( I )
“Kepemimpinan berkembang setiap hari, bukan dalam sehari; Orang percaya
dulu kepada pemimpin, baru visinya = itulah yang disebut hukum kepercayaan”[1].
(John C. Maxwell)
Mengawali tulisan ini, saya sengaja mengutip
pernyataan Maxwell (seorang ahli kepemimpinan berkebangsaan Amerika). Sebagai
ahli kepemimpinan, Ia telah banyak menulis buku dan kemudian diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia. Kini karya-karyanya telah dibaca oleh masyarakat umum,
mulai dari para pengusaha, birokrat, politisi, akademisi, mahasiswa dan
lainnya.
Hukum kepercayaan ala Maxwell seolah mendeskripsikan
perilaku memilih yang selama ini kita lakukan. Diakui atau tidak, kita selama
ini tidak pernah memilih pemimpin berdasarkan pilihan yang rasional dan cerdas,
namun lebih didasarkan pada anutan atau mungkin ikut-ikutan dari kelompok
kepentingan. Hal itu berarti bahwa berbicara kepemimpinan sebenarnya tidak bisa
dilepaskan dari system kepartaian politik. Jika saja, apa yang saya pikirkan
dan nyatakan tentang pilihan berdasarkan ikutan itu benar, maka sudah barang
tentu partai politik yang paling bertanggung jawab, walaupun kita semua ikut bersalah
dalam memilih pemimpin selama ini.
Namun demikian, sudah barang tentu bahwa setiap
komunitas atau masyarakat membutuhkan pemimpin dan kepemimpinan yang baik. Hal
itu antara lain karena masalah kepemimpinan selalu mempengaruhi kehidupan
masyarakat. Masyarakat yang baik, tertib hukum, aman, damai, sejahtera lahir
dan bathin, gemah ripah luh jinawi tidak dapat dilepaskan dari system
kepemimpinan yang diterapkan, tidak terkecuali di Indonesia.
Masalah kepemimpinan dengan demikian, perlu menjadi
prioritas untuk dikaji secara baik dan benar agar terlahir pemimpin yang
berkepribadian, bertanggung jawab, professional dan berahlak berdasarkan
nilai-nilai ke-Tuhanan. Oleh karena itu, Islam memiliki seperangkat system yang
dapat dijadikan pedoman oleh para pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Juga, masyarakat sebagai pemilih
patut memperhatikan seperangkat system pedoman itu untuk menentukan
pemimpinnya.
Penentuan pemimpin berdasarkan pilihan rasional dan
cerdas menjadi suatu keharusan agar tidak terus-terusan mengulangi kesalahan
yang sama (salah pilih pemimpin). Pada
aras ini, Islam mengajak ummatnya dan memberikan bimbingan ummatnya untuk
menentukan pemimpinnya dengan modal spiritual, moral, intelektual, kebeningan
hati, mental dan daya juang yang berbasis kenabian berlandaskan “amar makruf dan nahi
mungkar”. Di atas nilai-nilai tersebut diharapkan akan lahir kader-kader
pemimpin yang memiliki kecerdasan ruhani dan jasmani dengan pola kepemimpinan
yang integral.
Hanya masalahnya kemudian, bagaimana melakukan alih
kepemimpinan secara baik, benar dan demokratis? Kalaupun menang, tetapi menang
secara jujur dan berkeadilan dan sebaliknya kalau kalah, ya, kalah yang tidak
mendendam dan tidak disoraki. Dengan demikian, pemimpin yang terlahir dari
pemilihan yang demokratis diharapkan mampu membawa ummat dan bangsa ini keluar
dari krisis moralitas menuju suatu masyarakat yang cerdas melangit dan cerdas
membumi (meminjam istilah Rahmat Ramadhana al-Banjari).
( II )
Sejak mulai bergulirnya reformasi Tahun 1998 lalu yang
ditandai dengan lengsernya Soeharto sebagai presiden, setelah menjabat selama
32 Tahun, tampak bahwa proses pergantian kepemimpinan di republik ini berjalan
sesuai nilai dan aturan demokrasi. Pembatasan jabatan presiden hanya dua
periode, menandai era baru demokrasi di Indonesia. Peluang putra-putri terbaik bangsa
dengan demikian, memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi presiden dan
jabatan-jabatan politik lainnya (seperti Gubernur, Bupati/walikota, dan kepala
desa). System demokrasi telah menyiapkan mekanisme agar potensi yang dimiliki
anak bangsa dapat dikembangkan sesuai keahlian dan kemampuannya.
Dalam pemilihan pemimpin, Islam memberikan beberapa
prinsip yang harus dilaksanakan dengan baik, yakni: musyawarah dan mufakat, beriman, tidak mengangkat ahli
kitab sebagai pemimpin, tidak mengangkat orang kafir dan musuh Allah sebagai
pemimpin, tidak mengangkat orang fasik sebagai pemimpin, memilih pemimpin yang
jauh dari sikap sektarian atau fanatisme terhadap suatu golongan[2].
Pemimpin yang tidak netral, dapat memunculkan kecendrungan kecintaan kepada
golongan dan kelompok (sectarian dan partisan) yang mewarnai ruang dan waktu
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam konteks ke-Indonesiaan, regenerasi kepemimpinan
masih kental dengan nuansa sectarian dan partisan untuk pemilihan pemimpin.
Demokrasi memang memberikan peluang untuk itu, dimana semua warga Negara
mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih dan dipilih. Munculnya
dinasti kepemimpinan semakin tumbuh subur di banyak daerah di Indonesia, untuk
menjadi orang nomor satu di daerahnya setelah sebelumnya di pegang oleh
keluarganya. Tentu, partai Politik tidak seharusnya membiarkan fenomena
tersebut terus berlanjut sehingga kepemimpinan Indonesia ke depan dapat lebih
adil serta tidak terjebak pada ashabiyah[3]
atau sektarianisme.
Di samping prinsip-prinsip dalam memilih pemimpin tersebut
di atas, Islam juga menggariskan karakteristik pemimpin yang harus harus
dimiliki seorang pemimpin. Karakteristik seorang pemimpin itu yang dapat
dijadikan landasan bagi rakyat dalam memilih seorang pemimpinnya. Karakteristik
seorang pemimpin diantaranya yakni takwa (memiliki kesehatan ruhani), memiliki
kesehatan jasmani, shiddiq (jujur dan benar), amanah, tabligh, fathanah[4],
istiqomah, ikhlas, malu melakukan perbuatan dosa dan maksiat, selalu bersyukur
kepada Allah, memiliki kecerdasan emosional, bersikap sabar, optimis, berjiwa
besar dan kesatria (syaja’ah)[5].
Sementara, Maxwell memberikan 21 kualitas kepemimpinan
sejati yang harus dimiliki seorang pemimpin, yakni karakter, karisma, komitmen,
komunikasi, kompetensi, keberanian, pengertian, focus, kemurahan hati,
inisiatif, mendengarkan, semangat yang tinggi, sikap positif, pemecahan masalah,
hubungan, tanggungjawab, kemapanan, disiplin diri, kepelayanan, sikap mau
diajar, dan visioner[6]. Perlu
dipahami bahwa Kualitas kepemimpinan yang dikemukakan
Maxwell berangkat dari pengalaman puluhan tahun menjadi seorang trainer dalam
bidang kepemimpinan di banyak Negara di dunia.
Kelihatannya, kualitas kepemimpinan yang dikemukakan
Maxwell tidak jauh berbeda dengan konsepsi Islam tentang karakteristik seorang
pemimpin, keduanya lebih bersifat komplementif
atau saling melengkapi. Kelihatannya, kualitas seorang pemimpin menurut
konsepsi Islam sederhana dan simple (shiddiq,
amanah, tablig dan fathanah[7]),
tetapi penjabarannya bisa lebih dari apa yang dikemukakan oleh Maxwell misalnya
atau yang lainnya. Indikasi seorang pemimpin yang memiliki sifat fathanah
diantaranya yakni buah pemikiran yang mudah dipahami dan diamalkan, buah
pikiran yang komprehensif, dan buah pikiran yang solutif.
(III)
Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara, dikenal beberapa model kepemimpinan, yakni model kepemimpinan
partisipatif, karismatik, trasformasional, dan model kepemimpinan prophetic (kenabian)[8].
Karakteristik kepemimpinan partisipatif
meliputi prosedur kepemimpinannya berdasarkan konsultasi, pengambilan
keputusan bersama (musyawarah mufakat), membagi peran kekuasaan, desentralisasi
dan manajemen yang demokratis.
Karakteristik kepemimpinan karismatik[9],
meliputi biasanya terdapat pada diri pemimpin agama, politik, dan gerakan
social; memiliki kelebihan dan keutamaan karena anugerah Tuhan (factor bawaan
sejak lahir); memiliki kekuasaan yang tinggi, rasa percaya diri, pendirian
dalam keyakinan dan cita-citanya; membutuhkan kekuasaan sebagai motivasi dan
wasilah untuk mempengaruhi pengikutnya.
Sementara, kepemimpinan trasformasional memiliki
karakteristik yakni mempunyai karisma yang diakui oleh pengikutnya; menjadi
sumber inspirasi bagi bawahannya dalam menciptakan etos kerja dan kinerja yang
baik; mempunyai kepedulian dan empati terhadap bawahannya secara personal;
mampu menstimulasi pemikiran dan ide-ide bawahannya dengan baik.
Sedangkan karakteristik kepemimpinan kenabian meliputi
merupakan penggabungan antara kepemimpinan partisipatif, karismatik, dan
trasformasional; didukung oleh kekuatan dan daya pengaruh ke-Tuhanan; dan
tergolong ke dalam model kepemimpinan terkemuka atau paripurna. Dan tentu masih
banyak lagi model kepemimpinan lainnya yang harus dieksplorasi lebih jauh.
Hanya permasalahannya, mana diantara ketiga model kepemimpinan tersebut yang
dapat diterapkan dan sesuai dengan konteks ke-Indonesiaan.
(IV)
Melahirkan pemimpin yang Taqwa,
Shiddiq, Amanah, Tablig dan Fathanah menjadi suatu keharusan di tengah berbagai krisis
multidimensi di Indonesia saat ini. Korupsi misalnya salah satu saja dari
sekian permasalahan yang melanda negeri ini. Satu demi satu para pengelola
Negara ini terjebak ke dalam kubangan korupsi, mulai dari Bupati/Wali Kota,
Gubernur, bahkan sampai Pembantu Presiden, juga para anggota DPR tidak luput
dari terkapan lembaga superbody yang
bernama KPK.
Kuantitas para pengelola Negara yang terlibat korupsi,
apakah dapat menjadi bukti keseriusan
Pemerintah melakukan pemberantasan korupsi atau malah sebaliknya menjadi bukti
kebobrokan pemerintah yang tidak cerdas, tepat, dan benar menetapkan para
pemimpin. Memang dilematis, partai penguasa yang seharusnya berada pada garda
terdepan untuk membackup pemberantasan korupsi, tetapi malah terjebak
menghakimi para kadernya sendiri yang melakukan tindakan korupsi. Sungguh
ironis.
Belajar dari banyak kasus korupsi yang melibatkan para
pejabat Negara, tentu kita sebagai anak bangsa berkeinginan untuk terus
berikhtiar agar segera terlahir pemimpin yang dapat membawa bangsa dan Negara
ini keluar dari krisis multidimensi. Proses politik terus saja berjalan dan
seiring dengan itu tetap terjatuh ke dalam persoalan yang sama yakni tata
kelola pemerintahan yang tidak bersih (bad
governance) karena pemimpin yang tidak kesatria (syaja’ah) dan fathanah.
Munculnya para pemimpin yang tidak amanah, besar kemungkinannya disebabkan oleh
proses kaderisasi yang tidak sehat dan lebih banyak dipengaruhi oleh system
kepartaian yang mirip kartel[10]
atau politik dagang, terutama sejak reformasi (tahun 1998) mulai digulirkan.
Lebih lanjut Ambardi
(2009) mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat 5 ciri kartel dalam
system kepartaian di Indonesia, yakni (1) hilangnya peran ideology partai
sebagai factor penentu perilaku koalisi partai; (2) sikap permisif dalam pembentukan koalisi; (3) tiadanya
oposisi; (4) hasil-hasil pemilu
hampir-hampir tidak berpengaruh dalam menentukan perilaku partai politik; dan
(5) kuatnya kecendrungan partai untuk bertindak secara kolektif sebagai suatu kelompok.
Terjadinya kartelisasi politik sekedar untuk menjaga
kelangsungan hidup kolektif. Dengan demikian, ungkap Ambardi (2009),
keberlangsungan hidup mereka ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga
berbagai sumber keuangan yang ada, terutama yang berasal dari pemerintah melalui
jabatan-jabatan politik, baik di eksekutif
maupun legislative. Kalau perilaku politik sudah terbentuk melalui
mekanisme kartel, maka sangat sulit untuk mengharapkan kepemimpinan yang baik,
benar dan bersih, serta karismatik.
Namun demikian, usaha untuk melahirkan kepemimpinan
ideal yang mampu membawa bangsa ini keluar dari krisis moral terus diupayakan,
salah satunya dengan mencari paradigma baru kepemimpinan melalui kaderisasi
multiranah, baik ranah politik, NGO, Organisasi social keagamaan, organisasi
kepemudaan dan Himpunan kemahasiswaan dan pelatihan kepemimpinan lainnya.
Dengan adanya kaderaisasi kepemimpinan melalui multiranah di atas dihajatkan
terlahir kepemimpinan yang mumpuni di bidang atau ranah masing-masing, apalagi system multi partai yang dianut di Indonesia
tentu menjadi peluang tersendiri bagi hadirnya pemimpin-pemimpin bangsa melalui
partainya masing-masing.
Dari sekian banyak model kepemimpinan yang ada, maka
menurut hemat saya, bangsa Indonesia membutuhkan model paradigm kepemimpinan
yang transformasional untuk selalu menjaga agar perubahan yang berlangsung
melibatkan segenap komponen bangsa menuju keadaan yang lebih baik. Pemimpin
transformasional, demikan diungkapkan Hasibuan (2008)[11]
memiliki kesamaan perilaku yaitu visioning,
inspiring, stimulating, coaching, dan team
building.
Pemimpin transformasional mampu membuat bangsa ini
lebih berharga daripada sekedar kepentingan kelompok dan mampu
menginternalisasikan nilai-nilai pendorong kepada segenap warganya untuk
bergerak maju mencapai suatu tujuan. Pemimpin transformasional harus
berkarakter melayani (servant leader),
menekankan konsistensi sikap etis terhadap orang yang dipimpinnya. Menurut Jim
Laub (1999) sebagaimana dikutip oleh Hasibuan (2008), servant leader mempunyai
karakteristik, yakni menghargai orang lain dengan mendengarkan dan
mempercayainya, memberdayakan orang lain dengan keteladanan, membangun
komunitas yang menghargai perbedaan, membangun autentisitas melalui integritas
dan kepercayaan, memberikan perspektif masa depan dan mengambil inisiatif, dan
berbagi kepemimpinan untuk membentuk visi bersama.
Keenam karakteristik tersebut sangat relevan dengan
falsafah bangsa Indonesia. Servant leadership memiliki akar pada budaya bangsa
kita. Buktinya keberhasilan perjuangan rakyat dengan para pamongnya di
desa-desa pada tahun-tahun pertama kemerdekaan mampu dilaluinya dengan baik
walaupun dalam situasi yang serba sulit. Nah, nilai-nilai yang ada dalam
servant leadership inilah yang sudah melapuk dan bahkan ditinggalkan selama
beberapa fase kepemimpinan nasional sampai dewasa ini.
*********
[6] John C. Maxwell, 2001, The 21 Indispensable Qualities Of A Leader,
pent. Alvin Saputra, Jakarta: Interaksara
[7] Fathanah yaitu suatu
sifat yang dapat memahami hakekat segala sesuatu yang bersumber pada nurani,
bimbingan, dan pengarahan Allah Swt. Secara langsung ataupun tidak langsung
melalui perantara-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar