Rabu, 06 Juni 2012

MENELUSURI JEJAK ISLAM BAYAN: IDEOLOGI BAYAN


Idealitas para sesepuh Bayan, sebagaimana tertuang dalam ideologi “Bayan pusat dunia” hanya berada pada tataran konsep dan sangat sulit untuk direalisasikan dalam setting perilaku atau tata kelakuan, hal itu disebabkan karena Islam Bayan tidak mempunyai suatu pedoman yang sama yang dijadikan sebagai doktrin atau ajaran. Apalagi faktisitas Islam Bayan hidup di dalam caln-clan yang tersebar di beberapa tempat di pulau Lombok tetapi dalam keyakinan dan kebudayaan penganut Islam Bayan tetap merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, seperti terncantum dalam diktum ‘’Telu Warne Sopok Darak”. Atau dengan kata lain, sekalipun orang-orang dari desa akar-akar, selengan, sukadana dan Bayan Belek terpisah oleh batas-batas administrative dan fisik tetapi pada hakekatnya satu, sebab mereka berkeyakinan bahwa nenek moyangnya dimakamkan di makam Reak yang terletak di samping masjid Kuno Bayan Belek. Forma keterikatan mereka tercermin melalui acara-acara ritual adat dan aktivitas-aktivitas seperti renovasi masjid kuno, makam pusat dan perayaan hari-hari besar Islam lainnya.
Leluhur orang bayan hidup di dunia roh atau alam halus, demikian dijelaskan oleh pemangku adat dusun segenter, sukadana. Pada ranah ini, orang-orang bayan berkeyakinan bahwa leluhur mereka mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan tuhan (sepengkulo) atau dengan perkataan lain, bahwa arwah leluhur itu dapat berfungsi sebagai sebagai wasilah antara manusia dengan tuhan dan dapat membawa berkah, meberikan perlindungan kepad anak keturunannya yang masih hidup terutama dalam kesejahteraan, kebahagiaan dan ketentraman, oleh karena itu, mengabaikan atau melupakan para arwah leluhur dianggap pantangan atau pemalik atau dalam kosa kata sosiologi agama disebut ‘’tabu’’ (Thomas O. Dea). Pantangan atau pemalik menjadi efektif karena diperkuat dengan bentuk sangsi yang bersifat supranatural dalam forma ketemuk, tular manuh, dan kebendon atau dapat berwujud malapetaka bagi mereka yang melanggar pemalik atau pantangan tersebut. Misalnya kematian, gagal panen, bencana alam (gempa bumi, gunung meletus, banjir) dan berbagai bencana lainnya. Bagi mereka yang terkena salah satu bentuk bencana tersebut, dianjurkan untuk memperbaiki kembali hubungannnya dengan arwah leluhur dengan cara mengadakan upacara yang disebut ‘’lohor jumat” atau suatu bentuk upacara yang bertujuan agar terhindar dari mala petaka yang lebih besar.
Raden Gedarip salah seorang pemangku adat dusun karang salah bayan mengungkapkan bahwa pemalik mempunyai beberapa tingkatan yaitu, pertama, Pemalik Sora Kanggo tebait, ini merupakan tingkatan pemalik paling ringan. Perbuatan yang termasuk dalam kategori pantangan ini seperti larangan memakan daging babi, daging anjing, menghina orang lain dan mengeluarkan perkataan kotor. Kedua, pemalik doang (pemalik tingkat pertengahan), perbuatan yang termasuk dalam pantangan ini adalah seperti melanggar perintah orang tua yang mengarah pada perbuatan durhaka, kawin dengan saudara kandung, kawin dengan orang diluar kelompoknya dan hukuman bagi mereka yang melanggar pantangan ini adalah diusir dari kampung. Ketiga, pemalik leket, merupakan pantangan tingkatan paling berat, seperti membunuh dan menghilangkan nyawa orang lain, berzina, mencuri, nyihir (neluh) dengan tujuan menghilangkan nyawa orang lain, menyepelekan arwah leluhur, bagi mereka yang melanggara pantangan ini hanya satu hukumannya, yaitu hukuman mati. 
Dengan adanya sistem nilai budaya (pemalik) tersebut diharapkan mampu menciptakan pribadi warga masyarakat yang memiliki mentalitas dan moralitas yang unggul yakni pribadi yang konsisten melaksanakan norma-norma moral, ikhlas menerima dan melaksanakan kewajiban sebagai warga masyarakat Bayan, seperti melaksanakan acara-acara ritual keagamaaan maupun adat, memberikan sedekah kepada kiai dan pemangku adat, sebab kiai atau pemangku adat mempunyai kedudukan istimewa dalam masyarakat Islam Bayan, yaitu merekalah yang mempunyai kewajiban untuk melaksanakan segala macam bentuk acara-acara ritual, baik keagamaan maupun adat. Seseorang yang memiliki sikap dan tingkah laku berdasarkan standarisasi sebagaimana tersebut diatas berarti telah ikut berpartisipasi dalam melaksanakan tugas sebagai penjaga dan pemelihara kelestarian Bayan sebagai pusat dunia.
Persoalannya, bagaimana kedudukan arwah nenek moyang dalam konsepsi Islam Waktu Lima (sunni)? Dalam pandangan Islam Sunni pada prinsipnya mempunyai kepercayaan yang sama dengan Islam Bayan bahwa arwah orang-orang yang telah meninggal dunia akan kembali kepangkuan Tuhan dan roh itu bersifat kekal (tidak hancur sebagaimana badan manusia), tetapi perbedaannya terletak pada kepercayaan bahwa kedudukan arwah orang yang meninggal dunia dalam konsep Ialam Bayan dapat dijadikan wasilah, maka dalam Konsep Islam Sunni kepercayaan model itu tergolong syirik atau menyekutukan Tuhan dan termasuk dosa besar yang tidak bisa terampuni. Namun yang jelas bahwa kepercayaan terhadap arwah leluhur sebagai wasilah itu mempunyai implikasi yang besar terhadap sikap dan prilaku masyarakat Islam Bayan, seperti adanya Ijmak untuk tetap memelihara dan menjaga semua peninggalan leluhur, baik yang bersifat fisik maupun sistem sosial yang tercermin dalam adat istiadat dan tetap menjaga kebersamaan diantara sesama Islam Bayan maupun dengan masyarakat lainnya. Wallahul Musta’an ila Darussalam.

0 komentar: