This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 30 April 2013

MAN RABBUKA? POLITIK, ROBBI

Kamu arak-arak bae Wak Camet, kritik Wak Emet kepada sahabatnya di sebuah rumah kontrakan di bilangan desa Bagu, Lombok Tengah.. Maksudnya apa kok melibatkan Tuhan segala, dalam urusan politik. Tidak hanya terlibat Emet tapi posisi Tuhan sudah tergantikan dengan new God yakni politik. Apa bisa begitu? Tanya Wak Emet. Kenapa tidak. Faktanya demi tahta dan kekuasaan para kontestan politik dapat melakukan apapun asal bisa memenangkan pertarungan dan membuat lawan terkapar tanpa daya. Walaupun dengan black campaign. Perkara kecil itu sobat wong mengadu masyarakat saja tidak jadi masalah.

POLITIK BISING

Malam ini, saya sengaja duduk di halaman rumah sambil menatap bintang gemintang di langit yang hitam pekat. Saya menatap langit yang tampak hanya kegelapan dan satu dua bintang dengan sinarnya yang redup. Saya tidak yakin kalau redupnya sinar bintang itu akibat dari keletihan menatap politik bising yang dipertontonkan oleh para kandidat kepala daerah di Gumi Patuh Karya Lombok Timur.

HAUL DALAILUL KHAIRAT


Pagi ini, dusun Mesaleng desa Bagu tampak berbeda. Sepanjang jalan terlihat hiasan penjor, bendera NU, hiasan kertas lilin dan spanduk. Sekilas terlihat seperti akan ada upacara hajatan keluarga atau perlombaan dalam rangka menyambut suatu even nasional. Setidaknya itu pertanyaan keheranan masyarakat yang sempat melewati jalan raya Bagu menuju Menemeng ataupun Praya. Namun, keheranan masyarakat terjawab bahwa memang pagi ini akan diadakan upacara haul dalailul khairat.ini acara tahunan jamaah Dalailul Khairat di bawah asuhan Mursyid Syekh TGH. Turmudzi Badaruddin.

MENGEJAR MIMPI

Berbagai cara orang untuk mengejar mimpinya. Apakah dengan cara yang sah atau halal, haram dan cara abu-abu. Sepertinya sudah bercampur menjadi ala es buah di pasar Narmada. Es campur rasanya sangar fresh apalagi diminum di siang hari di tengah terik matahari.

Minggu, 21 April 2013

KENIKMATAN YANG MEMATIKAN

Pastinya, kita pernah mendengar nama suku Eskimo. Suku ini mendiami kutub Utara yang dikelilingi oleh Es. Keunikan dari suku Eskimo adalah memiliki strategi berburu yang berbeda dengan suku-suku lainnya. Mereka biasanya berburu serigala sebagai santapan hariannya.

Selasa, 16 April 2013

PEOPLE POWER


 Tahun 2013 adalah tahun politik kata Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Masyarakat politik Indonesia mengamini apa yang disampaikan oleh sang presiden, karena sepanjang tahun 2013 sampai April 2014 kita sebagai warga Negara akan mengikuti tahapan Pemilihan Umum (baik pemilukada, legislative maupun pemilihan presiden). Siapapun kita, pastinya akan menyambut dengan gembira, suka cita dan antusiasme perhelatan demokrasi lima tahunan itu. Pemilihan Umum dilaksanakan sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara Luber dan jurdil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Masalahnya, barang dagangan apa yang paling laris dalam pasar bursa efek politik? Tentu jawabannya adalah rakyat. Para politisi tentu sangat paham eksistensi dan posisi rakyat dalam system politik yang dianutnya. Setiap kali rapat, para politisi di Senayan dan para pengamat bertasbih dengan bunyi-bunyi wiridan seragam, rakyat…rakyat…rakyat sampai banjir liurnya berfatamorgana. Walaupun demikian, posisi rakyat hanya sebatas obyek penderita yang selalu dijual pada bursa efek politik demi keuntungan para politisi.
Pada setiap gerakan, apakah itu gerakan politik, demonstrasi Paguyuban Kepala Desa di bawah yang membludak ke Jakarta, MKRI pimpinan Ratna Sarumpaet dan Adi Massardi dan atau gerakan yang sejenis, juga merasa jadi wakil rakyat. Amboi, rakyat telah menjadi dogma dan alibi. Di zaman Orde Baru, kemiskinan rakyat menjadi komoditas mahal untuk menjual Indonesia ke rezim Moneter Internasional dan saat ini pun, rakyat masih tetap menjadi komoditas politik yang siap dibeli politisi dengan harga murah, terutama menjelang pemilihan umum.
Nasib rakyat memang sedang terpuruk, dan karena itu janganlah mereka dibela dengan cara berjudi di kasino politik, karena ratusan juta rakyat ini meteskan keringatnya setiap hari hanya untuk menyambung hidupnya. Masalahnya, apakah tetesan keringat rakyat itu menjadi penyemangat para wakil rakyat untuk membelanya ataukah menjadi minuman segar dan ataukah menjadi minuman arak yang memabukkan wakil rakyat kita yang pada akhirnya lupa pada rakyatnya sendiri? Entahlah. Tetapi yang jelas kata Wak Camet, dalam ketidaksadaran itu, mereka masih tetap mengingat dan melafalkan, rakyat…rakyat…rakyat.
Suara rakyat adalah suara Tuhan, jelas Aristoteles (Filosof Yunani). Suara rakyat adalah inti dari demokrasi. Mengapa suara rakyat identic dengan suara Tuhan? Sebab rakyat dimana pun di dunia ini, tidak mau diseret oleh gelombang kekuasaan, ungkap Lukman Hakiem (2001). Rakyat selalu mendendangkan syair kemakmuran, kesejahteraan, kedamaian, kesahabatan, kebersamaan, keadilan, cinta dan kasih sayang. Suatu dendang lagu yang bisa menusuk jantung langit ketuhanan (barangkali tidak jantung wakil rakyat) yang bersembunyi di balik seragam mewah dan tumpukan map-map itu. Lagu-lagu rakyat adalah tentang keprihatinan terhadap wakil rakyat yang atas nama aturan dan anggaran bisa meniadakan suara-suara rakyatnya. Jadinya, mereka tetap saja melakukan pelesiran ke Eropa sekedar untuk tahu tentang santet dan atau perdukunan. Namun demikian, mereka tetap beralasan demi kebaikan rakyat.
Demokrasi memang menempatkan rakyat sebagai komponen penting dalam proses dan praktik-praktiknya. Rakyat lah yang memiliki hak dan kewajiban untuk melibatkan dan tidak melibatkan diri dalam semua urusan politik, termasuk dalam menilai kebijakan Negara. Karena itu, Negara yang menganut system demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kemauan rakyat (Affan Gaffar, 2002). Negara dan pemerintahan di tangan rakyat mengandung bahwa “government of the people; government by the people; government for the people”.
Pemerintahan dari rakyat (government of the people) bermakna bahwa suatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum. Legitimasi rakyat menjadi modal pemerintah dalam menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya. Termakzulkannya Aceng M. Fikri sebagai bupati Garut Jawa Barat oleh masyarakat melalui rapat paripurna DPRD menjadi bukti bahwa rakyat berdaulat dan rakyat menginginkannya berhenti. Kalau dikonraskan dengan hasil Pemilihan Umum Gubernur Sumatera Utara yang angka golputnya mencapai angka 51,50%, bisakah pemerintahannya dikatagorikan legitimate? Biarkan sejarah dan masyarakat sendiri yang akan menjawabnya.
