This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Selasa, 29 Juli 2014

PAT GULIPAT POLITIK KEKUASAAN DI SENAYAN

Politik adalah seni untuk memimpin, kata sahabat seorang seniman. Pernyataan itu bisa menjadi benar jika dilihat dari perspektif seorang seniman. Juga, bisa menjadi salah kalau hanya dilihat secara parsial, karena politik itu merupakan proses panjang untuk menjadi pemimpin (termasuk bagaimana proses perekrutan dilakukan secara demokratis). Pada aras ini, seringkali terjadi saling sikut dan pat gulipat antara kawan di internal partai politik, apalagi antara partai politik.

Lihat saja, misalnya dalam perebutan kursi ketua DPR, para politisi berupaya untuk menjegal pemenang pemilu pada pemilu legislatif 9 April 2014 untuk menjadi ketua DPR. Mengapa para politisi terus bermain dalam lipatan untuk menjegal PDI Perjuangan sebagai pemenang pemilu untuk menjadi ketua DPR? Atau dengan alasan apa para politisi memaksakan diri untuk merubah aturan atau merivisi aturan pemenang pemilu secara otomatis menjadi ketua DPR? Apakah semata-mata untuk membagi jatah kekuasaan demi tercitaptanya harmoni politik di pemerintahan khususnya legislatif? Atau memang para politisi sengaja bermainan pat gulipat untuk menjegal PDI Perjuangan menduduki jabatan ketua DPR?

Jumat, 18 Juli 2014

PESANTREN DAN PEMBENTUKAN KARAKTER BANGSA

Sudah cukup lama saya tidak mengamati kehidupan pesantren, terutama semenjak saya menamatkan pendidikan di Pondok Pesantren Nurul Hakim pada tahun 1989. Saya baru tersadar bahwa betapa pendidikan pesantren memiliki karakter dan ciri khusus yang tidak dimiliki lembaga pendidikan lainnya. Karena alasan tersebut, saya menelisik kehidupan pesantren yang masih bertahan di tengah arus modernisasi. Saya juga merindu akan kehidupan pesantren yang sederhana dan bersahaja. Yang saya syukuri ternyata anak pertama saya ingin masuk pesantren (selepas menamatkan pendidikan dasarnya) padahal sang bunda menawarinya untuk sekolah di SMP. Saya mau masuk pesantren ma (panggilan untuk ibunya). Loh, kenapa mau masuk pesantren, tanya saya kepada anak pertama saya. Tanpa saya sadari, ternyata anak saya sudah melahap materi buku "Setengah abad Nurul Hakim" yang saya tulis bersama tim. Ia hanya tersenyum sambil menenteng buku itu.

Di samping anak saya, dua keponakan saya juga sudah memasuki pondok pesantren lebih dulu. Apa anak saya dipengaruhi oleh kedua saudara misannya? Saya berkeyakinan tidak, Ia berangkat dari kesadarannya untuk melanjutkan sekolahnya ke pesantren atas pilihannya sendiri berdasarkan apa yang dipahami dari bacaannya. Sebagai orang tua, saya tentu mendukung pilihan si anak untuk melanjutkan studinya ke pesantren dan atau kalau pilihannya tidak ke pesantren. Masalahnya, mengapa ke pesantren.

Selasa, 15 Juli 2014

RUNTUHNYA ETIKA POLITIK KEKUASAAN

Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan kekuasaan dapat dilakukan oleh siapa pun, tidak hanya politisi. Menjelang pilpres 2014 segala macam propaganda, saling menjelekan atau negative campign dan black campaign dilakukan oleh para pihak untuk memenangkan pasangan yang diusungnya. Beredarnya tabloid yang mendeskreditkan pasangan calon presiden tertentu tersebar ke beberapa Pondok Pesantren di pulau Jawa. Dan yang disayangkan sampai-sampai mempersoalkan keyakinan dan agama nenek moyang pasangan tertentu ikut mewarnai propoganda politik demi kekuasaan. Segala cara mereka tempuh untuk menggapai kekuasaan demi pemuasan hasrat politiknya.

Berlomba-lomba untuk menggapai kekuasaan diperebutkan oleh masyarakat politik melalui media yang disebut pemilihan umum (baik pemilu legislatif ataupun pemilu presiden serta pemilu kepala daerah). Dalam perjalanan pemilu di Indonesia susah sekali untuk menjalankan aturan dan atau aturan yang ditaati oleh peserta pemilu. Selalu saja ada celah dan ruang hampa yang dilanggar oleh peserta pemilu sehingga pemilu tidak berada pada posisi yang seharusnya oleh peraturan kepemiluan. Buktinya, usai pelaksanaan pemilu perkara atau sengketa ada saja masuk ke ranah hukum. Apakah hal itu berarti bahwa peraturan dibuat memang untuk dilanggar bukannya untuk ditaati. Jika demikian, maka dimungkinkan suatu tatanan normatif yang disebut etika dalam politik.

Jumat, 11 Juli 2014

KONSTRUKSI EDUKASI GENERASI EMAS (ANTARA KEMISKINAN DAN KEKERASAN)

Pengantar
Generasi Emas?  Satu pertanyaan yang mungkin bagi sebagian orang sebagai mimpi, fantasi, yang berada di dunia ide dan dunia hayal.  Penganut empirisme mungkin yang paling skeptis akan kemunculan generasi emas ini karena faktisitas dunia pendidikan di Indonesia masih terbelenggu dengan pelbagai permasalahan diantaranya kemiskinan, kekerasan, kurikulum yang selalu berubah, anggaran, dan manajemen yang tidak terkelola dengan baik. Permaslahan-permasalahan tersebut sangat mungkin menjadi penyebab rumitnya mengurai benang kusut dunia pendidikan di Indonesia menuju cita Generasi Emas.
Generasi Emas menyangkut dunia cita, dunia ide, dunia yang terdiri dari manusia yang tidak statis tetapi dinamis, progresiv dan terus bergerak untuk mewujudkan impian-impiannya. Tidak ada rumus untuk menyerah terkapar terhadap permasalahan yang melanda manusia generasi emas. Dengan demikian generasi emas merupakan generasi manusia ideal atau super mens yang akan dituju dengan dilingkupi oleh nilai-nilai moralitas tinggi, demokratis, berketerampilan, inovatif, religious, dan berakhlak mulia. 
Edukasi generasi emas manjadi pintu masuk untuk sampai kepada cita generasi emas atau generasi berkarakter. Karena itu, edukasi generasi emas harus berkelanjutan dan tidak pernah berakhir (never ending process) sebagai bagian terpadu  untuk menyiapkan generasi bangsa, yang disesuaikan dengan sosok manusia masa depan, berakar pada filosofi dan nilai cultural religious bangsa  Indonesia. Edukasi generasi dalam bayangan saya setara dengan pendidikan karakter  yang sedang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia. Pendidikan karakter harus mengembangkan filosofi dan pengamatan atas keseluruhan karakter bangsa ini secara utuh, dan menyeluruh[1].  Karakter bangsa mengandung perekat budaya dan cultural yang harus terwujud dalam kesadaran cultural (cultural awareness) dan kecerdasan kultural (cultural  intelligence) setiap warga Negara.

TRANSISI KULTURAL POLITIK ULAMA

Pada tulisan ini, tidak mempermalahkan apalagi menyangsikan urgensi istiharah dalam kehidupan ummat. Istiharah dimaknai sebagai strategi untuk memilih satu pilihan terbaik dari beberapa pilihan yang tersedia dengan  melibatkan Tuhan. Istikharah dalam segala urusan memang dianjurkan oleh agama Islam untuk memilih pilihan agar orang Muslim dituntun tetap berada di jalan kebenaran dan tidak terjebak pada kepentingan duniawi tanpa nilai ilahiah.

Keterlibatan ulama dalam partai politik, tidak bisa dilihat hanya sebagai sebuah sikap sesaat, tetapi sebuah pilihan berdasarkan hasil istiharah. Pilihan sikap tersebut juga, memiliki keterkaitan dengan dinamika sosial politik yang sedang berkembang dan juga berkaitan dengan konstelasi politik pada masa-masa sebelumnya.

Pada masa Orde Baru, kecendrungan arus politik yang sentralistik menjadikan ulama menghadapi dilema, khususnya saat berhadapan dengan pemerintah. Segala aktivitas politik masyarakat (termasuk aktivitas politik ulama) dibatasi atau bahkan dicurigai. Untuk memudahkan kontrol terhadap aktivitas politik ulama, pemerintah membentuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai wadah koordinasi gerakan para ulama. Orientasi pembemtukannya adalah kebersamaan walau pada hakekatnya adalah pembatasan.

Pemerintahan Orde Baru di bawah Soeharto telah berhasil mendorong perubahan citra politik ulama dan generasi muda santri yang sebelumnya di kenal sebagai kaum oposan menjadi lebih akomodatif terhadap penguasa. Bersamaan dengan itu, dunia pesantren mengalami modernisasi dengan membentuk pendidikan formal, madrasah dan sekolah. Suasana kehidupan pesantren yang asli dengan tempat tinggal para santri yang beratapkan ilalang kini sulit ditemui. Gedung-gedung pesantren sudah bertingkat dengan lantai keramik dan cahaya terang benderang listrik.

Faktisitas semacam ini pada kenyataanya justru memiliki dampak lain berupa menguatnya posisi ulama dalam konstelasi sosial kultural masyarakat. Marzuki Wahid dan Rumadi (2002) menulis dalam bukunya "Islam Mazhab Negara", menguraikan bahwa Ulama yang masuk dalam katagori ini adalah mereka yang benar-benar dekat yang menyatu dengan ummat, membela mereka dari segala bentuk penyimpangan yang terjadi, dan atau menjadi penengah dalam relasi antara rakyat dengan pemerintah.

Era reformasi atau tepatnya sejak pemilu 1999 telah membawa perubahan konstelasi politik secara fundamental. Mengencangnya angin reformasi yang kemudian diikuti dengan terbentuknya partai-partai Islam tampaknya memberi angin segar bagi posisi ulama di Indonesia. Kemunculan partai-partai Islam baru seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Syarikat Islam, Partai Nahdlatul Ummah, Partai Amanah Nasional, di samping partai lama Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Pelaksanaan pemilu dengan sistem multipartai telah membuka kran dan peluang bagi partisipasi dari berbagai elemen masyarakat, terutama dari kalangan ulama. Ulama menjadi sosok yang memiliki posisi tawar strategis dalam konstelasi politik Indonesia baru. Tidak hanya ulama, secara umum, anak-anak muda santri mulai mempersiapkan diri untuk memasuki panggung politik nasional dalam kehidupan dan kehidupan nasional.  Melalui berbagai politik yang tanpa label Islam maupun label Islam, anak-anak muda santri ini mulai berada di tengah pusaran peradaban modern.

Momentum pemilu 1999, para ulama dan generasi muda santri mulai menduduki jabatan-jabatan strategis di pemerintahan, seperti menjadi menteri, Dirjen, Gubernur, Bupati-Walokota, dan berbagai jabatan birokrasi yang tak pernah mereka sentuh di masa sebelumnya. Melalui jalur pendidikan modern, anak-anak muda santri dan ulama mulai meniti karir tertinggi di lembaga militer dan kepolisian berpangkat jenderal. Selain itu, mereka menempati posisi tertinggi di perguruan tinggi, berbagai perusahaan nasional dan multinasional dengan gelar akademik Doktor atau guru besar.

Naiknya KH Abdurrahman Wahid ke kursi presiden ke-4 Indonesia, walaupun kurang dua tahun, menjadi gerbong besar yang membawa para ulama ke pusat peradaban yang tak dikenal dalam doktrin sosial dan politik Islam konvensional. Energi positip kaum santri dengan naiknya Gus Dur menjadi presiden membuat kaum santri lebih percaya diri menjelajah hutan belantara politik yang mungkin bagi sebagian mereka terasa asing di dunia itu. Tetapi dengan semangat dan karakter yang sudah terbentuk, mereka terus saja mencari tantangan dan pengalaman baru memasuki dunia politik.

Dinamika politik ulama dan generasi muda santri menapaki sejarah nasional cukup panjang selama kolonialisme dan pasca kemerdekaan. Dinamika kaum ulama dan kaum santri dalam peta sosial politik nasional hampir identik dengan dinamika Indonesia sebagai bangsa (Mulkhan, 2001).  Goresan perjuangan KH Hasyim Asy'ari, KH Ahmad Dahlan, dan para ulama lainnya sebagai contohnya. Perubahan perilaku ulama menjadi petunjuk untuk melihat arah perubahan kebangsaan Indonesia yang selanjutnya memberi petunjuk perubahan dunia pesantren. Karena itu, seiring berbagai perubahan kebangsaan, perilaku santri tampak berubah secara berarti, seperti yang dialami pesantren.

Namun demikian, keterlibatan ulama dalam politik praktis berimplikasi terhadap masyarakat pesantren di satu sisi dan partai yang dimasuki ulama sisi yang lain. Implikasi ulama berpolitik bagi masyarakat pesantren ialah semakin berkurangnya kesempatan para ulama dalam membina pesantren karena aktivitas politik membuat para ulama harus sering keluar untuk aktivitas politik. Tetapi di sisi lain, terjadi perubahan fisik pesantren dengan datangnya segala bentuk bantuan material dan non-material. Hal ini disebut sebagai asas manfaat keterlibatan ulama dalam politik praktis.

Jika meminjam teori Fungsional Struktural untuk melihat peran ulama dalam aktivitas politik, maka dampak positip yang segera terbaca yakni perubahan fisik dunia pesantren. Batas wilayah kulturil, fisik dan ekonomi dunia pesantren dan kehidupan masyarakat sekitar pesantren sudah mulai terbangun dengan tegas. Tembok tinggi tebal secara mencolok di bangun sebagai batas fisik dunia pesantren dan masyarakatnya. Keterpaduan antara keduanya sejatinya menjadi ciri khas pesantren. Batas kulturil ini diperkukuh dengan konsep pengembangan pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan dalam UUSP Nomor 20 Tahun 2004. Undang-undang ini mungkin saja secara tersamar  bisa mengubah bentuk asli pesantren yang akan kehilangan fungsi profetiknya (Mulkhan, 2001) seperti sebelumnya.

Lebih lanjut Abdul Munir Mulkhan menegaskan bahwa batas kulturil kaum ulama dan santri dengan rakyat yang dikukuhkan oleh pengubahan pesantren justru akan mengakibatkan rendahnya dukungan rakyat atas partai dan gerakan Islam. Hal ini menjelaskan mengapa partai berlambang Islam tidak pernah memperoleh dukungan significan dari pemilih yang mayoritas beragama Islam di sepanjang sejarah pemilu di Indonesia. Jarak budaya santri dan rakyat kebanyakan yang mayoritas muslim dari petani dan buruh tetap lebar. Pelibatan kaum ulama dan santri ke pusat peradaban modern sekuler seharusnya mencairkan batas-batas kulturil tradisi santri dan sekuler. Sayangnya, hal ini ternyata belum mampu mengubah tradisi santri yang elitis menjadi tradisi populis, malahan muncul pemimpin populis dari kalangan abangan, seperti Joko Widodo Gubernur DKI Jakarta yang kini bersaing berebur kursi Presiden Indonesia pada pemilu 2014.

Ahmad Fatoni dalam Disertasinya mengemukakan bahwa konstribusi peran dan motif ulama masuk parpol sebagai masukan bagi yang berwenang terutama pemerintah dalam mengambil kebijakan yang terkait dengan pengembangan demokrasi. Namun, faktisitasnya keterlibatan ulama dalam partai politik ternyata memiliki implikasi yang tidak semuanya bernilai positif. Dari sisi peran, ulama kemudian memiliki peran ganda. Satu sisi sebagai ulama yang memiliki santri yang berkaitan dengan agama yang mencakup peran spiritual, pendidikan, agen of change, sosial budaya dan patron-client. Sementara di sisi lain sebagai figur yang terlibat dalam politik, dalam bentuk partisipan, pendukung dan aktor. Hal inilah yang kemudian memunculkan ambiguitas dalam peran gandanya.

Pada aras ini, dapat dicermati bahwa bagaimana ulama dan generasi muda santri berada dalam perangkap konflik dengan dirinya sendiri di tengah budaya transisional. Ironisnya perangkap ini, tulis Mulkhan seperti sengaja dibuat sendiri di antara yang sakral dan sekuler, di antara rakyat kebanyakan dan kelas elit, di antara memihak massa ummat dan kemapanan diri. Kesediaan kaum ulama dan santri meredefinisi peran profetiknya dalam alam empirik duniawiyah akan menentukan arah dari transisi budaya dalam kehidupan kebangsaan Indonesia di masa depan. Dengan demikian Islam sebagai agama akan ditafsir sesuai kebutuhan aktual masyarakat pemeluknya dan masyarakat dimana ajaran agama itu dipraktikkan. Karena itu, eksistensi ulama berpolitik sesungguhnya dalam kerangka amar ma'ruf nahi mungkar.

Wallahul muwafiq ila Darissalam.
Tanak Beak, 11072014.19.25.59.

Sabtu, 05 Juli 2014

POLITIK TATA KELOLA KONFLIK

Konflik akibat pertarungan politik sepertinya belum akan beranjak pergi dari negeri Indonesia. Apapun proses politik selalu berakhir dengan gesekan, ketegangan, dan konflik antar simpatisan. Kesan politik memproduksi konflik bisa menjadi benar kalau didasarkan pada faktisitas konflik yang terjadi selama proses pergantian kekuasaan, baik pemilihan kepala desa, kepala daerah maupun pemilihan presiden. Masyarakat yang sedikit mau berfikir mempertanyakan apakah akan selamanya proses pergantian politik akan berakhir dengan bentrok atau konflik? Atau kita bisa memproduksi kedamaian dan keharmonisan selama proses dan pasca pergantian elite di Indonesia?

Secara kultural, berbagai konflik sosial dapat dilihat sebagai akibat dari tidak berjalannya dengan baik interaksi dan komunikasi antarbudaya di antara berbagai kelompok budaya yang plural di Indonesia, sehingga menimbulkan berbagai salah pengertian, salah tafsiran, salah penilaian (Yasraf A. Piliang, 2005). Tafsiran yang salah tersebut telah menimbulkan berbagai sikap budaya yang nagatif seperti ketidakpedulian terhadap orang lain, eksklusivisme kelompok, sikap mendahulukan kepentingan diri sendiri, will of power   yang tidak terbendung, sikap tidak mau menerima kekalahan secara sportif, sikap intoleran terhadap kelompok lain. Inilah sikap budaya monologisme  sikap-sikap budaya yang dapat menggiring ke arah konflik sosial bahkan disintegrasi bangsa.

Jumat, 04 Juli 2014

HORROSOPHY POLITIK INDONESIA

Di dalam dunia politik yang berkembang adalah berbagai sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, ilmu) yang mengandung di dalam dirinya berbagai kontradiksi logis kebijaksanaan yang bersimbiosis dengan kekerasan atau apa yang disebut horrosophy. Ketika aktor politik memasuki dunia citra yang ditawarkan oleh era informasi dan tak mampu melakukan refleksi dan reinterpretasi terhadap hakikat politik di dalamnya untuk menemukan maknanya yang hakiki atau ontologisnya.

Pada aras ini, aktor politik terserap atau jatuh ke dalam dunia itu dan larut dalam logika operasionalnya. Di dalam kondisi kejatuhan (das verfallen) itu, aktor politik kehilangan dirinya sebagai subjek. Di dalam keterjatuhan tersebut, aktor politik membiarkan dirinya hanyut di dalam mekanisme ruang - waktu dan ontologi citra yang membentuknya serta tidak dapat bangkit atau keluar dari jerat ruang-waktu tersebut (Piliang, 2005). Oleh karena itu, eksistensinya sebagai manusia politik telah diredusir secara ontologis ke dalam ontologi citra visual.

Kamis, 03 Juli 2014

MATINYA ETIKA DAN ALPANYA MALAIKAT DALAM POLITIK GADUH

Persaingan antara dua pasangan calon presiden (Prabowo-Hatta dengan Joko Widodo-Jusuf Kala) semakin hangat dan tidak terkendali. Masing-masing tim sukses saling mempropokasi dan mengungkit kelemahan masing-masing yang berujung pada pengrusakan stasiun transmisi TVOne di Yogyakarta. Saling tuduh dengan terus melakukan propoganda bahwa pasangan yang satu sebagai pasangan boneka dan fasis. Sementara pasangan yang dituduh tidak terima dengan balas menuduh bahwa pasangan tersebut sebagai pasangan otoriter dan tidak bisa membangun keluarga yang harmonis.

Rabu, 02 Juli 2014

LEMBAGA-LEMBAGA SURVEY MENJADI ALAT KAMPANYE

Perang hasil survey yang di rilis di media-media elektronok terhadap elektabilitas pasangan calon presiden Indonesia membuat sebagian masyarakat meragukan validitasnya. Bagaimana tidak ragu? di salah satu televisi pasangan calon presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala selalu diagungkan seakan tanpa cela sedikit pun serta disanjung setinggi langit. Sementara kalau cannel televisinya dipindah ke TV One dan ANTV maka pasangan Prabowo - Hatta selalu berada di atas angin. Saking bingungnya terhadap tayangan dan hasil survey yang dirilis oleh dua blok televisi tersebut membuat masyarakat berhenti sementara untuk menonton tiga cannel televisi tersebut.

Dalam 13 tahun reformasi, lembaga survei bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan. Kehadirannya ibarat pisau bermata dua, bisa mendatangkan manfaat dan mudarat, tergantung pihak yang memanfaatkannya.Kecendrungan hasil survey sangat tergantung dari pesan sponsor. Apakah hasilnya sesuai dengan hasil survey atau tidak, bukan menjadi masalah penting untuk diperdebatkan. Misalnya hasil pemilihan tidak sesuai dengan hasil survey yang sudah dirilis maka paling-paling sanksinya tidak akan dipakai kembali jasanya oleh si calon tapi kalau menang sudah pasti akan mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit. 

DESAKRALISASI KUALAT DI DUNIA PROFAN

Terminologi kualat semakin santer terdengar menjelang pemilihan umum, baik legislatif maupun presiden.  Terminologi "kualat" lebih bersifat patron-klien antara pemegang otoritas dengan yang dikuasai, misalnya dalam masyarakat adat dan masyarakat pesantren. Faktisitas ini seringkali dimanfaatkan secara maksimal oleh para politisi untuk meraup suara atau dijadikan sebagai lumbung suara dengan tanpa mengeluarkan cost sosial terlalu besar.

Menggerakkan Kiai atau Tuan Guru bagi kepentingan elit politik bukan strategi yang baru tetapi strategi lama yang terbarukan hingga kini. Mereka selalu dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok elit tertentu. Hanya masalahnya apakah keikutsertaan Kiai atau Tuan Guru akan serta merta diikuti pula oleh keluarga besarnya atau para santrinya? Kalau ya tentu akan berdampak positif tetapi kalau tidak tentu berakibat negatif bagi lembaganya serta akan dilabeli "kualat" secara personal bagi santri yang tidak ikutan.