Akhir-akhir ini media massa (baik cetak maupun
elektronik) memberitakan tentang pemerkosaan terhadap anak di bawah
umur. Tindakan pemerkosaan itu tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi
juga terjadi di belahan dunia lainnya, seperti Amerika Serikat, India,
dan Korea Selatan. Perbuatan tidak senonoh atau amoral itu menjadi
perbincangan hangat dan menarik gara-gara
yang menjadi korbannya adalah anak-anak berumur belasan tahun. Tentu,
siapapun akan mengerutkan keningnya ketika tahu bahwa anak yang menjadi
korban itu ternyata anaknya sendiri. Artinya pelaku pemerkosaan itu
adalah bapaknya sendiri.
Berkaitan dengan itu, tentu, kita
masih ingat kisah Sangkuriang, bukan? Ia adalah anak kecil yang suka
berburu dan masuk hutan. Suatu ketika ia tidak menemukan binatang
perburuannya. Lalu, ia membunuh binatang kesayangan ibunya. Hati
binatang itu ia bawa pulang lalu dimasak, kemudian ia persembahkan
masakan kepada ibunya. Sang ibu yang mulai menyadari bahwa binatang
kesayangannya lenyap, akhirnya tahu bahwa hati yang telah dimasak dan
disantapnya itu adalah hati binatang kesayangannya. Ia marah. Lalu
mengusir si anak.
Bertahun-tahun si anak mengembara. Setelah
kembali, ia telah menjadi pemuda gagah dan tampan. Anehnya, sang ibu
tetap menjadi perempuan yang cantik rupawan. Akhirnya, Sangkuriang
tertarik pada ibunya sendiri. Ia jatuh cinta kepada ibunya layaknya
seorang pemuda yang terkena panah cupid atau cinta yang dilepaskan oleh
seorang gadis.
Kisah cinta Sangkuriang berbeda dengan kisah RI (11
Tahun) yang menjadi korban pemerkosaan meninggal dunia. Persamaannya
sama-sama melakukan terjebak pada cinta terlarang, tetapi Sangkuriang
tidak sampai melakukan hubungan intim dengan bundanya, sementara RI
terjebak ke dalam cinta terlarang cukup lama dan mengalami shock berat
yang akhirnya meninggal dunia. RI adalah enam bersaudara dari keluarga
miskin. Ayahnya seorang pemulung yang tinggal di Rawa Bebek Cakung,
Jakarta Timur. Tentu, dapat dibayangkan bagaimana kehidupan sehari-hari
dari keluarga itu.
Naas, derita yang dialami RI (11 Tahun) bila
dibandingkan dengan Bunga 14 Tahun yang baru saja melahirkan seorang
bayi laki-laki dengan berat 2,5 kg, hasil dari cinta terlarang dengan
ayah tirinya. Namun, bunga lebih beruntung karena ayah tirinya siap
bertanggung jawab dan mau membesarkan serta merawat anaknya walaupun
sang ayah tiri masih mendekam di dalam penjara. Sementara RI setelah
lama menderita akibat tekanan dan ancaman dari ayahnya sendiri harus
meninggalkan dunia untuk menghadap sang Khalik. Pada aras ini, tidak
perlu diperdebatkan derita yang dibawanya sampai mati.
Baik
Sangkuriang, RI, maupun Bunga memang sudah terjebak ke dalam cinta
terlarang. Apapun motif dan alasan yang mendorong tiga manusia beda
zaman itu terjebak ke dalam cinta terlarang, tapi yang pasti bahwa
ketiganya telah melakukan tindakan amoral bila dilihat dari perspektif
etik-keberagamaan. Tindakan amoral itu seharusnya tidak terjadi kalau
ketiganya sadar diri dan mampu mengontrol nafsu hayawaninya. Dilihat
dari perspektif manapun, tindakan ketiganya tidak dapat dibenarkan
secara hukum, baik hukum formal maupun hukum agama.
Hukum Mati saja?
Kesepian, kesedihan, kesengsaraan, putus asa, lupa diri dan bercampur
nafsu hayawani dimungkinkan menjadi penyebab terjadinya cinta terlarang
itu. Ayah RI yang berprofesi sebagai pemulung dan ayah tiri si Bunga
yang kesepian di rumah karena profesi istrinya sebagai tukang pijat
keliling menjadi penyebab lain hubungan cinta terlarang itu. Namun,
tetap saja motip dan hasrat terjadinya cinta terlarang tidak akan
membuat sang ayah terbebas dari jeratan hukum, termasuk sangsi sosial.
Kenakalan orang tua itu, menjadi kisah panjang pemerkosaan terhadap
anak di bawah umur, sehingga wajar kalau masyarakat mulai menyoal
hukuman yang layak bagi pelaku pemerkosa. Dalam kitab Undang-undang
Hukum Pidana jelas dinyatakan bahwa pelaku pemerkosaan terhadap anak di
bawah umur ancaman hukumannya 13 Tahun penjara dan dipertegas lagi dalam
Undang-undang tentang Perlindungan Anak ancaman hukumannya lebih berat
menjadi 15 Tahun penjara. Tampaknya, hukuman 15 Tahun penjara bagi
pelaku tidak membuat takut dan jera pelaku pemekosaan, sehingga para
pakar hukum dan praktisi Perlindungan anak mengusulkan agar dijatuhi
hukuman mati atau seumur hidup. Usulan itu memang masih sebatas wacana
dan perdebatan sampai saat ini.
Memang perlu disepakati hukuman
yang layak bagi pelaku pemerkosaan. Saya setuju dengan usulan pelbagai
elemen masyarakat yang mengusulkan hukuman mati atau seumur hidup untuk
pelaku pemerkosaan. Mengapa hukuman mati? Sebab tindakan pemerkosaan,
apalagi terhadap anak di bawah umur telah membuat hak kemanusiaan yang
asasi terhilangkan dengan paksa. Secara sosial akibat perbuatan itu si
korban akan menanggung beban derita yang berkepanjangan dan mungkin akan
menghilangkan nyawanya sendiri karena tidak sanggup menahan derita
moral (kasus RI bisa menjadi contohnya). Tindakan pemerkosaan telah
membuat hak asasinya terkoyak-koyak dan untuk membuat efek jera maka
hukuman mati menjadi hukuman yang wajar dan layak.
Tidak hanya
pelaku pemerkosaan saja yang diberikan hukuman mati, tetapi juga perlu
dipertimbangkan bahwa penjual hak-hak dasar kemanusiaan perlu di hukum
berat, seperti para Mujikari atau penjual harkat dan kesucian wanita.
Terus terang, saya agak kaget atas putusan pengadilan yang hanya
menghukum 1,5 Tahun penjara terhadap Keyco atau Ratu Mujikari asal
Surabaya. Mestinya, hakim menjatuhi hukuman yang lebih berat bila perlu
hukuman seumur hidup, sebagaimana usulan yang sama terhadap para pelaku
pemerkosaan. Hakim memang punya kuasa untuk itu dan kadang keputusan
hakim tidak selamanya memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.
Pada aras ini, memang terjadi ketidaksepahaman persepsi terhadap
keputusan hakim. Hukum yang saya pahami sebagai medium untuk memberikan
rasa keadilan bagi masyarakat. Ketika, hukum sudah menjadi kaplingan
suatu kelompok atau orang yang punya power, maka hukum sudah berubah
wajah menjadi ideology. Pada konteks ini, apapun keputusan hakim menjadi
benar dan tidak bisa gugat, sehingga keinginan masyarakat untuk
mendapatkan keadilan seakan menjadi “kumpulan keinginan” semata. Dengan
demikian, masyarakat akan selamanya menjadi pecundang dari system
peradilan.
Sekarang, pada kasus pemerkosaan terhadap RI (11
Tahun) yang telah meninggal dunia, akankah hakim memberikan hukuman yang
sangat ringan sebagaimana Ratu Mujikari ataukah hakim akan mendengar
harapan masyarakat untuk memberikan hukuman mati atau seumur hidup bagi
pelaku pemerkosaan. Akankah, keinginan masyarakat mau dikabulkan oleh
hakim yang akan menyidangkan kasus itu ataukah tidak? Ya, kita tunggu
saja dan semoga hakim nantinya tidak menempatkan hukum sebagai ideology
semata.
Bagaimana seharusnya mencintai?
Masalah cinta
mencintai adalah seorang sufi yang bernama Rabiah al-Adawiyah menjadi
Ratunya. Semasa hayatnya, ia belajar tentang cara mencinta yang
sebenarnya sebagaimana terungkap dalam ajaran kesufian yakni “Mahabbah”.
Cintailah, karena Dia layak dicintai, kata Rabiah al-Adawiyah. Sungguh,
makna sufistik yang terkandung dalam ajaran mahabbah sangat suci dan
mendalam. Kemudian yang terpenting, bagaimana ajaran mahabbah Rabiah itu
bisa menjadi inspirasi generasi mendatang?
Local wisdom di
Indonesia juga bisa menjadi inspirasi tentang bagaimana mencinta. Dalam
peribahasa Indonesia dinyatakan bahwa “ Cinta anak sepenggal galah,
cinta orang tua sepanjang hayat”. Anak kata seorang ustadz di kampung
saya adalah amanah Allah Swt. Maka menyia-nyiakan anak berarti
menyia-nyiakan amanah Allah Swt. Banyak orang tua yang dilemparkan ke
neraka Jahanam oleh sebab anak-anak mereka, walau orang tua tersebut
seorang yang bertaqwa. Cukupkanlah kalian dalam bekerja. Fokuskan
perhatian kalian kepada anak-anak kalian, sabda Rasulullah Saw. Allah
Swt mengutuk orang tua yang membuat anak mereka menjadi durhaka kepada
mereka. Atau dengan kata lain, cintailah anak-anak kamu agar dicintai
oleh Allah Swt.
Sebagai bentuk tanggung jawab orang tua dalam
mengemban amanah Tuhan adalah dengan mencintai sepenuh hati, mengasuh
sampai dewasa, memberikan pendidikan yang baik dan menikahkannya. Itulah
tugas orang tua terhadap anak-anaknya sebagai seorang pecinta. Orang
tua seperti itu pantas diberikan ganjaran Syurga oleh Tuhan sebagai
pemegang amanah. Anak-anak yang terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan
keluarga pecinta pastinya akan mendapatkan suatu kebahagiaan dalam
hidupnya.
Sinar cinta dalam suatu keluarga akan melahirkan
suatu tatanan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Suatu keluarga
yang disinari cinta akan tercermin dalam perilaku keseharian dalam pola
hubungan yang saling mengasihi, saling menyayangi, dan toleran. Ayah
sebagai kepala keluarga menjalani tugas dan kewajibannya untuk
menghidupi anggota keluarganya. Si ibu sebagai rumah tangga pun menjaga
kehormatan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Sementara si
anak akan patuh dan hormat terhadap orang tuanya. Inilah inti dari
kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah itu.
Mencederai tatanan dan pola hidup keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah
itu berarti telah mencederai amanah Tuhan untuk mendidikan anak-anaknya.
Sungguh terkutuk, biadab dan amoral perbuatan yang sang ayah yang
sampai merenggut kesucian anak-anaknya. Neraka Jahanam adalah tempat
yang cocok bagi sang Ayah pemerkosa anaknya sendiri. Dan dalam
kehidupannya di dunia pantas baginya diberikan hukuman seumur hidup atau
hukum mati, serta diberikan sangsi sosial berupa pengusiran dari daerah
tempat tinggalnya. Saya rasa pantas dan sah dijatuhi hukuman sangsi
sosial seperti itu. Cukuplah RI (11 Tahun) dan Bunga (14 Tahun) yang
menjadi korban kebinatangan Ayahnya dan jangan ada lagi yang lainnya.
Mari kita hidupkan sinar cinta dalam kehidupan keluarga berdasarkan
nilai-nilai ke-Tuhanan yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Wallahul
Musta’an ila Darissalam.
Jumat, 25 Januari 2013
CINTA TERLARANG SEORANG PEMULUNG
00.37
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar