Sabtu, 19 Mei 2012

MODEL DAN METODE PENDEKATAN DALAM STUDY KEAGAMAAN


Pendahuluan
Di dalam sosiologi ada dua pendekatan definisi tentang agama. Pertama. Definisi agama dalam fungsi sosialnya, sebagaimana dikemukakan oleh Durkheim yang menganggap dan memperlakukan agama sebagai sebuah sistem keyakinan dan upacara (rituals) seraya mengacu kepada yang suci yang mengikat orang bersama ke dalam kelompok sosial. Kedua, mendefinisikan agama sebagai setiap rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia, kelahiran, kesakitan atau kematian yang membuat dunia memjadi mempunyai makna, sebagaimana Weber dan teolog Paul Tillich. Sementara Marx memposisikan agama ke dalam ideologi yang lebih luas, mencakup ide-ide seperti sisi kebaikan (righness) dari persaingan dalam sistem kapitalis. Juga Adam Smith yang dianggap sebagai  Bapak Kapitalisme mendasari karyanya “The Theory of Moral Sentiment” pada cita-cita moral.
Para ahli ilmu sosial memandang agama sebagai suatu gejala sosial dan juga gejala psikologikal[1], karena ketika pemahaman dan pengetahuan mendalam tentang agama dikembangkan, diajarkan, dan dilanggengkan, agama memberi tekanan penting pada ummatnya. Pada aras ini, agama memberi perhatian pada kondisi yang amat sulit dari semua orang disepanjang waktu, tanpa memandang usia dan jenis kelamin. Konsep tentang supra-natural misalnya, dapat mengikat orang pada nilai-nilai kesucian yang ditentukan dan juga merekatkan orang pada kelompok sosial untuk kemudian memberikan tawaran kebijakan dan teknik untuk membebaskan dirinya dari kungkungan kelompok-kelompok dan nilai kontemporer yang sesat.
Fazlurrahman (pemikir Islam berkebangsaan Pakistan) mengajukan tesis bahwa secara eksplisit dasar ajaran Alqur’an adalah moral yang menitikberatkan pada ajaran monoteisme dan keadilan sosial[2]. Tesis Rahman ini dapat dilihat pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan muatan peningkatan keimanan, ketakwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia. Dan Nurcholis Madjid (Cak Nur) mengamini tesis Rahman tentang keterkaitan antara keimanan dengan akhlak mulia sangat erat.
Di satu sisi, Wertheim sebagai seorang orientalis melihat agama sebagai ideologi sosial. Dia tidak memperdulikan perbedaan dan pertentangan yang ada di antara agama-agama, melainkan persamaan-persamaannyalah yang lebih ditekankan. Sementara Z. Frazer, sebagaimana dikutip Keonjaraningrat dalam bukunya Sejarah Teori Antropologi, menangkap pengertian agama sebagai sebuah sistem hubungan antara manusia dengan kekuatan gaib secara timbal balik[3]. Agama dalam konteks fenomenologis, agama diposisikan sebagai kekuatan sisi (corner power) dengan fungsi sebagai perwadahan abstensia kemampuan manusia memecahkan masalah yang dihadapi[4]. Oleh karena itu, pandangan ini cendrung menganggap agama sebagai faktor penyembunyi (hinder factor) atas kelemahan dan ketidakmampuan manusia menangkap isyarat-isyarat kehidupan.
Kelangsungan penghayatan agama semacam ini mempengaruhi bentuk kultus dan ritual peribadatan dalam agama. Bentuk mana terwujud pada kepasrahan diri dan penyerahan diri secara mutlak kepada nasib yang dihayati sebagai kehendak Tuhan. Produk situasi penghayatan agama semacam ini disebut para Teolog dapat melahirkan predistination. Yakni sikap kepasrahan mutlak terhadap daya-daya kekuatan supranatural yang mendetemenir dan menekan eksistensi manusia[5]. Dan pada aras ini, tercipta suatu masyarakat yang apatis, fatalis yang tidak kreatif  atau masyarakat yang terlena (sleepy society), akibat lebih jauhnya membawa manusia pada situasi status quo yang berkepanjangan. Situasi masyarakat semacam inilah yang sering dialami oleh masyarakat di negara-negara berkembang, karena memang masyarakat telah dipengaruhi oleh kekeliruan esensi konsep kehadiran agama.
Kehadiran agama Islam yang di bawa nabi Muhammad SAW, juga diyakini membawa petunjuk-petunjuk agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber ajarannya, Al-Qur’an dan Hadits, tanpak sangat ideal dan agung. Islam mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, mengutamakan persaudaraan, berakhlak mulia.
Secara fenomenologis, penyebab kemunduran bangsa-bangsa non-Barat disebabkan kekeliruan dalam memahami esensi konsep kehadiran agama oleh penganut-penganutnya. Di mana agama lebih banyak dipahami secara definitif  oleh masyarakat negara-negara non-Barat. Berangkat dari kekeliruan pemahaman terhadap konsep keagamaan baik secara fenomenologis maupun definitif  berpengaruh terhadap performan agama dan semakin lama agama semakin buram dan mungkin tidak menarik. Beda dengan Protestan, demikian kesimpulan Weber bahwa praktek-praktek ekonomi kapitalis merupakan hasil perkembangan dari gagasan-gagasan yang termuat pada doktrin agama Protestan. Kesimpulan itu sekaligus menjadi kritik Weber terhadap agama non Barat yang masih bergelut pada persoalan agama definitif.
Oleh sebab itu, daya guna agama harus dilihat pada bingkai bagaimana ummatnya memformulasi ajaran agamanya, apakah pada formulasi definitif sebagaimana Weber, ataukah sudah melangkah kepada translasi ajaran, untuk kemudian melakukan re-interpretasi dan adaftasi. Fokus tulisan ini pada  bagaimana melakukan pendekatan dan metode apa saja yang dapat diterapkan terhadap agama agar bisa memberikan jalan keluar terhadap permasalahan keummatan.  
Pendekatan dalam Study Agama  
Study keagamaan dengan menggunakan berbagai macam pendekatan menjadi penting karena banyak diantara pemeluk agama yang memiliki kecendrungan untuk mensakralkan pemikiran keagamaannya (taqdis al-afkar al-diny),[6] dan menganggap pendapat kelompoknya yang paling benar, kelompok yang lainnya salah. Islam sebagai agama, tidak cukup hanya dipahami melalui pintu wahyunya belaka, tetapi juga melalui pintu pemeluknya, yaitu masyarakat muslim yang menghayati, meyakini dan memperoleh pengaruh dari Islam tersebut. Hal itu menjadi penting karena Islam itu dipahami oleh pemeluknya secara berbeda, sebab setiap manusia memiliki pemahaman yang beragam, sehingga tidak dapat dipaksakan ummat Islam untuk memiliki satu bentuk pemahaman yang sama.
Beberapa metode dan pendekatan diperlukan dalam memahami agama, karena secara operasional-konseptual dapat memberikan pandangan bahwa Islam, khususnya tidak hanya berwajah tunggal (single face), melainkan berwajah plural (multifaces). Artinya bahwa memahami Islam tidak berarti mencari kebenaran teologis atau filosofis semata, tetapi juga mencari bagaimana Islam itu ada dalam kebudayaan dan sistem sosial dengan berdasarkan pada fakta atau realitas sosial-kultural.
Selama ini ada dua model kajian yang dilakukan, pertama oleh kalangan muslim sendiri, kedua oleh kalangan orientalis (Barat). kelompok pertama menggunakan pendekatan yang disebut fideistic subjectivism (al-‘aql al-dini al-lahuti) atau pemikiran teologis-normatif, dan kelompok kedua menggunakan pendekatan yang disebut scientific objectivism atau al-‘aql al-falsafi (pemikiran filsafat).
Pendekatan pertama berupaya memahami agama secara literal, dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya[7]. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif adalah ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis ini. Pendekatan ini seringkali membawa dampak ketersekatan ummat. Di dalam sejarah pemikiran Islam klasik, pendekatan ini memunculkan beberapa bentuk aliran pemikiran, di antaranya adalah Mu’tazilah, Asy’ariyah dan Maturidiyah[8], yang masing-masing dari pemikiran itu menyguhkan bentuk Islam yang berbeda dan terkadang saling menyalahkan satu sama lainnya[9].
Dari beberapa aliran pemikiran di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing bentuk tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar (truth claim) dan yang lainnya adalah salah. Pemikiran teologis ini seringkali cenderung mengkafirkan kelompok lain, yang tidak sepaham dengan kelompoknya. Antara satu kelompok dengan kelompok lainnya tidak pernah terjadi dialog atau saling menghargai (intolerance), masing-masing aliran cenderung eksklusif dan fanatis.
Sementara pendekatan kedua membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut[10]. Melalui pendekatan sejarah, seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari aras ini, seseorang akan melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam dunia idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan sangat dibutuhkan dalam memahami agama, karena Islam khususnya itu turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Maka di dalam alqur’an ditemukan berbagai macam kisah-kisah sejarah, yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam memahami ajaran Islam dan juga dapat ditemukan istilah asbab al-nuzul dalam memahami ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum fiqh dan lain sebagainya.
Agama sebagai bidang kajian dan penelitian ilmiah, menurut Amin Abdullah (ahli Filsafat Islam dari UIN Yogyakarta) dalam kata Pengantar buku Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama karya Richard C. Martin, mengungkapkan bahwa bekerja dengan data yang mengandung makna-makna keagamaan dalam masyarakat atau komunitas, kelompok, individu Muslim dan memahami apa yang dimaksud dengan “beragama” dan “agama” dalam masyarakat. Tentu, pada aras ini, untuk dapat memahami bahwa semua agama yang memiliki kesadaran historis-empiris yang khusus dapat memiliki elemen makna keagamaan yang sama maka di butuhkan bantuan metodologis agar dipahami secara transendental-universal. Data-data keagamaan yang bersifat normatif-Teologis ini pada saat yang sama mempunyai muatan historis, sosial, budaya dan politik.
Jadi, dalam bentuknya yang historis-empiris, agama selalu menjadi bagian dari setting sejarah dan sosial dari komunitasnya, namun pada saat yang sama secara fenomenologis ia mempunyai pola umum yang dapat dipahami secara intuitif  dan intelektual sekaligus oleh ummat manusia dimanapun mereka berada.
Pergumulan antara keduanya seakan tanpa ujung, yakni antara aspek historis-empiris-partikular dari agama-agama dan aspek makna keberagamaan ummat manusia yang mendasar dan universal-transendental, pada gilirannya ingin dijembatani bahkan mungkin dikawinkan oleh pendekatan fenomenologi agama (phenomenology of religion). Tentu, upaya demikian diharapkan dapat menjembatani kesenjangan metodologis yang masih terasa hingga saat sekarang ini dapat sedikit teratasi.
Dewasa ini, semakin tumbuh kesadaran akan pentingnya berbagai pendekatan ilmiah dalam bidang religion studies dan perhatian akan problem-problem yang dihasilkan dari berbagai pendekatan ini. Misalnya saja, dapat dibedakan antara pendekatan filologi, historis, antropologis dan sosiologis terhadap data-data keagamaan. Dalam setiap pendekatan dapat dijumpai kemungkinan metode tertentu yang lebih kritis dan aplikatif dari pada metode lainnya. Pendekatan dan metode yang digunakan sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui dan jenis data yang akan diakses. Oleh karena itu, dalam mengkaji agama terdapat pendekatan multiplisitas dan metode yang saling melengkapi dan mengisi secara kritis komunikatif, apalagi berkaitan dengan pemahaman peran agama.
Setidaknya ada tiga teori yang menjelaskan tentang peran agama[11] yakni agama sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial (fungsi ideologis); agama sebagai faktor identitas; dan agama sebagai legitimasi etis hubungan sosial. Peran agama sebagai ideologi, menjadikan agama sebagai perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sejauhmana suatu tatanan sosial dianggap sebagai refresentasi religius yang dikehendaki Tuhan. Masalah tatanan sosial ini menjadi peka sehingga perbedaan pendapat yang menjurus ke konflik akan semakin mudah dipicu terutama yang berkaitan dengan masalah kekuasaan dan ketidakadilan. Apalagi ada kelompok yang mempunyai pemahaman eksklusif dalam pemaknaan hubungan-hubungan sosial tersebut. Pemaknaan seringkali menyembunyikan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. Penyembunyian kepentingan ini, menurut Kuntowijoyo[12], terkait dengan peran ideologis agama, dalam pengertian sebagai faktor integrasi sosial[13] dan pembenaran dominasi.
Dalam kaitannya dengan identitas[14], peranan agama dapat didefinisikan sebagai kepemilikan pada kelompok sosial tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas sosial, status, pandangan hidup, cara berfikir dan etos tertentu. Pada aras ini, kepemilikan menjadi lebih kental lagi bila dikombinasikan dengan dengan identitas etnis, seperti Aceh Muslim, Flores Katolik, Bali Hindu, dan Jawa Kejawen. Pertentangan pribadi atau etnis sangat mudah terjadi dan berubah menjadi konflik antar agama, seperti konflik etnis Madura dengan Dayak di Pontianak Kalimantan dan konflik Muslim dengan Kristen di Maluku Utara. Identitas agama agama sepertinya tidak bisa dilepaskan dari dari masalah harga diri, martabat dan kebanggaan.
Agama juga dapat berperan sebagai legitimasi etis hubungan sosial atau dengan kata lain bahwa agama dapat memberi dukungan sosial terhadap tatanan sosial masyarakat. Identifikasi sistem sosial, politik atau ekonomi tertentu dengan nilai-nilai agama tertentu boleh jadi mendapat penolakan dari agama lain. Misalnya, klaim nilai-nilai HAM berasal dari Barat dan sering diidentikkan dengan kristianisme, bisa memancing reaksi penolakan dari bangsa-bangsa Timur dan dari Islam. Penolakan semacam ini menjadi rentan terhadap kekerasan karena semakin menjauhkan kesepakatan bersama dalam penentuan kriteria obyektif  tindakan.
Fanatisme dapat lahir dari pemahaman dan penghayatan agama sebagaimana terurai di atas. Fanatisme menurut Hannah Arendt (seorang Filosof  Politik) lahir dari “individu massa”[15] yang tak berkepribadian; orang yang tidak membedakan kenyataan dari makna apa yang terjadi; orang yang terlepas dari realitas. Kelemahan mendasar dari orang yang fanatik ialah tidak mampu mengambil jarak terhadap keyakinannya, tidak kritis lagi terhadap keyakinan dan tindakannya.
Untuk menetralisir pemahaman agama dalam bentuk dua wajah yang bertolak belakang itu, maka diperlukan suatu pandangan baru terhadap struktur agama yakni bidimensionalitas pandangan. Agama difahami sebagai sebuah struktur yang yang berdimensi dua yakni absolutisme ajaran-ajaran agama dan bentuk ajaran agama yang interpretable[16]. Absolutisme ajaran-ajaran agama ini tidak memerlukan intervensi rasio ke dalamnya. Seperti percaya adanya Tuhan, adanya hari kiamat (eskatologis), surga dan neraka[17]. Kepercayaan terhadap nilai-nilai itu yang disebut sebagai “iman”. Ivan Tilich seorang teolog Kristen menyatakan tentang iman sebagai sebuah keberanian menangkap dan menghayati sesuatu yang tidak bisa dicerna oleh rasio.
Nurcholis Madjid menyatakan bahwa iman melahirkan tata nilai berdasarkan Rabbaniyah yakni tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan dan menuju kepada Tuhan (inna lillahi wa inna ilayhi raji’un). Maka Tuhan demikian uraian Cak Nur adalah “sangkan Paran” (asal dan tujuan) hidup dan bahkan seluruh mahluk. Rabbaniyah adalah inti semua agama yang benar. Setiap pengelompokan ummat manusia telah pernah mendapatkan ajaran tentang Keesaan Tuhan melalui para rasul Tuhan, karenanya terdapat titik pertemuan (kalimah sawa) antara semua agama manusia, dan orang-orang muslim diperintahkan dan mengembangkan titik pertemuan itu sebagai dasar hidup bersama.
Jadi ber-Islam bagi manusia adalah sesuatu yang alami dan wajar. Ber-Islam menghasilkan bentuk hubungan yang serasi antara manusia dan lingkungan sekitar, karena lingkungan alam ini semuanya sudah berserah diri serta tunduk patuh kepada Tuhan secara alami pula. Sebaliknya, menurut Cak Nur, tidak berserah diri kepada Tuhan bagi manusia adalah tindakan yang tidak alami[18]. Ber-Islam sebagai jalan mendekatkan diri kepada Tuhan itu dengan berbuat baik kepada sesama manusia, disertai sikap menunggalkan tujuan hidup kepada-Nya.
Dimensi ajaran-ajaran agama yang absolut inilah tempat bersemayamnya kualitas sebuah agama. Ukuran kualitasnya adalah kemampuannya bertahan secara utuh, tidak larut oleh perkembangan zaman dan persentuhan dengan struktur perubahan. Absolut dan konstan berfungsi sebagai identitas spesifik dari kehadiran sebuah agama.
Sedangkan dimensi kedua dari agama adalah bentuk ajaran agama yang interpretable. Di mana masih bisa ditolerir proses intervensi rasional ke dalamnya. Klasifikasi ajaran agama pada dimensi kedua ini mungkin nilai-nilai agama yang syarat dengan problema-problema sosial. Ukuran kualitas dimensi kedua ini adalah kemampuannya untuk mengembangkan diri sesuai dengan perubahan jaman selama tidak bertentangan dengan asas-asas dasar dari dimensi pertama. Dalam konteks ajaran Islam[19], terdapat banyak aliran pemikiran dalam bidang teologi, tafsir, Fiqh (atau hukum Islam), tasawuf dengan berangkat dari dimensi kedua ajaran agama tersebut.
Dalam bidang teologi misalnya tidak kurang 76 aliran, diantaranya aliran Jabariah, Qadariah, As-Ariyah, Mu’tazilah, syi’ah, dan sebagainya; kemudian dalam bidang hukum Islam terdapat Imam Mazhab yang empat yakni mazhab Imam Malik, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal, geitu juga dalam bidang Tafsir dan Hadits[20]. Aliran tersebut berkembang berdasarkan dimensi kedua dari ajaran-ajaran Islam. Tentu dalam melakukan ijtihad para Imam Mazhab, para Teolog tidak terlepas dari rujukan utama Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Ulama, Qiyas, dan Urf atau adat istiadat. Kareana itu, dimensi interpretable ini harus lekat dengan struktur realitas yang sarat dengan perubahan dan perkembangan.
Aliran-aliran pemikiran dalam Islam berkembang sesuai dengan konteks jamannya. Perkembangan itu dapat diperkenankan karena berangkat dari struktur nilai yang memiliki fleksibilitas interpretatif  dan dimediasi secara formal oleh konsep Islam yang biasa disebut sebagai ijtihad. Orang yang melakukan ijtihad disebut sebagai Mujtahid dan dalam Islam para Mujtahid mendapat pengakuan yang tinggi oleh ummat dan dimuliakan Allah SWT. Bila seorang Mujtahid benar dalam melakukan ijtihad, akan diberikan dua pahala oleh Allah, dan bila salah, maka tetap diberikan pahala walaupun hanya satu. Ini sebagai jaminan bahwa para Mujtahid adalah orang yang mulia dalam pandangan Ummat.
Dari perspektif  fungsional, interpretasi itu diperkenankan selama bermanfaat atau fungsional bagi masyarakat. Fungsi salah satu dari agama adalah sebagai pendamping perjalanan manusia dalam memberikan jawaban-jawaban terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi oleh manusia dalam setiap perubahan dan perkembangan jaman. Jadi aspek dinamisme agama terletak dalam dimensi ini, karena merupakan sebuah struktur yang terbuka dan siap memamah suntikan-suntikan intelektual ke dalam tubuhnya. Dari sinilah, bermunculan falsafah sosial ataupun bentuk-bentuk ideologi produk interaksi intelektualisme dengan agama di tempatkan pada dimensi kedua.
Mengakurkan ajaran-ajaran agama yang absolut dengan interpretable sudah merupakan kebutuhan yang tidak perlu dipertentangkan lagi. Ajaran-ajaran agama yang termasuk dalam katagori absolut tidak perlu dirasionalisasi, tetapi dipahami dan dijalankan. Sedangkan ajaran-ajaran agama yang bersifat interpretable, umum, atau mustarak perlu diberikan penjelasan dan penafsiran supaya fungsional bagi kehidupan dan perkembangan ummat. Ummat Islam harus dinamis, maju, dan berkembang, karena itu, perlu pendekatan yang multiplisitas. Diam atau jumud berarti malapetaka bahkan bertentangan dengan hukum alam.
Orang Barat (outsider) dalam melakukan kajian agama dengan pendekatan sejarah, mereka tidak bernagkat dari sebuah keyakinan sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan pemeluk agama, akan tetapi berangkat dari sebuah asumsi interpretasi yang dikaitkan dengan dan perspektif metodologi tertentu yang diciptakannya sendiri, sehingga hasil interpretasinya sering tidak sesuai dengan keyakinan kalangan muslim sebelumnya. Sementara itu kalangan muslim sendiri (insider), dalam merespon hasil-hasil kajian itu seringkali bertindak a priori dan cendrung untuk menolaknya, tanpa mau mengkaji terlebih dahulu secara alamiah, bahkan ketika ada pemikiran dari Timur yang menyadur dari pemikiran mereka dengan segera menuduhnya sebagai bagian dari orientalis dan cendrung untuk mengkafirkannya.
Di sinilah problematisnya dalam kajian keislaman khususnya, di mana ketika ummat Islam mengkaji hasil pemikiran mereka, lebih banyak berpedoman pada keyakinan  daripada tataran metode penelitian ilmiah, lebih banyak bersandar pada intuisi daripada rasio. Sikap semacam inilah yang melahirkan aksi-aksi teror dan masalah takfir terhadap seseorang.
Menurut Muhammad Sa’id al-Asymawi (seorang pemikir Mesir) bahwa pendekatan Teologis yang digunakan oleh pemeluk agama bersangkutan (insider) telah memunculkan aliran-aliran kalam yang dogmatis. Oleh karena itu, memahami Islam dengan menggunakan pendekatan Teologis semata, tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama Islam saat ini. Terlebih lagi kenyataan mengungkapkan bahwa kemunculan pemikiran teologis tidak pernah lepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial masyarakat yang ada di sekitarnya. Kepentingan ekonomi, sosial dan politik selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Pendekatan teologis ini selalu menggunakan cara berfikir deduktif  dalam memahami agama, yaitu cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar. dimulai dari suatu keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Sikap militansi dalam beragama dan berpegang teguh pada ajaran agama dengan demikian muncul dari pendekatan teologis terhadap agama. Pendekatan teologis ini berkait erat dengan pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan, yang di dalamnya tidak terdapat penalaran pemikiran manusia yang oleh M. Qurais Shihab disebut sebagai Absolutisme Ajaran Agama.
Charles J. Adams memberikan tiga sumbangan pendekatan dalam studi agama, yaitu missionary approach, apologetic approach dan irenic approach[21]. Pendekatan missionary approach bermula dari terjadinya booming missionaris sebagai serpihan dari umat, sekte dan gereja kristen, bersamaan dengan pertumbuhan pengaruh politik, ekonomi dan militer di Asia dan Afrika pada abad ke 19. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pendekatan ini adalah misi keimanan (faith mission).
Apologetic approach memiliki karakteristik apologis. Kecendrungan untuk membanggakan kemampuan Islam untuk menjawab semua tantangan di tengah perkembangan masa moderen. Maka muncul sikap menjadikan masa lalu sebagai batu pijakan keluar dari persoalan internal komunitas muslim serta hasrat untuk terlepas dari tekanan peradaban Barat. dari sinilah mengapa apologetik itu seolah menjadi dewa penyelamat yang mampu mengangkat kehidupan muslim dari keterpurukan menuju pencerahan.
Tema-tema yang sering dikumandangkan oleh para apologetik adalah soal rasionalitas Islam, dukungan Islam terhadap sains, semangat progresifitas Islam, serta pandangan etika liberalnya. Namun karakteristik pendekatan ini realitasnya sangat ironis, karena cara mereka menampilkan keemasan Islam, meskipun dengan mengacu pada fakta sejarah, tetap cendrung mengorbankan nilai-nilai ilmiah.
Sedangkan irenic approach merupakan upaya orang-orang Barat untuk membangun simpati (mutual sympathy) antara tradisi-tradisi agama dan bangsa. Pendekatan ini muncul seiring dengan semakin dewasanya gerakan keagamaan maupun keilmuan di Barat sejak tahun-tahun awal pernag dunia kedua. Gerakan ini bertujuan untuk lebih mengapresiasikan keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap baru terhadap Islam.
Dengan demikian, harus diakui bahwa tinjauan yang paling produktif dalam studi Islam telah diberikan oleh para sarjana filologi dan sejarah. Jadi ada dua bentuk pendekatan yang saling berlawanan, yaitu pendekatan yang digunakan oleh pemeluk agama yang bersangkutan (believer), dan oleh orang lain (historian).  Yang pertama mempertahankan pemahaman normatif tentang agama-agama lain, cendrung subjektif, fideistic; dengan menilai orang lain benar atau salah, karena melihatnya dari sisi teologis. Sementara yang kedua berusaha melakukannya dengan dengan objektif, scientific, karena melihat agama dari sisi sejarah.
Keterkaitan antara kedua pendekatan di atas seringkali diwarnai dengan ketegangan, baik bersifat kreatif maupun destruktif. Pendekatan yang pertama berangkat dari teks yang sudah tertulis dalam kitab suci, bercorak literalis, tekstualis atau skriptualis. Pendekatan ini memunculkan beberapa bentuk pendidikan keagamaan, seperti pesantren-pesantren. Pendekatan yang kedua lebih bersifat historis dan menekankan perlunya telaah yang mendalam tentang asbab al-nuzul, baik yang bersifat kultural, psikologis maupun sosiologis.
Pendekatan pertama memunculkan bentuk religious studies dan yang kedua memunculkan history of religion atau comparative study of religion. Meskipun kelompok kedua ini menginginkan penemuan objektif dari penelitiannya, akan tetapi sikap mereka tersebut masih dipertanyakan, apakah dalam studi tentang agama-agama tersebut bisa dicapai sebuah scientific objectifism. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan bahwa pendekatan yang berbeda akan menghasilkan hasil pemahaman yang berbeda pula.
Metode Kajian Dalam Study Agama  
Studi Islam sebagai sebuah disiplin, sudah dimulai sejak lama. Studi ini mempunyai akar yang kokoh di kalangan sarjana muslim dalam tradisi keilmuan tradisional. Dalam dua dekade terakhir ini, semakin tumbuh kesadaran bahwa akan pentingnya berbagai pendekatan ilmiah dalam bidang Islamic studies dan perhatian akan problem-problem yang dihasilkan dari berbagai pendekatan ini. Dalam setiap pendekatan dijumpai kemungkinan-kemungkinan metode tertentu yang lebih kritis dan aplikatif daripada metode lainnya. Pendekatan dan metode yang digunakan sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui dan jenis data yang akan diakses.
Oleh karena itu dalam mengkaji agama, khususnya Islam ditemukan multidisiplin pendekatan dan metode yang saling melengkapi dan mengisi secara kritis-komunikatif. Sebagai contoh, dalam studi tentang data keagamaan, seperti alqur’an, teks-teks klasik dan interpretasi tentang makna-makna keagamaan, meskipun pendekatan dan metode yang digunakan sama, kesimpulan ilmiahnya bisa berbeda, karena ada sensibilitas yang berbeda antara satu peneliti dengan peneliti lainnya.
Kalau dilacak, sejarah pertumbuhan studi Islam, dapat dilihat pada abad ke 19, dimana kajian Islam pada masa ini lebih menekankan pada tradisi filologi. Para pengkaji di bidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci klasik, yang melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami gagasan-gagasan dan konsep-konsep utama yang membentuk ummat Islam, tanpa memahami konteks.
Kajian Islam melalui pendekatan filologi (philological approach) ini memiliki keterbatasan, diantaranya adalah penekanannya yang eksklusif terhadap teks. Dunia Islam dipahami melalui cara tidak langsung, tidak dengan melakukan penelitian tentang kehidupan masyarakat muslim yang ada di masyarakatnya, tetapi melalui prisma teks yang umumnya berasal dari tradisi intelektual klasik Islam. Kajian ini berfokus pada tulisan-tulisan muslim, bukan pada muslimnya sendiri[22]. inilah yang menyebabkan para filolog banyak melakukan kesalahan dalam memahami makna data keagamaan. Meskipun demikian, pendekatan ini sangat memabantu dalam membuka kekayaan daftar materi keislaman dari dokumen-dokumen lama, karena melakukan studi terhadap Islam tanpa menguasai bahasa Arab adalah sebuah kemustahilan.
Pada masa berikutnya, para pengkaji mulai menyadari kelemahan kajian filologi ini, sehingga muncullah kajian sains. Para penganjur pendekatan kedua ini berpendapat bahwa kajian tentang masyarakat harus diupayakan melalui metode-metode sains seperti dipahami oleh ilmuan sosial. Pendekatan ini didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa semua masyarakat akan mengalami proses perkembangan historis.
Namun, pendekatan ini juga memiliki kelemahan, diantaranya adalah perhatian yang lebih pada fungsi daripada bentuk-bentuk atau muatan kultural dari institusi sosial. Jadi kelompok ini mencoba mencari jalan pintas. Makna dan muatan kultural dari institusi sosial tidak relevan dan dikesampingkan. Bagi kelompok ini, masyarakat bukanlah sistem makna, tetapi mesin sosial. Kelemahan ke dua dari pendekatan ini adalah terlalu mengesampingkan keunikan masyarakat, menyamakan semua masyarakat di dunia, yang berjalan di atas rute sama, menuju modernitas.
Dari kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh dua pendekatan tersebut, tanpak jelas akan perlunya suatu pendekatan lain yang dapat menghindari keterbatasan dari masing-masing pendekatan tersebut, bahkan mengkombinasikan dan mengembangkan lebih jauh kekuatan keduanya. Maka muncullah kemudian pendekatan lain, yang dimunculkan oleh pengkaji Islam, diantaranya adalah pendekatan fenomenologi dan sejarah.
Kepentingan dasar yang menjadi soal fenomenologi adalah terkait dengan pertanyaan apa yang telah dialami, dirasakan, dikatakan dan dilaksanakan oleh orang beragama itu sendiri, terutama pengalaman-pengalaman yang bermaknsa bagi pemeluknya. Dengan demikian, tujuan dari studi fenomenologi adalah untuk menjelaskan makna-makna sehingga memperjelas apakah ritus, seremoni, doktrin atau rekasi sosial itu mengandung arti bagi pelakunya dalam peristiwa keagamaan. Selain itu, fenomenologi menghendaki agar untuk memberikan makna terhadap fenomena keagamaan secara memadai, maka seorang peneliti dituntut berfikir secara komprehensif.
Kajian fenomenologi berupaya untuk memahami makna keagamaan yang ada dalam pemeluknya dengan menganalisa. Pendekatan fenomenologis berupaya untuk memanifestasikan agama melalui metode deskripsi murni, dimana penilaian peneliti tentang nilai dan kebenaran ditangguhkan (epoche), obyek ditangkap esensinya (eidetic vision), agama tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia (essential aspect of human life), keragaman ekspresi perilaku keagamaan manusia dipilih dan di saring.
Komponen metodologis terpenting dalam kajian fenomenologi adalah das verstehen karya W. Dilthey, suatu istilah teknik yang berarti pemahaman tentang gagasan, intensi dan perasaan orang/masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam kebudayaan. Metode verstehen mengandaikan bahwa manusia di seluruh masyarakat dan lingkungan sejarah mengalami kehidupan yang bermakna (meaningfull) dan mengungkapkan makna itu dalam pola-pola yang dapat dilihat (discernible patterns), sehingga dapat dianalisis (can be analyzed) dan dipahami (understood).  Maka berfikir fenomenologis harus memiliki dua kaki; “the comprehension og ideas, intentions, feeling of people dan the empirical manifestation of culture”.
Peran Ilmu Sosial dalam Memahami Agama
Arkoun menyatakan perlunya perbaikan terhadap hasil dari beberapa kajian keislaman yang dilakukan oleh beberapa pihak. Pertama, oleh kalangan muslim (al-Islamiyyun), yang tidak setuju dengan pendekatan sosiologis, baik dari sisi metodologis, terminologis serta problematikanya, untuk digunakan dalam sebuah kajian keislaman. Kedua, oleh para orientalis, yang dalam kajiannya, analisis yang digunakannya tidak terlalu mendalam, dimana mereka hanya berangkat dari beberapa contoh dan kondisi sejarah yang berbeda dan mengkajinya dari sudut pandang ilmu-ilmu sosial semata, yang itu merupakan produk dari Barat. mereka terkadang berangkat dari pendekatan linguistik (filologis) sehingga miskin akan discourse of analysis.
Dengan melihat kasus di Perancis, Arkun membicarakan tentang perbedaan tradisi yang terjadi di tengah-tengah keilmuan masyarakat Barat dan Eropa secara umum, yaitu perbedaan antara peneliti dari kelompok humanities di Barat, yang tidak menekuni kajian keislaman dan warisan intelektualnya dengan kelompok yang memang menekuni kajian-kajian keislaman (para orientalis). Arkun menyayangkan, karena para orientalis itu tidak membuka wacana diskusi di bidang efistemologi dengan para pengkaji ilmu-ilmu humanities. Arkun mengkritik para orientalis dengan mengatakan bahwa mereka telah ketinggalan metodologis dan berwawasan sempit di bidang epistemologi. Maka Arkun mengajak untuk mengadakan rovolusi di bidang kajian-kajian keislaman dan Arab.
Para pengkaji Islam harus keluar dari dari sikap spesialisasi keilmuan yang sempit, tegas Arkun, karena sikap seperti itu dapat menyebabkan terpisahnya seorang ilmuan dari ilmuan lainnya, sehingga tidak mampu menghadirkan sebuah pemahaman yang benar dan menyeluruh dari peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Dengan demikian, ilmuan sosial harus saling mendukung satu sama lainnya untuk dapat menghadirkan sebuah pandangan yang universal tentang suatu masyarakat. Pada aras ini, berbagai macam metodologi dan variasi ilmu akan membantu dalam memahami sebuah gerakan yang muncul di masyarakat dan faktor yang memunculkannya.
Dalam pandangan Arkun, akan sulit memahami apa yang terjadi di dalam masyarakat Islam jika tidak memahami faktor-faktor penting yang menyebabkan peristiwa itu terjadi, baik faktor historis, teologis, sosial, psikologis, demografis, geografis dan lainnya. Untuk dapat memahami semua itu dibutuhkan kahadiran ilmu-ilmu sosial. Selama ini memang terdapat kendala ideologis, teologis dan politis yang membatasi antara peneliti dan kajian yang ditelitinya. Oleh karena itu, Arkun menawarkan pendekatan baru dalam mengkaji Agama khususnya Islam dengan menggunakan pendekatan multi-interdisipliner; filsafat, sosiologi, antropologi, sejarah, filologi, dan kritik literal. Pendekatan baru ini disebut Arkun dengan istilah al-‘aql al-jaadid al-istithla’i.
Di pihak lain, Abu Rabi menawarkan perlunya bantuan ilmu-ilmu sosial bagi para pengkaji ilmu-ilmu keislaman guna mempertajam analisisnya tentang fenomena yang terjadi di dunia Islam. Hal inilah yang sering diabaikan oleh para pelajat muslim, terutama yang belajar tentang hukum Islam. Sosiologi adalah ilmu yang menggambarkan tentang keadaan masyarakat secara lengkap, dari sisi struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu ini, suatu fenomena sosial dapat dianalisa melalui beberapa faktor yang mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang mendasari terjadinya proses tersebut.
Sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam, karena banyak sekali ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah sosial. Tidak mudah memang menjelaskan apa yang dimaksud dengan a social scientific approach, tetapi paling tidak ada beberapa faktor yang dapat menunjukkan adanya elemen-elemen dari pendekatan ilmu-ilmu sosial tersebut. Pertama, keyakinan tentang adanya kemungkinan dan hasrat untuk bersikap objektif terhadap kekuatan yang membentuk perilaku manusia. Kedua, kecendrungan untuk mendekati kajian tentang manusia dengan membagi aktivitas mereka ke dalam segmen-segmen yang berlainan.
Pendekatan ini membuat agama dapat dijelaskan secara objektif, sehingga perannya dalam masyarakat dapat dipahami. Kelemahan dari pendekatan ini adalah reduksionisme terhadap pandangan keagamaan manusia. Reaksi yang sering muncul terhadap pendekatan sosial adalah karena tercabutnya beberapa referensi transendental dan diturunkannya ke dalam dunia material.  Elemen atau karakteristik ilmu sosial adalah kecendrungannya untuk mengkaji budaya manusia dari pendekatan interdisipliner, sehingga kurang begitu sukses dalam menjelaskan realitas agama. Wallahul Musta’an Ila Darissalam.

*********


[1] Agama dari perspektif psikologi ditakrifkan sebagai segala perasaan, tindakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apapun yang mereka anggap sebagai ilahi (Andreas A. Yewangoe, Agama dan Negara: Politik Negara dalam melindungi kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, Makalah seminar nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM dan ICRP, Yogyakarta 13 Desember 2004.
[2] Fazlurrahman, 1987, Islam, Jakarta: Bina Aksara
[3] Koentjaraningrat,  Sejarah Teori Antropologi 1  (Jakarta: UI Press, 1992)
[4] F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistika Keseharian  (Jakarta: Kepustakaan  Gramedia, 2003).
[5] Nurcholis Madjid,  Islam Doktrin dan Peradaban ( jakarta:  Paramadina, 2000)
[6] Muhammad Arkoun, Al-Islam, Al-Akhlaq wa al-Siyasah (terj) Hasyim Shaleh, Beirut: Markaz al-Inma’ al-Qoumi, 1990.
[7] Abuddin Nata,  Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 28
[8] Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI Press, 1978), 32
[9] Hammas Safaq, Masyarakat Muslim Indonesia dan Pembentukan Ideologi Perekat Ummat, dalam Akademika (Surabaya: Pascasarjana IAIN Surabaya, 2004)
[10] Taufik Abdullah, Sejarah dan Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 105
[11] Haryatmoko,  Etika Politik dan Kekuasaan ( Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003),
[12] Kuntowijoyo, 1998, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung: Mizan
[13] Elizabeth K. Notingham, 1992, Agama dan Masyarakat, Jakarta: Rajawali Press
[14] H.A.R. Tilaar, 2007, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta
[15] Hannah Arendt, 1958, The Human Condition, Chicago: the Chicago UP
[16] Quraish Shihab, 1990, Membumisasikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
[17] Fazlurrahman, 1983, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka
[18] Nurcholis Madjid, Log. Cit. Hal.4
[19] Harun Nasution, 1992, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek, Jakarta: UI Press
[20] Fazlurrahman, 1993, Islam, Pentj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka
[21] Charles J. Adams, Islamic Religious Studies, dalam The Study of the Midle East, research and Scholarship in the Humanities and social sciences, ed. Leonard Binder (New York: A. Wiley Interscience Publication, 1976)
[22] Zakiyudin Baidhawi, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama” dalam Richad Martin, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama (terj), Zakiyudin Baidhawi (Surakarta: Muhammadiyah Press, 2001), xi-xxv

0 komentar: