Idealitas para
sesepuh Bayan, sebagaimana tertuang dalam ideologi “Bayan pusat dunia” hanya
berada pada tataran konsep dan sangat sulit untuk direalisasikan dalam setting
perilaku atau tata kelakuan, hal itu disebabkan karena Islam Bayan tidak mempunyai suatu pedoman yang sama yang dijadikan
sebagai doktrin atau ajaran. Apalagi faktisitas Islam Bayan hidup di dalam caln-clan
yang tersebar di beberapa tempat di pulau Lombok tetapi dalam keyakinan dan
kebudayaan penganut Islam Bayan tetap
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, seperti terncantum dalam diktum
‘’Telu Warne Sopok Darak”. Atau
dengan kata lain, sekalipun orang-orang dari desa akar-akar, selengan, sukadana
dan Bayan Belek terpisah oleh batas-batas administrative dan fisik tetapi pada
hakekatnya satu, sebab mereka berkeyakinan bahwa nenek moyangnya dimakamkan di
makam Reak yang terletak di samping masjid Kuno Bayan Belek. Forma keterikatan
mereka tercermin melalui acara-acara ritual adat dan aktivitas-aktivitas seperti
renovasi masjid kuno, makam pusat dan perayaan hari-hari besar Islam lainnya.
Leluhur orang
bayan hidup di dunia roh atau alam halus, demikian dijelaskan oleh pemangku
adat dusun segenter, sukadana. Pada ranah ini, orang-orang bayan berkeyakinan
bahwa leluhur mereka mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan tuhan
(sepengkulo) atau dengan perkataan lain, bahwa arwah leluhur itu dapat
berfungsi sebagai sebagai wasilah antara manusia dengan tuhan dan dapat membawa
berkah, meberikan perlindungan kepad anak keturunannya yang masih hidup
terutama dalam kesejahteraan, kebahagiaan dan ketentraman, oleh karena itu,
mengabaikan atau melupakan para arwah leluhur dianggap pantangan atau pemalik atau
dalam kosa kata sosiologi agama disebut ‘’tabu’’ (Thomas O. Dea). Pantangan
atau pemalik menjadi efektif karena diperkuat dengan bentuk sangsi yang
bersifat supranatural dalam forma ketemuk,
tular manuh, dan kebendon atau dapat berwujud malapetaka bagi mereka yang
melanggar pemalik atau pantangan tersebut. Misalnya kematian, gagal panen,
bencana alam (gempa bumi, gunung meletus, banjir) dan berbagai bencana lainnya.
Bagi mereka yang terkena salah satu bentuk bencana tersebut, dianjurkan untuk
memperbaiki kembali hubungannnya dengan arwah leluhur dengan cara mengadakan
upacara yang disebut ‘’lohor jumat” atau suatu bentuk upacara yang bertujuan
agar terhindar dari mala petaka yang lebih besar.
Raden Gedarip
salah seorang pemangku adat dusun karang salah bayan mengungkapkan bahwa
pemalik mempunyai beberapa tingkatan yaitu, pertama, Pemalik Sora Kanggo tebait, ini
merupakan tingkatan pemalik paling ringan. Perbuatan yang termasuk dalam kategori
pantangan ini seperti larangan memakan daging babi, daging anjing, menghina
orang lain dan mengeluarkan perkataan kotor.
Kedua, pemalik doang (pemalik tingkat pertengahan), perbuatan yang termasuk
dalam pantangan ini adalah seperti melanggar perintah orang tua yang mengarah
pada perbuatan durhaka, kawin dengan saudara kandung, kawin dengan orang diluar
kelompoknya dan hukuman bagi mereka yang melanggar pantangan ini adalah diusir
dari kampung. Ketiga, pemalik leket, merupakan
pantangan tingkatan paling berat, seperti membunuh dan menghilangkan nyawa
orang lain, berzina, mencuri, nyihir (neluh) dengan tujuan menghilangkan nyawa
orang lain, menyepelekan arwah leluhur, bagi mereka yang melanggara pantangan
ini hanya satu hukumannya, yaitu hukuman mati.
Dengan adanya
sistem nilai budaya (pemalik) tersebut diharapkan mampu menciptakan pribadi
warga masyarakat yang memiliki mentalitas dan moralitas yang unggul yakni
pribadi yang konsisten melaksanakan norma-norma moral, ikhlas menerima dan
melaksanakan kewajiban sebagai warga masyarakat Bayan, seperti melaksanakan
acara-acara ritual keagamaaan maupun adat, memberikan sedekah kepada kiai dan
pemangku adat, sebab kiai atau pemangku adat mempunyai kedudukan istimewa dalam
masyarakat Islam Bayan, yaitu
merekalah yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan segala macam bentuk
acara-acara ritual, baik keagamaan maupun adat. Seseorang yang memiliki sikap
dan tingkah laku berdasarkan standarisasi sebagaimana tersebut diatas berarti
telah ikut berpartisipasi dalam melaksanakan tugas sebagai penjaga dan
pemelihara kelestarian Bayan sebagai pusat dunia.
Persoalannya, bagaimana kedudukan arwah nenek moyang
dalam konsepsi Islam Waktu Lima
(sunni)? Dalam pandangan Islam Sunni
pada prinsipnya mempunyai kepercayaan yang sama dengan Islam Bayan bahwa arwah orang-orang yang telah meninggal dunia akan
kembali kepangkuan Tuhan dan roh itu bersifat kekal (tidak hancur sebagaimana
badan manusia), tetapi perbedaannya terletak pada kepercayaan bahwa kedudukan
arwah orang yang meninggal dunia dalam konsep Ialam Bayan dapat dijadikan wasilah, maka dalam Konsep Islam Sunni kepercayaan model itu
tergolong syirik atau menyekutukan Tuhan dan termasuk dosa besar yang tidak bisa
terampuni. Namun yang jelas bahwa kepercayaan terhadap arwah leluhur sebagai
wasilah itu mempunyai implikasi yang besar terhadap sikap dan prilaku
masyarakat Islam Bayan, seperti
adanya Ijmak untuk tetap memelihara dan menjaga semua peninggalan leluhur, baik
yang bersifat fisik maupun sistem sosial yang tercermin dalam adat istiadat dan
tetap menjaga kebersamaan diantara sesama Islam
Bayan maupun dengan masyarakat lainnya.
Wallahul Musta’an ila Darussalam.
0 komentar:
Posting Komentar