Pendahuluan
Di
dalam sosiologi ada dua pendekatan definisi tentang agama. Pertama.
Definisi agama dalam fungsi sosialnya, sebagaimana dikemukakan oleh Durkheim
yang menganggap dan memperlakukan agama sebagai sebuah sistem keyakinan dan
upacara (rituals) seraya mengacu kepada yang suci yang mengikat orang bersama
ke dalam kelompok sosial. Kedua, mendefinisikan agama sebagai setiap
rangkaian jawaban yang koheren pada dilema keberadaan manusia, kelahiran,
kesakitan atau kematian yang membuat dunia memjadi mempunyai makna, sebagaimana
Weber dan teolog Paul Tillich. Sementara Marx memposisikan agama ke dalam
ideologi yang lebih luas, mencakup ide-ide seperti sisi kebaikan (righness)
dari persaingan dalam sistem kapitalis. Juga Adam Smith yang dianggap sebagai Bapak Kapitalisme mendasari karyanya “The
Theory of Moral Sentiment” pada cita-cita moral.
Para
ahli ilmu sosial memandang agama sebagai suatu gejala sosial dan juga gejala
psikologikal[1],
karena ketika pemahaman dan pengetahuan mendalam tentang agama dikembangkan,
diajarkan, dan dilanggengkan, agama memberi tekanan penting pada ummatnya. Pada
aras ini, agama memberi perhatian pada kondisi yang amat sulit dari semua orang
disepanjang waktu, tanpa memandang usia dan jenis kelamin. Konsep tentang
supra-natural misalnya, dapat mengikat orang pada nilai-nilai kesucian yang ditentukan
dan juga merekatkan orang pada kelompok sosial untuk kemudian memberikan
tawaran kebijakan dan teknik untuk membebaskan dirinya dari kungkungan
kelompok-kelompok dan nilai kontemporer yang sesat.
Fazlurrahman
(pemikir Islam berkebangsaan Pakistan) mengajukan tesis bahwa secara eksplisit
dasar ajaran Alqur’an adalah moral yang menitikberatkan
pada ajaran monoteisme dan keadilan sosial[2].
Tesis Rahman ini dapat dilihat pada ajaran tentang ibadah yang penuh dengan
muatan peningkatan keimanan, ketakwaan yang diwujudkan dalam akhlak yang mulia.
Dan Nurcholis Madjid (Cak Nur) mengamini tesis Rahman tentang keterkaitan
antara keimanan dengan akhlak mulia sangat erat.
Di
satu sisi, Wertheim sebagai seorang orientalis melihat agama sebagai ideologi
sosial. Dia tidak memperdulikan perbedaan dan pertentangan yang ada di antara
agama-agama, melainkan persamaan-persamaannyalah yang lebih ditekankan.
Sementara Z. Frazer, sebagaimana dikutip Keonjaraningrat dalam bukunya Sejarah
Teori Antropologi, menangkap pengertian agama sebagai sebuah sistem hubungan
antara manusia dengan kekuatan gaib secara timbal balik[3].
Agama dalam konteks fenomenologis, agama diposisikan sebagai kekuatan sisi (corner
power) dengan fungsi sebagai perwadahan abstensia kemampuan manusia
memecahkan masalah yang dihadapi[4]. Oleh
karena itu, pandangan ini cendrung menganggap agama sebagai faktor penyembunyi
(hinder factor) atas kelemahan dan ketidakmampuan manusia menangkap
isyarat-isyarat kehidupan.
Kelangsungan
penghayatan agama semacam ini mempengaruhi bentuk kultus dan ritual peribadatan
dalam agama. Bentuk mana terwujud pada kepasrahan diri dan penyerahan diri
secara mutlak kepada nasib yang dihayati sebagai kehendak Tuhan. Produk situasi
penghayatan agama semacam ini disebut para Teolog dapat melahirkan predistination.
Yakni sikap kepasrahan mutlak terhadap daya-daya kekuatan supranatural yang
mendetemenir dan menekan eksistensi manusia[5]. Dan
pada aras ini, tercipta suatu masyarakat yang apatis, fatalis yang tidak
kreatif atau masyarakat yang terlena (sleepy
society), akibat lebih jauhnya membawa manusia pada situasi status quo yang
berkepanjangan. Situasi masyarakat semacam inilah yang sering dialami oleh
masyarakat di negara-negara berkembang, karena memang masyarakat telah
dipengaruhi oleh kekeliruan esensi konsep kehadiran agama.
Kehadiran
agama Islam yang di bawa nabi Muhammad SAW, juga diyakini membawa petunjuk-petunjuk
agama mengenai berbagai kehidupan manusia, sebagaimana terdapat di dalam sumber
ajarannya, Al-Qur’an dan Hadits, tanpak sangat ideal dan agung. Islam
mengajarkan kehidupan yang dinamis dan progresif, menghargai akal pikiran
melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bersikap seimbang dalam
memenuhi kebutuhan material dan spiritual, senantiasa mengembangkan kepedulian
sosial, menghargai waktu, bersikap terbuka, demokratis, mengutamakan
persaudaraan, berakhlak mulia.
Secara
fenomenologis, penyebab kemunduran bangsa-bangsa non-Barat disebabkan
kekeliruan dalam memahami esensi konsep kehadiran agama oleh
penganut-penganutnya. Di mana
agama lebih banyak dipahami secara definitif
oleh masyarakat negara-negara non-Barat. Berangkat dari kekeliruan pemahaman
terhadap konsep keagamaan baik secara fenomenologis maupun definitif berpengaruh terhadap performan agama dan
semakin lama agama semakin buram dan mungkin tidak menarik. Beda dengan
Protestan, demikian kesimpulan Weber bahwa praktek-praktek ekonomi kapitalis
merupakan hasil perkembangan dari gagasan-gagasan yang termuat pada doktrin
agama Protestan. Kesimpulan itu sekaligus menjadi kritik Weber terhadap agama
non Barat yang masih bergelut pada persoalan agama definitif.
Oleh
sebab itu, daya guna agama harus dilihat pada bingkai bagaimana ummatnya
memformulasi ajaran agamanya, apakah pada formulasi definitif sebagaimana
Weber, ataukah sudah melangkah kepada translasi ajaran, untuk kemudian
melakukan re-interpretasi dan adaftasi. Fokus tulisan ini pada bagaimana melakukan pendekatan dan metode apa
saja yang dapat diterapkan terhadap agama agar bisa memberikan jalan keluar
terhadap permasalahan keummatan.
Pendekatan
dalam Study Agama
Study
keagamaan dengan menggunakan berbagai macam pendekatan menjadi penting karena
banyak diantara pemeluk agama yang memiliki kecendrungan untuk mensakralkan
pemikiran keagamaannya (taqdis al-afkar
al-diny),[6]
dan menganggap pendapat kelompoknya yang paling benar, kelompok yang lainnya
salah. Islam sebagai agama, tidak cukup hanya dipahami melalui pintu wahyunya
belaka, tetapi juga melalui pintu pemeluknya, yaitu masyarakat muslim yang
menghayati, meyakini dan memperoleh pengaruh dari Islam tersebut. Hal itu
menjadi penting karena Islam itu dipahami oleh pemeluknya secara berbeda, sebab
setiap manusia memiliki pemahaman yang beragam, sehingga tidak dapat dipaksakan
ummat Islam untuk memiliki satu bentuk pemahaman yang sama.
Beberapa
metode dan pendekatan diperlukan dalam memahami agama, karena secara
operasional-konseptual dapat memberikan pandangan bahwa Islam, khususnya tidak
hanya berwajah tunggal (single face),
melainkan berwajah plural (multifaces).
Artinya bahwa memahami Islam tidak berarti mencari kebenaran teologis atau
filosofis semata, tetapi juga mencari bagaimana Islam itu ada dalam kebudayaan
dan sistem sosial dengan berdasarkan pada fakta atau realitas sosial-kultural.
Selama
ini ada dua model kajian yang dilakukan, pertama oleh kalangan muslim sendiri,
kedua oleh kalangan orientalis (Barat). kelompok pertama menggunakan pendekatan
yang disebut fideistic subjectivism (al-‘aql al-dini al-lahuti) atau
pemikiran teologis-normatif, dan kelompok kedua menggunakan pendekatan yang
disebut scientific objectivism atau al-‘aql al-falsafi (pemikiran filsafat).
Pendekatan
pertama berupaya memahami agama secara literal, dengan menggunakan kerangka
ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari
suatu keagamaan dianggap yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya[7].
Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta
penggunaan bahasa yang bersifat subjektif adalah ciri yang melekat pada bentuk
pemikiran teologis ini. Pendekatan ini seringkali membawa dampak ketersekatan
ummat. Di dalam sejarah pemikiran Islam klasik, pendekatan ini memunculkan
beberapa bentuk aliran pemikiran, di antaranya adalah Mu’tazilah, Asy’ariyah
dan Maturidiyah[8],
yang masing-masing dari pemikiran itu menyguhkan bentuk Islam yang berbeda dan
terkadang saling menyalahkan satu sama lainnya[9].
Dari
beberapa aliran pemikiran di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis
dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk formal
atau simbol-simbol keagamaan, yang masing-masing bentuk tersebut mengklaim
dirinya sebagai yang paling benar (truth
claim) dan yang lainnya adalah salah. Pemikiran teologis ini seringkali
cenderung mengkafirkan kelompok lain, yang tidak sepaham dengan kelompoknya.
Antara satu kelompok dengan kelompok lainnya tidak pernah terjadi dialog atau
saling menghargai (intolerance), masing-masing
aliran cenderung eksklusif dan fanatis.
Sementara
pendekatan kedua membahas berbagai peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat,
waktu, obyek, latar belakang dan pelaku dari peristiwa tersebut[10].
Melalui pendekatan sejarah, seseorang diajak menukik dari alam idealis ke alam
yang bersifat empiris dan mendunia. Dari aras ini, seseorang akan melihat
adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam dunia idealis
dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Pendekatan
sangat dibutuhkan dalam memahami agama, karena Islam khususnya itu turun dalam
situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan.
Maka di dalam alqur’an ditemukan berbagai macam kisah-kisah sejarah, yang dapat
dijadikan sebagai patokan dalam memahami ajaran Islam dan juga dapat ditemukan
istilah asbab al-nuzul dalam memahami
ayat-ayat yang berkaitan dengan hukum-hukum fiqh dan lain sebagainya.
Agama
sebagai bidang kajian dan penelitian ilmiah, menurut Amin Abdullah (ahli
Filsafat Islam dari UIN Yogyakarta) dalam kata Pengantar buku Pendekatan Kajian
Islam dalam Studi Agama karya Richard C. Martin, mengungkapkan bahwa bekerja
dengan data yang mengandung makna-makna keagamaan dalam masyarakat atau
komunitas, kelompok, individu Muslim dan memahami apa yang dimaksud dengan
“beragama” dan “agama” dalam masyarakat. Tentu, pada aras ini, untuk dapat
memahami bahwa semua agama yang memiliki kesadaran historis-empiris yang khusus
dapat memiliki elemen makna keagamaan yang sama maka di butuhkan bantuan
metodologis agar dipahami secara transendental-universal. Data-data keagamaan
yang bersifat normatif-Teologis ini pada saat yang sama mempunyai muatan
historis, sosial, budaya dan politik.
Jadi,
dalam bentuknya yang historis-empiris, agama selalu menjadi bagian dari setting
sejarah dan sosial dari komunitasnya, namun pada saat yang sama secara
fenomenologis ia mempunyai pola umum yang dapat dipahami secara intuitif dan intelektual sekaligus oleh ummat manusia
dimanapun mereka berada.
Pergumulan
antara keduanya seakan tanpa ujung, yakni antara aspek
historis-empiris-partikular dari agama-agama dan aspek makna keberagamaan ummat
manusia yang mendasar dan universal-transendental, pada gilirannya ingin
dijembatani bahkan mungkin dikawinkan oleh pendekatan fenomenologi agama (phenomenology
of religion). Tentu, upaya demikian diharapkan dapat menjembatani kesenjangan
metodologis yang masih terasa hingga saat sekarang ini dapat sedikit teratasi.
Dewasa
ini, semakin tumbuh kesadaran akan pentingnya berbagai pendekatan ilmiah dalam
bidang religion studies dan perhatian akan problem-problem yang
dihasilkan dari berbagai pendekatan ini. Misalnya saja, dapat dibedakan antara
pendekatan filologi, historis, antropologis dan sosiologis terhadap data-data
keagamaan. Dalam setiap pendekatan dapat dijumpai kemungkinan metode tertentu
yang lebih kritis dan aplikatif dari pada metode lainnya. Pendekatan dan metode
yang digunakan sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui dan jenis data
yang akan diakses. Oleh karena itu, dalam mengkaji agama terdapat pendekatan
multiplisitas dan metode yang saling melengkapi dan mengisi secara kritis
komunikatif, apalagi berkaitan dengan pemahaman peran agama.
Setidaknya
ada tiga teori yang menjelaskan tentang peran agama[11]
yakni agama sebagai kerangka penafsiran religius terhadap hubungan sosial
(fungsi ideologis); agama sebagai faktor identitas; dan agama sebagai
legitimasi etis hubungan sosial. Peran agama sebagai ideologi, menjadikan agama
sebagai perekat suatu masyarakat karena memberi kerangka penafsiran dalam
pemaknaan hubungan-hubungan sosial. Sejauhmana suatu tatanan sosial dianggap
sebagai refresentasi religius yang dikehendaki Tuhan. Masalah tatanan sosial
ini menjadi peka sehingga perbedaan pendapat yang menjurus ke konflik akan
semakin mudah dipicu terutama yang berkaitan dengan masalah kekuasaan dan
ketidakadilan. Apalagi ada kelompok yang mempunyai pemahaman eksklusif dalam
pemaknaan hubungan-hubungan sosial tersebut. Pemaknaan seringkali
menyembunyikan kepentingan-kepentingan pribadi dan kelompok. Penyembunyian
kepentingan ini, menurut Kuntowijoyo[12],
terkait dengan peran ideologis agama, dalam pengertian sebagai faktor integrasi
sosial[13] dan
pembenaran dominasi.
Dalam
kaitannya dengan identitas[14],
peranan agama dapat didefinisikan sebagai kepemilikan pada kelompok sosial
tertentu. Kepemilikan ini memberi stabilitas sosial, status, pandangan hidup,
cara berfikir dan etos tertentu. Pada aras ini, kepemilikan menjadi lebih
kental lagi bila dikombinasikan dengan dengan identitas etnis, seperti Aceh
Muslim, Flores Katolik, Bali Hindu, dan Jawa Kejawen. Pertentangan pribadi atau
etnis sangat mudah terjadi dan berubah menjadi konflik antar agama, seperti
konflik etnis Madura dengan Dayak di Pontianak Kalimantan dan konflik Muslim
dengan Kristen di Maluku Utara. Identitas agama agama sepertinya tidak bisa
dilepaskan dari dari masalah harga diri, martabat dan kebanggaan.
Agama
juga dapat berperan sebagai legitimasi etis hubungan sosial atau dengan kata
lain bahwa agama dapat memberi dukungan sosial terhadap tatanan sosial
masyarakat. Identifikasi sistem sosial, politik atau ekonomi tertentu dengan
nilai-nilai agama tertentu boleh jadi mendapat penolakan dari agama lain.
Misalnya, klaim nilai-nilai HAM berasal dari Barat dan sering diidentikkan
dengan kristianisme, bisa memancing reaksi penolakan dari bangsa-bangsa Timur
dan dari Islam. Penolakan semacam ini menjadi rentan terhadap kekerasan karena
semakin menjauhkan kesepakatan bersama dalam penentuan kriteria obyektif tindakan.
Fanatisme
dapat lahir dari pemahaman dan penghayatan agama sebagaimana terurai di atas.
Fanatisme menurut Hannah Arendt (seorang Filosof Politik) lahir dari “individu massa”[15] yang
tak berkepribadian; orang yang tidak membedakan kenyataan dari makna apa yang
terjadi; orang yang terlepas dari realitas. Kelemahan mendasar dari orang yang
fanatik ialah tidak mampu mengambil jarak terhadap keyakinannya, tidak kritis
lagi terhadap keyakinan dan tindakannya.
Untuk
menetralisir pemahaman agama dalam bentuk dua wajah yang bertolak belakang itu,
maka diperlukan suatu pandangan baru terhadap struktur agama yakni
bidimensionalitas pandangan. Agama difahami sebagai sebuah struktur yang yang
berdimensi dua yakni absolutisme ajaran-ajaran agama dan bentuk ajaran agama
yang interpretable[16].
Absolutisme ajaran-ajaran agama ini tidak memerlukan intervensi rasio ke
dalamnya. Seperti percaya adanya Tuhan, adanya hari kiamat (eskatologis), surga
dan neraka[17].
Kepercayaan terhadap nilai-nilai itu yang disebut sebagai “iman”. Ivan
Tilich seorang teolog Kristen menyatakan tentang iman sebagai sebuah keberanian
menangkap dan menghayati sesuatu yang tidak bisa dicerna oleh rasio.
Nurcholis
Madjid menyatakan bahwa iman melahirkan tata nilai berdasarkan Rabbaniyah
yakni tata nilai yang dijiwai oleh kesadaran bahwa hidup ini berasal dari Tuhan
dan menuju kepada Tuhan (inna lillahi wa inna ilayhi raji’un). Maka
Tuhan demikian uraian Cak Nur adalah “sangkan Paran” (asal dan tujuan)
hidup dan bahkan seluruh mahluk. Rabbaniyah adalah inti semua agama yang
benar. Setiap pengelompokan ummat manusia telah pernah mendapatkan ajaran
tentang Keesaan Tuhan melalui para rasul Tuhan, karenanya terdapat titik
pertemuan (kalimah sawa) antara semua agama manusia, dan orang-orang
muslim diperintahkan dan mengembangkan titik pertemuan itu sebagai dasar hidup
bersama.
Jadi
ber-Islam bagi manusia adalah sesuatu yang alami dan wajar. Ber-Islam
menghasilkan bentuk hubungan yang serasi antara manusia dan lingkungan sekitar,
karena lingkungan alam ini semuanya sudah berserah diri serta tunduk patuh
kepada Tuhan secara alami pula. Sebaliknya, menurut Cak Nur, tidak berserah
diri kepada Tuhan bagi manusia adalah tindakan yang tidak alami[18].
Ber-Islam sebagai jalan mendekatkan diri kepada Tuhan itu dengan berbuat baik
kepada sesama manusia, disertai sikap menunggalkan tujuan hidup kepada-Nya.
Dimensi
ajaran-ajaran agama yang absolut inilah tempat bersemayamnya kualitas sebuah
agama. Ukuran kualitasnya adalah kemampuannya bertahan secara utuh, tidak larut
oleh perkembangan zaman dan persentuhan dengan struktur perubahan. Absolut dan
konstan berfungsi sebagai identitas spesifik dari kehadiran sebuah agama.
Sedangkan
dimensi kedua dari agama adalah bentuk ajaran agama yang interpretable. Di mana
masih bisa ditolerir proses intervensi rasional ke dalamnya. Klasifikasi ajaran
agama pada dimensi kedua ini mungkin nilai-nilai agama yang syarat dengan
problema-problema sosial. Ukuran kualitas dimensi kedua ini adalah kemampuannya
untuk mengembangkan diri sesuai dengan perubahan jaman selama tidak
bertentangan dengan asas-asas dasar dari dimensi pertama. Dalam konteks ajaran
Islam[19],
terdapat banyak aliran pemikiran dalam bidang teologi, tafsir, Fiqh (atau hukum
Islam), tasawuf dengan berangkat dari dimensi kedua ajaran agama tersebut.
Dalam
bidang teologi misalnya tidak kurang 76 aliran, diantaranya aliran Jabariah,
Qadariah, As-Ariyah, Mu’tazilah, syi’ah, dan sebagainya; kemudian dalam bidang
hukum Islam terdapat Imam Mazhab yang empat yakni mazhab Imam Malik, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal, geitu juga dalam bidang Tafsir dan
Hadits[20].
Aliran tersebut berkembang berdasarkan dimensi kedua dari ajaran-ajaran Islam.
Tentu dalam melakukan ijtihad para Imam Mazhab, para Teolog tidak terlepas dari
rujukan utama Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ Ulama, Qiyas, dan Urf atau adat
istiadat. Kareana itu, dimensi interpretable ini harus lekat dengan struktur
realitas yang sarat dengan perubahan dan perkembangan.
Aliran-aliran
pemikiran dalam Islam berkembang sesuai dengan konteks jamannya. Perkembangan
itu dapat diperkenankan karena berangkat dari struktur nilai yang memiliki
fleksibilitas interpretatif dan
dimediasi secara formal oleh konsep Islam yang biasa disebut sebagai ijtihad.
Orang yang melakukan ijtihad disebut sebagai Mujtahid dan dalam Islam para
Mujtahid mendapat pengakuan yang tinggi oleh ummat dan dimuliakan Allah SWT.
Bila seorang Mujtahid benar dalam melakukan ijtihad, akan diberikan dua pahala
oleh Allah, dan bila salah, maka tetap diberikan pahala walaupun hanya satu.
Ini sebagai jaminan bahwa para Mujtahid adalah orang yang mulia dalam pandangan
Ummat.
Dari
perspektif fungsional, interpretasi itu
diperkenankan selama bermanfaat atau fungsional bagi masyarakat. Fungsi salah
satu dari agama adalah sebagai pendamping perjalanan manusia dalam memberikan
jawaban-jawaban terhadap tantangan-tantangan yang dihadapi oleh manusia dalam
setiap perubahan dan perkembangan jaman. Jadi aspek dinamisme agama terletak dalam
dimensi ini, karena merupakan sebuah struktur yang terbuka dan siap memamah
suntikan-suntikan intelektual ke dalam tubuhnya. Dari sinilah, bermunculan
falsafah sosial ataupun bentuk-bentuk ideologi produk interaksi intelektualisme
dengan agama di tempatkan pada dimensi kedua.
Mengakurkan
ajaran-ajaran agama yang absolut dengan interpretable sudah merupakan
kebutuhan yang tidak perlu dipertentangkan lagi. Ajaran-ajaran agama yang
termasuk dalam katagori absolut tidak perlu dirasionalisasi, tetapi dipahami
dan dijalankan. Sedangkan ajaran-ajaran agama yang bersifat interpretable,
umum, atau mustarak perlu diberikan penjelasan dan penafsiran supaya fungsional
bagi kehidupan dan perkembangan ummat. Ummat Islam harus dinamis, maju, dan
berkembang, karena itu, perlu pendekatan yang multiplisitas. Diam atau jumud
berarti malapetaka bahkan bertentangan dengan hukum alam.
Orang
Barat (outsider) dalam melakukan
kajian agama dengan pendekatan sejarah, mereka tidak bernagkat dari sebuah
keyakinan sebagaimana yang dilakukan oleh kalangan pemeluk agama, akan tetapi
berangkat dari sebuah asumsi interpretasi yang dikaitkan dengan dan perspektif
metodologi tertentu yang diciptakannya sendiri, sehingga hasil interpretasinya
sering tidak sesuai dengan keyakinan kalangan muslim sebelumnya. Sementara itu
kalangan muslim sendiri (insider),
dalam merespon hasil-hasil kajian itu seringkali bertindak a priori dan cendrung untuk menolaknya, tanpa mau mengkaji terlebih
dahulu secara alamiah, bahkan ketika ada pemikiran dari Timur yang menyadur
dari pemikiran mereka dengan segera menuduhnya sebagai bagian dari orientalis dan
cendrung untuk mengkafirkannya.
Di
sinilah problematisnya dalam kajian keislaman khususnya, di mana ketika ummat
Islam mengkaji hasil pemikiran mereka, lebih banyak berpedoman pada
keyakinan daripada tataran metode
penelitian ilmiah, lebih banyak bersandar pada intuisi daripada rasio. Sikap
semacam inilah yang melahirkan aksi-aksi teror dan masalah takfir terhadap seseorang.
Menurut
Muhammad Sa’id al-Asymawi (seorang pemikir Mesir) bahwa pendekatan Teologis
yang digunakan oleh pemeluk agama bersangkutan (insider) telah memunculkan aliran-aliran kalam yang dogmatis. Oleh
karena itu, memahami Islam dengan menggunakan pendekatan Teologis semata, tidak
dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama Islam saat ini. Terlebih
lagi kenyataan mengungkapkan bahwa kemunculan pemikiran teologis tidak pernah
lepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial masyarakat yang ada di
sekitarnya. Kepentingan ekonomi, sosial dan politik selalu menyertai pemikiran
teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat
tertentu. Pendekatan teologis ini selalu menggunakan cara berfikir
deduktif dalam memahami agama, yaitu
cara berfikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak
adanya, karena ajaran yang berasal dari Tuhan sudah pasti benar. dimulai dari
suatu keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
Sikap
militansi dalam beragama dan berpegang teguh pada ajaran agama dengan demikian
muncul dari pendekatan teologis terhadap agama. Pendekatan teologis ini berkait
erat dengan pendekatan normatif yaitu suatu pendekatan yang memandang agama
dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan, yang di dalamnya tidak
terdapat penalaran pemikiran manusia yang oleh M. Qurais Shihab disebut sebagai
Absolutisme Ajaran Agama.
Charles
J. Adams memberikan tiga sumbangan pendekatan dalam studi agama, yaitu missionary approach, apologetic approach
dan irenic approach[21]. Pendekatan
missionary approach bermula dari terjadinya booming missionaris sebagai
serpihan dari umat, sekte dan gereja kristen, bersamaan dengan pertumbuhan
pengaruh politik, ekonomi dan militer di Asia dan Afrika pada abad ke 19.
Langkah-langkah yang ditempuh dalam pendekatan ini adalah misi keimanan (faith mission).
Apologetic approach
memiliki karakteristik apologis. Kecendrungan untuk membanggakan kemampuan
Islam untuk menjawab semua tantangan di tengah perkembangan masa moderen. Maka
muncul sikap menjadikan masa lalu sebagai batu pijakan keluar dari persoalan
internal komunitas muslim serta hasrat untuk terlepas dari tekanan peradaban
Barat. dari sinilah mengapa apologetik itu seolah menjadi dewa penyelamat yang
mampu mengangkat kehidupan muslim dari keterpurukan menuju pencerahan.
Tema-tema
yang sering dikumandangkan oleh para apologetik adalah soal rasionalitas Islam,
dukungan Islam terhadap sains, semangat progresifitas Islam, serta pandangan
etika liberalnya. Namun karakteristik pendekatan ini realitasnya sangat ironis,
karena cara mereka menampilkan keemasan Islam, meskipun dengan mengacu pada
fakta sejarah, tetap cendrung mengorbankan nilai-nilai ilmiah.
Sedangkan
irenic approach merupakan upaya
orang-orang Barat untuk membangun simpati (mutual sympathy) antara
tradisi-tradisi agama dan bangsa. Pendekatan ini muncul seiring dengan semakin
dewasanya gerakan keagamaan maupun keilmuan di Barat sejak tahun-tahun awal
pernag dunia kedua. Gerakan ini bertujuan untuk lebih mengapresiasikan
keberagamaan Islam dan membantu mengembangkan sikap baru terhadap Islam.
Dengan
demikian, harus diakui bahwa tinjauan yang paling produktif dalam studi Islam
telah diberikan oleh para sarjana filologi dan sejarah. Jadi ada dua bentuk
pendekatan yang saling berlawanan, yaitu pendekatan yang digunakan oleh pemeluk
agama yang bersangkutan (believer),
dan oleh orang lain (historian). Yang pertama mempertahankan pemahaman
normatif tentang agama-agama lain, cendrung subjektif, fideistic; dengan menilai orang lain benar atau salah, karena
melihatnya dari sisi teologis. Sementara yang kedua berusaha melakukannya
dengan dengan objektif, scientific,
karena melihat agama dari sisi sejarah.
Keterkaitan
antara kedua pendekatan di atas seringkali diwarnai dengan ketegangan, baik
bersifat kreatif maupun destruktif. Pendekatan yang pertama berangkat dari teks
yang sudah tertulis dalam kitab suci, bercorak literalis, tekstualis atau
skriptualis. Pendekatan ini memunculkan beberapa bentuk pendidikan keagamaan,
seperti pesantren-pesantren. Pendekatan yang kedua lebih bersifat historis dan
menekankan perlunya telaah yang mendalam tentang asbab al-nuzul, baik yang bersifat kultural, psikologis maupun
sosiologis.
Pendekatan
pertama memunculkan bentuk religious
studies dan yang kedua memunculkan history
of religion atau comparative study of
religion. Meskipun kelompok kedua ini menginginkan penemuan objektif dari
penelitiannya, akan tetapi sikap mereka tersebut masih dipertanyakan, apakah dalam
studi tentang agama-agama tersebut bisa dicapai sebuah scientific objectifism. Dengan demikian dapat diambil kesimpulan
bahwa pendekatan yang berbeda akan menghasilkan hasil pemahaman yang berbeda
pula.
Metode Kajian Dalam Study Agama
Studi
Islam sebagai sebuah disiplin, sudah dimulai sejak lama. Studi ini mempunyai
akar yang kokoh di kalangan sarjana muslim dalam tradisi keilmuan tradisional.
Dalam dua dekade terakhir ini, semakin tumbuh kesadaran bahwa akan pentingnya
berbagai pendekatan ilmiah dalam bidang Islamic studies dan perhatian akan
problem-problem yang dihasilkan dari berbagai pendekatan ini. Dalam setiap
pendekatan dijumpai kemungkinan-kemungkinan metode tertentu yang lebih kritis
dan aplikatif daripada metode lainnya. Pendekatan dan metode yang digunakan
sangat tergantung pada apa yang ingin diketahui dan jenis data yang akan
diakses.
Oleh
karena itu dalam mengkaji agama, khususnya Islam ditemukan multidisiplin
pendekatan dan metode yang saling melengkapi dan mengisi secara kritis-komunikatif.
Sebagai contoh, dalam studi tentang data keagamaan, seperti alqur’an, teks-teks
klasik dan interpretasi tentang makna-makna keagamaan, meskipun pendekatan dan
metode yang digunakan sama, kesimpulan ilmiahnya bisa berbeda, karena ada sensibilitas
yang berbeda antara satu peneliti dengan peneliti lainnya.
Kalau
dilacak, sejarah pertumbuhan studi Islam, dapat dilihat pada abad ke 19, dimana
kajian Islam pada masa ini lebih menekankan pada tradisi filologi. Para
pengkaji di bidang ini adalah dari kalangan pakar bahasa, ahli teks-teks kunci
klasik, yang melalui bahasa dan teks klasik itu mereka dapat memahami
gagasan-gagasan dan konsep-konsep utama yang membentuk ummat Islam, tanpa
memahami konteks.
Kajian
Islam melalui pendekatan filologi (philological approach) ini memiliki
keterbatasan, diantaranya adalah penekanannya yang eksklusif terhadap teks.
Dunia Islam dipahami melalui cara tidak langsung, tidak dengan melakukan
penelitian tentang kehidupan masyarakat muslim yang ada di masyarakatnya,
tetapi melalui prisma teks yang umumnya berasal dari tradisi intelektual klasik
Islam. Kajian ini berfokus pada tulisan-tulisan muslim, bukan pada muslimnya
sendiri[22].
inilah yang menyebabkan para filolog banyak melakukan kesalahan dalam memahami
makna data keagamaan. Meskipun demikian, pendekatan ini sangat memabantu dalam
membuka kekayaan daftar materi keislaman dari dokumen-dokumen lama, karena
melakukan studi terhadap Islam tanpa menguasai bahasa Arab adalah sebuah
kemustahilan.
Pada
masa berikutnya, para pengkaji mulai menyadari kelemahan kajian filologi ini,
sehingga muncullah kajian sains. Para penganjur pendekatan kedua ini
berpendapat bahwa kajian tentang masyarakat harus diupayakan melalui
metode-metode sains seperti dipahami oleh ilmuan sosial. Pendekatan ini
didasarkan pada sebuah keyakinan bahwa semua masyarakat akan mengalami proses
perkembangan historis.
Namun,
pendekatan ini juga memiliki kelemahan, diantaranya adalah perhatian yang lebih
pada fungsi daripada bentuk-bentuk atau muatan kultural dari institusi sosial.
Jadi kelompok ini mencoba mencari jalan pintas. Makna dan muatan kultural dari
institusi sosial tidak relevan dan dikesampingkan. Bagi kelompok ini,
masyarakat bukanlah sistem makna, tetapi mesin sosial. Kelemahan ke dua dari
pendekatan ini adalah terlalu mengesampingkan keunikan masyarakat, menyamakan
semua masyarakat di dunia, yang berjalan di atas rute sama, menuju modernitas.
Dari
kekurangan-kekurangan yang dimiliki oleh dua pendekatan tersebut, tanpak jelas
akan perlunya suatu pendekatan lain yang dapat menghindari keterbatasan dari
masing-masing pendekatan tersebut, bahkan mengkombinasikan dan mengembangkan
lebih jauh kekuatan keduanya. Maka muncullah kemudian pendekatan lain, yang
dimunculkan oleh pengkaji Islam, diantaranya adalah pendekatan fenomenologi dan
sejarah.
Kepentingan
dasar yang menjadi soal fenomenologi adalah terkait dengan pertanyaan apa yang
telah dialami, dirasakan, dikatakan dan dilaksanakan oleh orang beragama itu
sendiri, terutama pengalaman-pengalaman yang bermaknsa bagi pemeluknya. Dengan
demikian, tujuan dari studi fenomenologi adalah untuk menjelaskan makna-makna
sehingga memperjelas apakah ritus, seremoni, doktrin atau rekasi sosial itu
mengandung arti bagi pelakunya dalam peristiwa keagamaan. Selain itu,
fenomenologi menghendaki agar untuk memberikan makna terhadap fenomena
keagamaan secara memadai, maka seorang peneliti dituntut berfikir secara
komprehensif.
Kajian
fenomenologi berupaya untuk memahami makna keagamaan yang ada dalam pemeluknya
dengan menganalisa. Pendekatan fenomenologis berupaya untuk memanifestasikan
agama melalui metode deskripsi murni, dimana penilaian peneliti tentang nilai
dan kebenaran ditangguhkan (epoche),
obyek ditangkap esensinya (eidetic vision),
agama tidak dipandang sebagai satu tahapan dalam sejarah evolusi, tetapi lebih
sebagai aspek hakiki dari kehidupan manusia (essential aspect of human life), keragaman ekspresi perilaku
keagamaan manusia dipilih dan di saring.
Komponen
metodologis terpenting dalam kajian fenomenologi adalah das verstehen karya W.
Dilthey, suatu istilah teknik yang berarti pemahaman tentang gagasan, intensi
dan perasaan orang/masyarakat melalui manifestasi-manifestasi empirik dalam
kebudayaan. Metode verstehen
mengandaikan bahwa manusia di seluruh masyarakat dan lingkungan sejarah
mengalami kehidupan yang bermakna (meaningfull) dan mengungkapkan makna itu
dalam pola-pola yang dapat dilihat (discernible patterns), sehingga dapat
dianalisis (can be analyzed) dan dipahami (understood). Maka berfikir fenomenologis harus memiliki
dua kaki; “the comprehension og ideas,
intentions, feeling of people dan the
empirical manifestation of culture”.
Peran
Ilmu Sosial dalam Memahami Agama
Arkoun
menyatakan perlunya perbaikan terhadap hasil dari beberapa kajian keislaman
yang dilakukan oleh beberapa pihak. Pertama, oleh kalangan muslim
(al-Islamiyyun), yang tidak setuju dengan pendekatan sosiologis, baik dari sisi
metodologis, terminologis serta problematikanya, untuk digunakan dalam sebuah
kajian keislaman. Kedua, oleh para orientalis, yang dalam kajiannya, analisis
yang digunakannya tidak terlalu mendalam, dimana mereka hanya berangkat dari
beberapa contoh dan kondisi sejarah yang berbeda dan mengkajinya dari sudut
pandang ilmu-ilmu sosial semata, yang itu merupakan produk dari Barat. mereka
terkadang berangkat dari pendekatan linguistik (filologis) sehingga miskin akan
discourse of analysis.
Dengan
melihat kasus di Perancis, Arkun membicarakan tentang perbedaan tradisi yang
terjadi di tengah-tengah keilmuan masyarakat Barat dan Eropa secara umum, yaitu
perbedaan antara peneliti dari kelompok humanities di Barat, yang tidak
menekuni kajian keislaman dan warisan intelektualnya dengan kelompok yang
memang menekuni kajian-kajian keislaman (para orientalis). Arkun menyayangkan,
karena para orientalis itu tidak membuka wacana diskusi di bidang efistemologi
dengan para pengkaji ilmu-ilmu humanities. Arkun mengkritik para orientalis
dengan mengatakan bahwa mereka telah ketinggalan metodologis dan berwawasan
sempit di bidang epistemologi. Maka Arkun mengajak untuk mengadakan rovolusi di
bidang kajian-kajian keislaman dan Arab.
Para
pengkaji Islam harus keluar dari dari sikap spesialisasi keilmuan yang sempit,
tegas Arkun, karena sikap seperti itu dapat menyebabkan terpisahnya seorang
ilmuan dari ilmuan lainnya, sehingga tidak mampu menghadirkan sebuah pemahaman
yang benar dan menyeluruh dari peristiwa yang terjadi di masyarakatnya. Dengan
demikian, ilmuan sosial harus saling mendukung satu sama lainnya untuk dapat
menghadirkan sebuah pandangan yang universal tentang suatu masyarakat. Pada
aras ini, berbagai macam metodologi dan variasi ilmu akan membantu dalam
memahami sebuah gerakan yang muncul di masyarakat dan faktor yang
memunculkannya.
Dalam
pandangan Arkun, akan sulit memahami apa yang terjadi di dalam masyarakat Islam
jika tidak memahami faktor-faktor penting yang menyebabkan peristiwa itu
terjadi, baik faktor historis, teologis, sosial, psikologis, demografis,
geografis dan lainnya. Untuk dapat memahami semua itu dibutuhkan kahadiran
ilmu-ilmu sosial. Selama ini memang terdapat kendala ideologis, teologis dan
politis yang membatasi antara peneliti dan kajian yang ditelitinya. Oleh karena
itu, Arkun menawarkan pendekatan baru dalam mengkaji Agama khususnya Islam
dengan menggunakan pendekatan multi-interdisipliner; filsafat, sosiologi,
antropologi, sejarah, filologi, dan kritik literal. Pendekatan baru ini disebut
Arkun dengan istilah al-‘aql al-jaadid
al-istithla’i.
Di
pihak lain, Abu Rabi menawarkan perlunya bantuan ilmu-ilmu sosial bagi para
pengkaji ilmu-ilmu keislaman guna mempertajam analisisnya tentang fenomena yang
terjadi di dunia Islam. Hal inilah yang sering diabaikan oleh para pelajat muslim,
terutama yang belajar tentang hukum Islam. Sosiologi adalah ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat secara lengkap, dari sisi struktur,
lapisan serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan. Dengan ilmu
ini, suatu fenomena sosial dapat dianalisa melalui beberapa faktor yang
mendorong terjadinya hubungan, mobilitas sosial serta keyakinan-keyakinan yang
mendasari terjadinya proses tersebut.
Sosiologi
dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami Islam, karena
banyak sekali ajaran Islam yang berkaitan dengan masalah sosial. Tidak mudah
memang menjelaskan apa yang dimaksud dengan a
social scientific approach, tetapi paling tidak ada beberapa faktor yang
dapat menunjukkan adanya elemen-elemen dari pendekatan ilmu-ilmu sosial
tersebut. Pertama, keyakinan tentang adanya kemungkinan dan hasrat untuk
bersikap objektif terhadap kekuatan yang membentuk perilaku manusia. Kedua,
kecendrungan untuk mendekati kajian tentang manusia dengan membagi aktivitas
mereka ke dalam segmen-segmen yang berlainan.
Pendekatan
ini membuat agama dapat dijelaskan secara objektif, sehingga perannya dalam
masyarakat dapat dipahami. Kelemahan dari pendekatan ini adalah reduksionisme
terhadap pandangan keagamaan manusia. Reaksi yang sering muncul terhadap
pendekatan sosial adalah karena tercabutnya beberapa referensi transendental
dan diturunkannya ke dalam dunia material.
Elemen atau karakteristik ilmu sosial adalah kecendrungannya untuk
mengkaji budaya manusia dari pendekatan interdisipliner, sehingga kurang begitu
sukses dalam menjelaskan realitas agama. Wallahul
Musta’an Ila Darissalam.
*********
[1] Agama dari perspektif psikologi ditakrifkan sebagai segala perasaan,
tindakan, dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka
memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apapun yang mereka anggap
sebagai ilahi (Andreas A. Yewangoe, Agama dan Negara: Politik Negara dalam
melindungi kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Indonesia, Makalah seminar
nasional yang diselenggarakan oleh Komnas HAM dan ICRP, Yogyakarta 13 Desember
2004.
[2] Fazlurrahman, 1987, Islam, Jakarta: Bina Aksara
[3] Koentjaraningrat, Sejarah
Teori Antropologi 1 (Jakarta: UI
Press, 1992)
[5] Nurcholis Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban ( jakarta: Paramadina, 2000)
[6] Muhammad Arkoun, Al-Islam,
Al-Akhlaq wa al-Siyasah (terj) Hasyim Shaleh, Beirut: Markaz al-Inma’
al-Qoumi, 1990.
[7] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2003), 28
[8] Harun Nasution, Teologi Islam
(Jakarta: UI Press, 1978), 32
[9] Hammas Safaq, Masyarakat Muslim Indonesia dan Pembentukan Ideologi
Perekat Ummat, dalam Akademika
(Surabaya: Pascasarjana IAIN Surabaya, 2004)
[10] Taufik Abdullah, Sejarah dan
Masyarakat (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 105
[11] Haryatmoko, Etika Politik
dan Kekuasaan ( Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003),
[12] Kuntowijoyo, 1998, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi,
Bandung: Mizan
[13] Elizabeth K. Notingham, 1992, Agama dan Masyarakat, Jakarta:
Rajawali Press
[14] H.A.R. Tilaar, 2007, Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa
Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta
[15] Hannah Arendt, 1958, The Human Condition, Chicago: the Chicago
UP
[16] Quraish Shihab, 1990, Membumisasikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan
[17] Fazlurrahman, 1983, Tema-tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Pustaka
[18] Nurcholis Madjid, Log. Cit. Hal.4
[19] Harun Nasution, 1992, Islam di Tinjau dari Berbagai Aspek,
Jakarta: UI Press
[20] Fazlurrahman, 1993, Islam, Pentj. Ahsin Muhammad, Bandung:
Pustaka
[21] Charles J. Adams, Islamic Religious Studies, dalam The Study of the Midle East, research and
Scholarship in the Humanities and social sciences, ed. Leonard Binder (New
York: A. Wiley Interscience Publication, 1976)
[22] Zakiyudin Baidhawi, “Perkembangan Kajian Islam dalam Studi Agama”
dalam Richad Martin, Pendekatan Kajian
Islam dalam Studi Agama (terj), Zakiyudin Baidhawi (Surakarta: Muhammadiyah
Press, 2001), xi-xxv
0 komentar:
Posting Komentar