Rabu, 06 Juni 2012

MENELUSURI JEJAK ISLAM BAYAN (V) : SISTEM NILAI


Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Islam Bayan masih tetap berpegang pada tata aturan dan nilai-nilai tradisi lama yang merupakan warisan turun temurun dari nenek moyangnya yang disebut pemalik.  Pemalik bukan hanya sekumpulan larangan atau pantangan yang sudah baku, tetapi juga merupakan aturan main yang harus dipegang dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Adanya tata aturan dan nilai-nilai dimaksudkan untuk memudahkan hubungan diantara mereka sebagai suatu komunitas yang saling bantu membantu, tolong menolong dan merupakan kepentingan sosial yang tercermin di dalam adat istiadat atau sistem nilai sosial budaya. Pada dasarnya sistem nilai sosial budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup di dalam alam pikiran sebagaian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap sangat bernilai dalam hidup (koentjaraningrat, 1975).  
Sistim nilai sosial budaya itu berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia dan sejak kecil masyarakat sudah sejak lama berakar dalam jiwa masyarakat, oleh karena sangat kecil kemungkinan untuk berubah dalam waktu singkat. Termasuk di dalam sistim nilai sosial ini adalah tata susila adat istiadat.
Nilai-nilai sosial  ini merupakan ukuran dalam menilai tindakan dalam hubungannya dengan orang  lain (soejito). Dengan nilai-nilai sosial ini, masyarakat Islam Bayan yang satu dapat memperhitungkan tindakan-tindakan yang akan dilakukan oleh pihak lain (seperti perlakuan Islam waktu lima terhadap Islam Bayan selama ini), hal ini menimbulkan kecemasan dan ketakutan. Demikian juga, jika tidak ada keseragaman di dalam penilaian dan dalam suatu masyarakat yang sama, akibatnya akan terjadi saling curiga-mencurigai bahkan konflik sosial.   
Ada beberapa nilai di dalam Islam Bayan yang dijadikan sebagai pedoman bertingkah laku dan bertindak. Pertama, Nilai lenggeng, maksudnya pribadi yang konsisten melaksanakan seluruh nilai-nilai moral dan sosial yang ada. Nilai lenggeng ini analog dengan nilai ikhlas menerima dan melaksanakan kewajiban sebagai warga masyarakat Islam Bayan. Seseorang yang memiliki sikap dan tingkah laku lenggeng berarti telah melaksanakan tugas nya sebagai warga masyarakat Bayan Pusat Dunia.
Kedua, Nilai pacu berarti yang sungguh mengerti bahwa kejujuran adalah landasan fundamental bagi hubungan dalam masyarakat, demikian juga dengan ketaatan menjalankan aturan-aturan akan melahirkan citra dan derajat moral yang tinggi. Bentuk perilaku pacu yaitu bersikap sabar, sopan santun dan rendah hati.
Ketiga, masyarakat Islam Bayan harus menampilkan nilai-nilai patut. Yang berarti manusia dalam hidupnya harus selalu berusaha untuk mentaati batas-batas kepantasan menjauhi segala sesuatu yang berlebihan. Pada dasarnya nilai-nilai patut, menekankan pentingnya asa equilibrium atau keseimbangan dalam kehidupan manusia sebagai individu dan masyarakat untuk kemudian menampilkan sikap sederhana dalam segala bidang aspek kehidupan.
Keempat, nilai patuh berarti rukun yang harus mengharuskan setiap pribadi untuk selalu bersikap dan berbuat baik kepada sesama, bersifat sabar, menahan diri dan selalu sedia untuk berbagi rasa sesama warga masyarakat, baik dalam keadaan suka maupun duka. Patuh juga dapat berarti tunggal atau satu. Dalam masyarakat Islam Bayan,  nilai patuh merupakan pedoman untuk manunggal, menyatukan seluruh cipta, rasa dan karsa ke dalam arus tunggal yaitu Bayan Pusat Dunia. Dan akhirnya patuh dapat berarti damai yaitu merupakan konsekuensi logis dari kesdaran Bayan Pusat Dunia atau dengan kata lain apabila bayan damai, maka seluruh wilayah bumi akan damai, begitu juga sebaliknya, apabila bayan dalam keadaan konflik maka seluruh wilayah akan mengalami ketidakamanan. Oleh karena itu, Bayan sebagai pusat dunia harus selalu dalam kondisi ideal yakni bayan yang damai, adil, makmur dan bahagia.
Sebagaimana penjelasan diatas, maka tujuan nilai-nilai sosial ialah untuk mengadakan tata nilai atau ketertiban. Tata nilai ini hanya mungkin, jika nilai-nilai sosial itu mempunyai wadah untuk menegakkannya, karena tanpa wadah yang jelas, nilai-nilai sosial tersebut tidak mempunyai daya pengatur. Wadah yang dimaksud disini adalah struktur atau susunan masyarakat seperti hanya susunan kepangkatan dalam dunia sipil maupun militer, maka struktur masyarakat mempunyai tugas untuk menegakkan disiplin dan di dalam struktur masyarakat inilah ditegakkan perbedaan antara wewenang, pengaruh dan kekuasaan suatu lapisan masyarakat. Hal ini disebabkan karena penggolongan masyareakat tidak lain dari pembagian masyarakat di dalam berbagai lapisan menurut pengaruh dari kekuasaan golongan itu (Sorokin). Jadi struktur dalam masyarakat mencerminkan perbedaan antara kekuasaan dan pengaruh dari warga masyarakat itu, dia pula yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang besar.
Disamping itu, ukuran kekuasaan dan pengaruh berbeda-beda dari zaman yang satu dengan zaman yang lain. Pada waktu masyarakat terdiri dari kasta-kasta, maka ukuran kekuasaan dan pengaruh diukur dan ditentukan mula-mula oleh kepemilikan tanah dan tenaga manusia, baru setelah kekuasaan dan pengaruh lebih kokoh diadakanlah ukuran baru yaitu keturunan. Jika kebetulan ada kasta rendah yang kemudian berkuasa, maka dicarilah alasan (justivication) untuk membenarkan kedudukan yang baru ini (evos ken arok mencerminkan keadaan ini).
Di daerah Lombok umumnya, dan daerah Bayan khusunya tidak mengenal adanya kasta, seperti di dalam masyarakat Hindu-Bali, tetapi di Lombok mengenal adanya sistim pelapisan sosial (social stratification) yang bersumber dari pancaran laki-laki. Ada taiga sistim pelapisan dalam masyarakat Lombok yaiut, Perwangse, Triwangse, Dan Jajar Karang (Sven Cedorroth). Lapisan sosial paling tinggi adalah Perwangse menggunakan gelar raden, untuk laki-laki dan gelar denda bagi perempuannya.
Sedangkan Triwangse menggunakan gelar lalu untuk laki-laki dan baiq untuk perempuannya. Ada satu hal yang menarik untuk dikaji yaitu Perwangse memiliki lapisan sosial yang paling tinggi di dalam masyarakat Lombok, tetapi selama ini tidak pernah menduduki jabatan setrategis di dalam pemerintahan, malah yang mempunayi posisi penting adalah mereka yang berasal dari Triwangse dan sebagian Jajar Kayang.
Persoalannya, mengapa hal itu bisa terjadi atau apakah telah terjadi kesalahan sejarah di dalam penentuan sistem pelapisan sosial di Lombok dan apakah ada proses depolitisasi untuk menjatuhkan para Perwangse yang sebagian besar penganut Islam Waktu Telu atau Islam Bayan? Untuk menjawabnya memang perlu penelitian dan pengkajian, sebab hal itu menyangkut persoalan masyarakat yang cukup rumit. Wallaahu Musta`an Ila Darissalaam

0 komentar: