Minggu, 03 Mei 2015

MENINGKATKAN PROFESIONALITAS GURU DAN MUTU PENDIDIKAN MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA)



 (I)

Siapkah kita menghadapi persaingan global di tahun 2015? Sudah seharusnya kita bersiap menghadapi ketatnya persaingan di tahun 2015 mendatang. Indonesia dan negara-negara di wilayah Asia Tenggara akan membentuk sebuah kawasan yang terintegrasi yang dikenal sebagai Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). MEA merupakan bentuk realisasi dari tujuan akhir integrasi ekonomi di kawasan Asia Tenggara.

Dalam beberapa hal, Indonesia dinilai belum siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015. Namun banyak juga peluang yang dapat kita lihat dari Ekonomi ASEAN 2015 ini. Banyak kalangan yang merasa ragu dengan kesiapan Indonesia dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Kekhawatiran itu sangat beralasan karena beberapa tahun belakangan ini, terhantamnya dan tidak sedikit yang pailit sektor-sektor usaha dalam negeri kita, jika kita mengingat bagaimana hubungan bilateral Indonesia dengan China. Kini China mampu menguasi pasar domestik kita yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas Indonesia.
Bagi Indonesia sendiri, MEA akan menjadi kesempatan yang baik karena hambatan perdagangan akan cenderung berkurang bahkan menjadi tidak ada. Hal tersebut akan berdampak pada peningkatan eskpor yang pada akhirnya akan meningkatkan GDP Indonesia. Di sisi lain, muncul tantangan baru bagi Indonesia berupa permasalahan homogenitas komoditas yang diperjualbelikan, contohnya untuk komoditas pertanian, karet, produk kayu, tekstil, dan barang elektronik (Santoso, 2008). Dalam hal ini competition risk akan muncul dengan banyaknya barang impor yang akan mengalir dalam jumlah banyak ke Indonesia yang akan mengancam industri lokal dalam bersaing dengan produk-produk luar negri yang jauh lebih berkualitas. Hal ini pada akhirnya akan meningkatkan defisit neraca perdagangan bagi Negara Indonesia sendiri.
Berdasarkan fakta peringkat daya saing Indonesia periode 2012-2013 berada diposisi 50 dari 144 negara, masih berada dibawah Singapura yang diposisi kedua, Malaysia diposisi ke dua puluh lima, Brunei diposisi dua puluh delapan, dan Thailand diposisi tiga  puluh delapan. Melihat kondisi seperti ini, ada beberapa hal yang menjadi faktor rendahnya daya saing Indonesia menurut kajian Kementerian Perindustrian RI yaitu kinerja logistik, tarif pajak, suku bunga bank, serta produktivitas tenaga kerja.
Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) sudah berada di depan mata. Siap atau tidak siap, MEA sudah pasti akan diberlakukan di negara-negara Asean, termasuk Indonesia. Karena itu, kita harus berbenah menanti waktu dimulainya persaingan tinggi dalam masyarakat ekonomi asean (MEA). Persaingan tidak hanya terjadi pada sector ekonomi semata, tetapi juga jasa pendidikan. Jakarta International School (JIS) dan Mahatma Gandhi School, bisa menjadi contoh, betapa sulitnya anak negeri menjadi guru di lembaga tersebut; paling hanya sebagai SATPAM dan cleaning service.

 (II)

Menurut para ahli ekonomi politik, terdapat empat hal yang akan menjadi fokus MEA pada tahun 2015 yang dapat dijadikan suatu momentum yang baik untuk Indonesia.
Pertama, negara-negara di kawasan Asia Tenggara ini akan dijadikan sebuah wilayah kesatuan pasar dan basis produksi. Dengan terciptanya kesatuan pasar dan basis produksi maka akan membuat arus barang, jasa, investasi, modal dalam jumlah yang besar, dan skilled labour menjadi tidak ada hambatan dari satu negara ke negara lainnya di kawasan Asia Tenggara.
Kedua, MEA akan dibentuk sebagai kawasan ekonomi dengan tingkat kompetisi yang tinggi, yang memerlukan suatu kebijakan yang meliputi competition policy, consumer protection, Intellectual Property Rights (IPR), taxation, dan E-Commerce. Dengan demikian, dapat tercipta iklim persaingan yang adil;  terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation, dan; meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online.
Ketiga, MEA akan dijadikan sebagai kawasan yang memiliki perkembangan ekonomi yang merata, dengan memprioritaskan pada Usaha Kecil Menengah (UKM). Kemampuan daya saing dan dinamisme UKM akan ditingkatkan dengan memfasilitasi akses mereka terhadap informasi terkini, kondisi pasar, pengembangan sumber daya manusia dalam hal peningkatan kemampuan, keuangan, serta teknologi. 
Keempat, MEA akan diintegrasikan secara penuh terhadap perekonomian global. Dengan membangun sebuah sistem untuk meningkatkan koordinasi terhadap negara-negara anggota. Selain itu, akan ditingkatkan partisipasi negara-negara di kawasan Asia Tenggara pada jaringan pasokan global melalui pengembangkan paket bantuan teknis kepada negara-negara Anggota ASEAN yang kurang berkembang; dan oleh Andre Gunder Frank (pencetus teori dependensi) disebut sebagai “a metropolis-satellite model”. Hal tersebut dilakukan untuk meningkatkan kemampuan industri dan produktivitas sehingga tidak hanya terjadi peningkatkan partisipasi mereka pada skala regional namun juga memunculkan inisiatif untuk terintegrasi secara global.

(III)

Dengan terciptanya iklim persaingan yang adil;  terdapat perlindungan berupa sistem jaringan dari agen-agen perlindungan konsumen; mencegah terjadinya pelanggaran hak cipta; menciptakan jaringan transportasi yang efisien, aman, dan terintegrasi; menghilangkan sistem Double Taxation, dan; meningkatkan perdagangan dengan media elektronik berbasis online. Ternyata bukan hal yang baru bukan? Sebagian dari kita sudah mulai terbiasa berbelanja secara online baik pakaian, peralatan dapur, olah raga, kendaraan, makanan cepat saji, dan bahkan sampai menemukan jodoh atau istri/suami pun berbasis online pula. Dua minggu terakhir ini, beredar penawaran menggiurkan di SOSMED “Beli rumah dapat pemiliknya, seorang janda kaya raya”. Tentu tidak ada yang salah, karena hal itu sudah jamannya dan tuntutan masyarakat dunia; kalau tidak, pasti akan terlindas dan ketinggalan zaman. Dalam bahasa anak-anak muda disebutnya sebagai tidak gaul dan tempoe doloe atau jadul. Dan oleh KI Ronggowarsito disebutnya sebagai zaman “gemblung atau edan”.
Kondisi sudah memaksa kita untuk memasuki dan berkompetisi bebas dengan masyarakat ekonomi asean (MEA); siap, tidak siap, kita harus siap dengan segala resiko yang mungkin timbul. Bisa jadi, segala produk local yang dihasilkan anak-anak negeri tertumpuk bak gunung di pasar-pasar negara anggota MEA karena tidak diminati; tenaga kerja Indonesia hanya akan mengisi pos-pos cleaning service, pembantu rumah tangga, buruh kasar, pemetik kelapa sawit, dan pekerjaan sejenis lainnya; dan sangat mungkin kita hanya menjadi penonton di negara sendiri. Ketidaksiapan serta kurangnya skill menjadi sebab musabab kemungkinan tersebut di atas dapat terjadi.
Dalam kondisi tersebut, dunia pendidikan memiliki tugas berat untuk melahirkan tenaga-tenaga terampil terdidik (skilled labour), memiliki karakter, dan daya juang serta kerja keras. Atau di kurikulum 2013 dunia pendidikan diamanahi untuk melahirkan generasi bangsa yang beradab, produktif, kreatif, inovatif dan efektif, sehingga kita bisa menjadi bangsa kolaboratif-kompetitif. Penguatan dalam sikap, keterampilan dan pengetahuan yang terintegrasi menjadi kata kuncinya. Inilah nawa cita presiden Joko Widodo dalam dunia pendidikan.
Kalau merujuk ke Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM), khususnya dunia pendidikan, maka permasalahan utamanya masih terlena pada persoalan material atau formalitas belaka. Juga, berkaitan dengan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Diakui atau tidak, peningkatan kualitas dan mutu pendidikan di negeri ini, selalu bergerak maju-mundur; maju-mundur; alias jalan di tempat. Faktanya, atas nama kebijakan; masyarakat pendidikan selalu saja ribut manakala kebijakan baru muncul; contoh yang terkini adalah tidak diteruskannya penerapan KURTILAS. Akibatnya, siapa yang diuntungkan dan siapa yang buntung? Namun yang pasti bahwa pelaku pendidikan selalu dalam kondisi yang tidak stabil alias ketidakpastian yang mungkin didesain dengan berbagai alasan.
Kalau perjalanan dan penanganan peningkatan mutu dan kualitas pendidikan masih seperti itu, maka kita sebenarnya sedang dan terus berproses untuk mengamputasi suatu kebijakan untuk bermutu dengan melahirkan kebijakan baru yang belum tentu bermutu. Di aras ini, mungkin perlu melakukan perubahan total wajah persekolahan sebagaimana yang pernah dilakukan Paulo freire di Brazil.[3] Tentu, apapun kebijakan yang telah pemerintah putuskan, seharusnya tidak sampai membuat praktisi pendidikan kesulitan untuk berproses menjadi lebih berkualitas dan bermutu.
Kesan turun temurun bahwa ganti pemerintahan ganti kebijakan masih menjadi momok yang menakutkan, khususnya bagi dunia pendidikan. Salah satunya, adalah semakin kuatnya control pemerintah terhadap permasalahan teknis akademik; yang seharusnya dapat tertangani oleh institusi-institusi pendidikan. Akibatnya membuat kisruh dan salah faham antara pengelola pendidikan dengan masyarakat pendidikan sendiri. Hal seperti ini pula yang menghambat perbaikan kualitas dan mutu pendidikan berjalan di tempat.
Reformasi total yang sedang bergulir sekarang ini, juga masih pada aras formal-struktural, belum menyentuh permasalahan inti. Misalnya, bagaimana menjadikan ajaran-ajaran agama sebagai penangkal dalam mengatasi berbagai masalah yang sedang melanda masyarakat. Krisis multidimensi sekarang ini bisa menjadi konten untuk dikembangkan sesuai dengan faktisitas yang terekam setelah bergulirnya reformasi. Karena, akibat yang ditimbulkan reformasi ternyata telah merasuk terhadap system hidup dan kehidupan berbangsa, bernegara serta bermasyarakat, bahkan berkeluarga.
Pada aras ini, peran pendidikan dalam meningkatkan kesadaran masyarakat merupakan core atau intinya. Beragama dan berilmu dalam konteks Islam merupakan keharusan atau kewajiban bagi ummat Islam, dan hal ini sudah menjadi komitmen awal pengembangan ajaran Islam. Tujuannya agar beragama tidak sekedar menjalankan ajaran Allah Swt semata, tetapi lebih dari itu adalah untuk memahami bagaimana mengabdi kepada Allah Swt sebagai khaliq penguasa alam semesta. Murtadha Muthahari menjelaskan dalam bukunya bahwa “ilmu mempercepat anda sampai ketujuan; agama menentukan arah yang dituju”. Ilmu menyesuaikan manusia dengan lingkungannya, dan agama menyesuaikan dengan jati dirinya. Ilmu tidak jarang mengeruhkan pikiran pemiliknya, sedang agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus.
 (IV)

        Kembali ke pertanyaan awal bahwa siapkah kita bersaing dalam masyarakat Ekonomi Asean 2015? Bagaimana agar bisa bersaing dengan tenaga terampil terdidik yang memiliki semangat juang tinggi dari negara-negara ASEAN yang tergabung dalam MEA? Hal inilah yang menjadi permasalahan kita bersama.
Sebagai bangsa yang besar, tentu kita harus siap bersaing dengan negara manapun di dunia, tidak hanya negara-negara ASEAN tetapi juga dengan masyarakat dunia lainnya. Optimisme dan doa perlu ditanamkan bagi anak negeri menyambut kedatangan MEA, apapun kondisi kita saat ini. Kalah-menang dalam persaingan, ditentukan setelah pertempuran berlangsung. Kisah Mahabharata memberikan inspirasi bahwa kualitas, ketulusan, kesabaran, dan mau mengalah (strategi), serta do’a menjadi kekuatan para pandawa. Sedangkan kesombongan, gila kekuasaan, ketamakan, culas, kelicikan, dan keserakahan merupakan karakter para kurawa. Ending dari kisah Mahabharata tersebut adalah kemenangan sebuah kualitas dan manusia yang berkarakter tulus mempertahankan kebenaran sejati.
Apakah produk-produk yang dihasilkan oleh anak negeri nanti bisa bertahan dan diminatai oleh masyarakat dunia, dan begitu juga; apakah tenaga-tenaga ahli dan terdidik anak negeri dapat bersaing dengan tenaga ahli dari masyarakat dunia lainnya. Hal itu sangat tergantung dari seberapa besar dan siap kita menyongsongnya. Yakinlah bahwa produksi yang mengedepankan kualitas dan mutu produk pasti dapat bersaing dengan produk-produk luar negeri, apalagi terlahir dari tangan-tangan terampil anak negeri.
        Untuk mengurai permasalahan dan menjawab beberapa pertanyaan tersebut di atas, maka perlu melihat realitas proses pembangunan Sumber Daya Manusia di Indonesia dewasa ini, khususnya pendidikan. Merujuk pada rencana strategis pengembangan LPTK secara nasional sesuai dengan pengembangan system pendidikan tenaga kependidikan abad-21 (SPTK-21). Pengembangan SPTK-21 dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip dasar sebagai berikut:
1.   Tuntutan profesi yang berdasarkan pada standar nasional dan internasional tenaga kependidikan;
2.   Pendidikan tenaga kependidikan dilaksanakan oleh lembaga terakreditasi;
3.   Pendidikan pra-jabatan (pre-service) adalah persyaratan untuk pengangkatan awal seseorang dalam profesi guru dan tenaga kependidikan lain;
4.   Pendidikan dalam jabatan (in-service) dilaksanakan oleh lembaga pendidikan tenaga kependidikan yang berwenang, dan merupakan suatu kelanjutan dari pendidikan pra-jabatan;
5.   Penempatan mahasiswa pada program pendidikan lain dapat dilakukan pada awal tahun pertama atau setelah yang bersangkutan menyelesaikan program studi kesarjanaan non-kependidikan (bersinambungan);
6.   Pengelolaan pembelajaran mata kuliah antara program pendidikan dan non-kependidikan dilakukan berdasarkan prinsip saling membina;
7.   Suasana belajar di LPTK kental dengan nilai edukatif, akademik, dan religious sehingga dapat membantu pembentukan kepribadian tenaga kependidikan yang diharapkan;
8.   Jaminan mutu tamatan program pendidikan tenaga kependidikan, dilakukan melalui evaluasi secara berkala, dan;
9.   Penataan program disesuaikan dengan kondisi atau karakteristik masing-masing LPTK.[4]

Dari prinsip-prinsip dasar tersebut di atas, ke depan diperlukan proses penyadaran dan manajemen yang akurat sehingga dapat menghasilkan tingkat presisinya tinggi, profil guru sebagai orang terdepan menjadi krusial untuk diperhatikan.[5] Guru selama ini memang telah diperlakukan sebagai profesi tetapi perlakuan yang diberikan kepada guru tidak mencerminkan bahwa pekerjaan sebagai guru adalah profesi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penderitaan yang dialami guru dalam melaksanakan tugasnya. Harus disadari bahwa profil guru adalah sebuah tujuan sekaligus alat untuk mencapai tujuan pendidikan, baik tujuan pendidikan secara nasional, institusional, kurikuler maupun proses pembelajarannya.
 Kompetensi profesionalisme[6] guru dan mutu institusi pendidikan, dengan demikian menjadi suatu keharusan mutlak serta sekaligus menjadi pasword atau kata kunci untuk melahirkan putra-putri bangsa yang  beradab, produktif, kreatif, inovatif dan efektif. Cita dan harapan kelahiran manusia beradab tersebut di atas seharusnya lahir dari suatu institusi pendidikan yang berstandar nasional (SNPI) dan bahkan internasional, serta kerangka kurikulum nasional Indonesia (KKNI).
Di samping itu, demi terwujudnya pendidikan bermutu, yang darinya terlahir putra-putri bangsa yang kreatif dan inovatif, maka partisipasi masyarakat sangat diharapkan terus meningkat. Bentuk partisipasi masyarakat yang dianggap baik adalah partisipasi yang diklasifikasikan sebagai citizen power, karena dalam partisipasi bentuk tersebut terdapat keterlibatan civil society sebagai pilar penting dalam menggerakkan masyarakat demokratis.
  
(V)
Dari paparan atau uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan:
1.   Kualitas dan mutu produk-produk dalam negeri menjadi core untuk dapat bersaing dalam masyarakat ekonomi asean (MEA); sebab kalau tidak, maka sudah barang tentu, produksi barang dan jasa akan menggunung jadi sampah di pasar-pasar asean.
2.   Mensinergikan antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat untuk mewujudkan generasi bangsa yang beradab, kreatif, produktif, inovatif, dan efektif mutlak dilakukan karena ketiganya merupakan tiga pilar pendidikan yang utama.
3.   Meningkatkan kualitas tenaga kependidikan atau profesionalisme dan mutu lembaga pendidikan harus terus dilakukan dan tidak boleh jalan di tempat untuk dapat bersaing dengan lembaga pendidikan bermutu luar negeri yang sudah ada.
4.   Persaingan dengan masyarakat ekonomi asean (MEA) dalam segala hal, termasuk kemungkinan masuknya tenaga guru dan dosen ke institusi pendidikan suatu keniscayaan. Sehingga tidak ada password lain, selain profesionalisme dan mutu lembaga pendidikan sebagai modal utamanya dapat bersaing dalam masyarakat ekonomi asean (MEA). Hal ini juga, menjadi tantangan bagi pengelola pendidikan tinggi.

 By M. Ahyar Fadly

*********


[1] Judul orasi ilmiah disampaikan dalam rangka wisuda Sarja Strata Satu STKIP Qamarul Huda, Bagu, Lombok Tengah, NTB,  hari Sabtu, Tanggal 14 Maret 2014.
[2] Rector IAI Qamarul Huda Bagu, Lombok Tengah, NTB.
[3] Paulo Freire, 2003, Pendidikan Masyarakat Kota, Yogyakarta> LKIS; lih  Freire, Politik Pendidikan.
[4] Muhyi Batubara, 2004, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press
[5] M. Uzer Usman, 2007, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosda Karya
[6] Professional berasal dari kata sifat yang berarti pencarian dan sebagai kata benda berarti orang yang mempunyai keahlian, seperti dokter, hakim. Pekerjaan yang bersifat professional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang khusus dipersiapkan untuk itu dan bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak dapat memperoleh pekerjaan lain. (Nana Sudjana, 1988)

0 komentar: