Itulah label baru yang diberikan untuk daerah 
Nusa Tenggara Barat (NTB) oleh cendekiawan dan budayawan Emha Ainun 
Najib atau lebih dikenal dengan Cak Nun. Sebelumnya label-label serupa 
pernah melekat untuk daerah Nusa Tenggara Barat, seperti Bumi Gora, Bumi
 Seribu Masjid dan Bumi Sejuta Sapi. Pelabelan apapun yang diberikan 
untuk daerah Bumi Gora (saya lebih senang menyebut label ini)
 sah-sah saja. Hanya saja, pelabelan itu tidak hanya sebatas labelling 
semata, tetapi harus diatur dan sesuai dengan konteks sosial 
masyarakatnya. Artinya label itu seharusnya lahir dari konstruksi oleh 
dan dari kondisi nyata masyarakatnya, sehingga tidak terkesan labelling 
instan oleh kelompok kepentingan.
 Label apapun yang diberikan 
untuk daerah Nusa Tenggara Barat masih sangat terbuka asalkan sesuai 
dengan konteks dan kondisi sosio-budaya masyarakatnya. Siapapun boleh 
melabeli daerah ini dengan label apapun, termasuk label Serambi Madinah.
 Saya pun dan kita semua dapat melabeli daerah kelahiran ini dengan 
dengan label Bumi Kuda Sembrani dan atau Bumi Sejuta TKI. Karena daerah 
Nusa Tenggara Barat sumber pekerja untuk menjadi TKI dan Kuda yang 
terkenal dari dulu kuda dari Sumbawa (termasuk salah satu kuda di Kraton
 Yogyakarta Hadiningrat) berasal dari Sumbawa.
 
 Umumnya, 
terdapat tiga alasan labeling atau penamaan sesuatu, apakah nama mobil, 
lembaga atau yayasan pendidikan, dan binatang kesayangan, juga termasuk 
menamakan anak-anak kita. Pertama, alasan sejarah. Maksudnya penamaan 
itu untuk mengabadikan sesuatu yang dianggap memiliki nilai-nilai 
sejarah sehingga generasi ke depannya bisa membaca dengan benar siapa 
dan apa yang termaktub dibalik nama atau label itu. Kedua, kelebihan 
atau keunikan. Maksudnya penamaan atau lebelling itu berkaitan dengan 
kelebihan dan karakter yang dimiliki oleh suatu daerah, seperti hasil 
produksi masyarakat yang menonjol dan karakter atau perilaku 
masyarakatnya yang unik, seperti penamaan Islam Wetu Telu, Kejawen, 
Islam Jawa, Islam Badui dan Samin di Kudus. Ketiga, ikut-ikutan tren. 
Maksudnya penamaan lebih disebabkan karena orang lain melakukannya, 
sehingga muncul penamaan yang menurut saya aneh dan tidak mendasar, 
misalnya Serambi Madinah, Bumi Sejuta Sapi (mengapa tidak Bumi semiliar 
Kuda, bukankah pulau Sumabawa terkenal dengan kudanya). 
 
 
Tampaknya, penamaan lebih dikarenakan selera atau hasrat besar mengikuti
 tren semata agar lebih cepat dikenal padahal program-programnya tidak 
mengakar di masyarakat. Ya, tampaknya hanya persoalan selera dan hasrat 
semata. Coba saja dicermati bahwa penamaan apapun yang ada sekarang ini 
lebih disebabkan karena hasrat dan selera masyarakat. Penamaan tidak 
lagi didasarkan pada nilai-nilai kesejarahan dan kelebihan atau keunikan
 suatu masyarakat. Latah memang, tapi apa mau dikatakan. Bukankah selera
 dan hasrat masyarakat itu juga lahir dari suatu proses internalisasi 
modernisasi yang tidak tersaring dengan baik yang kemudian memasuki 
dunia private melalui dunia maya?
 
 Oleh karena itu, dewasa ini 
penamaan untuk nama anak-anak kita sudah tidak mencerminkan nilai dan 
budaya masyarakatnya yang sudah tertanam lama. Muncul nama-nama aneh di 
tengah masyarakat, seperti Jhon, Robert, Lolita, George dan nama lain 
padahal mereka beridentas Muslim. Tentu, tidak salah penamaan itu hanya 
latah saja atau ikut-ikutan semata. Hal yang sama juga tampak terlihat 
pada penamaan suatu daerah yang kurang sesuai dengan konteks perilaku 
kehidupan warga masyarakatnya. Cukuplah Nangro Aceh Darussalam 
terlabelkan dengan Serambi Mekah dan tidak usah ada serambi-serambi yang
 lain, apalagi serambi Madinah.
 
 Selaku warga masyarakat Bumi 
Gora, saya berfikir sangat keras dengan usulan label Serambi Madinah 
untuk NTB. Mungkin Emha Ainun Najib atau Cak Nun tidak salah dengan 
usulan label itu, tetapi selaku warga masyarakat Bumi Gora terasa sangat
 berat dan mungkin tidak mampu untuk menterjemahkan nilai-nilai 
kemadinah-an dalam tata laku dan kehidupan keseharian kita. Pada ranah 
paling sederhana, misalnya mengakui eksistensi kelompok atau firqah 
(baca Ahmadiyah, Salafy, Syiah)  yang tidak sepaham dengan mainstream 
kepercayaan kita saja masih belum bisa, lalu bagaimana mau dikatakan 
sebagai Serambi Madinah? 
 Terlalu berat beban psikologis yang mesti ditanggung masyarakat NTB jika label serambi Madinah ditasbihkan.
 
 Saya rasa serambi Madinah atau serambi apapun namanya, cukup 
disemayamkan pada kedirian atau keakuan masyarakat dan tidak usah 
digeneralisir ke level kedaerahan. Maksudnya nilai-nilai keserambian itu
 (Mekah atau Madinah) biarkan terkonstruksi sendiri di kehidupan 
masyarakat NTB, tidak usah dipaksakan dan biarkan mengalir secara 
alamiah agar tidak menjadi beban sejarah atau dosa sejarah masa depan. 
Mutiara akan tetap menjadi mutiara walaupun berada di dasar lautan luas,
 kata pepatah.
 
 Mengapa Serambi Madinah?
 
 Itulah 
pertanyaan yang harus dijawab. Secara sepintas, memang menarik usulan 
label Serambi Madinah diberikan untuk daerah NTB, tetapi usulan Cak Nun 
masih terlalu prematur kalau hanya dilihat dari mayoritas warga NTB 
beragama Islam dan selalu bisa bersilaturahiem. Setidaknya dua alasan 
itu yang terkuak oleh media massa untuk kelayakan NTB dilabel dengan 
Serambi Madinah. Masalahnya, mengapa harus serambi Madinah? Adakah 
kemiripan atau kesamaan NTB dengan Madinah, sehingga mau dilabeli 
serambi Madinah? Atau jangan-jangan label itu hanya pesanan?
 
 
Terserah saja. Namun, mari kita mencoba mengurai apa dan bagaimana 
Negara Madinah yang mau kita bikinkan serambi di Nusa Tenggara Barat. 
Madinah merupakan Negara bentukan Rasulullah Muhammad Saw. Di Negara 
itu, beliau mampu membangun suatu tatanan kehidupan rahmatan lil alamin 
di bawah konstitusi Piagam Madinah. Semua kelompok atau firqah dapat 
hidup damai, saling hormati, tolong menolong, bahu membahu dan saling 
sayang menyayangi. Islam sebagai kepercayaan mayoritas melindungi 
kelompok lain dan rahmat bagi yang lainnya. Seorang muslim dalam rangka 
menegakkan agama Allah menjadi pelindung bagi muslim yang lain (ayat 19 
PM) di saat menghadapi hal-hal yang mengancam keselamatan jiwanya.
 
Sebagai satu kelompok, bani ‘Auf (ayat 25 PM) hidup berdampingan dengan 
kaum muslimin. Kedua pihak memiliki agama masing-masing. Demikian pula 
halnya dengan sekutu dan diri masing-masing. Bila di antara mereka ada 
yang melakukan aniaya dan dosa dalam hubungan ini, maka akibatnya akan 
ditanggung oleh diri dan warganya sendiri. Beberapa ayat dari piagam 
Madinah tersebut sebagai landasan bagi kehidupan bernegara untuk 
masyarakat majemuk di Madinah.
 
 Menurut Munawir Sadzali dalam 
bukunya “Islam dan Tata Negara” yang diterbitkan oleh UI Press 
menyatakan bahwa batu-batu dasar yang telah diletakkan oleh Piagam 
Madinah sebagai landasan bagi kehidupan masyarakat majemuk di dalam 
Negara Madinah menarik beberapa kesimpulan bahwa (1). Semua pemeluk 
Islam, meskipun berasal dari banyak suku tetapi merupakan satu 
komunitas. (2). Hubungan antara semua komunitas Islam dan antara anggota
 komunitas Islam dengan anggota komunitas-komunitas lain di dasarkan 
atas prinsip-prinsip bertetangga baik, saling membantu dalam menghadapi 
musuh bersama dan membela mereka yang teraniaya, saling menasehati, dan 
menghormati kebebasan beragama. (3). Sebagai konstitusi Negara Islam 
yang pertama itu, tidak menyebut agama Negara.
 
 Apa yang 
diuraikan Munawir Sadzali di atas patut di pertimbangkan untuk 
diaplikasikan dalam kehidupan masyarakat Nusa Tenggara Barat yang akan 
dilabeli dengan Serambi Madinah. Menyediakan public sphere untuk 
penerapan nilai-nilai kebersamaan dan toleransi dalam masyarakat majemuk
 menjadi prasyarat dalam Negara Madinah. Tanpa penerapan nilai-nilai 
sebagaimana termaktub dalam Piagam Madinah, rasanya sangat sulit untuk 
menerima label sebagai Serambi Madinah. Kalaupun terpaksa harus menerima
 label itu, maka pasti hanya sebatas simbolik semata-mata dan bisa jadi 
hanya sebatas pencitraan dan hasrat politik.
 
 Jadi, label 
Serambi Madinah masih sangat premature untuk di terapkan di Bumi Gora, 
sebab hal-hal kecil saja, seperti menghargai dan mengakui eksistensi 
kelompok lain saja belum mampu di laksanakan. Masih ingat dengan 
pembakaran kampus warga Ahmadiyah di Lombok Barat sebagai bukti nyata 
ketidakmampuan itu. Dan kasus pembakaran dan pengusiran warga Ahmadiyah 
itu sampai saat ini masih belum jelas penyelesaiannya atau polecy 
problem solving dari pemerintah daerah. 
 
 Mungkin, sebaiknya 
kita melupakan saja label Serambi Madinah itu. Biarkan usulan dan 
pemikiran Cak Nun itu mencari tempatnya sendiri di manapun yang 
dikehendakinya. Yang terpenting adalah masyarakat NTB perlu menyediakan 
ruang publik atau public sphere sebagai tempat berlabuhnya label Serambi
 Madinah itu. Public sphere sebagai suatu medium terlaksananya 
nilai-nilai Piagam Madinah. Tanpa itu, rasanya sulit untuk menerima 
label apapun, apalagi tidak didasarkan pada kondisi nyata masyarakatnya.
 Jika tidak, maka mengapa harus berlabelkan Serambi Madinah. Wallahul 
Musta’an ila Darissalam.
 
 
Jumat, 18 Januari 2013
SERAMBI MADINAH
17.39
  
  No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)






0 komentar:
Posting Komentar