This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Rabu, 13 Agustus 2014

REFORMASI STRUKTURAL BIROKRASI ALA JOKO WIDODO

Pekerjaan rumah bagi presiden terpilih Joko Widodo tidak ringan. Banyak proyek-proyek besar yang mangkrak peninggalan presiden SBY akibat dari desentralisasi yang salah arah dan ditambah lagi dengan aturan perundangan yang saling tumpang tindih. Dan juga fenomena mulai munculnya raja-raja kecil di daerah, lebih khusus lagi raja-raja kecil di desa. Dengan telah disahkannya undang-undang nomor 16 Tahun 2014 tentang desa maka kepala desa menjadi penguasa baru yang diberikan mengelola uang sekitar 1,4 miliar rupiah. Kondisi tersebut bisa menimbulkan gesekan dan kepentingan antara kepala daerah dengan kepala desa. Dengan demikian, pekeejaan yang mesti dilakukan oleh presiden terpilih yang akan dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014 mendatang adalah melakukan reformasi struktural.

Hubungan pusat dengan daerah sampai saat ini masih belum terurai dengan baik. Contoh paling mencolok adalah banyak sekali proyek-proyek nasional di daerah yang mangkrak akibat adanya tumpang tindih aturan dalam hal pembebasan tanah dan kepentingan pusat dengan daerah yang tidak singkron. Semangat undang-undang otonomi daerah bermuara pada kesejahteraan rakyat, tetapi yang terjadi adalah munculnya raja-raja kecil di daerah yang menumbuh suburkan politik dinasty di daerah. Kepentingan politik dinasty ini kerap kali menimbulkan masalah-masalah yang tidak berkesudahan. Maksudnya segala bentuk proyek berputar pada kekuarga besar si kepala daerah. Masih ingat kasus Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah yang dijadikan tersangka oleh KPK karena kasus korupsi pelbagai proyek di daerahnya.

Selasa, 05 Agustus 2014

URBANISASI DAN PERMASALAHAN SOSIAL IBU KOTA

(I)
Ubanisasi besar-besaran selalu terjadi setiap tahunnya ke kota-kota besar, khususnya Ibu Kota Jakarta. Dari data yang dirilis media disebutkan bahwa tidak kurang dari 7 ribu orang pendatang baru yang memadati Jakarta. Kehadiran mereka di Jakarta tidak lepas dari iming-iming syurga dari sanak keluarga mereka yang pulang mudik merayakan Idhul Fithri ke kampung halamannya. Namun, alasan mendasar adalah keinginan untuk mencari pekerjaan ke kota sebab di desa pekerjaan tidak ada, kecuali menjadi petani atau buruh tani. Apapun alasan mereka urbanisasi ke Jakarta menjadi permasalahan sosial yang membikin pemerintah Jakarta pusing tujuh keliling.
Urbanisasi yang berlebihan bila dibandingkan dengan daya serap tenaga kerja di Jakarta telah menjadikan mereka terpaksa bekerja serabutan dan bergelut dengan pekerjaan informal, seperti tukang ojek, pemulung, buruh kasar di pasar tradisional, tukang parker dadakan, dan bahkan tidak bekerja. Yang namanya pekerjaan informal selalu saja memunculkan permasalahan baru, apalagi pendapatannya tidak sesuai dengan apa yang mereka bayangkan ketika hendak berangkat meninggalkan desanya. Mau pulang, takut, mau tetap bertahan di kota, jadi pengangguran. Sehingga jalan pintas dan rasa prustasi menjadikan mereka melakukan pekerjaan yang penting bisa bertahan hidup di kota, salah satunya dengan menjadi preman pasar.  

GARUDA, MERAH PUTIH: SIMBOL-SIMBOL NEGARA YANG TIDAK LAGI SAKTI

Ketika menyebut garuda, maka kita akan mengingat lambang negara Indonesia. Begitu juga, ketika menyebut merah putih, maka kita pun pasti akan mengingat bendera kebangsaan Indonesia. Namun, ketika kita menggabungkan kedua kata dari lambang-lambang negara tersebut, maka kita pasti mengingat pasangan calon presiden nomor urut 1 yakni Prabowo Subianto - Hatta Rajasa (yang bersaing dengan pasangan calon presiden Joko Widodo - Jusuf Kala) pada pilpres 9 Juli 2014. Dan atau pasti mengingat koalisi besar yang dibangun oleh Gerindra besutan Prabowo Subianto. Persaingan keduanya menuju Istana Negara sangat ketat dan penuh intrik politik.

Ketika menyebut koalisi besar, mungkin memori kita akan tertuju pada pemilu gubernur Jakarta yang dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo - Basuki Cahaya Purnama (Ahok) yang saat itu hanya diusung oleh partai PDI Perjuangan dan Gerindra. Sungguh, tidak ada yang memprediksi pasangan Jokowi - Ahok bakal mengalahkan Fauzi Bowo dengan koalisi besarnya. Sejarah tersebut terulang kembali, ketika maju mencari peruntungan menjadi calon presiden berpasangan dengan Jusuf Kala menuju Istana dan sekaligus terpilih menjadi presiden. Joko Widodo memang fenomena pemimpin politik yang menarik dan berasal dari orang biasa (bukan trah kebangsawanan) atau pemimpin sebelumnya. Hal ini mungkin yang disebut sebagai Satrio Piningit (keyakinan orang Jawa) sebagaimana yang pernah diramalkan oleh Ki Joyo Boyo dari kraton Surakarta.