Dalam kehidupan
sehari-hari, masyarakat Islam Bayan masih
tetap berpegang pada tata aturan dan nilai-nilai tradisi lama yang merupakan
warisan turun temurun dari nenek moyangnya yang disebut pemalik. Pemalik bukan hanya sekumpulan larangan atau
pantangan yang sudah baku, tetapi juga merupakan aturan main yang harus
dipegang dan diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Adanya tata
aturan dan nilai-nilai dimaksudkan untuk memudahkan hubungan diantara mereka
sebagai suatu komunitas yang saling bantu membantu, tolong menolong dan
merupakan kepentingan sosial yang tercermin di dalam adat istiadat atau sistem
nilai sosial budaya. Pada dasarnya sistem nilai sosial budaya terdiri dari
konsepsi-konsepsi yang hidup di dalam alam pikiran sebagaian besar warga
masyarakat, mengenai hal-hal yang dianggap sangat bernilai dalam hidup
(koentjaraningrat, 1975).
Sistim nilai sosial
budaya itu berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia dan sejak
kecil masyarakat sudah sejak lama berakar dalam jiwa masyarakat, oleh karena
sangat kecil kemungkinan untuk berubah dalam waktu singkat. Termasuk di dalam sistim
nilai sosial ini adalah tata susila adat istiadat.
Nilai-nilai sosial ini merupakan ukuran dalam menilai tindakan
dalam hubungannya dengan orang lain
(soejito). Dengan nilai-nilai sosial ini, masyarakat Islam Bayan yang satu dapat memperhitungkan tindakan-tindakan yang
akan dilakukan oleh pihak lain (seperti perlakuan Islam waktu lima terhadap Islam Bayan selama ini), hal ini menimbulkan kecemasan dan ketakutan.
Demikian juga, jika tidak ada keseragaman di dalam penilaian dan dalam suatu
masyarakat yang sama, akibatnya akan terjadi saling curiga-mencurigai bahkan
konflik sosial.
Ada beberapa nilai di dalam Islam Bayan yang dijadikan sebagai
pedoman bertingkah laku dan bertindak. Pertama,
Nilai lenggeng, maksudnya pribadi
yang konsisten melaksanakan seluruh nilai-nilai moral dan sosial yang ada.
Nilai lenggeng ini analog dengan
nilai ikhlas menerima dan melaksanakan kewajiban sebagai warga masyarakat Islam Bayan. Seseorang yang memiliki
sikap dan tingkah laku lenggeng berarti telah melaksanakan tugas nya sebagai
warga masyarakat Bayan Pusat Dunia.
Kedua, Nilai pacu berarti yang sungguh mengerti bahwa
kejujuran adalah landasan fundamental bagi hubungan dalam masyarakat, demikian
juga dengan ketaatan menjalankan aturan-aturan akan melahirkan citra dan
derajat moral yang tinggi. Bentuk perilaku pacu yaitu bersikap sabar, sopan
santun dan rendah hati.
Ketiga, masyarakat Islam Bayan harus menampilkan
nilai-nilai patut. Yang berarti manusia dalam hidupnya harus selalu berusaha
untuk mentaati batas-batas kepantasan menjauhi segala sesuatu yang berlebihan.
Pada dasarnya nilai-nilai patut, menekankan pentingnya asa equilibrium atau keseimbangan dalam kehidupan manusia sebagai
individu dan masyarakat untuk kemudian menampilkan sikap sederhana dalam segala
bidang aspek kehidupan.
Keempat, nilai patuh
berarti rukun yang harus mengharuskan setiap pribadi untuk selalu bersikap dan
berbuat baik kepada sesama, bersifat sabar, menahan diri dan selalu sedia untuk
berbagi rasa sesama warga masyarakat, baik dalam keadaan suka maupun duka.
Patuh juga dapat berarti tunggal atau satu. Dalam masyarakat Islam Bayan, nilai patuh merupakan pedoman untuk
manunggal, menyatukan seluruh cipta, rasa dan karsa ke dalam arus tunggal yaitu
Bayan Pusat Dunia. Dan akhirnya patuh dapat berarti damai yaitu merupakan
konsekuensi logis dari kesdaran Bayan Pusat Dunia atau dengan kata lain apabila
bayan damai, maka seluruh wilayah bumi akan damai, begitu juga sebaliknya,
apabila bayan dalam keadaan konflik maka seluruh wilayah akan mengalami
ketidakamanan. Oleh karena itu, Bayan sebagai pusat dunia harus selalu dalam
kondisi ideal yakni bayan yang damai, adil, makmur dan bahagia.
Sebagaimana penjelasan diatas, maka
tujuan nilai-nilai sosial ialah untuk mengadakan tata nilai atau ketertiban.
Tata nilai ini hanya mungkin, jika nilai-nilai sosial itu mempunyai wadah untuk
menegakkannya, karena tanpa wadah yang jelas, nilai-nilai sosial tersebut tidak
mempunyai daya pengatur. Wadah yang dimaksud disini adalah struktur atau
susunan masyarakat seperti hanya susunan kepangkatan dalam dunia sipil maupun
militer, maka struktur masyarakat mempunyai tugas untuk menegakkan disiplin dan
di dalam struktur masyarakat inilah ditegakkan perbedaan antara wewenang,
pengaruh dan kekuasaan suatu lapisan masyarakat. Hal ini disebabkan karena
penggolongan masyareakat tidak lain dari pembagian masyarakat di dalam berbagai
lapisan menurut pengaruh dari kekuasaan golongan itu (Sorokin). Jadi struktur
dalam masyarakat mencerminkan perbedaan antara kekuasaan dan pengaruh dari
warga masyarakat itu, dia pula yang mempunyai kekuasaan dan pengaruh yang
besar.
Disamping itu, ukuran kekuasaan dan
pengaruh berbeda-beda dari zaman yang satu dengan zaman yang lain. Pada waktu
masyarakat terdiri dari kasta-kasta, maka ukuran kekuasaan dan pengaruh diukur
dan ditentukan mula-mula oleh kepemilikan tanah dan tenaga manusia, baru
setelah kekuasaan dan pengaruh lebih kokoh diadakanlah ukuran baru yaitu
keturunan. Jika kebetulan ada kasta rendah yang kemudian berkuasa, maka
dicarilah alasan (justivication)
untuk membenarkan kedudukan yang baru ini (evos ken arok mencerminkan keadaan
ini).
Di daerah Lombok umumnya, dan daerah Bayan khusunya tidak mengenal adanya kasta, seperti di dalam masyarakat
Hindu-Bali, tetapi di Lombok mengenal adanya sistim pelapisan sosial (social stratification) yang bersumber
dari pancaran laki-laki. Ada taiga sistim pelapisan dalam masyarakat Lombok
yaiut, Perwangse, Triwangse, Dan Jajar Karang (Sven Cedorroth). Lapisan sosial
paling tinggi adalah Perwangse
menggunakan gelar raden, untuk
laki-laki dan gelar denda bagi
perempuannya.
Sedangkan Triwangse menggunakan gelar lalu
untuk laki-laki dan baiq untuk
perempuannya. Ada satu hal yang menarik untuk dikaji yaitu Perwangse memiliki lapisan sosial yang paling tinggi di dalam
masyarakat Lombok, tetapi selama ini tidak pernah menduduki jabatan setrategis
di dalam pemerintahan, malah yang mempunayi posisi penting adalah mereka yang
berasal dari Triwangse dan sebagian Jajar Kayang.
Persoalannya, mengapa hal itu bisa terjadi atau apakah
telah terjadi kesalahan sejarah di dalam penentuan sistem pelapisan sosial di
Lombok dan apakah ada proses depolitisasi untuk menjatuhkan para Perwangse yang sebagian besar penganut Islam Waktu Telu atau Islam Bayan? Untuk menjawabnya memang
perlu penelitian dan pengkajian, sebab hal itu menyangkut persoalan masyarakat
yang cukup rumit. Wallaahu Musta`an Ila
Darissalaam
0 komentar:
Posting Komentar