This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Jumat, 29 Maret 2013

MENEKAN ANGKA GOLPUT PADA PILGUB NTB


Pembicaraan tentang golput atau golongan putih semakin signifikan manakala publik politik mulai mempertanyakan eksistensi partai politik. Golput dengan demikian, tidak lantas dikhawatirkan keberadaannya, sebagaimana ketakutan terhadap partai oposisi di era Orde Baru. Keberadaan golput sampai batas tertentu harus dilihat sebagai penyemangat partai politik untuk melakukan muhasabah diri dan kelembagaan, lalu maju ke medan kuru persaingan secara fair dan terbuka. Meningginya angka golput pada beberapa pemilu Kepala Daerah di Indonesia, seharusnya dapat diambil hikmahnya oleh partai politik.

Beberapa waktu yang lalu, saya berbincang-bincang dengan beberapa orang yang tidak memilih (golput) pada pemil.ihan Kepala Desa, baik di Lombok Barat maupun di Lombok Tengah. Kami berbincang dengan santai di teras rumah salah seorang warga sambil meminum kopi khas Sasak (Lombok) dan Ubi Goreng. Perbincangan kami hanya untuk mengetahui alasan-alasan yang melatarbelakangi kenapa mereka tidak memilih pada Pilkades. Apa yang kami hasratkan memang tercapai, tetapi kami agak kaget, ternyata beberapa orang dari mereka memang tidak pernah memilih. Alasannya sangat sederhana, bahwa memilih atau tidak memilih, tidak ada pengaruhnya bagi kehidupan pribadinya. Apakah dengan saya memilih, kemudian hidup saya bisa menjadi lebih baik, ternyata tidak, katanya menjawab pertanyaanya sendiri. Kehidupan saya, ya, kehidupan saya dan tidak ada kaitannya dengan memilih atau tidak memilih.

Perbincangan di atas, setidaknya memberikan gambaran bahwa masyarakat sudah jenuh dengan Pemilu (termasuk Pemilu Kepala Daerah). Dengan demikian, golput sejatinya harus dianggap sebagai suatu proses normal dalam setiap pemilu yang diadakan di semua Negara, termasuk Indonesia. Dan juga, kehadiran golput senantiasa menjadi pernik-pernik penghias pelaksanaan Pemilu dan tidak berpengaruh apa-apa terhadap pemenang Pemilu, sebagaimana yang terjadi pada Pemilukada di Jawa Barat dan Sumatera Utara.

Hitadup golput, hidup gollput, hidup golput. Itulah kalimat yang patut diteriakkan, ketika melihat hasil pemilihan gubernupr Jawa Barat dan Sumatera Utara. Bagaimana tidak berteriak gembira, ternyata suara golput lebih tinggi dibandingkan perolehan suara yang didapatkan oleh pasangan calon gubernur di dua daerah yang berbeda itu. Melihat prosentase perolehan suara Ahmad Heryawan dengan Dedi Mizwar mendapatkan angka 33,20 persen, sementara angka golput 34,10 persen pada pemilu di Jawa Barat. Dan angka golput pada pemilu gubernur Sumatera Utara mencapai angka 51,50 persen, sementara pasangan Pujo-Erry hanya mencapai angka 33,51 persen. Keduanya tetap ditetapkan oleh KPU sebagai pemenang Pemilu Kepala Daerah walaupun angka golputnya tinggi.

Permasalahannya kemudian, apa yang harus dilakukan kalau seandainya pada setiap Pemilu angka golputnya mencapai angka 50+1 persen? Dari perspektif hukum, mungkinkah Pemilu diulang atau dikatagorikan sebagai cacat hukum? Kiranya pemerintah perlu memikirkan dan sebaiknya diatur sebagai penyempurnaan terhadap undang-undang pemilu. Sementara dari perspektif politik, meningginya angka golput paling dianggap sebagai pemerintahan yang tidak legitimate dan rawan di makzulkan.

Sebuah pemerintahan akan semakin legitimate jika didukung oleh suara rakyat yang berdaulat. Artinya semakin besar dukungan itu akan semakin legitimate sebuah pemerintahan. Partai politik sebagai peramu menu kebangsaan, hidangannya sedang tidak diminati oleh masyarakat dan ditambah lagi gizi politik yang dikandungnya pun tidak memenuhi standar minimal asupan yang harus tersedia (Musa, 2003). Rakyat bukan semakin sehat, tetapi semakin kurus dan ringkih secara politik. Akibatnya kepercayaan rakyat berangsur-angsur memudar. Titik inilah yang memberikan celah bagi munculnya golongan putih (golput). Sebagai data empiris, tingginya angka golput pada Pemilu Kepala Daerah Jawa Barat dan Sumatera Utara menembus angka 34,10 – 51,50 persen.

Angka golput yang sangat pantastik .ini perlu mendapat perhatian serius dari semua pihak (Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu). Masalahnya, apa makna dibalik tingginya angka golput di atas? Faktor-faktor apa yang menyebabkannya? Dan bagaimana antisipasi ke depannya? Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas. Namun demikian, perlu kiranya memberikan pemahaman tentang makna golput.

Secara koseptual, golput mempunyai dua makna yakni psikologis dan politis. Makna psikologis bisa menyangkut kepribadian dan orientasi pemilih. Perilaku golput disebabkan oleh kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tidak acuh, perasaan tidak aman, perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggungjawab secara pribadi (Aspar, 2006). Para pemilih yang mempunyai kepribadian tidak toleran atau tak acuh cendrung menarik diri dari percaturan politik langsung, karena menganggap issu-issu kampanye dan program yang ditawarkan partai politik tidak berhubungan dengan kepemimpinannya. Ketidakhadiran pemilih ke TPS karena partai tidak mampu menawarkan program sesuai dengan preferensi politik mereka.

Orientasi kepribadian tampak pada sikap apatis, anomi dan alienasi. Apatisme merupakan inkarnasi atau perkembangan lebih lanjut dari kepribadian otoriter yang ditandai dengan tiadanya hasrat terhadap persoalan politik. Anomi menunjuk pada perasaan tidak berguna. Pemilih memandang bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak memilih, tidak mempunyai pengaruh yang berarti, karena keputusan-keputusan politik berada di luar kontrol pemilih. Anggota Dewan setelah terpilih sibuk dengan logika-logikanya sendiri dalam mengambil setiap keputusan politik dan dalam banyak hal berada di luar jangkauan pemilih atau konstituennya. Artinya, konstituen oleh politisi masih tetap dianggap sebagai objek penderita.

Alienasi berada di luar apatis dan anomi (Asfar, 2006). Menurut Karl Marx alienasi merupakan perasaan keterasingan secara aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan ekonomi (termasuk politik). Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh untuk mengatasi keterasingan (alienasi) pemilih. Jika perasaan keterasingan (alienasi) ini memuncak, kemungkinannya akan mengambil bentuk alternative aksi politik, seperti kerusuhan, kekacauan, demonstrasi dan tindakan kekerasan politik.

Apa yang dapat dibaca dari meningginya angka golput pada setiap pemilu? Ada dua hal yang dapat dibaca dari ketidakhadiran pemilih ke TPS yakni (1). Bisa dianggap sebagai ketidakpercayaan pemilih terhadap pemerintah yang sedang berkuasa rendah. (2). Dianggap sebagai ekspresi kepercayaan yang tinggi terhadap pemerintah. Karenanya, ketidakhadiran pemilih menandakan bahwa mereka puas terhadap kinerja pemerintah yang berkuasa, karena itu tidak perlu hadir ke TPS. Mereka akan berpartisipasi ketika pemerintah tidak becus dalam mengelola Negara atau dengan perkataan lain seseorang akan berpartisipasi ketika kecewa terhadap pemerintah dengan hasrat untuk mencari pemimpin yang baru.

Faktisitas dan kondisi politik saat ini, dapat menjadi pemicu ketidakpercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Umumnya, para pemilih yang berpendidikan memadai dan pemilih rasional mempunyai kecendrungan golput. Dalam studi voting behavior, menurut Muhammad Asfar (2006) pemilih rasional mempunyai kalkulasi untung rugi dalam menentukan pilihan politiknya. Biasanya berkaitan dengan program-program yang ditawarkan sesuai dengan preferensi politiknya dan siapa kandidat yang bisa memperjuangkan aspirasi tersebut.

Pada aras ini, pemilih rasional tidak mempunyai kedekatan dengan suatu partai politik dan biasanya pemilih memiliki beberapa preferensi pilihan politik, mulai dari yang paling disukai sampai paling dibenci. Ketika berada di bilik suara, mereka tidak harus memilih partai yang paling disukai, tetapi juga memperhitungkan program dan kualitas orang-orang yang akan memperjuangkan program tersebut. Maksudnya, terawangan terhadap para caleg menjadi faktor penting untuk dipilih walaupun partainya tidak sama.

Hanya saja, kalkulasi untung rugi terhadap kandidat tidak selamanya bersifat rasional. Tetapi juga pada latarbelakang sosial ekonomi dan ketokohannya. Bagi pemilih semacam ini, tidak penting melihat kemampuan intelektual, wawasan, penguasaan dan pengalaman, tetapi cukup melihat dari orang tuanya (keturunan), latarbelakang organisasi (NU, Muhamadiyah, NW) dan lainnya. Bahkan tidak sedikit pemilih kandidat berdasarkan tampilan fisiknya.

Untuk menekan angka golput pada pemilu Kepala Daerah pada tanggal 13 Mei 2013 mendatang, ada beberapa hal yang perlu dilakukan terkait dengan kinerja parpol (Musa, 2003) dan program penyelenggara Pemilu yaitu:
(1). Perlu ada upaya dari setiap partai politik agar dapat menampilkan kader-kader partai dengan tingkat kualitas sumber daya manusia yang handal, dilihat dari segi pendidikan formal ataupun kemampuan serta wawasan para kader. Kualitas kader ini menjadi sangat penting sebab mereka yang akan menjadi legislator mewakili partai politik. Makanya jangan heran kalau kualitas para legislator diragukan kompetensinya oleh masyarakat.
(2). Perlu ada ruang atau space umur kader muda. Maksudnya, dengan memberikan kesempatan kepada kader muda parpol untuk berkiprah di ranah perpolitikan nasional selain menunjukan keberhasilan kaderisasi partai, juga menunjukan sikap kenegarwanan pimpinan parpol dalam memberikan tongkat estafet kepemimpinan. Secara kasat mata tampak bahwa tokoh-tokoh partai tidak rela memberikan ruang dan kesempatan bagi kader muda partai untuk menunjukkan potensinya, sehingga terkesan partai tertentu miskin kader.
(3).Perbaikan parpol harus diupayan sedemikian rupa sehingga parpol benar-benar akan menjadi alat perjuangan rakyat yang mewujud dalam gerakan kerakyatan yang bersifat advokatif dan futuristic. Maksudnya, pembelaan parpol kepada kepentingan rakyat harus benar-benar terealisasikan dan tidak hanya mencakup problema kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan.
(4). Perbaikan parpol harus menyentuh wilayah sistemik internal kepartaian, baik menyangkut paradigm, visi dan misi, pola rekrutmen, pengkaderan, kredibilitas dan integritas pimpinan. Logikanya, bagaimana mungkin parpol mau mengurus rumah tangga rakyat secara sehat, jika rumah tangga sendiri berantakan dan mengandung virus penyakit yang mematikan.
(5). Parpol memberikan program dan pendidikan politik yang berkesinambungan terhadap masyarakat, sehingga keberadaan parpol tetap dirasakan adanya. Yang tergambar di benak masyarakat bahwa parpol itu ada ketika menjelang pemilihan umum dan setelah jadi hilang bagaikan lenyap ditelan bumi, ada tetapi tidak ada (wujuduhu ka adamihi).

Partai politik harus berbenah agar kepercayaan masyarakat semakin tumbuh. Saya khawatir, bila kondisi dan perilaku para politisi tidak segera berubah, bisa jadi masyarakat akan semakin apatis dan semakin terdorong untuk tidak memilih (golput) pada pemilu kepala daerah mendatang. Mengapa Fraksi PDI Perjuangan memilih walkout ketika sidang paripurna pada tanggal 18 Maret 2013 dengan agenda mendengarkan LKPJ gubernur NTB. Dalam kondisi masyarakat yang cendrung apatis sekarang ini, sebaiknya parpol tidak memainkan logika yang tidak rasional seperti itu. Apa mereka mengira bahwa masyarakat tidak memantau? Bukan sanjungan atau pujian masyarakat yang didapatkan malah cemoohan. Kalaupun terjadi pelanggaran (sebagaimana disinyalir pelaku walkout), bukankah sudah ada salurannya, seperti Badan Kehormatan Dewan. Saatnya melakukan pembenahan dengan memberikan ruang bagi masyarakat untuk kembali berpolitik.

Penyelenggara Pemilu (Bawaslu dan Komisi Pemilihan Umum) secara berkesinambungan juga harus melakukan sosialisasi tentang program dan tahapan kepemiluan. Sangat lucu, masyarakat yang punya hak memilih sampai tidak mengetahui waktu pelaksanaan pemilu kepala daerah. Sebagai masyarakat sangat berharap agar penyelenggara pemilu terus melakukan sosialisasi agar partisipasi masyarakat pada pemilu kepala daerah mendatang meningkat. Partisipasi masyarakat akan menjadi penentu kualitas dan kesuksesan penyelenggaraan pemilu. Angka golput sebagaimana pada pemilu Sumatera Utara yang mencapai angka 51, 50% pertanda bahwa kualitas pemilu diragukan., sehingga wajar jika pasangan calon lain melakukan gugatan. Kesalahan yang sering terulang adalah sosialisasi hanya dilakukan menjelang pelaksanaan Pemilihan umum. Menjelang pemilu kepala daerah di NTB, idealnya, penyelenggara Pemilu harus mempunyai program pendidikan politik bagi masyarakat untuk melahirkan pemilih yang sadar, cerdas, rasional dan kritis agar angka golput di NTB bisa di tekan dalam menyongsong Pemilu yang akan datang. Wallahul Musta'an ila Darissalam.


Jumat, 15 Maret 2013

MEMBACA POTENSI KONFLIK POLITIK PADA PILKADA NTB


Ada pertanyaan yang selalu menggantung di setiap Pemilu Kepala Daerah, apakah setiap pasangan calon itu, selain bersiap untuk menang juga menyediakan memori untuk menerima kekalahan. Hal ini tampaknya masih agak sulit ketika selama puluhan tahun sebuah kemenangan selalu berarti “kecurangan”. Pemilu Gubernur Jawa Barat dan Sumatra Utara semakin seakan menjadi pembenar bahwa suatu kemenangan selalu berarti kecurangan. Pasangan Rieke Diah Pitaloka melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas kecurangan yang disinyalir dilakukan oleh pasangan Ahmad Heryawan dan Dedi Mizwar pada Pilgub Jawa Barat dan begitu pula Efendi Simbolon pada Pilgub Sumatra Utara.
Apa yang dilakukan oleh kedua pasangan yang kalah pada Pilkada Gubernur dibenarkan oleh perundang-undangan dan berada pada saluran yang tepat dengan mengajukan gugatan secara hukum. Dan tentunya, tidak ada seorangpun yang bisa mencegahnya untuk tidak melakukan gugatan hukum. Itulah saluran yang disediakan oleh system demokrasi, mau memanfaatkan saluran itu atau tidak, sangat bergantung pada data-data kecurangan yang dimiliki oleh pasangan yang kalah. Di samping itu, seharusnya pasangan calon yang kalah juga penting untuk menerima bahwa kekalahan itu adalah bagian dari kenyataan yang harus diterima. Tampaknya ini yang sulit diterima oleh pasangan calon yang kalah.
Sepanjang tahun 2012 lalu, di kabupaten Lombok Tengah, masyarakat dibuat tercengang oleh pelbagai tindak kekerasan yang dilakukan oleh para pendukung calon Kepala Desa yang kalah. Setidaknya ada 7 (tujuh) kejadian tindakan kekerasan dalam berbagai bentuknya setelah pemilihan Kepala Desa, dan 5 (lima) kantor desa disegel oleh masyarakat sendiri. Perilaku pendukung calon Kepala Desa yang kalah itu menambah catatan panjang bahwa kemenangan masih identik dengan kecurangan. Kemudian ke depannya, saya berkeyakinan bahwa potensi kekerasan pada Pemilu Kepala Daerah di NTB masih menjadi momok yang menakutkan bagi siapapun yang terpilih menjadi pimpinan Kepala Daerah. Karena itu, untuk menghindari tindakan kekerasan, sebaiknya para pasangan calon mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh penyelenggara pemilu.
Guna menghindari konflik pasca pelaksanaan Pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah menyediakan ruang dan memediasi semua pasangan calon Kepala Daerah untuk menandatangani kesepakatan bersama tentang “Siap menang, siap kalah”. Kenyataannya, walaupun para pasangan calon telah menandatangani kesepakatan “Siap menang, siap kalah”, tidak sedikit dari mereka yang siap menerima kekalahan. Selalu saja mengemuka bahwa kemenangan itu akibat adanya kecurangan yang dilakukan pemenang. Kemudian masalahnya, apakah kalau seandainya yang kalah berada pada posisi pemenang, secara otomatis sepi dari tuduhan kecurangan? Tentu saja, tidak. Sebab masih kental dalam memori para politisi bahwa kemenangan selalu identik dengan kecurangan.
Kalimat tersebut tidak lahir dari ruang hampa, yang datang dari dunia antah barantah, namun terlahir dari suatu proses panjang penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, mulai dari penyelenggaraan Pemilu Orde Lama, Orde Baru, Orde Reformasi dan Transisi menuju Demokrasi sekarang ini. Perlu disadarai bahwa pergerakan perpolitikan di Indonesia bagaikan spiral, bergerak memutar untuk kemudian kembali lagi pada start awalnya. Lalu bergerak kembali sebagaimana gerakan sebelumnya, terkadang sedikit terjadi zig zag, tetapi ruh pergerakannya sama saja.
Jika demikian, merubah memori “kemenangan identik dengan kecurangan” membutuhkan political will yang sungguh-sungguh dari pemerintah untuk merubah isi memori itu menjadi “kemenangan identik dengan kejujuran dan taat aturan”. Saya fikir, hal itu tidak sulit, asalkan pemerintah bersama DPR bersikap jujur di dalam melakukan perbaikan system penyelenggaraan pemilu (termasuk partai politik peserta pemilu). Ada kesan bahwa revisi terhadap beberapa undang-undang politik (UU Partai Politik dan Pemilu) mengandung hasrat untuk penyederhanaan Partai Politik peserta Pemilu. Kini, kesan itu menjadi kenyataan dengan ditetapkannya 10 Partai Politik (semula 24 Parpol) peserta Pemilu pada tahun 2014 mendatang.
Apa yang dilakukan pemerintah itu tidak lain sebagai upaya untuk menjaga bayi mungil yang bernama partai Demokrat dalam percaturan politik mampu berteriak lantang dalam gema ganda (meminjam istilah Fahri Ali) sambil meninggalkan parpol-parpol dan kini Demokrat menang pemilu dan parpol lain kalah total. Kemenangan Demokrat memberikannya keleluasaan bergerak dalam menangani policy kenegaraan.
Analogi politik “kepala ganda” sedari awal sudah dilakukan oleh partai pemerintah (Demokrat dan Golkar).  Fungsi kepala pertama adalah meletakkan struktur dasar dedikasi di bumi katulistiwa. Dan fungsi kepala kedua, meletakkan batu pertama guna kebangunan kekuasaan yang permanen (ini yang sedang dilakukan oleh partai Demokrat). Wujud kepala ganda ini bekerja dalam program yang elastis. Dalam kurun waktu pemerintahan SBY, implementasi program Demokrat telah terlihat. Goresan perjalanannya dalam hampir sepuluh tahun membentuk suatu struktur spesifik kondisi nasional, baik itu kondisi sosial, ekonomi, politik serta rentetan kejadian yang lepas kontrol.
Mekanisme kerja kepala pertama bertumpu pada dedikasi terhadap bangsa dan rakyat Indonesia telah nyata. Di bidang politik upaya-upaya penyederhanaan multy party system telah terlaksana. Dan secara ideology terpetakan menjadi tiga yakni berhaluan ideologi Nasionalis, Nasionalis-Religius dan Religius. Kelompok berideologi Nasionalis, yakni Demokrat, Golkar, PDIP, Gerindra, Hanura, Nasdem. Kelompok Nasionalis-Religius yakni PKB, dan PAN. Dan kelompok berideologi Religius yakni PKS dan PPP.
Efek tetesan ke bawah kondisi nasional berpengaruh ke level daerah. Potensi konflik dan tindakan kekerasan di daerah dapat terjadi dan bisa lebih dahsyat terutama menjelang Pemilu Kepala Daerah. Di NTB yang akan menyelenggarakan Pemilu di tiga daerah pada  tanggal 13 Mei 2013 mendatang yakni pemilihan Gubernur, pemilihan Bupati Lombok Timur dan Pemilihan Wali Kota Bima, juga berpotensi menjurus ke konflik dan tindakan kekerasan. Apakah rumus politik “Kemenangan selalu identik dengan kecurangan” juga akan mewarnai Pemilu Kepala Daerah di NTB, nantinya. Kemungkinan itu bisa saja terjadi, apalagi kondisi NTB setelah terjadinya pelbagai kekerasan, kerusuhan dan konflik antar kampung di beberapa daerah  masih menjadi ancaman. Momok tindak kekerasan masih menakutkan masyarakat, apalagi menjelang Pemilu Kepala Daerah.
Keresahan dan ketakutan masyarakat terhadap konflik sosial dan tindakan kekerasan itu, bukanlah sesuatu yang dibuat-buat, tetapi suatu ketakutan dan keresahan yang beralasan sebab kondisi masyarakat NTB sekarang ini sangat mudah terprovokasi. Tentu, kita masih ingat issu penculikan anak  yang membuat 5 (lima) orang warga yang tidak bersalah menjadi kurban dan kerusuhan yang terjadi di Bima dan Dompu. Riak-riak potensi kekerasan pada pemilu Kepala Daerah semakin terasa dan tampak jelas terlihat pada pengrusakan beberapa atribut pasangan calon. Suasana dan tindakan pengrusakan atribut pasangan calon tersebut, semestinya segera ditanggapi oleh pihak kepolisian, Bawaslu dan KPU. Perlu dilakukan langkah antisipatif, sehingga tidak terkesan penyelenggara pemilu menerapkan politik pembiaran. Hal itu bisa berbahaya dan menjadi boomerang bagi penyelenggara Pemilu dan Kepolisian.
Pemilihan Umum, seharusnya tidak selalu dimaknai sebagai proses demokrasi untuk memperoleh kekuasaan, tetapi yang lebih penting adalah Pemilu merupakan pelembagaan untuk menyelesaikan konflik politik yang berkaitan dengan upaya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan secara damai, tidak melalui serangkaian kekerasan (Kacung Marijan, 2006). Ketika terjadi konflik politik, disalurkan dan diselesaikan melalui lembaga-lembaga politik yang tersedia. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan untuk menyelesaikan konflik politik Pilkada ke Mahkamah Konstitusi.
Potensi dan munculnya konflik-konflik  politik pada Pemilu Kepala Daerah yang mengeras dan berujung pada lahirnya kekerasan politik, meskipun belum sampai pada munculnya aksi pembunuhan politik. Konflik itu, masih sebatas intimidasi, demonstrasi oleh pendukung calon tertentu yang tidak puas terhadap keputusan partai politik dan KPUD sampai kepada menduduki dan pembakaran gedung-gedung milik pemerintah dan milik calon.
Pembakaran terhadap pendopo kabupaten Bima, NTB dapat menjadi pelajaran tentang konflik politik. Kasus pembakaran pendopo itu, dapat menjadi acuan penyelenggara Pemilu dan kepolisian untuk bersikap antisipatip terhadap kemungkinan konflik politik selama dan pasca Pemilu Kepala Daerah di NTB. Tidak ada seorangpun yang menghendaki kasus pembakaran ala Pendopo Bima terulang kembali. Karena itu, semua pihak, pemerintah, penyelenggara Pemilu, aparat keamanan, partai Politik dan masyarakat harus bersinergi untuk menangkal kemungkinan terjadinya konflik politik yang mungkin akan terjadi.
Setiap tahapan Pemilu Kepala Daerah sangat rentan dengan konflik Politik, dimulai dari pendaftaran Pemilih (DP4), pencalonan pasangan calon, penetapan pasangan calon terpilih, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara. Itulah, tahapan-tahapan Pemilu yang rentan dengan konflik politik. Dengan dibukanya pintu bagi calon perseorangan sebagai bakal calon gubernur di NTB tentu membawa permasalahan sendiri, terutama dukungan yang dibuktikan dengan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pada aras ini, sering terjadi manipulasi data dukungan dalam bentuk foto copy KTP.
Dengan kemampuan membaca potensi konflik politik menjelang Pemilu Kepala Daerah di NTB, diharapkan penyelenggara pemilu dan aparat keamanan mampu mengantisipasi dan meminimalisir konflik politik yang mungkin bakal terjadi. Partai Politik sebagai pengusung Calon Kepala Daerah juga harus dapat menahan diri dan membudayakan politik damai dan santun dengan mencoba merubah memori bahwa “kemenangan adalah kedamaian dan kekalahan merupakan bagian dari realitas yang harus diterima”. Partai Politik seharusnya berada di garda terdepan untuk mensosialisasikan budaya politik damai di internal mereka.
Di dalam konteks ilmu politik, realitas munculnya Pemilu yang berlangsung secara damai itu sering dikaitkan dengan adanya budaya politik yang baik di dalam masyarakat. Larry Diamond (1994), sebagaimana dikutip Kacung Marijan, mengemukakan bahwa adanya nilai-nilai tertentu di dalam masyarakat, seperti “moderation, cooperation, bargaining and accommodation” sangat penting di dalam demokrasi. Melalui nilai-nilai yang bercorak demokratis, proses perjuangan untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan dilakukan secara damai, tidak dilakukan melalui serangkaian tindak kekerasan dan kucurangan.
Mewujudkan budaya damai dalam alih kekuasaan di NTB menjadi tugas dan tantangan yang tidak ringan bagi Gubernur M. Zainul Majdi. Apalagi Tuan Guru Bajang sudah pasti akan ikut bertarung dalam pemilu Gubernur mendatang. Bila terjadi tindakan kekerasan dan konflik politik dalam Pemilu Kepala Daerah mendatang, bisa dipastikan akan berpengaruh terhadap citranya sebagai gubernur yang tidak mampu menjaga keamanan dan ketentraman masyarakat. Menang atau kalah pada Pemilu Kepala Daerah mendatang harus dianggap sebagai suatu realitas yang mesti diterima. Tidak perlu lagi dikembangkan bahwa “kemenangan selalu identik dengan kecurangan”. Gubernur M. Zainul Majdi, harus mampu mewujudkannya demi investasi politik damai. Wallahul Muwafiq ila Darissalam. 15032013.15.16.    

Kamis, 14 Maret 2013

MENGGAGAS PEMIMPIN BERMODAL MANTERA


Mantera menurut Heru Saputra adalah doa sakral kesukuan yang mengandung magi dan berkekuatan gaib. Bagi orang Bayuwangi Jawa Timur, mantera merupakan khazanah budaya kelisanan yang integral  dengan khazanah budaya lainnya. Eksistensinya masih tetap dibutuhkan hingga kini. Dengan demikian, mantera merupakan produk atau hasil konstruksi budaya yang bersifat sinkretik antara kepercayaan local dan tradisi agama. Dalam batas tertentu, mantra sangat fungsional bagi masyarakat kesukuan ketika pranata formal tidak mampu lagi mengakomodasi kepentingan mereka atau dengan kata lain, mantera menjadi potret pola kehidupan pragmatis dan jalan pintas untuk mencapai tujuan.

Mungkin kita masih ingat dengan pameo yang menyatakan bahwa “Cinta ditolak, Dukun bertindak”. Tentu dalam bayangan kita setelah membaca pameo itu, pasti teringat istilah pelet (senggeger istilah orang Sasak) sebagai obat mujarab bagi jalan pintas asmara. Pelet pada tulisan ini tidak dipahami sebagai perbuatan jahat untuk mencelakai orang lain, tetapi dipahami sebagai media untuk merukunkan orang, menyembuhkan, menjodohkan dan menjadikan seseorang mencapai tujuan (misalnya menjadi pemimpin). Karena itu, pengertian ini bersifat positif, yaitu ilmu pengasihan agar orang tertarik atau mengasihi.

Memasuki perhelatan Pemilihan Umum (termasuk Pemilu Kepala Daerah) banyak Calon yang berhasrat untuk mendatangi orang pintar (Dukun atau Kiai). Kedatangan mereka ke rumah orang pintar dimaksudkan untuk meminta doa-doa pengasih agar pemilih merasa kasihan dan iba sehingga dapat menjadi penguasa atau menjadi anggota DPR dan atau mungkin menjadi Kepala Daerah. Dalam konteks budaya tentu apa yang dilakukan para pemburu kekuasaan itu boleh dan sah-sah saja dilakukan selama kedua pihak dapat saling menguntungkan.

Alkisah, pada Pemilihan Umum Kepala Daerah di Lombok Tengah semua calon berhasrat untuk menang dan berupaya dengan berbagai cara untuk mewujudkan hasratnya. Salah satu cara yang ditempuh para calon adalah  mendatangi orang pintar. Dalam konteks budaya, orang pintar adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menerawang atau meramal apa yang akan dialami seseorang yang meminta petuah (menang atau kalah). Umumnya, perilaku orang pintar jarang-jarang mengecewakan pasiennya. Katakana saja, dari lima pasangan calon yang datang, kesemuanya dipastikan menang, namun yang terpilih hanya satu pasangan calon yakni yang memiliki suara terbanyak.

Orang pintar memang harus cerdik dan cerdas dalam memberikan terawangan akan nasib pasangan calon dalam Pemilu Kepala Daerah dan atau urusan terawangan politik. Orang pintar tidak boleh salah, kalaupun salah, ia harus tetap yakin akan kesalahannya sehingga pasiennya tidak sangsi atas ketahuannya. Maksudnya, dengan kecerdikan dan kepandaiannya orang pintar harus tetap tampil bersahaya dan berwibawa atas keputusan yang disampaikannya kepada si pasien. Coba telisik kalimat “Semua pasangan calon dipastikan akan menang, namun yang terpilih hanya satu pasangan calon dengan suara terbanyak”. Tentu tidak ada yang salah dalam kalimat tersebut, yang salah adalah pasangan calon yang terlalu percaya terhadap ramalan yang tidak perlu diramalkan. Secara rasional pasti yang menjadi pemenang adalah pasangan yang mendapatkan suara terbanyak (sesuai peraturan) dan tidak perlu ditafsirkan apalagi diramal.

Tetapi itulah dunia Mantera (dunia sophie), dunia yang butuh keahlian, kelakuan dan kecerdasan khusus untuk dapat memasuki dunia itu. Keberhasilan memasuki dunia itu dengan tanpa banyak bertanya tentang sesuatu yang mengitari keberadaan orang pintar. Kelakuan orang pintar memang tidak biasa dalam proses laku terhadap pasiennya. Pasien dapat disuruh melakukan apa saja sebagai syarat untuk mencapai hasratnya. Mulai dari mandi di tempat khusus (ditaburi bunga setaman) dengan berbagai ritualnya, memakan kertas yang bertuliskan rajah, meminum minyak hasil olahan yang telah dibacakan mantera, sampai memasukkan benda-benda berbentuk pelor ke dalam tubuh si pasien. Sebagian proses lelaku tersebut sebagai media untuk mencapai hasrat si pasien yang harus dijalaninya.

Dunia manetra adalah dunia magis yang butuh keyakinan dan kepercayaan atas nilai yang dikandungnya. Mantera atau magis tidak akan bermakna apapun kalau orang tidak mempercayainya. Masyarakat Bayuwangi Jawa Timur mengenal empat macam magi yang terkandung dalam mantera, yakni magi putih, kuning, merah dan hitam (Heru S.P. Saputra, 1997). Sementara, sepengetahuan penulis, dalam masyarakat Sasak hanya mengenal dua macam magi yakni magi putih dan hitam. Mantera bermagi putih dipakai untuk penyembuhan dan tujuan positif lainnya, sedangkan mantera bermagi hitam untuk melakukan hal-hal yang bersifat destruktif.

Magi dalam masyarakat tribal (juga masyarakat modern) masih sangat fungsional untuk menguatkan kepercayaan kepada diri sendiri dalam menghadapi situasi-situasi ketegangan, sebagaimana hasil penelitian Malinowski pada penduduk Trobriand. Mantera-mantera dan jampi-jampi membantu orang menyesuaikan diri kepada ketegangan-ketegangan dengan memberikan kesempatan-kesempatan untuk mendramatisasi kecemasan psikologis mereka. Magi dengan demikian, membangkitkan suatu kesadaran “berbuat sesuatu mengenai hal tersebut” untuk menghadapi ketidakpastian dimana cara-cara praktis saja tidak menjamin keberhasilan pekerjaan tersebut. Karena itu, menggunakan cara-cara magi berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang vital bagi masyarakat sulit dihindari, dan fungsinya sebagai sarana untuk menghilangkan ketegangan dan meningkatkan penyesuaian diri.

Memang, dunia Mantera sudah merasuk ke segala sendi kehidupan masyarakat Indonesia, baik masyarakat tradisional maupun masyarakat modern. Para politisi dan pengejar kekuasaan di negeri ini, kelihatannya juga sangat memanfaatkan magi sebagai media untuk mendapatkan jabatan dan posisi-posisi yang menguntungkan atau yang dihasratkan. Kisah-kisah para politisi dan para pemburu kekuasaan yang mendatangi dan meminta jasa orang pintar sudah menjadi kisah yang jamak dalam masyarakat. Perilaku orang yang ingin menjadi pemimpin atau pengejar kekuasaan itu mungkin berkeyakinan bahwa meminta jasa orang pintar sebagai salah satu cara (bukan satu-satunya cara) untuk mendapatkan jabatan secara cepat dan smart (tidak berarti mencelakai orang lain). 

Tulisan ini, tidak memaknai mantera sebagai media mencelakai orang lain demi mendapatkan jabatan, tetapi mantera sebagai ilmu pengasihan (termasuk magi putih). Ketika seseorang mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, kepada Desa, atau jabatan lainnya, maka dengan memanfaatkan mantera sebagai ilmu pengasihan, bisa jadi pemilih akan merasa kasihan dan memperoleh suara terbanyak, akhirnya menjadi Kepala Daerah (Gubernur, Bupati/Walikota).

Masalahnya, dapatkah mantera (dalam makna ilmu pengasihan) sebagai variabel utama menjadikan seseorang sebagai pemimpin? Saya fikir, sangat sulit dan diperlukan variabel lain yang saling mendukung, seperti mantera modal sosial dan modal material. Setidaknya itulah tiga modal utama yang harus ada ketika orang berhasrat menjadi pemimpin dan penguasa. Kalau digambarkan, tiga modal tersebut ibarat viramid yang saling menyokong pada tiga sisinya. Dari ketiganya mantera modal sosial dan modal material sebagai variabel utama penyokong variabel mantera (ilmu pengasihan). Variabel mantera untuk kekuasaan tidak akan pernah menjadi penyokong utama dalam kerangka viramida. Variabel mantera tetap berfungsi untuk menghilangkan ketegangan, meningkatkan penyesuaian diri dan mendramatisasi kecemasan psikologis.

Menjadi pemimpin tanpa mantera rasanya sulit karena mantera menjadi kebutuhan psiko-rohaniah manusia yang mendasar, tetapi bukankah tanpa mantera banyak orang terpilih menjadi pemimpin dan penguasa? Jawabannya ya dan memang banyak. Dan pertanyaan yang sama dapat diajukan, adakah orang menjadi pemimpin dan penguasa dengan bermodal mantera? Mungkin jawabannya, tidak ada. Mengapa? karena memilih pemimpin dan penguasa menjadi urusan politik yang memerlukan modal sosial dan material yang tidak sedikit, karena itu cendrung politik itu korup (kalau logikanya terbangun dari dua modal tersebut).

Pada aras ini, menjadi penting untuk menggagas politik yang tidak korup. Bagaimana mungkin? Ya, mungkin saja kalau ada yang berani mencoba. Menurut hemat saya, harus ada orang yang berani mendaftarkan diri menjadi pemimpin dan penguasa yang hanya mengandalkan mantera semata, dengan tidak terlalu pusing dengan modal sosial dan material yang terlalu banyak. Masalahnya, dari akan memulainya? Mulailah dari kepemimpinan di tingkat lokal, seperti menjadi ketua RT, Kepala Dusun, Kepala Desa, pemangku adat, kiai atau penghulu dan jabatan lain yang setara.

Pada masyarakat tradisional tidak susah mencari pemimpin dan tidak memerlukan modal material yang banyak. Dengan mengandalkan garis keturunan dan restu dari tokoh adat, seseorang bisa menjadi pemangku jabatan di tingkat lokal. Hal ini berarti menjadi pemimpin dan penguasa dengan bermodalkan mantera bisa dan mungkin terjadi. Kemudian, bagaimana local value dalam mengangkat pemimpin (pada masyarakat tradisional) itu bisa ditarik ke level yang lebih makro? Wallahul Musta’an ila Darissalam.

Pitung Bangsit, Kediri, 14032013.14.43.

Sabtu, 09 Maret 2013

MEWASPADAI NEGATIVE AND BLACK CAMPAIGN


“Menang terhormat, kalah tersanjung”, itulah kalimat normative  yang dapat saya rekam setelah selesai membaca novel Mahabarata. Kalimat tersebut terungkap ketika anak-anak Pandu yang tergabung dalam Pandawa Lima berkumpul menyikapi kelicikan dan provokasi yang terus dilakukan oleh saudara-saudaranya dari Kurawa. Sedianya pihak Pandawa berusaha untuk menghindar dari peperangan dengan Kurawa, tetapi takdir rupanya tidak dapat ditolak, perang Bharatayuda di Kuru Setra akhirnya terjadi. Namun demikian, pihak Pandawa berusaha untuk tetap bersikap dan menjaga nilai kesatrya dalam peperangan itu dengan tidak berbuat kecurangan, kelicikan dan tipu muslihat, sehingga kalau menang dalam peperangan itu menjadi pemenang yang terhormat dan kalau kalah tetap tersanjung. Itulah nilai-nilai kesatrya yang harus dijunjung tinggi dan diacu pada suatu pertandingan, tak terkecuali dalam Pemilu Kepala Daerah di Nusa Tenggara Barat.
Dalam kondisi Politik Indonesia seperti saat ini, sepertinya sulit untuk bersikap kesatrya dalam setiap perhelatan Pemilihan Umum, terutama Pemilu Kepala Daerah. Sebab orientasi para kontestan semata-mata kekuasaan dan karenanya apapun bisa dilakukan yang penting tujuan berkuasa tercapai. Dengan begitu, seolah-olah untuk mencapai suatu kekuasaan, melakukan tindakan provokatif dengan negative and black campign menjadi strategi jitu untuk membuat lawan politiknya kalah terkapar.
Dalam pentas Pemilu Kepala Daerah tampaknya negative and black campign menjadi salah satu strategi andalan untuk memperoleh kekuasaan. Ya, negative and black campign boleh jadi memang menjadi jurus andalan. Namun, mahluk macam apa negative and black campign itu? Secara definisi keduanya bisa dibedakan, tetapi dalam prakteknya keduanya sulit dipisahkan. Kedunya dapat dipakai para kontestan politik atau tim pemenangan di waktu yang bersamaan. Beda kata beda definisi, kata Saharudin, MA (Dosen tetap Fakultas Tarbiyah IAI Qamarul Huda, Lombok Tengah).
Black campign itu sesuatu hal yang fiktif dan fitnah dan disebarkan oleh segelintir orang atau tim. Sementara negative campign sesuatu hal yang berdasarkan fakta dan dianggap salah bagi sebagian orang kemudian disebar oleh segelintir orang atau tim. Sederhananya, negative campign berarti berbicara tentang lawan kampanye dari sisi gelapnya (dari sisi jeleknya atau negatifnya). Ini berarti secara langsung menyerang lawan atau kebijakan dan atau membandingkan secara secara kontras antara calon anda dengan lawan. Yang pasti kedua hal itu dilakukan untuk merugikan orang lain dan membunuh karakter orang lain. Akan tetapi belum tentu juga black and  negative campign tepat sasaran.
Pada pilpres 2009 lalu, istri SBY di-black campign bahwa dirinya adalah seorang non Muslim, padahal jelas-jelas dia adalah seorang muslim. Begitu juga dengan SBY yang di-black campign bahwa dirinya sebelum masuk Akademi Militer pernah menikah. Gubernur Sulawesi Selatan Sahrul Yasin Limpo (SYL) di-black campign dengan beredarnya selebaran tolak dinasti gubernur pengguna narkoba. Hal yang sama juga, terjadi pada Pilgub Jawa Barat dimana, beredar selebaran tentang Ahmad Heryawan yang punya istri lain.
Terdapat tiga jenis utama dari negative and black campign yakni (1). Ad hominem istilah latin berarti “melawan orang”. Jenis serangan ini adalah serangan terhadap pribadi lawan, cendrung tidak ada hubungan dengan kampanye, visi misi maupun kebijakan, seperti mengkampanyekan lawan politiknya dengan menyebut kelebihan berat badan, jelek, memiliki hubungan di luar nikah, keluar masuk kafe dengan wanita lain. (2). Policy attacks merupakan jenis kampanye yang menyerang kebijakan dan program lawan yang tidak tepat dan tidak dibutuhkan oleh masyarakat luas. Dalam prakteknya serangan ini biasanya dilakukan dengan membandingkan kebijakan dan janji-janji lawan politik, kemudian membandingkannya dengan kebijakan dirinya (sebagai calon) dan memperlihatkan kepada halayak kejelakan kebijakan lawan. (3). Character attacks merupakan serangan karakter terhadap lawan.  
Dari tiga jenis utama negative and black campign tersebut di atas, menurut hemat saya, ad Hominem attacks adalah jenis serangan yang tidak etis dan kontra produktif dan harus dihindari dalam setiap kampanye Pemilihan Kepala Daerah di NTB, baik itu Gubernur, Bupati Lombok Timur maupun Kota Bima. Para kandidat sebaiknya menggunakan serangan kebijakan dan program untuk kesejahteraan rakyat (berfokus pada tema-tema positif yang mempromosikan diri mereka sendiri). Operasi politik professional percaya bahwa policy attacks merupakan serangan yang etis dan produktif dalam kampanye politik.
Serangan character attacks menunjukan bahwa hal-hal tertentu dalam hidup lawan politik saat ini atau masa lalu membuat dia tidak layak untuk posisi yang mereka incar saat ini. Contoh serangan karakter melakukan kekerasan dalam rumah tangga, sering bertindak kasar terhadap istri, pernah melakukan tindak asusila di masa lalu, dan lain sebagainya, seharusnya dihindari. Serangan karakter adalah wilayah abu-abu dalam negative campign. Terkadang, sebagian orang sama sekali tidak menggunakannya, namun sebagian yang lain percaya bahwa character attacks dapat diterima selama mereka berhubungan langsung dengan kampanye.
Dalam politik Indonesia dimana kampanye (positif) dilakukan dengan mengeksplorasi kelebihan calon dengan tak proforsional, narsis, berlebihan dan tak menggunakan argumentasi memadai, dan biasanya dilakukan oleh kandidat Kepala Daerah yang masih berkuasa. Iklan Politik berlebihan yang dilakukan para kandidat yang berkuasa tidak proforsional dan narsis menjelang pilkada, maka negative and black campign sangat berguna. Keduanya menyeimbangkan positive campign yang cendrung menyajikan kelebihan kandidat secara berlebihan dan tak proforsional.
Diakui atau tidak beberapa Balon Kepala Daerah sudah mulai memasuki negative and black campign. Di kabupaten Lombok Timur misalnya para kandidat sudah mulai saling serang dengan memasuki tiga jenis utama dari negative and black campign  (Ad Hominem, Policy Attackt, Character Attackt) tersebut di atas. Begitu juga, di provinsi NTB para Balon Gubernur sudah memulai mengkritisi dan menyerang program yang dianggap gagal seperti PIJAR dan tidak dibutuhkan masyarakat, seperti Islamic Center (terutama anggarannya yang diambil dari APBD). Kritikan itu wajar dan benar adanya, kalau ditilik dari banyaknya masyarakat yang belum sejahtera (ekonomi, pendidikan dan kesehatan). Sayangnya, para pengkritik dari pasangan Balon gubernur tidak mengkonstruksi program tandingan yang lebih baik dan kalaupun di tanyakan pasti jawaban blunder dan sangat normative.
Di jalan Langko Mataram, tepatnya Sebelah Utara Masjid Raya At-Taqwa Mataram, ada Baliho yang bertuliskan kurang lebih demikian “TGB Berikhtiar melanjutkan pembangunan Islamic Center”. Sepintas orang akan berfikiran bahwa hanya TGB yang mampu menyelesaikan Islamic Center dan tidak gubernur lainnya. Baliho itu, menggambarkan bahwa itulah bentuk positive campign dari balon gubernur penggagas Islamic Center dan siapapun calon pasti akan melakukan hal yang sama dan tidak salah.
Tetapi bacaan sebagian masyarakat lainnya (termasuk kritikan balon gubernur lain) dianggap iklan politik yang mengharapkan belas kasihan agar masyarakat memilihnya kembali untuk menyelesaikan pembangunan Islamic Center. Bacaan lainnya bahwa isi baliho itu menunjukan ketidakpercayaan TGB terhadap gubernur lain untuk menyelesaikan Islamic Center.
Apapun makna di balik gesture iklan politik itu, namun yang pasti bahwa permasalahan NTB tidak bisa dilokalisir hanya pada Islamic Center. Bukankah permasalahan NTB jauh lebih kompleks untuk segera diselesaikan, sebut saja misalnya IPM NTB yang masih berada pada posisi Nomor 2 (dua) dari Bawah, masalah konflik sosial yang setiap saat dapat meledak, masalah Petani tembakau yang masih resah karena modalnya belum kembali, masalah kekurangan gizi, Raskin yang menuai protes masyarakat, dan kesejahteraan masyarakat.
Kritikan yang diberikan beberapa balon Gubernur tersebut kepada pemerintah masih dalam batas toleransi yang belum mengarah ke negative and black campign. Kemungkinan hal  itu yang harus diwaspadai agar tidak mengarah ke kerasan politik karena selama ini, masyarakat menganggap bahwa kampanye yang sifatnya menyerang selalu dianggap tidak beretika, padahal negative campign (tidak black campaign) adalah sebuah pembelajaran politik modern tentang bagaimana mengungkapkan fakta sesungguhnya, meskipun ada kandidat yang harus terdeskreditkan. Namun, jangan sampai etika menjadi perlindungan kebobrokan kandidat.
Apa target dari negatve campaign? Biasanya dilakukan berdasarkan data riset dan survey dan tidak membawa pengaruh bagi masyarakat. Maka biasanya negative campaign dilakukan untuk membuat opini bahwa calon “A” dizholimi dengan demikian membuat masyarakat iba atau simpati. Dan targetnya menjadi jelas bahwa pasangan calon Kepala Daerah mau mendapatkan suara atau pemilih yang masih mengambang atau swing voter karena swing voter sendiri masih tinggi di NTB.
Menariknya, negative and black campaign selalu menarik perhatian awak media kemudian mengkapitalisasi dalam bentuk berita atau diskusi sehingga media menjadi ring untuk saling menyerang dan saling membantah antara kandidat calon Kepala Daerah beserta tim suksesnya. Sebaiknya para kandidat Balon Kepala Daerah tidak menghabiskan energy untuk melakukan black campaign tetapi mengkonstruksi program-program kerja untuk kesejahteraan rakyat berbasis kondisi nyata masyarakat NTB. Sangat produktif  diskusi atau debat yang dilakukan media kalau di arahkan untuk penyampaian program perbaikan kesejahteraan masyarakat.
Saya berkeyakinan bahwa Pemilihan Kepala Daerah yang masih menggunakan negative and black campaign pertanda bahwa Balon Kepala Daerah masih belum siap dan percaya diri untuk menjadi pemimpin (kecuali penguasa). Mengapa? karena siapapun yang terpilih menjadi penguasa berdasarkan negative and black campaign pasti akan memunculkan ketidak nyamanan baginya, selama menjabat. “Menang terhormat dan kalah tersanjung” menjadi orientasi yang harus dituju oleh kontestan Pemilu Kepala Daerah di NTB. Mewujudkan nilai tersebut menjadi tugas bersama, tidak hanya pemerintah, dan penyelenggara Pemilu Kepala Daerah, tetapi juga masyarakat secara umum. Semoga.
Wallahul Musta’an ila Darissalam.
Pinggiran Pitung Bangsit Kediri, 09032013.16.06.