(I)
Siapkah
kita menghadapi persaingan global di tahun 2015? Sudah seharusnya kita bersiap
menghadapi ketatnya persaingan di tahun 2015 mendatang. Indonesia dan
negara-negara di wilayah Asia Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang
terintegrasi yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan
bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Dalam beberapa hal, Indonesia dinilai belum
siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Namun banyak juga
peluang yang dapat kita lihat dari Ekonomi ASEAN 2015 ini. Banyak kalangan yang
merasa ragu dengan kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN
2015. Kekhawatiran itu sangat beralasan karena beberapa tahun belakangan ini, terhantamnya
dan tidak sedikit yang pailit sektor-sektor usaha dalam negeri kita, jika kita
mengingat bagaimana hubungan bilateral Indonesia dengan China. Kini China mampu
menguasi pasar domestik kita yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas
Indonesia.
Bagi
Indonesia sendiri, MEA akan menjadi kesempatan yang baik karena hambatan
perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut
akan berdampak pada peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP
Indonesia. Di sisi lain, muncul tantangan baru bagi Indonesia berupa
permasalahan homogenitas komoditas yang diperjualbelikan, contohnya untuk
komoditas pertanian, karet, produk kayu, tekstil, dan barang elektronik
(Santoso, 2008). Dalam hal ini competition risk akan muncul
dengan banyaknya barang impor yang akan mengalir dalam jumlah banyak ke
Indonesia yang akan mengancam industri lokal dalam bersaing dengan
produk-produk luar negri yang jauh lebih berkualitas. Hal ini pada akhirnya
akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Negara Indonesia sendiri.
Berdasarkan fakta peringkat daya saing
Indonesia periode 2012-2013 berada diposisi 50 dari 144 negara, masih berada
dibawah Singapura yang diposisi kedua, Malaysia diposisi ke dua puluh lima,
Brunei diposisi dua puluh delapan, dan Thailand diposisi tiga puluh
delapan. Melihat kondisi seperti ini, ada beberapa hal yang menjadi faktor
rendahnya daya saing Indonesia menurut kajian Kementerian Perindustrian RI
yaitu kinerja logistik, tarif pajak, suku bunga bank, serta produktivitas
tenaga kerja.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah berada
di depan mata. Siap atau tidak siap, MEA sudah pasti akan diberlakukan di
negara-negara Asean, termasuk Indonesia. Karena itu, kita harus berbenah
menanti waktu dimulainya persaingan tinggi dalam masyarakat ekonomi asean
(MEA). Persaingan tidak hanya terjadi pada sector ekonomi semata, tetapi juga
jasa pendidikan. Jakarta International School (JIS) dan Mahatma Gandhi School,
bisa menjadi contoh, betapa sulitnya anak negeri menjadi guru di lembaga
tersebut; paling hanya sebagai SATPAM dan cleaning
service.
(II)
Menurut
para ahli ekonomi politik, terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA pada
tahun 2015 yang dapat dijadikan suatu momentum yang baik untuk Indonesia.
Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan
sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan
pasar dan basis produksi maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal
dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada
hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat
kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition
policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation,
dan E-Commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang
adil; terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen
perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan
jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan
sistem Double Taxation, dan; meningkatkan perdagangan dengan media
elektronik berbasis online.
Ketiga, MEA akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki
perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil
Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan
memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar,
pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan,
serta teknologi.
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian
global. Dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap
negara-negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara
di kawasan Asia Tenggara pada jaringan pasokan global melalui pengembangkan
paket bantuan teknis kepada negara-negara Anggota ASEAN yang kurang berkembang;
dan oleh Andre Gunder Frank (pencetus teori dependensi) disebut sebagai “a metropolis-satellite model”. Hal
tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas
sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala
regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.
(III)
Dengan
terciptanya iklim persaingan yang adil; terdapat perlindungan berupa
sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya
pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman,
dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation, dan;
meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online. Ternyata bukan hal yang baru bukan?
Sebagian dari kita sudah mulai terbiasa berbelanja secara online baik
pakaian, peralatan dapur, olah raga, kendaraan, makanan cepat saji, dan bahkan
sampai menemukan jodoh atau istri/suami pun berbasis online pula. Dua
minggu terakhir ini, beredar penawaran menggiurkan di SOSMED “Beli rumah dapat
pemiliknya, seorang janda kaya raya”. Tentu tidak ada yang salah, karena hal itu
sudah jamannya dan tuntutan masyarakat dunia; kalau tidak, pasti akan terlindas
dan ketinggalan zaman. Dalam bahasa anak-anak muda disebutnya sebagai tidak
gaul dan tempoe doloe atau jadul. Dan oleh KI Ronggowarsito disebutnya sebagai
zaman “gemblung atau edan”.
Kondisi sudah memaksa kita untuk memasuki dan
berkompetisi bebas dengan masyarakat ekonomi asean (MEA); siap, tidak siap,
kita harus siap dengan segala resiko yang mungkin timbul. Bisa jadi, segala
produk local yang dihasilkan anak-anak negeri tertumpuk bak gunung di
pasar-pasar negara anggota MEA karena tidak diminati; tenaga kerja Indonesia
hanya akan mengisi pos-pos cleaning service, pembantu rumah tangga,
buruh kasar, pemetik kelapa sawit, dan pekerjaan sejenis lainnya; dan sangat mungkin
kita hanya menjadi penonton di negara sendiri. Ketidaksiapan serta kurangnya skill
menjadi sebab musabab kemungkinan tersebut di atas dapat terjadi.
Dalam kondisi tersebut, dunia pendidikan
memiliki tugas berat untuk melahirkan tenaga-tenaga terampil terdidik (skilled labour), memiliki karakter, dan
daya juang serta kerja keras. Atau di kurikulum 2013 dunia pendidikan diamanahi
untuk melahirkan generasi bangsa yang beradab, produktif, kreatif, inovatif dan
efektif, sehingga kita bisa menjadi bangsa kolaboratif-kompetitif. Penguatan dalam
sikap, keterampilan dan pengetahuan yang terintegrasi menjadi kata kuncinya.
Inilah nawa cita presiden Joko Widodo dalam dunia pendidikan.
Kalau merujuk ke Pembangunan Sumber Daya
Manusia (SDM), khususnya dunia pendidikan, maka permasalahan utamanya masih terlena
pada persoalan material atau formalitas belaka. Juga, berkaitan dengan
peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Diakui atau tidak, peningkatan
kualitas dan mutu pendidikan di negeri ini, selalu bergerak maju-mundur;
maju-mundur; alias jalan di tempat. Faktanya, atas nama kebijakan; masyarakat
pendidikan selalu saja ribut manakala kebijakan baru muncul; contoh yang
terkini adalah tidak diteruskannya penerapan KURTILAS. Akibatnya, siapa yang diuntungkan
dan siapa yang buntung? Namun yang pasti bahwa pelaku pendidikan selalu dalam
kondisi yang tidak stabil alias ketidakpastian yang mungkin didesain dengan
berbagai alasan.
Kalau perjalanan dan penanganan peningkatan
mutu dan kualitas pendidikan masih seperti itu, maka kita sebenarnya sedang dan
terus berproses untuk mengamputasi suatu kebijakan untuk bermutu dengan
melahirkan kebijakan baru yang belum tentu bermutu. Di aras ini, mungkin perlu
melakukan perubahan total wajah persekolahan sebagaimana yang pernah dilakukan
Paulo freire di Brazil.[3]
Tentu, apapun kebijakan yang telah pemerintah putuskan, seharusnya tidak sampai
membuat praktisi pendidikan kesulitan untuk berproses menjadi lebih berkualitas
dan bermutu.
Kesan turun temurun bahwa ganti
pemerintahan ganti kebijakan masih menjadi momok yang menakutkan, khususnya
bagi dunia pendidikan. Salah satunya, adalah semakin kuatnya control pemerintah
terhadap permasalahan teknis akademik; yang seharusnya dapat tertangani oleh
institusi-institusi pendidikan. Akibatnya membuat kisruh dan salah faham antara
pengelola pendidikan dengan masyarakat pendidikan sendiri. Hal seperti ini pula
yang menghambat perbaikan kualitas dan mutu pendidikan berjalan di tempat.
Reformasi total yang sedang bergulir
sekarang ini, juga masih pada aras formal-struktural, belum menyentuh
permasalahan inti. Misalnya, bagaimana menjadikan ajaran-ajaran agama sebagai
penangkal dalam mengatasi berbagai masalah yang sedang melanda masyarakat.
Krisis multidimensi sekarang ini bisa menjadi konten untuk dikembangkan sesuai
dengan faktisitas yang terekam setelah bergulirnya reformasi. Karena, akibat
yang ditimbulkan reformasi ternyata telah merasuk terhadap system hidup dan
kehidupan berbangsa, bernegara serta bermasyarakat, bahkan berkeluarga.
Pada aras ini, peran pendidikan dalam
meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan core
atau intinya. Beragama dan berilmu dalam konteks Islam merupakan keharusan atau
kewajiban bagi ummat Islam, dan hal ini sudah menjadi komitmen awal
pengembangan ajaran Islam. Tujuannya agar beragama tidak sekedar menjalankan
ajaran Allah Swt semata, tetapi lebih dari itu adalah untuk memahami bagaimana
mengabdi kepada Allah Swt sebagai khaliq penguasa alam semesta. Murtadha
Muthahari menjelaskan dalam bukunya bahwa “ilmu mempercepat anda sampai
ketujuan; agama menentukan arah yang dituju”. Ilmu menyesuaikan manusia dengan
lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu tidak jarang
mengeruhkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya
yang tulus.
(IV)
Kembali ke pertanyaan awal bahwa siapkah
kita bersaing dalam masyarakat Ekonomi Asean 2015? Bagaimana agar bisa bersaing
dengan tenaga terampil terdidik yang memiliki semangat juang tinggi dari
negara-negara ASEAN yang tergabung dalam MEA? Hal inilah yang menjadi
permasalahan kita bersama.
Sebagai bangsa yang besar, tentu kita harus
siap bersaing dengan negara manapun di dunia, tidak hanya negara-negara ASEAN
tetapi juga dengan masyarakat dunia lainnya. Optimisme dan doa perlu ditanamkan
bagi anak negeri menyambut kedatangan MEA, apapun kondisi kita saat ini.
Kalah-menang dalam persaingan, ditentukan setelah pertempuran berlangsung.
Kisah Mahabharata memberikan
inspirasi bahwa kualitas, ketulusan, kesabaran, dan mau mengalah (strategi),
serta do’a menjadi kekuatan para pandawa. Sedangkan kesombongan, gila
kekuasaan, ketamakan, culas, kelicikan, dan keserakahan merupakan karakter para
kurawa. Ending dari kisah Mahabharata tersebut adalah kemenangan sebuah
kualitas dan manusia yang berkarakter tulus mempertahankan kebenaran sejati.
Apakah produk-produk yang dihasilkan oleh
anak negeri nanti bisa bertahan dan diminatai oleh masyarakat dunia, dan begitu
juga; apakah tenaga-tenaga ahli dan terdidik anak negeri dapat bersaing dengan
tenaga ahli dari masyarakat dunia lainnya. Hal itu sangat tergantung dari
seberapa besar dan siap kita menyongsongnya. Yakinlah bahwa produksi yang mengedepankan
kualitas dan mutu produk pasti dapat bersaing dengan produk-produk luar negeri,
apalagi terlahir dari tangan-tangan terampil anak negeri.
Untuk mengurai permasalahan dan menjawab
beberapa pertanyaan tersebut di atas, maka perlu melihat realitas proses
pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia dewasa ini, khususnya pendidikan.
Merujuk pada rencana strategis pengembangan LPTK secara nasional sesuai dengan
pengembangan system pendidikan tenaga kependidikan abad-21 (SPTK-21).
Pengembangan SPTK-21 dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagai
berikut:
1.
Tuntutan
profesi yang berdasarkan pada standar nasional dan internasional tenaga
kependidikan;
2. Pendidikan tenaga
kependidikan dilaksanakan oleh lembaga terakreditasi;
3. Pendidikan
pra-jabatan (pre-service) adalah
persyaratan untuk pengangkatan awal seseorang dalam profesi guru dan tenaga
kependidikan lain;
4. Pendidikan dalam
jabatan (in-service) dilaksanakan
oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang berwenang, dan merupakan suatu
kelanjutan dari pendidikan pra-jabatan;
5. Penempatan
mahasiswa pada program pendidikan lain dapat dilakukan pada awal tahun pertama
atau setelah yang bersangkutan menyelesaikan program studi kesarjanaan
non-kependidikan (bersinambungan);
6. Pengelolaan
pembelajaran mata kuliah antara program pendidikan dan non-kependidikan
dilakukan berdasarkan prinsip saling membina;
7. Suasana belajar di
LPTK kental dengan nilai edukatif, akademik, dan religious sehingga dapat membantu pembentukan kepribadian tenaga
kependidikan yang diharapkan;
8. Jaminan mutu
tamatan program pendidikan tenaga kependidikan, dilakukan melalui evaluasi
secara berkala, dan;
9.
Penataan
program disesuaikan dengan kondisi atau karakteristik masing-masing LPTK.[4]
Dari prinsip-prinsip dasar tersebut di
atas, ke depan diperlukan proses penyadaran dan manajemen yang akurat sehingga
dapat menghasilkan tingkat presisinya tinggi, profil guru sebagai orang
terdepan menjadi krusial untuk diperhatikan.[5]
Guru selama ini memang telah diperlakukan sebagai profesi tetapi perlakuan yang
diberikan kepada guru tidak mencerminkan bahwa pekerjaan sebagai guru adalah
profesi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penderitaan yang dialami guru
dalam melaksanakan tugasnya. Harus disadari bahwa profil guru adalah sebuah
tujuan sekaligus alat untuk mencapai tujuan pendidikan, baik tujuan pendidikan
secara nasional, institusional, kurikuler maupun proses pembelajarannya.
Kompetensi
profesionalisme[6]
guru dan mutu institusi pendidikan, dengan demikian menjadi suatu keharusan
mutlak serta sekaligus menjadi pasword
atau kata kunci untuk melahirkan putra-putri bangsa yang beradab, produktif, kreatif, inovatif dan
efektif. Cita dan harapan kelahiran manusia beradab tersebut di atas seharusnya
lahir dari suatu institusi pendidikan yang berstandar nasional (SNPI) dan bahkan
internasional, serta kerangka kurikulum nasional Indonesia (KKNI).
Di samping itu, demi terwujudnya pendidikan
bermutu, yang darinya terlahir putra-putri bangsa yang kreatif dan inovatif,
maka partisipasi masyarakat sangat diharapkan terus meningkat. Bentuk
partisipasi masyarakat yang dianggap baik adalah partisipasi yang
diklasifikasikan sebagai citizen power,
karena dalam partisipasi bentuk tersebut terdapat keterlibatan civil society sebagai pilar penting
dalam menggerakkan masyarakat demokratis.
(V)
Dari paparan atau uraian di atas dapat
diambil beberapa kesimpulan:
1.
Kualitas
dan mutu produk-produk dalam negeri menjadi core
untuk dapat bersaing dalam masyarakat ekonomi asean (MEA); sebab kalau tidak,
maka sudah barang tentu, produksi barang dan jasa akan menggunung jadi sampah
di pasar-pasar asean.
2. Mensinergikan
antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk mewujudkan generasi bangsa
yang beradab, kreatif, produktif, inovatif, dan efektif mutlak dilakukan karena
ketiganya merupakan tiga pilar pendidikan yang utama.
3. Meningkatkan
kualitas tenaga kependidikan atau profesionalisme dan mutu lembaga pendidikan
harus terus dilakukan dan tidak boleh jalan di tempat untuk dapat bersaing
dengan lembaga pendidikan bermutu luar negeri yang sudah ada.
4. Persaingan dengan
masyarakat ekonomi asean (MEA) dalam segala hal, termasuk kemungkinan masuknya
tenaga guru dan dosen ke institusi pendidikan suatu keniscayaan. Sehingga tidak
ada password lain, selain
profesionalisme dan mutu lembaga pendidikan sebagai modal utamanya dapat
bersaing dalam masyarakat ekonomi asean (MEA). Hal ini juga, menjadi tantangan
bagi pengelola pendidikan tinggi.
By M. Ahyar Fadly
*********
[1]
Judul orasi ilmiah disampaikan dalam rangka wisuda Sarja Strata Satu STKIP
Qamarul Huda, Bagu, Lombok Tengah, NTB,
hari Sabtu, Tanggal 14 Maret 2014.
[2]
Rector IAI Qamarul Huda Bagu, Lombok Tengah, NTB.
[3]
Paulo Freire, 2003, Pendidikan Masyarakat
Kota, Yogyakarta> LKIS; lih
Freire, Politik Pendidikan.
[4]
Muhyi Batubara, 2004, Sosiologi
Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press
[5]
M. Uzer Usman, 2007, Menjadi Guru
Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya
[6]
Professional berasal dari kata sifat yang berarti pencarian dan sebagai kata
benda berarti orang yang mempunyai keahlian, seperti dokter, hakim. Pekerjaan
yang bersifat professional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh
mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh
mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. (Nana Sudjana, 1988)
0 komentar:
Posting Komentar