Jumat, 21 Juni 2013

MENGKONSTRUKSI PROGRAM APENO

Walaupun belum dilantik, masyarakat sudah mengetahui bahwa TGB Amin adalah gubernur dan wakil gubernur NTB dalam masa jabatan lima tahun ke depan. banyak pekerjaan rumah dan janji-janji politik yang wajib dikerjakannya di periode keduanya. Saya berkeyakinan bahwa janji-janji politik itu sudah dicatat oleh 44 persen masyarakat yang memilih pasangan ini. Selebihnya adalah masyarakat yang akan memantau dan mengkritisi kinerja kepemimpinan dynasti TGB Amin.

Lima tahun menjadi pemimpin, bukan waktu yang lama. Karena itu, tidak ada salahnya kalau dynasti TGB Amin disarankan untuk lebih fokus pada memperbaiki kondisi masyarakat Bumi Gora. Kondisi yang saya maksudkan adalah perilaku masyarakat yang kawin-cerai. Perilaku kawin cerai (terutama pernikahan sirri atau nikah yang tidak dicatatkan secara sah) semakin meningkat.


Siapa yang tidak marah, bila anak gadisnya yang baru saja tamat SDN dinikahi oleh seorang laki-laki lalu dalam waktu yang tidak terlalu lama diceraikan dengan tanpa pesangon yang layak (harta gono gini). Realitas ini seakan menjadi budaya laki-laki yang masih dipertahankan. Siapa yang bisa merubah kondisi itu? Tentu, kalau mau dijawab sudah pasti jawabannya adalah pemerintah.

Kita sebagai warga Bumi Gora sudah familiar dengan program ABSANO, ADONO DAN AKINO yang telah dicetuskan oleh pasangan BARU (TGB Badrul Munir). Program tersebut tampak bagus namun belum tentu bagus. Mengapa? sebab sampai saat ini belum pernah ada hasil evaluasi paripurna tentang keberhasilan tiga program tersebut. Namun secara umum, saya berpendapat bahwa TGB sangat berhasil dalam membangun citra atau lebelling dari sesuatu yang sudah ada.

Namun tidak pada memperbaiki kondisi masyarakat yang terkoyak-koyak. Salah satu contohnya, seperti kuantitas perceraian di lombok sangat tinggi. Kita pasti prihatin atas kawin-cerai yang seolah sudah menjadi budaya. Apakah kondisi itu ada kaitannya dengan sesenggak orang Sasak yang menyatakan bahwa "waktu panen merupakan waktu untuk menikah sedangkan musim jeleng merupakan waktu bercerai". Ada tidaknya keterkaitan sesenggak orang Sasak itu dengan perilaku kawin cerai yang terjadi, tentu belum bisa disimpulkan sebelum dilakukan penelitian lapangan oleh para peneliti sosial dan budaya Sasak.

Karena itu, berangkat dari kondisi masyarakat yang terkoyak itu, maka perlu diusulkan kepada TGB Amin untuk melakukan tindakan nyata dengan program Angka Perceraian Nol yang saya singkat menjadi (APENO). Usulan program ini akan sangat bermakna atau mungkin akan membuat kepemimpinannya berhasil kalau saja mampu merubah perilaku masyarakat Sasak tersebut. Menurut saya Dinasty politik TGB Amin harus mampu menurunkan angka perceraian khususnya di Lombok.

Selaku putra Sasak, saya amat prihatin terhadap kuantitas dan kualitas perceraian yang terus menggurita. Di Aras ini, terlihat betapa wanita sangat tidak dihargai oleh laki-laki. Perempuaan seolah seperti barang dagangan yang sudah terbeli dan di waktu yang bersamaan bisa dikembalikan atau diceraikan. Sadarkah para lelaki yang telah membuat para perempuan semakin kehilangan jati dirinya. Tentu, sebagai lelaki Sasak, tidak ingin dicap sebagai lelaki yang tidak menghargai perempuan akibat dari kesukaan kawin cerai.

Perceraian dalam konteks agama adalah perbuatan boleh tetapi yang paling dibenci oleh Tuhan. Untuk merubah perilaku gemar kawin cerai itu, maka diperlukan sinerginitas pemerintah dan tokoh agama (Tuan Guru) untuk terus melakukan sosialisasi demi menekan kuantitas perceraian di Bumi Gora. Kementrian agama dan MUI mestinya berada di garda terdepan untuk merubah perilaku masyarakat Sasak yang gemar kawin cerai.

Hotel Sofyan, Jakarta, 21 Juni 2013. 14.49.51


0 komentar: