Jumat, 25 Januari 2013

CINTA TERLARANG SEORANG PEMULUNG

Akhir-akhir ini media massa (baik cetak maupun elektronik) memberitakan tentang pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Tindakan pemerkosaan itu tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga terjadi di belahan dunia lainnya, seperti Amerika Serikat, India, dan Korea Selatan. Perbuatan tidak senonoh atau amoral itu menjadi perbincangan hangat dan menarik gara-gara yang menjadi korbannya adalah anak-anak berumur belasan tahun. Tentu, siapapun akan mengerutkan keningnya ketika tahu bahwa anak yang menjadi korban itu ternyata anaknya sendiri. Artinya pelaku pemerkosaan itu adalah bapaknya sendiri.
Berkaitan dengan itu, tentu, kita masih ingat kisah Sangkuriang, bukan? Ia adalah anak kecil yang suka berburu dan masuk hutan. Suatu ketika ia tidak menemukan binatang perburuannya. Lalu, ia membunuh binatang kesayangan ibunya. Hati binatang itu ia bawa pulang lalu dimasak, kemudian ia persembahkan masakan kepada ibunya. Sang ibu yang mulai menyadari bahwa binatang kesayangannya lenyap, akhirnya tahu bahwa hati yang telah dimasak dan disantapnya itu adalah hati binatang kesayangannya. Ia marah. Lalu mengusir si anak.

Bertahun-tahun si anak mengembara. Setelah kembali, ia telah menjadi pemuda gagah dan tampan. Anehnya, sang ibu tetap menjadi perempuan yang cantik rupawan. Akhirnya, Sangkuriang tertarik pada ibunya sendiri. Ia jatuh cinta kepada ibunya layaknya seorang pemuda yang terkena panah cupid atau cinta yang dilepaskan oleh seorang gadis.
Kisah cinta Sangkuriang berbeda dengan kisah RI (11 Tahun) yang menjadi korban pemerkosaan meninggal dunia. Persamaannya sama-sama melakukan terjebak pada cinta terlarang, tetapi Sangkuriang tidak sampai melakukan hubungan intim dengan bundanya, sementara RI terjebak ke dalam cinta terlarang cukup lama dan mengalami shock berat yang akhirnya meninggal dunia. RI adalah enam bersaudara dari keluarga miskin. Ayahnya seorang pemulung yang tinggal di Rawa Bebek Cakung, Jakarta Timur. Tentu, dapat dibayangkan bagaimana kehidupan sehari-hari dari keluarga itu.

Naas, derita yang dialami RI (11 Tahun) bila dibandingkan dengan Bunga 14 Tahun yang baru saja melahirkan seorang bayi laki-laki dengan berat 2,5 kg, hasil dari cinta terlarang dengan ayah tirinya. Namun, bunga lebih beruntung karena ayah tirinya siap bertanggung jawab dan mau membesarkan serta merawat anaknya walaupun sang ayah tiri masih mendekam di dalam penjara. Sementara RI setelah lama menderita akibat tekanan dan ancaman dari ayahnya sendiri harus meninggalkan dunia untuk menghadap sang Khalik. Pada aras ini, tidak perlu diperdebatkan derita yang dibawanya sampai mati.

Baik Sangkuriang, RI, maupun Bunga memang sudah terjebak ke dalam cinta terlarang. Apapun motif dan alasan yang mendorong tiga manusia beda zaman itu terjebak ke dalam cinta terlarang, tapi yang pasti bahwa ketiganya telah melakukan tindakan amoral bila dilihat dari perspektif etik-keberagamaan. Tindakan amoral itu seharusnya tidak terjadi kalau ketiganya sadar diri dan mampu mengontrol nafsu hayawaninya. Dilihat dari perspektif manapun, tindakan ketiganya tidak dapat dibenarkan secara hukum, baik hukum formal maupun hukum agama.

Hukum Mati saja?

Kesepian, kesedihan, kesengsaraan, putus asa, lupa diri dan bercampur nafsu hayawani dimungkinkan menjadi penyebab terjadinya cinta terlarang itu. Ayah RI yang berprofesi sebagai pemulung dan ayah tiri si Bunga yang kesepian di rumah karena profesi istrinya sebagai tukang pijat keliling menjadi penyebab lain hubungan cinta terlarang itu. Namun, tetap saja motip dan hasrat terjadinya cinta terlarang tidak akan membuat sang ayah terbebas dari jeratan hukum, termasuk sangsi sosial.

Kenakalan orang tua itu, menjadi kisah panjang pemerkosaan terhadap anak di bawah umur, sehingga wajar kalau masyarakat mulai menyoal hukuman yang layak bagi pelaku pemerkosa. Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana jelas dinyatakan bahwa pelaku pemerkosaan terhadap anak di bawah umur ancaman hukumannya 13 Tahun penjara dan dipertegas lagi dalam Undang-undang tentang Perlindungan Anak ancaman hukumannya lebih berat menjadi 15 Tahun penjara. Tampaknya, hukuman 15 Tahun penjara bagi pelaku tidak membuat takut dan jera pelaku pemekosaan, sehingga para pakar hukum dan praktisi Perlindungan anak mengusulkan agar dijatuhi hukuman mati atau seumur hidup. Usulan itu memang masih sebatas wacana dan perdebatan sampai saat ini.

Memang perlu disepakati hukuman yang layak bagi pelaku pemerkosaan. Saya setuju dengan usulan pelbagai elemen masyarakat yang mengusulkan hukuman mati atau seumur hidup untuk pelaku pemerkosaan. Mengapa hukuman mati? Sebab tindakan pemerkosaan, apalagi terhadap anak di bawah umur telah membuat hak kemanusiaan yang asasi terhilangkan dengan paksa. Secara sosial akibat perbuatan itu si korban akan menanggung beban derita yang berkepanjangan dan mungkin akan menghilangkan nyawanya sendiri karena tidak sanggup menahan derita moral (kasus RI bisa menjadi contohnya). Tindakan pemerkosaan telah membuat hak asasinya terkoyak-koyak dan untuk membuat efek jera maka hukuman mati menjadi hukuman yang wajar dan layak.

Tidak hanya pelaku pemerkosaan saja yang diberikan hukuman mati, tetapi juga perlu dipertimbangkan bahwa penjual hak-hak dasar kemanusiaan perlu di hukum berat, seperti para Mujikari atau penjual harkat dan kesucian wanita. Terus terang, saya agak kaget atas putusan pengadilan yang hanya menghukum 1,5 Tahun penjara terhadap Keyco atau Ratu Mujikari asal Surabaya. Mestinya, hakim menjatuhi hukuman yang lebih berat bila perlu hukuman seumur hidup, sebagaimana usulan yang sama terhadap para pelaku pemerkosaan. Hakim memang punya kuasa untuk itu dan kadang keputusan hakim tidak selamanya memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Pada aras ini, memang terjadi ketidaksepahaman persepsi terhadap keputusan hakim. Hukum yang saya pahami sebagai medium untuk memberikan rasa keadilan bagi masyarakat. Ketika, hukum sudah menjadi kaplingan suatu kelompok atau orang yang punya power, maka hukum sudah berubah wajah menjadi ideology. Pada konteks ini, apapun keputusan hakim menjadi benar dan tidak bisa gugat, sehingga keinginan masyarakat untuk mendapatkan keadilan seakan menjadi “kumpulan keinginan” semata. Dengan demikian, masyarakat akan selamanya menjadi pecundang dari system peradilan.

Sekarang, pada kasus pemerkosaan terhadap RI (11 Tahun) yang telah meninggal dunia, akankah hakim memberikan hukuman yang sangat ringan sebagaimana Ratu Mujikari ataukah hakim akan mendengar harapan masyarakat untuk memberikan hukuman mati atau seumur hidup bagi pelaku pemerkosaan. Akankah, keinginan masyarakat mau dikabulkan oleh hakim yang akan menyidangkan kasus itu ataukah tidak? Ya, kita tunggu saja dan semoga hakim nantinya tidak menempatkan hukum sebagai ideology semata.

Bagaimana seharusnya mencintai?

Masalah cinta mencintai adalah seorang sufi yang bernama Rabiah al-Adawiyah menjadi Ratunya. Semasa hayatnya, ia belajar tentang cara mencinta yang sebenarnya sebagaimana terungkap dalam ajaran kesufian yakni “Mahabbah”. Cintailah, karena Dia layak dicintai, kata Rabiah al-Adawiyah. Sungguh, makna sufistik yang terkandung dalam ajaran mahabbah sangat suci dan mendalam. Kemudian yang terpenting, bagaimana ajaran mahabbah Rabiah itu bisa menjadi inspirasi generasi mendatang?

Local wisdom di Indonesia juga bisa menjadi inspirasi tentang bagaimana mencinta. Dalam peribahasa Indonesia dinyatakan bahwa “ Cinta anak sepenggal galah, cinta orang tua sepanjang hayat”. Anak kata seorang ustadz di kampung saya adalah amanah Allah Swt. Maka menyia-nyiakan anak berarti menyia-nyiakan amanah Allah Swt. Banyak orang tua yang dilemparkan ke neraka Jahanam oleh sebab anak-anak mereka, walau orang tua tersebut seorang yang bertaqwa. Cukupkanlah kalian dalam bekerja. Fokuskan perhatian kalian kepada anak-anak kalian, sabda Rasulullah Saw. Allah Swt mengutuk orang tua yang membuat anak mereka menjadi durhaka kepada mereka. Atau dengan kata lain, cintailah anak-anak kamu agar dicintai oleh Allah Swt.

Sebagai bentuk tanggung jawab orang tua dalam mengemban amanah Tuhan adalah dengan mencintai sepenuh hati, mengasuh sampai dewasa, memberikan pendidikan yang baik dan menikahkannya. Itulah tugas orang tua terhadap anak-anaknya sebagai seorang pecinta. Orang tua seperti itu pantas diberikan ganjaran Syurga oleh Tuhan sebagai pemegang amanah. Anak-anak yang terlahir dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga pecinta pastinya akan mendapatkan suatu kebahagiaan dalam hidupnya.

Sinar cinta dalam suatu keluarga akan melahirkan suatu tatanan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Suatu keluarga yang disinari cinta akan tercermin dalam perilaku keseharian dalam pola hubungan yang saling mengasihi, saling menyayangi, dan toleran. Ayah sebagai kepala keluarga menjalani tugas dan kewajibannya untuk menghidupi anggota keluarganya. Si ibu sebagai rumah tangga pun menjaga kehormatan kepala keluarga dan anggota keluarga lainnya. Sementara si anak akan patuh dan hormat terhadap orang tuanya. Inilah inti dari kehidupan keluarga yang sakinah, mawaddah dan rahmah itu.

Mencederai tatanan dan pola hidup keluarga sakinah, mawaddah dan rahmah itu berarti telah mencederai amanah Tuhan untuk mendidikan anak-anaknya. Sungguh terkutuk, biadab dan amoral perbuatan yang sang ayah yang sampai merenggut kesucian anak-anaknya. Neraka Jahanam adalah tempat yang cocok bagi sang Ayah pemerkosa anaknya sendiri. Dan dalam kehidupannya di dunia pantas baginya diberikan hukuman seumur hidup atau hukum mati, serta diberikan sangsi sosial berupa pengusiran dari daerah tempat tinggalnya. Saya rasa pantas dan sah dijatuhi hukuman sangsi sosial seperti itu. Cukuplah RI (11 Tahun) dan Bunga (14 Tahun) yang menjadi korban kebinatangan Ayahnya dan jangan ada lagi yang lainnya. Mari kita hidupkan sinar cinta dalam kehidupan keluarga berdasarkan nilai-nilai ke-Tuhanan yang sakinah, mawaddah dan rahmah. Wallahul Musta’an ila Darissalam.

0 komentar: