This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Sabtu, 22 September 2012

HIDUP DALAM LINGKARAN TEROR


Tampaknya, kita sebagai warga masyarakat belum bisa tenang menjalani kehidupan di negeri ini, sebab terror masih saja terjadi. Beberapa terror bom yang terjadi beberapa bulan terakhir ini, sungguh telah merusak ketenangan hidup sebagai warga Negara. Di mulai dari penembakan terhadap pos keamanan di Solo Jawa Tengah, lalu bom meledak di kawasan Beiji Depok Jawa Barat, kemudian Bogor, di Tambora Jakarta, dan terakhir ditemukan (22/09/2012) di Solo ada 8 bom yang siap diledakkan.
Menghadapi para terroris Densus 88 Kepolisian Republik Indonesia bertindak cepat, tepat dan tangkap para pelakunya. Tampaknya, kepolisian kali ini tidak bermain-main dengan para terrorist yang telah membuat masyarakat resah, karenanya Densusu 88 tidak membutuhkan waktu lama untuk dapat menangkap para pelaku dan barang buktinya berupa benda-benda yang dapat dipergunakan untuk meracik bom. Para terroris, seperti Muhamad Thoriq dan Abu Totok alias Muhamad Yusuf Rizal, serta Firman sudah diamankan (menyerahkan diri). Ruang gerak para terrorist dengan cepat dapat dimatikan, sehingga tidak ada pilihan lain kecuali menyerahkan diri atau mati (sebagaimana Dr. Azhari mati dalam kontak senjata dengan Densus 88).
Jika dicermati, ternyata para pelaku terror adalah orang-orang yang pengetahuan agamanya sangat minim, sebagaimana diungkapkan oleh Wamenag RI Prof. Dr. Nazaruddin Umar. Maka logika sederhananya, mereka yang pengetahuan agamanya kuat dan luas tidak mungkin melakukan tindakan kekerasan dan apalagi sampai membunuh banyak orang. Agama Islam dan agama apapun tidak pernah melegalkan dan mendakwahkan kekerasan atau terror. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam, agama cinta damai. Kalaupun terjadi tindakan kekerasan atau terror yang dilakukan oleh para terrorist (kebetulan mengaku beragama Islam) tidak dapat dikaitkan dengan agama Islam, itu hanyalah oknum yang tidak mewakili pemeluk Islam lainnya.
Dalam konteks Indonesia, aksi terror dalam pengertian peledakan bom di beberapa daerah sudah terjadi semenjak tahun 2000-an dan jauh hari sudah terjadi sebelum aksi terror yang memalukan Amerika dengan peledakan menara kembar World Trade Center (WTC) 11 September 2011. Pasca tragedi 11 September 2001 di New York, terminology terrorism semakin menggurita dan menjadi issu primadona khususnya bagi Negara Adidaya semisal Amerika. Kendatipun belum ada suatu definisi yang berlaku secara universal untuk mengartikan apa yang sebenarnya dimaksudkan dengan terror atau terrorism, namun issu terrorism senantiasa mendapat prioritas utama dari setiap kebijakan politik maupun hukum suatu Negara.
Namun, barangkali kita sepakat bahwa fenomena kejahatan yang berskala global dan bernuansa kekerasan, serta kanibalism terhadap ummat manusia di seluruh belahan dunia di awal dekade 2000-an sampai saat ini adalah aksi terrorisme. Dalam spektrum sosial, terjadinya peristiwa-peristiwa pengeboman diberbagai daerah dalam wilayah NKRI merupakan gangguan yang serius terhadap keselamatan manusia (human security) untuk membebaskan manusia dari rasa takut (freedom of fear). Pada sisi lain, tindak pidana  terrorism dewasa ini terkait dengan kejahatan lintas Negara (transnational organized crime) oleh sebab itu terrorism menjadi musuh bersama (common enemy) bangsa-bangsa di dunia, tidak terkecuali Indonesia.
Menurut beberapa ahli, terrorism memiliki karakteristik yang patut untuk diketahui agar lebih memahami kejahatan terrorism tersebut. Karakteristik dari terrorism, menurut Hasnan Habib, sebagaimana ditulis King Faisal Sulaiman adalah (1) Pengekploitasian terror sebagai salah satu kelemahan manusia secara sistematik; (2) penggunaan unsur pendadakan dan kejutan, perencanaan setiap aksi terror; (3) mempunyai tujuan-tujuan strategi untuk mencapai tujuan politik dan sasaran-sasaran spesifik pada umumnya.
Karakteristik terrorism sebagai tersebut di atas, memberikan gambaran bahwa kendatipun banyak pendapat yang beragam mengenai karakteristik terrorism, namun aksi terrorism harus senantiasa mendapat perhatian  bagi semua pihak. Para pelaku teroris tidak membedakan secara tegas para penduduk sipil atau orang-orang yang tidak berdosa. Terrorism tidak hanya menjadi ancaman bagi para negarawan, politisi maupun diplomat (sebagaimana terbunuhnya Dubes AS untuk Libya, hari Rabu Tanggal 13 September 2012 kamarin), akan tetapi masyarakat sipil yang tidak berdosa-pun tidak jarang menjadi korban kebringasan (kasus bom Bali satu dan dua, misalnya), kekejaman dari para pelaku terrorism tersebut.
Di samping mengetahui karakteristik dari terrorism, penting juga diketahui jenis-jenis terrorism agar masyarakat umum dapat membedakannya secara tegas. Setidaknya ada empat jenis terrorism yaitu (1) Irrational Terror, yakni aksi terror yang dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya kurang masuk akal; (2) Criminal Terror, biasanya dilakukan oleh orang atau kelompok yang tujuannya untuk kepentingan kelompoknya; (3) Political Terror, merupaka kegiatan terror yang dilakukan oleh kelompok atau jaringan yang bertujuan politik; (4) State Terror, adalah aksi terror yang dilakukan oleh penguasa suatu Negara terhadap rakyatnya untuk membentuk perilaku dari segenap lapisan masyarakat.
Yang terpenting dan harus dilakukan pemerintah sekarang adalah mengembalikan rasa aman masyarakat dari terror yang datangnya sulit terdeteksi. Aparat keamanan harus bekerja extra untuk dapat mengembalikan perasaan aman masyarakat itu. Upaya pemerintah untuk mencegah terrorism, baik dasar hukum maupun lembaga-lembaga yang menanganinya. Wujud keseriusan pemerintah memerangi terrorism, tampak pada UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Lalu, dibentuk juga Densus 88 anti terror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), yang kesemuanya bekerja untuk menanggulangi tindak Pidana Terorism.
Terlepas dari kondisi sosio-politis munculnya UU Nomor 15 Tahun 2003 itu, namun yang pasti bahwa tidaklah mudah menanggulangi para pelaku terorisme. Oleh sebab itu, pemerintah harus membangun kerja sama internasional baik yang bersifat bilateral ataupun multilateral diberbagai bidang dalam memberantas kejahatan terorisme ini. Efektifitas kerjasama itu harus didukung oleh perangkat hukum yang baik serta budaya hukum masyarakat yang baik pula. Hal lain yang tidak kalah penting adalah aspek kinerja dan integritas moral dari aparat penegak hukum, karena tidak mustahil dalam proses penegakan hukum, peluang terjadinya pengingkaran terhadap nilai-nilai HAM akan semakin besar. Masyarakat Indonesia masih tetap yakin dan mendukung kerja-kerja penegak hukum dalam menanggulangi tindak pidana terorisme demi kembalinya kehidupan yang aman, damai, dan harmonis. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

Kamis, 20 September 2012

BERPOLITIK ALA WARGA NAHDLATUL ULAMA

Nahdlatul Ulama (NU) sudah memutuskan untuk kembali ke khittah 1926 (hasil muktamar Sitobondo 1984), dimana NU tidak lagi menjadi partai politik atau bagian dari dan terikat oleh partai politik manapun. Keputusan kembali ke khittah 1926 membuat masyarakat kebingungan sebab cara berpolitik selama ini ditentukan oleh pimpinan pusat organisasi, karena itu NU mera
sa perlu memberi pedoman agar warga Nahdliyin tetap menggunakan hak politiknya secara benar dan bertanggungjawab.

Pada muktamar NU Tahun 1989 di Yogyakarta melahirkan pedoman kepada warga NU yang menginginkan hak politiknya, agar ikut mengembangkan budaya politik yang sehat dan bertanggung jawab, serta menumbuhkan sikap hidup yang demokratis, konstitusional, juga membangun mekanisme musyawarah mufakat dalam memecahkan setiap masalah yang dihadapi bersama.

Pedoman berpolitik ala warga NU sebagaimana hasil muktamar NU Tahun 1989 di Daerah Istimewa Yogyakarta, sebagai berikut:
(1). Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

(2). Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah-langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur lahir dan bathin dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan kehidupan diakhirat.

(3). Politik bagi Nahdlatul Ulama adalah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

(4). Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama haruslah dilakukan dengan moral, etika dan budaya yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

(5).Berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitutional, adil sesuai dengan peraturan dan norma-norma yang disepakati, serta dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

(6). Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dilakukan untuk memperkokoh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunah wal-Jama'ah.

(7). Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama dengan dalih apapun, tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

(8). Perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga Nahdlatul Ulama harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadlu' dan saling menghargai satu sama lain, sehingga dalam berpolitik itu tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan Nahdlatul Ulama.

(9). Berpolitik bagi Nahdlatul Ulama menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim yang memungkinkan perkembangan organisasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana masyarakat untuk berserikat menyalurkan aspirasi serta berpartisipasi dalam pembangunan (Abdul Mun'im DZ, 2012, Piagam Perjuangan Kebangsaan Nahdlatul Ulama, Jakarta: NU online dan ISNU).

Itulah kutipan pedoman berpolitik warga Nahdlatul Ulama yang secara moral patut untuk dipedomani oleh warga Nahdlatul Ulama dimanapun dan berada di partai politik manapun. Ahlakul Karimah menjadi titik sentral berpolitik warga Nahdlatul Ulama agar mampu memberikan warna dan nilai untuk mewujudkan suatu tatanan masyarakat yang adil dan makmur, serta tidak mengorbankan persatuan dan kesatuan bangsa. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

Rabu, 19 September 2012

MASANYA ULAMA MENYATU

Film The Innocence of Muslims telah melukai ummat Islam di seluruh dunia (tarlebih Muslim di Indonesia). Film yang disutradarai oleh warga Amerika itu dinilai sangat kontroversial dan dinilai sebagai upaya negara Barat untuk mendeskriditkan Islam. Munculnya film tersebut boleh jadi sebagai bentuk phobia negara Barat terhadap kemajuan Islam, teru
tama semenjak adanya peristiwa WTC Tahun 2000 silam. Harus diakui bahwa banyak hal yang berdampak kepada kehidupan sosial negara Barat khususnya Amerika Serikat.

Protes dan tuntutan dengan turun ke jalan kepada pemerintah Amerika Serikat untuk tidak memutar film itu terus terjadi di belahan dunia. Sepanjang penglihatan dan pemantauan beberapa hari ini, tampak aksi protes itu berjalan normal dan wajar, tetapi yang dikhawatirkan jangan sampai menimbulkan dampak yang lebih besar, seperti konflik atas nama agama. Kalau itu yang terjadi bisa repot dan kemungkinan bisa menjadi titik awal terjadinya perang peradaban sebagaimana Huntington mengungkapkannya dalam bukunya. Tentu, pemerintah Amerika Serikat harus peka terhadap semua protes ummat Islam di seluruh dunia itu supaya tidak mengarah ke konflik atas nama agama.

Namun demikian, kita tetap khawatir terhadap berbagai macam aksi protes itu, jangan-jangan situasi itu dimanfaatkan betul oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab. Banyak pihak yang memakai jaket Islam untuk untuk menyebarkan isu negatif guna mengharapkan reaksi lebih besar lagi, misalnya saja sampai merusak tempat-tempat ibadah agama lain (khususnya Gereja).

Pada aras ini, ulama Indonesia harus turun gunung untuk memberikan penyadaran dan mempromosikan bahwa Islam merupakan agama rahmatan lil alamien, agama yang cintai damai dan sangat toleran. Ulama Indonesia harus mengambil bagian untuk mempromosikan kedamaian dan mengusahakan agar Indonesia bisa menjadi kiblat Islam baru yakni Islam yang sangat mencintai kedamaian dan suka berdamai. Dalam banyak forum yang diselenggarakan, tampak bahwa tokoh-tokoh lintas agama sering bertemu untuk melakukan dialog keagamaan dan pada tataran formal negara telah mewadahi dialog itu dalam Forum Kerukunan Antar Ummat Beragama (FKUB).

Secara alamiah, perbedaan menjadi sesuatu yang given dan diterima apa adanya, namun tidak berarti hal itu sebagai modal untuk terus berkonflik tetapi harusnya menempatkan perbedaan itu sebagai media untuk bisa bersatu. Rasulullah Saw dalam sabdanya mengakui bahwa perbedaan itu sebagai rahmat. Atau perbedaan itu sebagai bentuk pengakuan dan peneguhan eksistensi dasar manusia sebagai mahluk yang berbeda namun demikian di dalmnya terdapat potensi untuk bersatu dan bekerjasama.

Ya, konflik atas nama agama mungkin saja terjadi, kalau Ulama dan pemerintah tidak cepat melakukan tindakan kerjasama mencegah terjadinya konflik agama. Konflik agama mungkin saja terjadi karena berbagai sebab, seperti pemerintahnya lemah, ketidaktahuan rakyat, dan ulama sendiri tidak mengayomi ummatnya. Ulama berada pada garda terdepan memberikan penyadaran bahwa kita di Indonesia hidup dalam negara yang majemuk atau plural dan bersama-sama menjaga kemajemukan sebagai ikrar kebersamaan "bheneka tunggal ika" berarti berbeda-beda tetapi tetap satu.

Ikrar kebangsaan itu merupakan wujud kemajemukan dan faham akan asal usul negara Indonesia yang memang majemuk atau plural. Beragama di negara Indonesia sudah dijamin dalam konstitusi negara dan bebas melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing, tetapi ketika sudah memasuki ranah publik harus menjaga pluralitas dan jangan sampai menciptakan konflik dengan dalih agama.

Semua warga negara yang mempunyai keyakinan harus tetap memberikan kontribusi dalam menjaga pluralitas kebangsaan. Agama apapun punya ajaran tentang keikhlasan, terutama agama Islam sangat menganjurkan ummatnya ikhlas, menjaga fikiran yang baik (husnu dzon) terhadap siapapun. Ulama sebagai warasatul anbiya'i harus memelihara keikhlasan sebagai sebuah ajaran untuk menjaga ketentraman dan kedamaian dalam satu bingkai kehidupan kenegaraan yang bernama Indonesia. Semoga dengan kerjasama yang baik antara Ulama dan umara' di Indonesia konflik atas nama agama dapat dicegah dan dengan demikian negara Indonesia dapat menjelma menjadi negara yang mencintai kedamaian di tengah pluralitas, sehingga Indonesia menjadi fajar baru kehidupan Islam. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

Selasa, 11 September 2012

TIPOLOGI KIAI (ULAMA)

Ali bin Abi Thalib sebagaimana dikutip Muhammad Baqir al-Majlisi dalam kitabnya, “Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar Akhbar al-A’immah al-Athar, membagi ulama menjadi tiga golongan. Pertama, kaum terpelajar yang sering memamerkan diri dan suka berdebat. Kedua, kaum terpelajar yang hanya ingin mencari kekayaan dan bahkan mereka juga tidak segan-segan menipu. Ketiga, kaum terpelajar yang mendalami keilmuan dan logika.
 
Tiga golongan ulama tersebut di atas mempunyai karakteristik masing-masing. Golongan pertama sering menunjukkan kehebatannya dan setiap mengeluarkan pendapatnya akan menyinggung perasaan orang lain. Di hadapan orang banyak, mereka berpura-pura khusyu’ dan membuat dirinya seperti orang yang wara’. Golongan ulama yang kedua memiliki sikap yang merendah terhadap orang-orang kaya dan penguasa. Perilaku ini muncul karena mereka sangat berharap hadiah dan kaya. Sementara golonga ketiga, dikenal memiliki kreatifitas dan idealitas yang sangat tinggi, namun kehidupan mereka terkesan susah dan berat.

Karakteristik ulama tersebut di atas lebih didassarkan pada kriteria normative. Secara sosiologis, kriteria tersebut terkesan rumit terutama dari segi semantic dan aplikatif. Sehingga memunculkan pertanyaan tentang siapa yang termasuk ulama dalam konteks kehidupan modernitas sekarang ini. Perrtanyaan itu wajar diajukan karena memang sering terjadi bias dan over lapping dalam pemahaman masyarakat secara luas, lalu mencoba untuk membedakan antara ulama dan kiai dalam konteks keindonesiaan.

Antropolog berkebangsaan Jepng Hirokho Harikoshi membedakan secara hirarkis antara kiai dan ulama, sebagaimana dikutip Ahmad Fatoni dalam Disertasinya. Menurut Horikoshi Kiai dan ulama berbeda terutama dilihat dari dimensi charisma dan pengaruh. Karisma yang dimiliki kiai lebih tinggi dan unggul dari ulama, baik dari dimensi moral maupun dari kapasitas dan kapabilitasnya. Seorang kiai adalah seorang alim atau mendalam ilmunya dalam satu bidang ilmu keagamaan, misalnya alim fi al fiqh, alim fi al-hadits, alim fil al-kalam dan sebagainya. Begitu juga dari segi pengaruh, seorang kiai lebih diperhitungkan oleh masyarakat umum maupun para pejabat.

Dengan demikian Hirokoshi memberikan pemahaman bahwa antara ulama dan kiai merupakan tahapan hirarkhis, dimana ulama lebih rendah dibandingkan dengan kiai. Namun, hasil penelitian Hirokoshi itu hendaknya tidak diterima begitu saja, perlu dikritisi sebab terdapat inkonsistensi dan bias dengan realitas yang terbangun di dalam kultur masyarakat Islam, terutama Jawa.

Ahmad Fatoni dalam disertasi Doktoralnya memberikan dua kritik, yakni (1). Antara ulama dan kiai bukanlah dua entitas yang dapat dibedakan secara tegas, sebab sangat mungkin kedua gelar tersebut melekat pada satu orang, dimana asumsi yang terbangun dalam masyarakat Islam Indonesia bahwa kiai adalah ulama dan ulama itu juga melekat dalam diri seorang kiai. Namun demikian, kedua istilah tersebut memiliki akar yang berbeda. Kiai berasal dari kultur Indonesia, khususnya Jawa, sedangkan ulama bersumber dari al-qur’an. (2). Dalam konteks sosiologis, demikian Ahmad Fatoni, antara ulama dan kiai tidak ada pembedaan hirarkis secara tegas. Ulama menjadi karakteristik pada orang yang menguasai ilmu agama secara luas dan mendalam, walaupun oleh masyarakat tidak disebut sebagai kiai. Sementara sebutan kiai tidak selalu dapat disebut dengan sebutan ulama, sebab sebutan kiai bisa juga melekat pada beragam karakteristik, seperti pada benda-benda yang dihormati semisal keris, kereta, pusaka sebagai peninggalan bersejarah dalam masyarakat Jawa.

Gus Dur menyebut kiai sebagai seseorang yang mempunyai pesantren, santri dan mengajarkan kitab kuning. Namun, kriteria kiai ala Gus Dur itu, kini sesuai dengan dinamika dan perubahan zaman telah mengalami pergeseran, dimana kiai ternyata tidak hanya ditujukan kepada mereka yang memiliki pondok pesantren, tetapi yang tidak memiliki pesantren juga bisa disebut kiai. Hasil penelitian Endang Turmudzi (telah diterbitkan LKIS dengan judul Perselingkuhan kiai dan Kekuasaan) terhadap kiai di Jombang menemukan empat tipologi kiai, yakni kiai Pesantren, kiai Tarekat, kiai Politik, dan kiai Panggung (saya sebut kiai media).

Keempat tipologi kiai tersebut, bukanlah sesuatu yang mandiri antara satu dengan lainnya. Misalnya, jika seseorang disebut kiai Panggung (media), maka sebutan kiai yang lainnya tidak bisa melekat. Namun, dimungkinkan pada diri seseorang bisa melekat lebih dari satu tipologi dan kemungkinan keempat tipologi tersebu sekaligus, karena besarnya akses dan kapasitas untuk mengambil berbagai peran.

Dalam konteks seperti itu, untuk tidak memunculkan bias dan over lapping, menurut hemat saya dimungkinkan untuk melakukan sertifikasi terhadap ulama agar masyarakat tidak bingung. Artinya, sertifikasi sebagai bentuk penegasan terhadap tipologi kiai tersebut supaya masyarakat tidak kebingungan dalam menentukan sosok kiai. Ketika kiai yang bersertifikat kiai politik berbuat kesalahan berjamaah, maka kesalahan itu tidak melekat pada kiai lainnya. Namun cukup rumit kalau pada diri seseorang kiai melekat keempat tipologi itu sekaligus, bisa kena semua secara psikologis.

Namun demikian, saya tetap berharap agar wacana BNPT tentang sertifikasi ulama harus berfikir seribu kali agar supaya tetap terjaga harmonisasi dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Kiai atau ulama dalam konteks sejarah terbentuk republik ini mempunyai peran sangat penting, bukankah mereka, para kiai menjadi symbol perlawanan yang sangat disegani oleh kolonialis dalam era perjuangan merebut kemerdekaan?. Melukai hati dan perasaan mereka dengan sertifikasi, bukan tidak mungkin akan menjadi misieu bagi ketersinggungan mayoritas ummat Islam di Indonesia. Sebaiknya, pemerintah lebih bijaksana untuk menyelesaikan permasalahan terorisme yang ada dengan lebih professional bukannya dengan cara membuat permasalahan baru. BNPT jika tidak mampu bekerja professional dengan program-program jelas, sebaiknya dibubarkan saja, berikan tugas tersebut kepada kepolisian dan TNI kita. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

Senin, 10 September 2012

SERTIFIKASI ULAMA UNTUK SIAPA?


Adalah Profesor Irfan Idris dari Direktur Deradikalisasi  Badan Nasional Pananggulangan Teroris (BNPT) penggagas pertama kali tentang sertifikasi ulama Indonesia. Sebagai sebuah pemikiran, tentu wacana itu wajar saja, namun ketika pemikiran itu disampaikannya selaku Direktur BNPT, maka persoalannya menjadi lain. Dalam artian, nuansa politiknya sangat kental. Kenapa BNPT tidak fokus saja untuk melakukan kordinasi dengan lembaga-lembaga terkait, seperti Polri, MUI, Perguruan Tinggi, LSM, Kalangan Pesantren, dan elemen masyarakat lainnya untuk mencari suatu strategi agar terorisme tidak semakin berkembang. Apa yang disampaikan Profesor Irfan Idris menjadi kontra produktif  dengan keberadaannya di BNPT, seharusnya melakukan berbagai macam pendekatan dengan para ulama. Atau dengan kata lain bahwa sang Profesor sebenarnya ragu dengan perjuangan ulama selama ini, sehingga mengusulkan sertifikasi ulama (untuk tidak mengatakan bahwa ulama stimulator munculnya gerakan terorisme) di Indonesia.
Kini gagasan itu menjadi polemik di tengah masyarakat dan karenanya masyarakat terbelah menjadi dua kelompok besar, yakni antara yang pro dan yang kontra. Penggagas sendiri tampaknya, tidak memahami atau sengaja tidak memahami konteks sejarah sosio-kultural lahirnya pemberian gelar ulama (dalam konteks Indonesia disebut kiai) itu. Kiai, Buya, Ajengan dan Tuan Guru merupakan pemberian masyarakat karena ketinggian ilmunya, kebaikan akhlaknya, integritas dan loyalitasnya dalam membangun bangsa, bukannya pemberian pemerintah. Kalau sekarang muncul pemikiran sertifikasi terhadap ulama, kira-kira apa signifikansinya dengan permasalahan yang dihadapi bangsa ini.
Konteks sosio-kultural kelahiran ulama Indonesia berbeda dengan Negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Arab Saudi dan Turki. Memang, di Negara-negara tersebut, ulama harus mendapatkan pengakuan atau sertifikat (Tauliyah, syahadah) keulamaan dari Negara. Di Saudi Arabia misalnya, ulama menjadi pegawai dan digaji oleh kerajaan, begitu juga dengan Malaysia, Singapura dan Turki. Sehingga wajar kalau ada seorang ulama yang radikal dan tidak sejalan dengan pemerintah kerajaan misalnya, maka si ulama akan dipecat menjadi ulama. Nah, di Indonesia tidak seperti itu, ke-ulamaan memang terlahir dari proses panjang dalam mensiarkan agama Islam melalui lembaga-lembaga Pondok Pesantren dan peran aktif mereka dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Ahmad Dahlan, KH Agus Salim, KH Abdul Wahid Hasyim, dan lainnya. 
Hemat saya, jangan latah dan nafsuan untuk melakukan sertifikasi terhadap ulama disebabkan karena di Negara lain telah melakukan itu atau gara-gara ikon terorisme melekat pada pimpinan Pesantren Ngruki, Abu Bakar Basyir. Satu pertanyaan mendasar dapat dikemukakan bahwa apakah dengan sertifikasi ulama, permasalahan terorisme menjadi selesai? Siapa yang bisa menjamin itu (tidak juga sang Profesor Irfan Idris). Sebaiknya, BNPT lebih fokus pada program nyata penanggulangan terorisme dan tidak masuk pada dunia wacana. Bukankah, terorisme kata Ketua PBNU Profesor KH Said Agil Siradz menjadi musuh bersama dan apa kaitannya dengan sertifikasi ulama atau kiai?. Dan jika dipaksakan juga, maka menurut Profesor Mahfud MD dianggap melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Perkembangan komunitas kiai, menurut Ali Maschan Moesa, baik pada tataran pemikiran maupun tataran perjuangannya berkaitan erat dengan sejarah pertumbuhan bangsa dan Negara Indonesia. Perkembangan tersebut dapat dilihat sejak zaman perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia sampai sekarang ini. Peristiwa penentangan social-politik terhadap penguasa colonial, kata sejarawan Sartono Kartodidjo dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji dan guru-guru ngaji. Bahkan tidak jarang pula dalam gerakan tersebut para kiai menjalin kerjasama dengan kalangan bangsawan Jawa.
Oleh karena itu, dalam konteks dinamika modernitas peran kiai adalah patron kelompok Islam yang berusaha mengartikulasikan kepentingan masyarakat (Horikoshi, 1987). Hal itu karena para kiai memosisikan dirinya sebagai pengantar dalam menjalin hubungan dengan dunia luar. Bagi ummat Islam, kiai tidak saja dinilai sebagai pemimpin informal yang mempunyai otoritas sentral, tetapi juga sebagai personifikasi penerus nabi Muhammad (al-ulama warasatul ambiya’i). Predikat kekiaian merupakan konstruksi masyarakat (proses internalisasi, eksternalisasi dan obyektivasi) atas dasar keunggulan yang dimilikinya, misalnya keteladanan ilmu, keturunan, dan kekayaan ekonomi. Keunggulan tersebut dijadikan oleh para kiai untuk mengabdi kepada masyarakat, bangsa dan Negara.
Dengan demikian, predikat kiai selalu berhubungan dengan suatu gelar yang menekankan pemuliaan dan pengakuan yang diberikan masyarakat secara sukarela kepada ulama Islam yang dipercaya memiliki peran yang dituntut oleh masyarakat musabaqah fil khairat yang titik tolaknya untuk mewujudkan rahmatan lil alamin. Oleh karena itu, seharusnya Negara memperkuat peran-peran dan perjuangan para kiai untuk mewujudkan kesejahteraan atau rahmatan lil alamin selama ini, atau jangan-jangan melalui tangan BNPT Negara mau melupakan semua jasa para kiai dengan cara pandang rezim Orde Baru bahwa wacana dan praksis politik menempatkan interpretasi dan persepsi kekuasaan atas ideology negara (Maschan Moesa, 2007) dan konstitusi tertinggi yang bernuansa distorsif.
Sertifikasi ulama dengan demikian perlu dikaji ulang agar tidak memunculkan polemik yang berkepanjangan yang akan membuat kondisi sosio-politik tidak stabil. Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) sebaiknya belajar lebih arif  untuk fokus pada bidang tugasnya, tidak malah melempar wacana yang tidak hanya merugikan BNPT sendiri tetapi dapat berakibat disharmoni bangsa, sebab yang dipersoalkan adalah lokus utama warasatul ambiya’i. dan tidak salah, kalau kita usulkan untuk mensertifikasi calon pejabat sebelum memangku jabatannya sehingga kalau sang pejabat memunculkan keresahan masyarakat dapat dicabut sertifikatnya kemudian dipecat dari jabatannya. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

Minggu, 09 September 2012

BELAJAR DARI NABI KHIDIR AS

Di tengah curat marutnya kehidupan keberagamaan saat ini, hal bijak yang bisa dilakukan adalah mencoba mencari atau tepatnya mengangkat kembali mutiara nilai-nilai moralitas yang berada jauh di kedalaman sanubari yang telah lama kita abaikan. Nilai-nilai moralitas yang semestinya dituntun oleh suara hati kita tersisihkan oleh nafsu ammarah yang meledak-ledak, akibatnya da
pat merusak diri dan kemanusiaan kita, serta lingkungan.

Akibatnya, muncul berbagai bentuk teror, bentrok massa yang mengatasnamakan Ilahi (walaupun Gus Dur bilang Tuhan tidak perlu dibela), pengrusakan sarana dan fasilitas umum, serta berbagai bentuk teror lainnya. Semua bentuk perbuatan (dari matinya hati nurani) yang dilakukan oleh sekelompok orang, ummat sendiri (Islam) yang menerima dampak negatifnya dan dicitrakan oleh sebagian orang (Barat) sebagai agama teroris. Sungguh pencitraan yang tidak baik bagi Islam, tentu hal itu sangat bertentangan dengan citra Islam sebagai "rahmatan lil 'alamin".

Sebagai Muslim, kita berhak berapologi bahwa Islam bukan agama yang senang kekerasan (begitu juga agama lain), tetapi memang agama yang cinta damai, hidup rukun, saling menyayangi, demokratis, saling melindungi (hatta dengan keyakinan yang berbeda). Kehidupan negara Madinah bentukan Muhammad Rasulullah Saw dapat dijadikan bukti pluralitas itu. Permasalahannya, mengapa kita saat ini mengingkari atau seolah-olah tidak peduli lagi dengan peninggalan citra Islam yang rahmatan lil 'alamin tersebut.

Tetapi sudahlah, khilaf menjadi sesuatu yang inklud dalam kedirian sebagai manusia. Mengakui kesalahan lalu meminta maaf menjadi sikap kesatria dan islami, serta secara moral dikatagorikan sebagai orang baik. Saling memberi nasehat menjadi kata kuncinya, bukan.

Nabi Allah Khidir As pernah memberi nasehat kepada putra Imran (nabi Musa As), "Jadilah orang yang tersenyum, bukan orang yang tertawa. Teruskanlah berdakwah, dan jangan jadi orang yang tanpa tujuan. Jangan pula kamu melakukan kekhilafan lagi atau berputus asa. Dan, menangislah disebabkan oleh kekhilafan yang kamu lakukan itu, wahai putra Imran". Itulah, nasehat nabi Allah Khidir kepada nabi Musa As.

Jika dicamkan, sungguh nasehat itu memang ditujukan kepada nabi Musa As, namun secara symbolik ditujukan kepada kita semua sebagai manusia yang di dalam dirinya melekat kemungkinan untuk berbuat salah, maka dari itu, guna meminimalisir kemungkinan berbuat salah, seharusnya kita memulai memanfaatkan perangkat keras dan lunak yang ada dalam kedirian kita sebagai penuntun dan pengontrol tindak dan perbuatan kita.

Belajar kepada nabi Allah Khidir As menjadi keputusan tepat di tengah curat marutnya kehidupan berbangsa dan beragama. Setidaknya ada tiga nilai yang penting atau kunci yang diajarkan nabi Allah Khidir As sebagai bekal mewujudkan hidup harmonis yakni Shabar, ihklas, dan Tawakkal. Nilai-nilai itulah yang menjadi landasan moral Muhammad Rasulullah Saw membangun negara Madinah yang pluralis. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.

DEWAN WALI


Ketika saya menyebut istilah Dewan Wali, mungkin kita akan bertanya, mahluk macam apa ini? Atau mungkin juga, kita dapat menggambarkan sosok orang-orang yang mempunyai moralitas tinggi dan kharismatik. Namun, mengapa saya harus usil untuk menulis tentang Dewan Wali yang belum jelas bentuk dan wujudnya. Apakah, memang Dewan Wali itu ada dan kalaupun ada, siapa yang memperdulikannya, serta untuk siapa mereka berada.
Dewan Wali pernah eksis menjelang keruntuhan kerajaan Majapahit (saat itu dipimpin oleh Prabu Brawijaya V) dan penyokong atau penggagas bendirinya kerajaan Demak Islam di bawah kepemimpinan Raden Jimbun alias Raden Patah. Kerajaan Majapahit kala itu sedang lemah ditambah lagi dengan serangan yang dilakukan oleh Prabu Girindrwardhana dari Kediri. Karena serangan itu, Prabu Brawijaya V yang memang sudah sangat sepuh merasa kehancuran Majapahit tinggal menunggu waktu saja, tentu hal itu membuat Prabu Brawijaya V tambah putus asa. Dan dalam situasi seperti itu, Prabu Brawijaya V sudah terpikir untuk melakukan moksa di gunung Lawu menjelang ajalnya menjemput.
Berdirinya kerajaan Demak Bintara tak lepas dari peran Dewan Wali, seperti Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel, dan Sunan lainnya. Keberadaan mereka dalam tatanan kerajaan (Penasehat kerajaan) Demak Bintara kala itu, berperan central pada setiap keputusan yang akan diambil oleh Raja. Dan tidak hanya itu, keikutsertaan mereka menghadapi pemberontak menjadi catatan lain tentang loyalitas dan kesetiaan mereka kepada kerajaan. Kedudukan yang mereka emban dilakoninya sebagai amanah dan bukan demi jabatan itu sendiri. Sehingga tidak heran bila mereka berhasil dalam membumisasikan Islam di Tanah Jawi dengan pendekatan budaya dan politik.
Di tengah mengguritanya korupsi dan berbagai tindakan kekerasan (terorisme) di Indonesia saat ini, mungkin kita sangat merindukan sejenis Dewan Wali yang akan memberikan nasehat kepada para pemimpin bangsa, sebagaimana Raden Jimbun atau Raden Patah mempercayakannya kepada Dewan Wali Songo di bawah komando Sunan Bonang. Sejenis Dewan Wali dengan nama yang berbeda, juga dipakai oleh Mantan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), ketika akan dan saat menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia. Keduanya, mempunyai maksud dan tujuan yang sama yakni sebagai penasehat.
Saya ingat betul, ketika Gus Dur yang dicalon sebagian besar masyarakat Indonesia (terutama kalangan Nahdliyin dan Lintas Agama), tidak berani memberikan keputusan antara maju atau tidak menjadi calon Presiden sebelum mendapatkan restu dari kalangan kiai (di langan NU dikenal dengan istilah kiai langitan). Pada suatu acara munas alim ulama’ Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Qamarul Huda Bagu, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, akhirnya Gus Dur mendapatkan restu untuk maju menjadi calon Presiden menggantikan Baharudin Jusuf Habibi. Setelah mendapatkan restu kiai Langitan atau disebut juga kiai khos, Gus Dur menyampaikan rasa terima kasihnya atas dukungan para kiai, seraya berkelakar “kalau sudah dapat restu kiai, segala rintangan akan saya terjang dan itulah modal utama saya menjadi calon presiden, kata Gus Dur, sebab hanya itu yang dipunyai kiai, uang pasti tidak punya” katanya singkat.
Saat ini, keberadaan sebagian besar kiai sebagai aktor politik yang mempunyai tujuan dan kepentingan sendiri, sehingga rasanya agak sulit untuk menemukan pigur kiai sebagaimana peran Wali Songo yang tergabung dalam Dewan Wali. Para kiai seakan sudah menjadi tukang stempel dan pendukung politik kekuasaan yang sudah tidak ramah lagi kepada ummatnya. Pada ranah ini, jangan heran bila ummatnya sudah mulai bersebarangan dengan sang kiai, terutama kiblat politiknya. Tentu, pada kasus-kasus tertentu, sangat mungkin perbedaan kiblat politik antara kiai dan ummatnya akan sangat berpengaruh kepada otoritas moralnya, atau meminjam istilah Calmers disebut sebagai “pembangkangan terselubung”. Kalau sudah begini repot khan.
Apa itu berarti bahwa kiai tidak boleh terjun ke kancah politik praktis? Tentu, di dalam alam demokrasi, tidak ada seorang pun yang dapat melarang setiap warga Negara untuk terjun ke politik (apalagi kiai), tetapi beban kiai turun gunung ke kancah politik praktis resikonya lebih besar dibandingkan dengan warga masyarakat lainnya. Sebab dipundak kiai terdapat ribuan dan bahkan jutaan ummat yang haus akan “Mauidzotil Hasanah” dan tuntunan moral. Siapa yang bisa menjamin, dalam system birokrasi seperti sekarang ini (terutama di Indonesia) kiai tidak tergoda kepada dunia material, tidak ada bukan. Kita masih ingat betul, ketika almarhum KH. Zainuddin MZ terjun ke dunia politik praktis sebagai medan dakwahnya, yang terjadi adalah ummat mulai menjauhinya dan dua kali, ia mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI tidak pernah terpilih, bukan. Hal itu sebagai bukti bahwa memang saat ini sedang terjadi pembangkangan terselubung terhadap kiai politik, dan masih banyak kasus lannya.
Sebenarnya, kahadiran Dewan Wali sebagai penyuara suara moral yang diharapkan di tengah kondisi bangsa Indonesia yang dilanda berbagai macam musibah dan ditengah kebijakan penguasa yang tidak populis, serta cendrung segala kebijakannya tidak berpihak kepada rakyatnya tetapi kepada kapitalist. Dewan Wali sebagai pemegang otoritas moral sangat sulit terwujud karena mereka terjebak pada kepentingan politiknya dan tidak lagi bernuansa amanah demi kesejahteraan ummat dan rakyat Indonesia. Pigur seperti Raden Said atau Sunan Kalijaga yang nota bene adalah putra seorang Tumenggung di  daerah kerajaan Majapahit dan Raden Jimbun atau Raden Patah (pendiri kerajaan Demak Bintara), sudah sangat sulit ditemukan di negeri ini. Sebab tingkat ketergantungan dan independensi para kiai sudah banyak dipertanyakan ummatnya sendiri, artinya mereka sudah terbelah dalam firqah-firqah dengan barikade yang sangat kuat. Wallahul muwaffiq ila Darissalam. By Ahyar Fadli

Kamis, 06 September 2012

MENCURI DENGAR


Hal ini berkaitan dengan pemilu Kepala Daerah di Nusa Tenggara Barat yang terkesan adem ayem saja, terutama dari para bakal calon gubernur dan wakil gubernur. Informasi  dari Ketua KPU NTB bapak Fauzan Halid, M.Si, bahwa tahapan pemilu Kepala Daerah sudah dimulai, setidaknya telah melakukan penyusunan regulasi dan anggarannya. Walaupun demikian, para bakal calon masih belum dapat dipastikan siapa yang akan bertarung pada pemilukada Tahun 2013 mendatang (termasuk gubernur incamben belum ada kepastian untuk maju atau beristirahat).
Mencuri dengar, ternyata sudah banyak para kandidat yang sudah memasang kuda-kuda untuk menjadi calon gubernur mendatang. Dari beberapa nama yang sudah beredar di masyarakat terdapat nama mantan gubernur Harun Al-Rasyid, M.Si (sekarang anggota DPD RI Dapil NTB), Brigjen Polisi (Pur) Dr. Faruk Muhammad (Anggota DPD RI Dapil NTB), Mantan Wakapolda NTB Brigjen Polisi Drs.H.Lalu Suparta, Dr. KH. Zulkipli, MM (Bupati Sumbawa Barat dan ketua DPW PBB NTB), Dr. H. Zaini Aroni, M.Pd (Bupati Lombok Barat dan Ketua DPD Golkar NTB), Ali Bin Dahlan (Mantan Bupati Lombok Timur), Hj. Wartiah, M.Pd (Anggota DPRD NTB dan ketua DPW PPP NTB), Drs. H. Sujirman (Ketua DPRD NTB), Dr.H. Rosyadi Husaini (kepala BAPEDA NTB), dan Dr.TGH. Zainul majdi, MA (Gubernur NTB). Serta masih banyak lagi nama-nama putra daerah lainnya dari calon independen.
Dari nama-nama bakal calon yang sudah beredar di masyarakat, untuk sementara semuanya punya kans yang sama untuk menjadi gubernur mendatang. Mengapa? Karena memang semuanya punya sahwat politik yang sama besar untuk menjadi gubernur dan tidak ada yang mau gagal. Penentunya atau wasitnya adalah rakyat selaku pemilih. Atau dengan kata lain Rakyat sebagai subjek sekaligus sebagai wasitnya.
Kondisi saat ini, tampaknya mereka masih saling intip dan mencuri dengar tentang siapa yang pasti akan maju untuk bertanding memperebutkan NTB satu. Gubernur incamben Dr.Tgh. Zainul Majdi sendiri masih belum jelas sikapnya antara maju untuk periode kedua atau cukup satu periode saja. Sementara dari keterangan beberapa pengurus teras Partai Demokrat NTB menjelaskan bahwa TGB masih tetap menginginkan agar kembali mencalonkan diri dan untuk selanjutnya partai yang akan memutuskannya sesuai mekanisme yang berlaku.
Namun, yang pasti bahwa maju atau tidaknya TGB pada pilkada NTB mendatang pasti akan panas sebab diantara nama-nama tersebut di atas terdapat mantan gubernur Harun Al-Rasyid, dan beberapa tokoh pulau Sumbawa yang mempunyai misi dan tujuan yang sama yakni terwujudnya provinsi Sumbawa (siapapun yang terpilih diantara mereka). Menurut pendapat saya, sebenarnya sahwat politik pak Harun sudah tidak sebesar dulu ketika menjadi gubernur NTB. Secara politis, apa yang mau dicari pak Harun sebenarnya? Apakah semata-mata jabatan, toh dia sudah menjadi gubernur, lalu apa, tidak lain menurut pendapat saya semata-mata ingin kembali ke daerah asalnya, hidup tenang dengan berbekal mewujudkan provinsi Sumbawa secepat mungkin. Hal itu yang paling mendasar kenapa pak Harun ingin kembali menjadi gubernur untuk kali keduanya.
Lalu pertanyaannya, apakah dengan jabatannya selaku anggota DPD RI, ia tidak bisa mewujudkan harapan masyarakat Sumbawa? Bisa, hanya kemungkinannya sangat kecil sebab powernya juga kecil dan berbeda dengan, kalau ia menjadi gubernur, tentu kekuatannya semakin besar. Harapan masyarakat Sumbawa inilah yang tidak mampu diperjuangkan oleh paket BARU selama empat Tahun menjabat. Mungkinkah disisa akhir jabatan paket BARU bisa memenuhi harapan masyarakat Sumbawa tersebut? Entahlah, dan kemungkinan itu masih tetap terbuka, bukan? Kondisi sosio-psikologis seperti itulah yang akan membuat suasana politik di NTB menjelang pemilukada memanas.
Di samping kondisi sosio-psikologis masyarakat Sumbawa tersebut, besar kemungkinan juga akan muncul politik etnisitas, aliran dan mungkin perang idiologis semakin meruncing, sebab diantara para kandidat sudah terang-terangan menyebutkan identitas etnik, aliran dan ideologinya. Tentu kondisi ini sangat berbeda dengan kondisi empat Tahun lalu ketika pasangan BARU memenangkan pertarungan menjadi gubernur terpilih. Kemungkinan-kemungkinan itu sangat mungkin terjadi, sebab masyarakat sudah mulai cerdas memilah dan memilih (untuk tidak mengatakan kecewa) selama kepemimpinan BARU. Siapa yang diuntungkan dan siapa yang buntung, tentu, masyarakat politiklah yang dapat memberikan penilaian.
Secara politis, etnisitas, aliran dan ideologi, di samping dapat berfungsi sebagai faktor integrasi, juga sebagai faktor disintegrasi (minimal terbelahnya suara pemilih). Demokrat sebagai partai pemerintah tentu punya peran strategis untuk mendesain atau meramu perbedaan etnik, aliran dan ideology menjadi suatu program kerja. Siapapun, tahu bahwa partai Demokrat sangat diuntungkan dalam hal ini dan tidak bagi Partai Bulan Bintang dan PKS (sebagai partai pengusung pasangan BARU kala itu. Pada ranah ini, partai demokrat sangat diuntungkan oleh perilaku politik si actor, sesuai pendektan behavioralism dalam ilmu Politik, karena si aktor-lah yang secara aktual mengendalikan lembaga dan bukan sebaliknya. Wallahul muwaffiq ila Darissalam.