyakarta: Kreasi Wacana

______, 2007,  Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, Pent. Buku satu Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana

______, 2007, Kritik atas Rasio Fungsionalis, Pent. Buku Dua Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana.

______,1975, Legitimation Crisis, Baecon Press

Hardiman, F.Budi,1993, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius.
____, 1990, Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan,   Yogyakarta: Kanisius

Harry Hamersma,1990, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia
R. Roderic, 1986, Habermas and Foundation of Critical Theory, Lond


[1] Teori-teori Marxisme di Barat_yang kemudian dikenal dengan nama Marxisme Kritis atau Neo-Marxisme. Neo-Marxisme merupakan serangkaian usaha untuk menyegarkan kembali pemikiran filosofis Karl Marx yang telah dibekukan menjadi alat idiologis di tangan Partai Komunis Unisoviet.
[2] F. Budi Hardiman, 1990, Kritik Idiologi: Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan, Yogyakarta: Kanisius
[3] Revisionisme adalah usaha teoritis untuk memodifikasikan ajaran-ajaran marxis-ortodoks sesuai dengan keadaan masyarakat kontemporer. Kaum resivionis tidak meninggalkan sama sama sekali ajaran marxis dan tetap berafiliasi pada suatu partai komunis. Tokoh utamanya adalah Bernstein; dan lebih lanjut ia beranggapan bahwa bagan materialisme sejarah yang disusun Marx dan Engels tidak sesuai lagi dengan fakta masyarakat kontemporer. Oleh karena itu, ia menolak determinisme ekonomis atas sejarah perkembangan masyarakat. Determinisme itu_justru dipertahankan oleh penentang revisionisme yaitu kaum Marxis ortodok (dengan wakilnya yang terpenting Karl Kautsky).
[4] F.Budi Hardiman,1990,.Log.Cit.
[5] R. Roderic, 1986, Habermas and Foundation of Critical Theory, London, Macmillan, p.35
[6] Frans Magnis Suseno, memberikan pengantar  buku yang diterjemahkan oleh Hassan Basari ”Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi ”, karya Jurgen Habermas, Tecknik und Wissenschaft als Ideologi, 1990.
[7] F. Budi Hardiman, Log.Cit.p.38
[8] Jurgen Habermas, The Theory of Communicative Action, Boston: Beacon Press, 1987.p.378
[9] Franz Magnis Suseno,log.cit.. P. 185
[10] Psikoanalisa si pasien yang meningat-ingat kembali sejarah hidupnya, dengan segala kemiringan, trauma dan penindasan pisik. Dan dengan demikian bebas dari penguasaan yang tidak sadar dimana trauma-trauma itu_tanpa disadari, bekerja terus, bekerja terus_begitu manusia mengingat sejarahnya, sebagai sejarah penderitaan dan penindasan_dibebaskan dari kekuasaannya yang sebelumnya tidak disadari. Ia menyadari bahwa situasi yang sekarang ternyata dapat diubah.
[11] Fran Magnis Suseno, log.cit...
[12] Jurgen Habermas, Rasio dan Rasionalisasi Masyarakat, Pent. Buku satu Nurhadi, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2007
[13] Magnis Suseno, log.cit. 176
[14] Mazhab Frankfurt menjadi sangat populer di kalangan mahasiswa di era pemberontakan mahasiswa antara tahun 1965_1975. Hanya Herbert Marcuse yang mendekati figur menjadi seorang guru_yang walaupun akhirnya juga ditolak oleh mahasiswa yang memang sedang mencari sebuah idiologi perjuangan untuk sebuah revolusi.
[15] Kata “praktis” selalu digunakan oleh Habermas dalam konteks pengertian yang dipahami Aristoteles sebagai komunikasi yang mewujudkan kehidupan nyata masyarakat.
[16] Kontemplasi mengacu kepada hal-hal yang abadi, yang ilahi, juga kontemplasi kosmos_yang dalam keseluruhannya  mencerminkan tatanan ilahi. Orang yang melakukan kontemplasi itu adalah sang filosof; kontemplasi atas hal-hal yang ilahiat yang tidak berubah mengorientasikan manusia yang melakukannya pada pada tolok ukur-tolok ukur abadi. 
[17] F. Budi Hardiman, Log.Cit.p.78
[18] Jurgen Habermas, 2006, Teori Tindakan Komunikatif, buku satu, Yogyakarta: Kreasi Wacana
[19] F.Budi Hardiman, Log.Cit. p. 90
[20] Bertens,K,1983, Filsafat Barat abad XX: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia.p. 233
[21] Boris Frankel,1974, Habermas Talking: An Interview, dalam : Theory and Society vol 1.p.38
[22] Bahwasanya orang sering tidak sepakat mengenai nilai-nilai dan masalah nilai sesungguhnya adalah masalah pengutamaan, selera (de gustibus non est disputandum), jadi orang tidak perlu mempertentangkannya. Kalaupun dipertentangkan itu sudah mengarah kepada kepentingan (Ralph Barton Perry dalam bukunya “General Theory of Value”).
[23] Disebut perselisihan Positivisme, karena para wakil teori Kritis masyarakat berpendapat bahwa tuntutan agar ilmu-ilmu sosial bekerja bebas dari pelbagai penilaian, pada dasarnya berakar dalam pendekatan positivistik.
[24] Frans Magnis Suseno, Log.Cit. hal.202
[25] F.Budi Hardiman,1993, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius.hal. 10.
[26] Jurgen Habermas, 1990, Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi, Jakarta: LP3ES
[27] Refleksi diri_sepadan dengan kata” kritik”, dan rasio yang menjalankannya adalah apa yang oleh mazhab Frankfurt disebut “Rasio Kritis”. Dan dalam kosa kata Habermas menjadi “konsensus bebas-paksaan”.
[28] F.Budi Hardiman, Log.Cit. hal. 14
[29] Konsep “Mundigkeit” diartikan sebagai otonomi dan tanggung jawab atau kedewasaan. Konsep ini berasal dari Zaman percerahan abad ke 18 di Jerman.
[30] F.Budi Hardiman, 1993, Log.Cit.141
[31] Jurgen Habermas,1975, Legitimation Crisis, Beacon, Press, p.97
[32] Ibid.p.179
[33] Jurgen Habermas,1975, Log.Cit.p.13
[34] Harry Hamersma,1990, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia
[35] Praxis yaitu tindakan manusia untuk merealisasikan hidup yang baik atau moralitas. Rasio tidak mengandung isi moral, sebab semua harapan, penilaian moral, unsur-unsur subjektif_dianggap tidak rasional dan menghambat efektivitas, efisiensi dan operasionalitas sistem sosial dan teknologi. (lih.Jurgen Habermas, Teori Tindakan Komunikatif, Jakarta: Kreasi Wacana.
[36] Bertens,K, Log.Cit.hal. 21; lih. Muhammat Hatta,1998, Filsafat Yunani, Jakarta: UI Press.
[37] Bentuk-bentuk teori yang terkait dengan praksis ini dapat dilihat dalam tulisan Friederick Hegel “Pheneomenology of Mind” dan psikoanalisis Signund Freud.
[38] F. Budi Hardiman, Log.Cit. hal.19
[39] Istilah “praktis”, Habermas_ mengacu pada komunikasi inter-subjektif yang diarahkan dengan pertimbangan etis untuk mencapai saling pemahaman. Sementara istilah” teknis”_mengacu pada penguasaan alam, kontrol dan manipulasi atas proses-proses objektif.
[40] Harry Hamersma, Log.Cit. hal.35
[41] F.Budi Hardiman, Log.Cit. h.178
[42] George Ritzer-Douglas J. Goodman, 2007, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana
[43] Hikmat Budiman, 1997, Modernisme dan Krisis Rasionalitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. h.28
[44] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Log. Cit. h. 580
[45] F. Budi Hardiman, 1993, Log.Cit. h.227