Pemerintahan oleh rakyat (government by the people) bermakna suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan pribadi dan golongan. Kursi pemerintahan itu “amanah kekhalifahan, amanah kebangsaan dan amanah keummatan” karena itu raihlah kekuasaan itu bukan karena anda ingin meraihnya tetapi karena sangat takut dengan amanah Allah itu, kata KH Mustofa Bisri. Raihlah kekuasaan itu dengan hati yang penuh gemetar, dengan air mata Abu Bakar, dan dengan panggilan sejarah bangsa Mesir terhadap Yusuf Alaihissalam. Siapa pemimpin yang mampu mengemban amanah rakyat = amanah katuhanan.
Pemerintahan untuk rakyat (government for the people) bermakna bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota) harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat umum (bukan golongan) harus dijadikan landasan utama kebijakan sebuah pemerintahan yang demokratis. Jika tidak, maka rakyat berhak memberikan hukuman dengan tidak memilihnya kembali pada pemilihan umum mendatang. Sebenarnya, rakyat sudah memberikan hukuman dengan tidak menyalurkan hak pilihnya (golput) pada beberapa Pemilukada yang telah berlangsung, seperti di Jawa Barat dan Sumatera Utara.
Gesture atau fenomena politik apa yang dapat dibaca dari beberapa hasil pemilukada tersebut? Satu diantaranya adalah suara masyarakat semakin mahal dalam pasar bursa efek politik kita. Rakyat sudah semakin kritis dan rasional akan hak-hak politiknya, karena itu dapat mengancam proses dan pelaksanaan pemilihan umum mendatang. Bayangkan saja, kalau rakyat tidak mau datang ke TPS yang sudah disediakan, bisa jadi pemilu akan gagal. Sekarang ini, rakyat sudah menganggap legislative maupun eksekutif sudah tidak mau lagi memperjuangkan rakyat yang memilihnya, karenanya untuk apa memilihnya dan biarkan mereka memilih dirinya sendiri. Golput menjadi bentuk apatisme rakyat terhadap pemilu, maka bersiaplah mengantisipasi segala kemungkinan reaksi rakyat yang masih tetap bersabar.
Suara rakyat adalah suara Tuhan. Rakyat sampai saat ini hanya bisa berdendang lagu-lagu bertemakan kesejahteraan, kebersamaan, keadilan, kasih sayang dan cinta kasih. Siapa pun (apakah politisi, LSM, Ormas) yang mengamini dendangan lahu-lagu rakyat itu pastilah itu suara rakyat. Dan siapa pun saat ini, dapat dan boleh mengatas namakan rakyat, apakah dengan maksud memanipulasi rakyat atau untuk kepentingan golongannya biasa saja dan rakyat tidak marah. Tetapi tidak bisa selamanya karena rakyat akhirnya akan sadar sendiri dan dengan rasional dan kritis mereka sedang menuju puncak kedaulatan rakyat yang hakiki (peoples power). Pada aras ini, Tuhan pasti akan berpihak pada rakyat yang hakiki. Kedaulatan rakyat dan keberpihakan Tuhan bisa menjadi kekuatan dahsyat yang akan mengguncang kekuatan elit (elite power) yang tidak berpihak pada rakyat dan korup.
Dalam suasana batin rakyat seperti itu, rakyat hanya butuh pada Tuhan. Suara rakyat sudah melebur menjadi suara Tuhan. Tuhan bersama rakyat. Tuhan tidak bersama pecundang, kata Lukman Hakiem. Tuhan tidak bersama pialang keringat rakyat dan tidak bersama mereka yang menjual agama demi sekantong uang dari sumber yang tidak jelas. Tuhan bersama rakyat bukan karena rakyat kehilangan kesabarannya, tetapi kesabaran rakyat itulah yang ditopang Tuhan. Suara rakyat adalah suara Tuhan dan kini suara-suara itu telah menyatu dalam people power yang akan mengguncang langit perpolitikan yang terhijab nafsu kekuasaan.
Di tahun politik sekarang ini, sewajarnya elite politik mulai mawas diri dan mulai berdialog dengan suara lirih rakyat yang selalu ditiadakannya. Siapa yang butuh suara rakyat, tanya Wak Camet. Rakyatkah atau para budak kekuasaan yang masih belum sadarkan diri karena meminum keringat rakyat, atau siapa? Kita sebagai rakyat sudah cerdas untuk menilainya dan yang pasti bahwa perbaikan menuju tata kehidupan bangsa dan Negara yang baik menjadi impian bersama.
Karena itu, tidak ada salahnya kita (elit politik dan rakyat) berguru ilmu kuasa pada Anbiya Allah, Khulafa ar-Rasyidien dan pada pemimpin yang adil. Jika demikian, maka people power bisa menjadi pemicu untuk mendorong kepada kehidupan berbangsa dan bernegara yang baik di bawah naungan kasih sayang Tuhan. Inilah suara rakyat adalah suara Tuhan yang sejati. People power tidak dimaksudkan untuk merusak tatanan yang sudah mapan. Semoga Tuhan meridhoinya.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam. 16042013.10.59.
 

Selasa, 09 April 2013

KAMPANYE HARUS SOLUTIF

Kesan masyarakat NTB selama kepemimpinan BARU (M. Zainul Majdi dan Badrul Munir) menjadi gubernur dan wakil gubernur kurang fokus pada penanganan program yang dihadapi masyarakat. Lihat saja misalnya, petani tembakau di Lombok masih menantikan program solutif untuk menjual hasil produksinya. Tembakau petani tidak mau dibeli oleh perusahaan, sementara pemerintah sendiri seakan tidak berdaya memaksa perusahaan untuk membeli tembakau petani. Di tengah ketidakberdayaan itu, terlihat pemerintah daerah dengan sangat terpaksa memberanikan diri untuk mencabut ijin usaha perusahaan tembakau yang bandel. Masalahnya kemudian, apa persoalan tembakau sudah selesai? Ternayata tidak, malah terkesan diambangkan.

Tentu, kita harus tetap berprasangka baik terhadap pemerintah untuk menyelesaikan pelbagai macam patologi sosial masyarakat Bumi Gora. Tidak hanya petani tembakau tetapi juga konflik social, kekerasan terhadap TKI yang berasal dari NTB (pulang tanpa nyawa), kesehatan yang tidak terurus dengan baik, biaya pendidikan yang semakin mahal, daya beli masyarakat semakin menurun yang kesemuanya bermuara pada IPM NTB yang tetap tidak bergerak (dari nomor 32). Kesemuanya memerlukan program solutif dan bukan janji-janji politik. Kini saatnya masyarakat untuk menagih janji-janji politik lima tahun lalu atau masyarakat akan dihipnotis kembali dengan politik pencitraan melalui bahasa agama, seperti Islamic Centre dan atau dengan program labeling seperti PIJAR.

Pelbagai lapisan masyarakat mulai mempertanyakan janji-janji kampanye Pemilu kepala daerah pasangan BARU lima tahun lalu. Memasuki pemilu gubernur mendatang, memori masyarakat yang berisi janji-janji politik kembali dibuka dan dipersoalkan. Apakah janji-janji politik gubernur inkamben sudah dibayar atau belum? Kalau belum dibayar, ya, kita minta dilunasi dulu dan baru kemudian berpikir untuk memilihnya kembali. Jika sudah, kita lanjutkan ikhtiar untuk memilihnya.
Lalu, apa yang dibutuhkan masyarakat? Kebutuhan masyarakat simple dan tidak neko-neko yaitu program-program solutif atas ketidakberuntungan dan permasalahan yang dialami selama ini. Nah, bagaimana dengan materi kampanye pemilu kepala daerah mendatang? Apakah janji-janji politik akan dikemas ulang dengan brand berbeda tetapi isinya sama saja? Atau masyarakat akan terpaksa memilih dengan alasan kontinuitas program yang telah dicanangkan, sebab kalau tidak pasti akan menjadi semboyan tanpa makna yang pada akhirnya masyarakat kembali dibohongi.

Kalau sebatas janji-janji politik lebih baik tidak berkampanye karena masyarakat sudah lelah dan tidak punya waktu untuk terus mendengarkan para kandidat membual. Yang kami butuhkan program-program solutif dan tindakan nyata, kata Amirullah (warga Lombok Barat). Bualan atau janji-janji kampanye politik itu semakin menyakiti masyarakat ketika ada korban jiwa akibat dari bentrokan atau gesekan antara pendukung calon kepala daerah saat kampanye.

Itulah hal-hal yang disampaikan pelbagai lapisan masyarakat mulai dari Petani Tembakau, petani Penyakap, Peternak, kusir cidomo, tukang ojek, buruh galian, pengusaha, Guru, Akademisi, sampai Buruh Bangunan tentang kampanye. Kesimpulan yang dapat diambil bahwa mereka tidak terlalu antusias dengan materi-materi kampanye pemilu kepala daerah, karena para calon hanya menjual keberhasilan diri sendiri dan terlalu mengagungkan ashabiahnya (meminjam istilah Ibn Khaldun). Materi-materi kampanye para kandidat tidak solutif, tidak perduli dengan kondisi nyata yang dihadapi masyarakat, memberikan janji-janji palsu dan tidak berempati sudah tidak layak dipertahankan. Program solutif dan bukti nyata menjadi keinginan masyarakat untuk menentukan pilihannya pada pemilu kepala daerah mendatang.

PROGRAM-PROGRAM SOLUTIF
Harus diakui bahwa program yang telah dituliskan oleh pasangan BARU (M. Zainul Majdi dan Badrul Munir) selaku gubernur dan wakil gubernur bertujuan untuk mengangkat harkat dan martabat masyarakat Bumi Gora untuk Beriman dan Berdaya Saing sesuai dengan Motto “NTB Bersaing”. Lima tahun masa kepemimpinan BARU, rasanya kita sudah kehabisan daya saing karena yang diharapkan sebagai motor penggeraknya jalan di tempat. Sementara masyarakat pendukungnya semakin melemah karena asupan gizi yang diberikan tidak seimbang dengan mainstream kekuasaan.

Kelebihan dan kekurangan program yang telah dicanangkan oleh gubernur M. Zainul Majdi, tentu harus dijadikan dasar oleh para pasangan calon gubernur untuk mengkonstruksi program-program yang berpihak kepada masyarakat miskin dan tidak beruntung. Dari hasil obrolan dengan pelbagai lapisan masyarakat dapat disimpulkan bahwa masyarakat sudah semakin kritis, rasional dan tidak mudah untuk di arahkan ke salah satu pasangan calon. Masyarakat sudah dapat memilih dengan mandiri berdasarkan program-program yang ditawarkan kepada masyarakat. Nah, pada kondisi seperti ini, pasangan calon gubernur harus mampu dan bisa mengambil hati masarakat dengan program-program yang solutif.

Sekarang ini, kita selaku masyarakat sudah mulai dihadapkan atau dipusingkan dengan banyaknya foto balon gubernur yang sudah nampang di sepanjang perjalanan. Tidak cukup di space iklan yang sudah tersedia, foto-foto balon gubernur juga di tempelkan pada pohon kayu, pagar rumah penduduk, tiang listrik dan pada semua tempat yang dimungkinkan untuk itu. Memang sih, masyarakat tidak pernah protes kenapa tembok rumah dan pagar rumahnya ditempelkan foto-foto orang yang tidak mereka kenal dan karena memang belum terkenal sehingga pemasangan pamplet dilakukan secara serampangan dan tanpa permisi. Saya yakin mereka akan diam tetapi saya tidak yakin juga kalau mereka tidak akan bereaksi, minimal mereka bertanya foto siapa ini?

Saya fikir, para tim sukses, penyelenggara pemilu dan pemda harus mengatur etiket pemasangan segala jenis peraga pemilu sehingga tampak indah terlihat oleh para tamu, apalagi pesona Lombok dan NTB sebagai tujuan wisata dunia. Boleh saja, mereka mengiklankan dirinya tetapi harus tetap menjaga keindahan dan etiket agar masyarakat yang ditempeli pamplet dan alat peraga balon gubernur tidak ngerumun atau atau bicara di belakang, syukur-syukur tidak sampai menyumpahi. Apa sih, beratnya mereka meminta keihlasan masyarakat untuk ditempeli rumah atau pagar rumahnya. Apalagi nantinya masyarakat mau terus mendukungnya atau memilihnya. Tidak ada salahnya untuk mencoba memperhatikan perkara yang remeh-temeh itu dan secara sosiologis pastinya punya pengaruh.

Memang, sudah banyak nama balon gubernur yang sudah menjadi pembicaraan publik di NTB. Sayangnya, dari sekian nama yang sudah muncul hanya sedikit saja dari mereka yang diketahui public atau track record-nya. Sehingga pada aras ini, semua cara harus dilakukan untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat, tetapi tidak dengan cara serampangan. Semua hal kecil yang tidak terpikirkan dalam mensosialisasikan dirinya, harus mulai di garap misalnya saja meminta keihlasan masyarakat untuk ditempeli rumah dan pagar rumahnya dengan pamplet dirinya. Tim sukses semua balon gubernur harus memperhatikan etiket pemasangan peraga itu agar masyarakat bersimpati ketika melihat pamplet (tidak malah merusaknya).

Dari empat pasangan calon gubernur yang akan bertarung, biasanya inkamben selalu diuntungkan untuk menyampaikan program-program dan janji-janji politik yang telah dilakukan dengan menumpang anggaran daerah. Itulah kesan dari para pesaing politik setiap kali incamben maju untuk bertarung kembali. Mungkin ada benarnya kesan itu dan mungkin salahnya juga besar karena apa yang diiklankan merupakan hasil capaian program yang telah dilakukan selama kepemimpinan dan yang jelas bukan kampanye tetapi sosialisasi hasil ketercapaian program pemerintahan.

Saat ini, para pasangan calon gubernur sedang mencitrakan dirinya sebagai manusia yang sangat dermawan, sederhana, mencintai, dan berempati terhadap nasib masyarakat miskin atau tidak beruntung. Mendadak dermawan, kata Sayuni, seorang warga Sedayu, Kediri, Lombok Barat. Itu lagu lama yang tidak mencerdaskan, tetapi tidak salah. Blusukan ala Joko Widodo pun sudah mulai diuji cobakan. Beberapa calon gubernur ketika turun berkunjung ke masyarakat, sudah ada yang mau dibonceng sama tukang ojek padahal selama menjadi pejabat baru kali ini dia lakukan. Kelihatan baik, merakyat dan berempati tetapi kelihatan kaku dan dibuat-buat. Mengapa tidak tampil apa adanya sebagaimana biasanya.

Masyarakat akan sangat menghargai apapun style dan bentuk pemimpinnya. Tidak usah meniru style kepemimpinan orang lain, apalagi style ala Joko Widodo, tampil sesuai dengan apa kata dirinya. Kesuksesan seorang pemimpin terletak pada kemampuan membaca dan merasakan penderitaan masyarakat yang dipimpinnya. Apa dan siapapun pemimpinnya pasti masyarakat menerima dengan senang hati, apalagi sang pemimpin datang membawa bantuan guna membayar janji-janji politiknya, ungkap Sayuni.

Incamben di samping diuntungkan oleh keadaan (karena masih menjabat), juga ditagih oleh keadaan. Maksudnya, incamben ditagih oleh masyarakat untuk menepati janji-janji politik terdahulu. Jika tidak, maka masyarakat pemilih akan berfikir ulang untuk memilihnya kembali. Mengapa? karena janji-janji politik yang terdahulu saja belum ditepati, kemudian sekarang akan berjanji kembali dengan modal “lanjutkan”. Modal ini menjadi trend dan kebiasaan dari para pejabat yang akan maju kembali menjadi pemimpin, baik tingkat nasional maupun daerah. Logika dan modal yang paling ampuh untuk meyakinkan masyarakat pemilih, namun ironisnya kadang terjebak pada apologisme keakuannya. Maksudnya, seakan-akan apa yang telah dilakukannya merupakan hasil kerja dirinya kemudian melupakan lembaga legislative sebagai mitra kerjanya. Setidaknya, hal itu terungkap pada acara Mataram Dialog Forum (MDF) yang ditayangkan live oleh Tv9 Mataram.

Masalahnya, program-program solutif apa yang akan dipasarkan ke masyarakat untuk keberlangsungan hidupnya? Para kandidat pasangan Calon Gubernur NTB sudah mulai memperkenalkan program dan janji-janji politik kepada masyarakat. Masih efektif janji-janji politik itu atau masyarakat sudah jenuh? Kalau ya, lalu apa yang diharapkan masyarakat dari kampanye para pasangan calon gubernur NTB?
Para pasangan calon, seharusnya sudah mulai mempersiapkan program-program yang akan dilakukannya jika terpilih menjadi gubernur. Program itu menyangkut dari mana sumber dananya, siapa yang terlibat dalam pelaksanaan program itu, berapa lama waktu yang dibutuhkan dan apakah program-program itu menjadi kebutuhan masyarakat atau tidak. Inilah yang saya bayangkan tentang program kampanye politik yang akan disampaikan para pasangan calon gubernur. Bukannya janji-janji politik yang tidak matang dan asal-asalan.

Dari tayangan iklan sosialisasi para pasangan calon, terbaca bahwa mereka masih mengumbar janji-janji politik yang sebenarnya tidak perlu, karena memang sudah disiapkan anggarannya dalam APBN seperti pendidikan gratis dan kesehatan gratis. Pendidikan gratis misalnya tidak perlu diturunkan menjadi program kampanye politik sebab APBN sudah menyiapkan anggaran untuk pendidikan wajib 12 Tahun atau perbaikan dari wajib belajar 9 Tahun. Artinya, pemerintah daerah hanya mensukseskan program wajib pendidikan 12 Tahun. Dan begitu juga dengan kesehatan gratis.

Jika mereka mau, maka konstruksi program kampanye politik yang bersifat inovatif dalam rangka pengembangan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat yang anggarannya hasil ikhtiar dari para pasangan calon. Mungkinkah? Kenapa tidak. Misalnya, memberikan tunjangan bagi orang tua jompo setiap bulan, karena sudah tidak mampu lagi bekerja untuk mencari nafkah. Menjamin hidup anak jalanan yang setiap hari mengamen atau meminta-minta di setiap perempatan jalan; dan menentramkan hati manusia tuna netra yang tidak beruntung hidupnya. Sungguh sengsara dan nelangsa nasib mereka, seolah mereka hidup di dunia lain yang pemerintahnya masa bodoh terhadapnya.

Kata sahabat Kamrullah (Dekan Fakultas Syari’ah IAI Qamarul Huda Bagu), bagus kalau pasangan calon punya program untuk memberikan jaminan hidup buat mereka yang tidak beruntung secara structural maupun budaya. Masalahnya, kira-kira dari mana anggarannya diperoleh? Menurut hemat saya, bisa saja anggarannya di dapatkan dari dana CSR setiap perusahaan, apakah itu perbankan, perusahaan tambang dan atau perusahaan lainnya. Pada aras ini, masalahnya pada kemauan politik (political will) dari para pasangan gubernur terpilih nantinya.

Saya yakin, masyarakat menanti apapun program yang akan dipasarkan oleh pasangan calon gubernur. Siapapun yang terpilih menjadi gubernur pada tanggal 13 Mei 2013 mendatang, itulah putra terbaik pilihan masyarakat NTB. Siapapun dia, harus mengemban amanah rakyat untuk membawa masyarakat dan daerah NTB menjadi lebih baik. Masyarakat NTB harus lebih sejahtera dari sekarang ini, terutama diukur dari tingkat pendapatan masyarakat perharinya. Yang terpenting dan harus disadari bahwa gubernur NTB mendatang adalah gubernur NTB dalam arti yang sebenarnya, milik semua orang NTB. Titik. Itu saja, tidak perlu muluk-muluk, kata sahabat saya di sebuah warung kopi di Narmada. Siapapun gubernurnya, tegasnya. Semoga kita dapat memilih gubernur dengan aman dan demokratis berlandaskan nilai kejujuran dan kesantunan politik. Program politik solutif yang sangat diharapkan oleh masyarakat NTB atas permasalahan hidup yang membelenggunya selama ini.

Wallahul Muwafiq ila Darissalam. 09042013 (tepian sungai Pitung Bangsit Kediri).


Sabtu, 06 April 2013

PEMIMPIN BUMI GORA


Alkisah, pada suatu acara seorang pemuka agama atau Tuan Guru didatangi oleh seorang pemimpin atau tepatnya calon pemimpin yang akan mendaftar menjadi gubernur Bumi Gora, NTB. Bagaikan seorang anak yang mengharap kasih sayang yang tulus dan doa restu dari orang tuanya, dengan lirih ia berbisik, Abah, tolong pilih orang Sasak menjadi gubernur mendatang. Mendapat permintaan yang tampak tulus, Tuan Guru berkata berikan saya waktu untuk berfikir dan beristiharah.
Hiruk pikuk pemilihan gubernur NTB 13 Mei 2013 menyuguhkan sebuah pertanyaan besar, orang seperti apa yang pantas memimpin Bumi Gora? Semua orang tahu jawabannya orang tersebut hendaklah berbuat untuk Bumi Gora. Ia harus berbuat untuk Bumi Gora. Siang malam, sepanjang waktu, yang ada di kepalanya Cuma Bumi Gora, tidak boleh ada hal lain. Ia harus hidup 100% buat Bumi Gora.
Saya berkeyakinan, tidak terlalu sulit mencari seseorang yang bersedia total untuk yang ia pimpin. Orang Jawa pasti bersedia sepenuhnya berbakti demi manusia Jawa. Pemimpin Bima akan bersungguh-sungguh bertindak untuk Bima. Pemimpin Sumbawa akan berbuat total untuk orang Sumbawa. Begitu juga dengan orang Lombok pasti bersedia sepenuhnya berbakti dan berbuat demi manusia Sasak. Bumi Gora NTB yang dahulunya bernama Sunda Kecil berhimpun tiga etnis besar Sasambo singkatan dari Sasak, Samawa dan Mbojo Bima. Siapapun pemimpin Bumi Gora mendatang rasanya tidak bisa lepas dari tiga etnis besar itu.
Pemimpin Bumi Gora tidak bisa setengah-setengah berfikir dan berbuat, ia harus 100% untuk Bumi Gora NTB. Ia, tidak boleh dikuasai dan dikendalikan oleh seseorang atau kelompok yang berkepentingan mengeruk isi perut Bumi Gora demi kepentingan pribadi dan kelompoknya. Pemimpin Bumi Gora harus mandiri, adil dan setara dalam memikirkan tiga etnis besar penghuninya (dan juga etnis lainnya). Kekayaan alam permata hijau di Sumbawa Barat dan emas yang ada di Sekotong harus diperuntukkan demi kesejahteraan rakyat dan bukan untuk dibagi-bagi untuk kelompoknya.
Orang Sasak jika ditanya, seperti apa pemimpin yang mereka hayalkan? Tentu akan mengisyaratkan calon pemimpin dari etnisnya sebagaimana keinginan etnis lain ketika ditanyakan hal yang sama. Ketika seorang budayawan Sasak di tanya, calon pemimpin seperti apa yang diidamkan, pasti menyodorkan ciri-ciri pemimpin sesuai jati diri orang Sasak. Dan begitupun, ketika seorang Tuan Guru ditanya hal yang sama, hampir dipastikan jawabannya calon pemimpin yang memiliki ciri-ciri pemimpin Islam seperti Rasulullah Muhammad Saw. Yakni Siddiq, Amanah, Tablig dan Fatonah.
Usman Paradiso, sebagaimana dikutip Saharudi, MA dalam tesisnya menyebutkan bahwa jati diri pemimpin Sasak setidaknya memiliki ciri-ciri sebagai berikut (1). Tan laba artinya pemimpin tidak mencari keuntungan pribadi, keluarga dan golongannya sendiri; (2). Tan kena hiwah, seorang pemimpin harus punya pendirian yang kukuh, ampuh dan kuat, tidak terpengaruh serta cepat berubah dengan orang yang mengelilinginya; (3). Tan kasamar, seorang pemimpin harus bersifat transparan, terbuka, tidak remang-remang dan berat sebelah dalam mengambil keputusan; (4). Sun ya hadi pelamar hulubung, seorang pemimpin harus menunjukkan atau mengedepankan sifat-sifat terpuji seperti adil, arif dan bijaksana dalam menempatkan kebijaksanaannya; (5). Lateh hing bumi, seorang pemimpin harus mengutamakan rasa tanggung jawab dan pengabdian atas kepemimpinannya di muka bumi; (6). Dadi waja wong senegari, yakni seorang pemimpin harus mampu menjadi tumpuan dan harapan serta kekuatan seluruh rakyat yang dipimpin; (7). Wani hing pati, seorang pemimpin harus berani karena benar dan takut karena salah; (8). Minangka damar ring wulan, seorang pemimpin harus dapat menjadi pelita yang terang benderang bagi rakyat dalam kegelapan yang gelap gulita; dan (9).  Minanghan sifat, maksudnya seorang pemimpin harus bersifat lurus, mulus, tulus dan tidak berbelit-belit seperti ular.
Dari uraian ciri-ciri pemimpin di atas dapat disimpulkan bahwa seorang pemimpin pada masyarakat Sasak harus ahli di bidang pemerintahan dan menjunjung tinggi nilai-nilai adat yang ada. Hal ini tergambar dalam ungkapan filosofis orang Sasak, yakni “mbawe dese mbawe adat”.
Kalau dicermati dari perjalanan sejarah (terutama pemimpin Sasak), saya yakin betul para pemimpin itu pasti tahu betul filosofis dan ciri-ciri pemimpin Sasak yang ideal, tetapi nyatanya sampai saat ini tidak pernah lahir pemimpin yang ideal yang diminta dan diidamkan masyarakat karena pemimpin di Bumi Gora tak bisa lepas dari pengaruh kehendak politik. Siapapun yang memimpin Bumi Gora harus tunduk dan mengikuti irama dan permainan politik agar bisa tetap memimpin dan berkuasa. Rakyat pun terpaksa atau dipaksa untuk bermain politik ketika hendak mengganti pemimpinnya.
Atas nama demokrasi, rakyat dipaksa untuk menggunakan hak pilihnya untuk menentukan pemimpin yang terkadang tak jelas track recordnya. Rakyat hanya disuguhkan beberapa pasangan calon pemimpin oleh partai politik untuk di pilih sementara rakyat tidak faham betul siapa sebenarnya mereka itu. Di dunia politik baik-buruk; benar-salah bedanya sangat tipis, sehingga tidak heran perilaku politik pemimpin juga sering merugikan rakyat yang dipimpinnya, seperti melakukan korupsi, mementingkan keluarga atau nepotisme, dan mementingkan kelompok golongannya. Selama tidak menjadi persoalan, perilaku politik itu jalan terus layaknya perjalanan di jalan tol, tetapi mungkin berakhir di rumah derita.
Memilih pemimpin saat ini, ibarat orang empat orang buta yang ditanya bagaimana wujud gajah. Masing-masing dari mereka mempersepsikan gajah dari apa yang dipegangnya. ketika memegang telinga, jelas persepsinya bahwa gajah itu luas dan lebar. Saat memegang gadingnya, ia mempersepsikan gajah itu panjang dan kurus. Saat orang buta ketiga memegang paha gajah, maka ia mempersepsikan gajah itu besar dan tinggi. Orang buta keempat hanya memegang ekor gajah, maka jelas ia mengatakan bahwa gajah itu seperti sapu. Apa mereka salah? Tentu mereka tidak salah, mereka benar semua berdasarkan apa yang dipegangnya pertama kali.
Tentu memilih pemimpin tidak seperti empat orang buta itu. Memilih pemimpin seharusnya berdasarkan ciri-ciri dan persyaratan tertentu. Partai politik seharusnya membuat kriteria calon pemimpin berdasarkan kriteria yang ideal, sebagaimana kriteria tersebut di atas.

BERHARAP PADA ORANG SASAK
Acap kali terjadi orang Bumi Gora menggantungkan hidup dan peruntungan mereka tidak pada orang Bumi Gora. Sebelum Harun Al Rasyid menjabat gubernur NTB, digantikan H Lalu Serinate dan Dr. TGB. M. Zainul Majdi, orang nomor satu di Bumi Gora NTB pernah di jabat Gatot Suherman dan Warsito (gubernur yang berasal dari Jawa Tengah), ternyata mereka sukses mengurus NTB beserta masyarakatnya. Dan di era gubernur Gatot Suherman NTB berhasil dalam swasembada pangan dan penopang lumbung nasional dengan Gogor Ancahnya, sehingga sampai saat ini NTB dikenal dengan sebutan Bumi Gora. Senyatanya, saya lebih senang menyebut NTB dengan daerah Bumi Gora, karena di dalam istilah itu terkandung makna kebanggaan menjadi orang NTB ketika duduk bersama dengan daerah lain.
Namun logika itu tidak bisa di bolak balik dengan menyatakan bahwa orang Bumi Gora dapat mengurus kehidupan mereka tanpa peran orang luar, karena sejarah membuktikan bahwa Bumi Gora pernah diurus oleh gubernur dari tanah jawa dan berhasil. Jangan-jangan di hati kecil rakyat masih mengidolakan atau menginginkan Bumi Gora ini diurus oleh orang Jawa. Namun, cepat-cepat wak Emet menjawab enggak ah. Kita bisa memimpin Bumi Gora dengan tetap melibatkan peran dari orang luar (etnis lainnya).
Saat ini, jika orang Sasak ditanya, pilih mana, diurus oleh sesama manusia Sasak atau orang luar, dan pasti jawabannya memilih pilihan pertama. Mengapa? bukankah yang membuat NTB ini terkenal karena diurus oleh gubernur dari tanah Jawa? Ya, iyalah, kata wak Emet, tetapi tidak sebatas itu khan. Yang jelas orang Sasak tentu lebih mengerti sesamanya. Maksudnya, apa wak Emet? Maksudnya kalau pemimpinnya manusia Sasak kita lebih mudah minta ijin tidak masuk kantor ketika acara-acara keagamaan, seperti maulid nabi, kegiatan masyarakat dan pelaksanaan adat istiadat. Welah wak Emet, ada-ada saja. Kalau hanya itu mengapa harus manusia Sasak menjadi pemimpin, siapapun bisa. Dasar manusia kampungan yang tidak bisa lepas dari mitos Doyan Nade.
Tetapi, okelah wak Emet. Nyatanya orang Sasak sering benci sesama orang Sasak ketika berkuasa. Kebencian mereka ditunjukkan dengan berbasa-basi, bikin lelucon, mentertawakan pada setiap kesempatan, sambil minum kopi dan ubi goreng di warung Inak Ipuk dan di tempat lainnya. Terkadang sok berkuasa, segala sesuatunya harus terkoneksi dengan label-label tertentu. Bantuan, hibah, ijin dan segala tetek bengeknya harus terkoneksi, jika tidak, maka cukup hanya gigit jari. Memangnya, jabatan itu abadi tanya wak Camet sahabatnya wak Emet dengan nada keheranan. Kita berhusnu Zhon saja, pinta wak Emet sambil menarik napas.
Sebentar lagi, kita akan memilih gubernur Bumi Gora. Dari empat pasangan calon yang telah ditetapkan oleh KPU provinsi NTB, kelihatannya komposisi dan perpaduan etnik Sasambo cukup berimbang. Ada pasangan Sasak – Sumbawa; Sasak – Dompu; Bima – Sasak dan Sumbawa – Sasak. Kalau pilihannya seperti ini, kira-kira siapa yang kita pilih wak Emet, tanya wak Camet dengan sedikit nada berkelakar. Wak Emet hanya terdiam, tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Selang beberapa saat, wak Emet sambil menarik napas panjang berucap “pokoknya orang Sasak, siapapun dia”. Wah kalau begini kata wak Camet, kamu bikin kami tambah pusing, tetapi ciri-cirinya seperti apa calon pemimpin manusia Sasak, kejar wak Camet. Pemimpin yang bisa dan sesuai dengan filosofi hidup orang sasak yakni “mbawe dese mbawe adat”.
Pituturan dua sahabat yang berbeda latar belakang itu menarik untuk dicermati tentang pemimpin manusia Sasak. Menariknya, dari empat calon pemimpin manusia Sasak itu ternyata keempatnya berasal dari Lombok Timur. Masalahnya, apa ini kesalahan politik atau gestur superioritas dari orang Sasak yang memang tidak pernah harmonis. Atau semacam pertarungan kuasa antara Agamawan, Bangsawan dan Jajar Karang, kata Dr. Salman Fariz (budayawan Sasak). Faktanya, babad Sakra telah memberikan gambaran terang benderang tentang manusia Sasak yang tidak pernah menyatu dalam melakukan peperangan dengan Karang Asem ketika itu, sehingga manusia Sasak tidak pernah mampu mengalahkannya. Manusia Sakra bergerak sendiri; begitu pula dengan manusia Praya, Pujut, Puyung dan Mantang. Memang beberapa kali terjadi pertempuran sengit tapi tetap saja kalah. Welah, aku jadi pineng, kata wak Camet.
Itu sejarah wak Camet. Biarkan sejarah berjalan dengan alurnya sendiri, kita berbeda dengan manusia Sasak yang dahulu, sergah wak Emet. Pokoknya, pilih manusia Sasak jadi pemimpin, titik. Welah, wak Emet, kamu kayak pahlawan kesiangan, masih saja ngotot mengharuskan memilih manusia Sasak, bukankah masih ada yang lebih baik, berwawasan, santun, adil dan berempati terhadap permasalahan yang kita alami, kata wak Camet. Begini saja, tugas kita hanya memilih di antara empat, memilih calon gubernur manusia Sasak atau memilih wakil gubernurnya manusia Sasak. Begitu saja repot.
Biarkan dua sahabat itu terus berdebat. Tapi yang pasti bahwa memikirkan Bumi Gora bukan hanya Sasak, Samawa, Mbojo, masih banyak etnis lain yang berperan dalam membangun Bumi Gora. Semua itu tidak bisa dinafikan. Dari pada terus-terusan berdebat tentang siapa yang paling layak memimpin Bumi Gora, lebih baik mencoba mengidentifikasi tentang siapa diantara calon gubernur yang memiliki visi, misi dan program kerja untuk kemajuan Bumi Gora dan kesejahteraan rakyatnya. Tidak penting lagi berdebat tentang dari etnis mana gubernur mendatang. Pokoknya gubernur yang diidam-idamkan masyarakat Bumi Gora adalah yang mampu membawa daerah ini melompat jauh ke depan guna mengejar ketertinggalannya dengan daerah lain di Indonesia.
Wallahul Muwafiq ila Darissalam. 05042013.