Kini kita sudah berada pada Tahun 2013.
Harapan teriring do'a dipanjatkan masyarakat dunia memasuki Tahun baru
yang belum jelas wujudnya, termasuk wajah demokrasi di Indonesia.
Pelbagai kejadian dan peristiwa demokrasi telah terukir di Tahun lalu
dan kesemuanya telah menjadi sejarah. Tentu, semua kejadian dan
peristiwa dapat menjadi pintu masuk menuju belantara belukar demokrasi yang semakin beradab.
Wajah demokrasi di Tahun 2013 mungkin lebih baik, jalan di tempat dan
atau mungkin akan lebih buruk. Kita berharap akan lebih baik terutama
dalam menghargai hak asasi manusia Indonesia. Siapapun pasti
berkeinginan agar kehidupan demokrasi lebih baik sehingga kita termasuk
ke dalam golongan orang yang beruntung, sebagaimana makna hadits nabi
bahwa orang yang beruntung adalah orang yang hari ini lebih baik dari
hari kemarin.
Mengahiri Tahun 2012 memang banyak catatan kelabu
yang menyayat hati warga masyarakat Indonesia. Sebut saja misalnya,
terjadi bentrokan atau perang antar kampung di kota Mataram antara warga
Karang Mas-mas dengan warga Tohpati dan konflik antara warga di Seram
Barat Maluku. Bentrokan antar warga itu telah meninggalkan duka yang
mendalam bagi keluarga yang meninggal dunia dan secara makro telah
mewariskan catatan buruk bagi bangsa Indonesia. Sangat disayangkan
kejadian demi kejadian datang silih berganti seakan telah diatur. Kasus
satu belum terselesaikan secara baik dan tuntas, malah muncul kejadian
yang serupa di tempat lain. Suatu kado akhir tahun yang sangat tidak
dikehendaki oleh masyarakat Indonesia. Apa boleh buat, itulah
kejadiannya.
Bagi sebagian pengamat sosial memprediksikan bahwa
kado akhir tahun yang buruk itu masih akan mewarnai tata kehidupan
sosial masyarakat Indonesia. Konflik sosial masih akan menjadi problema
kebangsaan atau dengan kata lain keberlanjutan kasus-kasus yang sama
masih akan terjadi. Namun, kita tetap berharap agar kejadian dan kasus
serupa tidak terjadi lagi. Akhiri saja dengan cara menyelesaikannya
secara tuntas dengan didasarkan pada keinginan membangun kehidupan yang
lebih harmonis sebagaimana pola kehidupan masyarakat Madani bentukan
nabi Muhammad Saw. Itulah contoh pola hidup masyarakat Madinah yang
sangat harmonis, toleran terhadap perbedaan, keyakinan dan menghormati
pluralitas.
Pluralisme menjadi ciri masyarakat moderen, kata
Antoni Giddens. Kita tidak bisa menyangkal faktisitas pluralitas hidup
masyarakat modern itu. Karenanya toleransi menjadi kata kunci untuk
menjaga kehidupan pluralis di Indonesia. Dan pluralisme masyarakat
Indonesia sudah menjadi identitas Indonesia. Fathers founding bangsa
Indonesia pun sangat menyadari realitas kebangsaan itu. Indonesia dengan
demikian terlahir dari realitas "bheneka tunggal ika" atau berbeda
tetapi tetap satu.
Ada beberapa faktor yang menjadi basis
kebhenekaan bangsa Indonesia yakni faktor sejarah, kebudayaan, suku
bangsa, agama dan bahasa. Semangat juang bangsa Indonesia dalam mengusir
penjajah menjadi ciri khas bagi bangsa Indonesia yang kemudian menjadi
salah satu unsur pembentuk identitas nasional Indonesia. Lalu unsur
peradaban tercermin dari keberadaan dasar negara Pancasila sebagai
kompromi nilai-nilai bersama atau shared values bangsa Indonesia yang
majemuk.
Namun demikian, lebih dari sekedar kemajemukan yang
bersifat alamiah, tradisi bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam
kemajemukan merupakan hal lain yang harus terus dikembangkan dan
dibudayakan. Kemajemukan alamiah bangsa Indonesia dapat dilihat pada
keberadaan lebih dari 300 kelompok suku, beragam bahasa, budaya dan
keyakinan yang mendiami kepulauan Nusantara. Bangsa yang besar adalah
bangsa yang hidup dengan kelenturan budayanya untuk mendaptasi
unsur-unsur luar yang dianggap baik dan dapat memperkaya nilai-nilai
lokal. Ketidakmampuan beradaptasi dengan budaya luar acapkali
menempatkan bangsa ke dalam kisaran kehilangan identitas dan tidak pula
berhasil hidup dengan identitas barunya yang diadaptasi dari luar.
Keanekaragaman agama merupakan identitas lain dari kemajemukan alamiah
Indonesia. Dengan kata lain, keragaman agama dan keyakinan merupakan
suatu rahmat Allah Swt yang harus tetap dipelihara dan disyukuri bangsa
Indonesia dan juga dijamin oleh konstitusi negara. Mensyukuri nikmat
dapat dilakukan dengan sikap dan tindakan untuk tidak memaksakan
keyakinan dan tradisi suatu agama, baik mayoritas maupun minoritas, atas
kelompok lainnya. Membumi hanguskan dan mengusir penganut Syi'ah dari
tempat tinggalnya di Madura dapat dikatakan melanggar konstitusi dan
bentuk tidak mensyukuri nikmat Tuhan. Begitu juga dengan pengusiran JAI
yang sekarang masih di tampung di wisma Transito Mataram. Anehnya
pemerintah seakan membiarkan atau mempeti eskan kasus itu sehingga
sampai sekarang belum jelas bentuk penyelesaiannya.
Para
nasionalis Muslim patut ditiru dalam mensyukuri nikmat kemajemukan
sebagaimana ditunjukannya di awal-awal pembentukan NKRI. Yang mendasari
mereka untuk menarik Islam sebagai dasar negara adalah demi terwujudnya
persatuan dan kesatuan Indonesia. Mereka bersepakat untuk tidak
menjadikan Islam sebagai agama resmi negara menjadi suatu bentuk
pengorbanan dan bentuk rasa syukur yang luar biasa. Sikap itu berakibat
pada pembentukan karakter ke-Islaman yang khas Indonesia yang berbeda
dengan negara-negara muslim lainnya. Karakter Islam yang lebih moderat
dan tidak monolitik merupakan unsur yang membedakan Islam Indonesia
dengan Islam di negara lainnya di dunia. Semestinya, itulah bentuk atau
wajah demokrasi yang akan digapai.
Demokrasi bukan suatu kata
benda tetapi lebih merupakan kata kerja yang mengandung makna sebagai
proses dinamis. Karena itu, demokrasi harus diupayakan dan biasakan
dalam kehidupan sehari-hari. Atau dengan kata lain berarti sebuah proses
melaksanakan nilai-nilai civility dalam bernegara dan bermasyarakat,
kata Nurcholis Madjid. Sebagai suatu proses panjang melalui pembiasaan,
pembelajaran dan penghayatan maka dukungan sosial dan lingkungan
domokratis menjadi kebutuhan mutlak. Juga, menjadi demokratis
membutuhkan norma dan rujukan praktis serta teoritis dari masyarakat
yang telah maju dalam berdemokrasi.
Setidaknya ada enam norma
atau unsur pokok yang harus ada dalam tatanan masyarakat yang
demokratis, yakni kesadaran akan pluralisme, musyawarah, cara
harusnsejalan dengan tujuan, norma kejujuran dalam kemufakatan,
kebebasan nurani (kesamaan hak dan kewajiban), dan trial and error.
Dalam kerangka ini, demokrasi membutuhkan percobaan dan kesediaan semua
pihak untuk menerima kemungkinan ketidaktepatan atau kesalahan dalam
praktik berdemokrasi. Nah, pengalaman dalam ketidaktepatan menjalankan
praktik demokrasi pada Tahun 2013 dapat lebih baik dan tidak mengulangi
kesalahan yang sama. Konflik sosial dengan dalih apapun tidak perlu
diulangi agar tercipta tatanan kehidupan harmoni yang berdasarkan
nilai-nilai demokrasi. Dengan demikian akan tergapai wajah demokrasi
yang sejati.
Wallahul Musta'an ila Darissalam.
Sabtu, 05 Januari 2013
MENGGAPAI WAJAH DEMOKRASI
19.17
No comments
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar