Sabtu, 05 Januari 2013

REORIENTASI PERAN GURU PAI UNTUK MEMUTUS RANTAI KEKERASAN DI DUNIA PENDIDIKAN

A. Pengantar Bagi sebagian orang, sekolah tidak lagi menjadi tempat yang nyaman untuk menggembleng anak bangsa menjadi berbudi atau berakhlak mulia. Dari pelbagai tindakan kekerasan yang dilakukan oleh siswa dalam bentuk tawuran antar siswa dalam satu sekolah dan tawuran antar siswa satu sekolah dengan sekolah lain, seakan menjadi pembenaran anggapan sebagian masyarakat itu. Namun demikian, tidak serta merta anggapan itu dibenarkan oleh sebagian masyarakat lainnya. Bagi mereka, sekolah masih menjadi tempat yang dapat dipercaya untuk mencetak generasi cerdas, berbudi dan berakhlak mulia.
Secara kuantitas, kekerasan di dunia pendidikan semakin meningkat dengan bentuknya yang berbeda-beda. Tawuran antara siswa bukan satu-satunya bentuk kekerasan di dunia pendidikan, tetapi masih banyak lagi bentuk yang lainnya, seperti anak-anak suka bolos, malas sekolah, tidak menyukai mata pelajaran tertentu sampai pada phobia terhadap bapak atau ibu guru tertentu. Kesemua bentuk kekerasan tersebut boleh jadi akibat dari pola komunikasi yang salah antara dunia sekolah dengan peserta didik dan masyarakat di lingkungan sekolah.

Harmonisasi hubungan antara sekolah, peserta didik dan masyarakat menjadi kata kunci untuk membangun suatu pendidikan yang bermartabat. Klaim-klaim pembenaran atau melempar kesalahan terhadap orang lain, ketika peserta didik berjibaku dengan peserta didik lainnya mestinya tidak perlu terjadi. Guru cendrung tidak mau disalahkan ketika terjadi tawuran antar pelajar dan begitu juga masyarakat selaku orang tua wali tambah tidak mau disalahkan. Mereka sama-sama berada pada posisi yang benar. Guru merasa telah memberikan ilmu yang terbaik bagi semua peserta didiknya, sementara orang tua wali telah memberikan tanggungjawab pendidikan anak-anaknya kepada dunia pendidikan. Seolah orang tua wali tidak punya beban terhadap pendidikan anak-anaknya. Ini persepsi yang salah besar dari masyarakat tentang pendidikan.

Secara sosiologis, truth claim tersebut di atas tidak perlu terjadi, kalau antara sekolah dengan masyarakat ada interaksi yang baik. Titik masalahnya menurut hemat penulis berada pada interaksi yang tidak maksimal antara sekolah dengan masyarakat. Nah, benang kusut interaksi antara sekolah dengan masyarakat ini yang harus diurai agar peserta didik tidak menjadi kurban dari disharmoni hubungan sekolah dengan masyarakat itu. Jangan-jangan tawuran antara pelajar yang terjadi selama ini akibat dari penampakan yang diperlihatkan oleh para guru dan orang tua mereka ketika rapat komite. Dan tidak jarang, rapat komite berakhir dengan pengusulan untuk memindahkan kepala sekolah dan guru akibat disharmonisasi hubungan di antara mereka.

Tersadari atau tidak, anak-anak didik belajar kekerasan dari kita sebagai guru dan orang tua wali. Terus terang sebagai peneliti sosial saya sangat sedih melihat fenomena disharmoni antara guru dengan orang tua wali siswa. Kadang-kadang oleh sebab yang sangat sepele, keakuan orang tua wali yang tergabung dalam komite sekolah sangat membara, bagaikan air bah yang siap meluluh lantahkan apapun yang menghadangnya, ketika percikan pemikiran atau usulnya di tolak oleh kepala sekolah. Begitupun sebaliknya, kepala sekolah dapat berperilaku yang sama ketika orang tua wali tidak mau mengabulkan program kerjanya yang terkadang tidak masuk akal bagi komite sekolah.

Disharmoni dunia sekolah dengan masyarakat harus diakhiri demi anak-anak bangsa. Baik buruknya perilaku peserta didik tidak terlepas dari peran dan tugas dari para guru dan masyarakat. Tidak ada yang dapat dipersalahkan atau dibenarkan ketika peserta didik terlibat dalam pelbagai tindakan kekerasan. Guru dan orang tua wali harus saling bahu membahu untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anaknya. Koneksitas program sekolah dengan orang tua wali harus terjalin, terutama dengan para guru Pendidikan Agama Islam (PAI) pada sekolah.

Keluhan para guru Pendidikan Agama Islam (PAI) selama ini adalah kurangnya dukungan yang diberikan pemerintah dan orang tua siswa kepada program agama di sekolah . Terutama pada kurangnya perhatian dari orang tua wali terhadap pelajaran Agama Islam. Misalnya, ketika anak-anaknya tidak bisa mengaji, ada kesan bahwa banyak orang tua yang cuek bebek dan masa bodoh. Namun, tidak demikian halnya, kalau anak-anaknya mendapatkan nilai merah pada mata pelajaran umum (misalnya Matematika atau bahasa Inggris), maka pasti orang tua wali marah-marah.

Itulah bentuk perlakuan yang berbeda dan terkesan tidak perduli terhadap mata pelajaran Agama Islam dari orang tua wali siswa. Atas kekurangan dan kelemahan anak-anaknya pada Mata Pelajaran Umum, si orang tua wali tidak segan-segan untuk mengeluarkan biaya yang tinggi untuk mendatangkan guru private ke rumahnya. Namun tidak demikian dengan Mata Pelajaran Agama Islam.

Pada aras ini, para guru Pendidikan Agama Islam sering menjadi objek sumpah serapah dari orang tua wali atau masyarakat, ketika para siswa terlibat tawuran antar pelajar. Kelihatannya tidak adil tetapi itulah faktisitasnya. Para guru Pendidikan Agama Islam hanya bisa mengelus dada seraya berdoa “agar dirinya diberikan ketabahan dan kesabaran dalam menerima sumpah serapah itu”. Tetapi tidak cukup hanya berdoa, perlu ihktiar yang sungguh-sungguh untuk merubah situasi yang tidak menguntungkan itu. Refungsionalisasi peran guru Pendidikan Agama Islam adalah jawabannya agar rantai kekerasan di dunia pendidikan bisa diputus dan guru Pendidikan Agama Islam tidak lagi menjadi objek kemarahan masyarakat.

B. Atas Nama Pendidikan
Atas nama apapun, guru tidak boleh melakukan tindakan kekerasan (baca: pemukulan) terhadap para peserta didiknya. Pemukulan sebagai suatu metode untuk memberikan efek jera terhadap peserta didik, juga sangat tidak dibenarkan di dunia pendidikan dewasa ini. Apalagi, guru mau melakukan tindakan kekerasan terhadap peserta didiknya pasti akan berhadapan dengan para penegak hukum (ingat beberapa guru yang dilaporkan orang tua siswa karena mencubit siswanya sampai memar).

Saya teringat ketika masih menjadi santri di Pondok Pesantren Nurul Hakim sekitar Tahun 1980-an, kami waktu itu di didik dengan sangat keras dan disiplin yang tinggi. Semua santri harus patuh dan taat terhadap semua peraturan yang telah ditetapkan oleh Pesantren. Melanggar aturan dan tata tertib, itu sama artinya dengan kita sendiri yang mendekatkan diri sendiri dengan hukuman akibat pelanggaran yang dilakukan. Tidak ada yang protes dan apalagi sampai berfikir untuk menuntut para asatidz. Tidak ada sama sekali. Apalagi mendendam atas tindakan yang dilakukannya terhadap kami para santri.

Dewasa ini, kesadaran dan tanggung jawab sebagai santri atau penuntut ilmu telah sirna dari hati dan pikiran manusia. Apakah itu akibat dari semakin tereliminirnya nilai-nilai kesantrian dan tergantikan dengan nilai-nilai demokrasi yang kebaratan. Ataukah memang penghormatan santri atau siswa terhadap guru memang sudah tidak ada lagi, sehingga hanya dicubit saja, mereka buru-buru pergi melapor ke kepolisian. Padahal, menurut para guru Pendidikan Agama Islam (PAI), cubitan atau colekan itu adalah cubitan atau colekan kasih sayang dari seorang guru kepada anak-anaknya . Dan bukan didasarkan pada kebencian. Hal itu dilakukan karena memang si siswa pantas untuk diberikan sanksi karena kenakalannya.

Mungkin, perlu dielaborasi kembali hakekat pendidikan yang sebenarnya. Sekolah merupakan tempat orang untuk menimba ilmu pengetahuan agar menjadi cerdas, pintar dan berbudi pekerti yang baik, serta bertanggung jawab . Sedangkan pendidikan menurut undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Sementara tujuan pendidikan menurut undang-undang sisdiknas adalah untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Dengan demikian, pendidikan menjadi tumpuan harapan bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa Indonesia . Pendidikan menjadi medium bagi pembentukan intelektualitas, bakat, budi pekerti atau akhlak mulia serta kecakapan peserta didik . Atas dasar itu, selayaknya semua pihak perlu memberikan perhatian secara maksimal terhadap bidang pendidikan (terutama Pendidikan Agama Islam). Perhatian tersebut dapat berwujud kerja keras secara berkesinambungan dalam memperbaharui dan meningkatkan kualitas pendidikan moment to moment. Melalui cara demikian, pendidikan diharapkan mampu menjawab aneka macam permasalahan kekerasan yang secara kuantitas semakin meningkat, serta mampu menjawab pelbagai kebutuhan dan tuntutan masyarakat.

Di masa depan, dunia pendidikan dituntut untuk lebih peka dan kritis lagi dengan realitas dan permasalahan hidup yang tengah dihadapi masyarakat. Ungkapan “school is mirror society” seharusnya sungguh-sungguh dapat memberikan warna proses pendidikan yang sedang berlangsung. Sebagai konsekuensinya, institusi pendidikan harus ikut berperan untuk memecahkan permasalahan social atau problem solving. Concern terhadap pemecahan permasalahan sosial seperti itu seharusnya menjadi bagian dari visi dan misi dunia pendidikan nasional. Dan bahkan komitmen sosiologis dari lembaga pendidikan harus lebih fokus lagi mengingat kuantitas permasalahan sosial yang tengah dihadapi bangsa Indonesia .

Jamak diketahui bahwa bangsa Indonesia telah mulai kehilangan karakternya yang telah terbangun sejak beberapa abad yang lalu, seperti keramahan, tenggang rasa, kesopanan, rendah hati, suka menolong, dan solidaritas sosial yang kesemuanya merupakan jati diri bangsa yang luhur. Kini, seakan tergantikan oleh perilaku kekerasan dalam bentuk tawuran pelajar dan maraknya kasus-kasus penyalahgunaan obat-obatan terlarang yang sudah merambah ke dunia pendidikan.

Kesadaran kolektif dan kepekaan sosial lembaga-lembaga pendidikan untuk mengatasi permasalahan tersebut segera terkonstruksi dengan melibatkan orang tua wali dan aparat keamanan demi masa depan anak-anak kita Sangat sulit mewujudkan cita besar dan mulia itu lahir dari dunia pendidikan kalau pemerintah tidak memberikan otonomi kepada lembaga pendidikan. Otonomi pendidikan mau tidak mau harus diberikan kepada sekolah dengan memberlakukan statuta umum sebagai aturan main yang harus ditaati semua pihak dan harus mendapat persetujuan dari Komite Sekolah. Dengan demikian, statuta sekolah menjadi aturan atau norma yang harus dipatuhi oleh guru dan peserta didik.

C. Permasalahan Pendidikan Islam
Kejahatan atau permasalahan terbesar di dunia, kata Elie Wiesel bukanlah kemarahan atau kebencian, melainkan kemasabodohan. Bisa jadi Wiesel benar, karena fenomena cuek bebek atau masa bodoh para peserta didik terhadap pendidikan Islam dianggap sebagai pelengkap penderita. Begitu juga dengan para orang tua yang kurang perhatian terhadap pendidikan agama anak-anaknya menjadi permasalahan tersendiri bagi para guru Pendidikan Agama Islam.

Di lain pihak, sebagian besar orang tua wali memang menginginkan kesuksesan (baca: sukses materil) anak-anaknya sehingga tidak heran kalau mereka menekan anak-anaknya untuk belajar ekstra lebih dengan mengikuti bimbingan belajar sampai tengah malam. Mungkin karena itu semakin banyak peserta didik yang takut untuk gagal. Seorang anak kemudian dipaksa untuk meraih imajinasi dan harapan kesuksesan yang ada dalam memori orang dewasa. Anak dituntut untuk melayani kebutuhan pasar prestasi yang disusun oleh lingkungannya. Cerdas, kreatif dan beriman menjadi kata-kata yang mengikat para orang tua dan lembaga pendidikan dalam mendesain system pembelajaran anak .

Permasalahan Guru Pendidikan Agama Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari permasalahan pendidikan nasional. Menurut Profesor Yahya Muhaimin bahwa saat ini pendidikan nasional masih dihadapkan pada beberapa permasalahan yang menonjol, yaitu masih rendahnya pemerataan memperoleh pendidikan, masih rendahnya mutu dan relevansi pendidikan, dan masih lemahnya manajemen pendidikan . Di samping belum terwujudnya keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi di kalangan akademisi (termasuk guru PAI), dan belum adanya kemandirian. Inilah kondisi sebenarnya keadaan pendidikan Islam di Indonesia.

Permasalahan pemerataan memperoleh pendidikan masih menjadi hal utama di Indonesia. Hal itu dapat dilihat dari data pengaduan pelanggaran hak anak Komnas PA yakni sepanjang Tahun 2012 menunjukkan belum adanya perkembangan positif terkait upaya pemenuhan dan perlindungan anak oleh Negara, salah satunya dalam hal pemenuhan akses pendidikan. Saat ini tercatat sekitar satu juta anak usia pendidikan dasar putus sekolah. Dari jumlah tersebut, kata Arist Merdeka Sirait selaku ketua Komnas PA, sebanyak 425 ribu merupakan lulusan SD/MI yang tidak melanjutkan ke SMP/Mts. Sementara 211 ribu diantaranya siswa SMP/Mts yang putus sekolah. Sisanya anak-anak yang putus sekolah tanpa menyelesaikan pendidikannya di SD/MI karena factor ekonomi.

Mutu pendidikan bagaikan benang kusut yang belum terselesaikan sampai saat ini. Hasil penelitian dan laporan Human Development Index (HDI-UNDP) pada Tahun 2000 menunjukkan bahwa pembangunan kualitas manusia Indonesia masih sangat memprihatinkan. Dari 174 negara di dunia, Indonesia menduduki urutan 109. Vietnam yang baru berkembang justru lebih baik yang berada pada urutan 108. Dan Indonesia kalah jauh dari Sri Langka berada pada urutan 84, Filipina pada urutan 77, Thailand urutan 76, Malaysia pada urutan 61 dan Singapura pada urutan 24. Pada tahun 2002 posisi Indonesia turun ke urutan 110 dan pada tahun 2002 turun lagi ke urutan 112.

Sementara itu, Harian Media Indonesia menurunkan laporan bahwa menurut Steven Allen, perwakilan dana anak PBB (Unicef), sebagaimana dikutip Tolhah Hasan dalam bukunya, mengatakan bahwa:
1. Mutu pendidikan di Indonesia terjelek di kawasan Asia Timur dan Pasifik.
2. Angka partisipasi anak untuk SD-SMP hanya 60% (yang 40% drop out)
3. Anggaran pendidikan (APBN) di Indonesia paling rendah disbanding Negara Malaysia, Filipina, Thailand dan Singapore.
4. Anak-anak perempuan nasibnya lebih memprihatinkan. Tiap 10 siswa SMP yang drop out, 6 diantaranya siswa perempuan sedangkan setiap 10 siswa SMU yang drop out, 7 diantaranya siswa perempuan.
5. Perempuan yang buta aksara mencapai 20% sedangkan laki-laki 10%.

Dari paparan data-data tersebut di atas, sewajarnya kita perlu belajar kepada Negara-negara maju yang begitu serius berusaha meningkatkan kualitas pendidikannya untuk menghadapi kemajuan yang terus berkembang. Kelumpuhan total bangsa Jepang setelah bom atom di Hirosima dan Nagasaki tidak membuat bangsa Jepang berpangku tangan, namun mereka berusaha untuk bangkit dengan membangun kualitas SDM. Dengan tidak menunggu terlalu lama melalui Restorasi Meiji Tahun 1854 mereka melakukan reformasi pendidikannya yang terus menerus melakukan inovasi dan kini menjadi Negara yang unggul dengan SDM yang berkualitas mampu bersaing dengan Negara-negara Barat seperti AS, Perancis, Jerman, Inggris dan Uni Suviet dalam penguasaan teknologi dan perdagangan.

Lalu bagaimana dengan pendidikan Islam?. Menurut Professor Tolhah Hasan, bahwa pendidikan Islam di Negara-negara berkembang termasuk Indonesia mempunyai nasib dan keadaan yang sama dengan bangsa-bangsa lain. Pendidikan Islam dihadapkan pada masalah rumit. Di satu pihak harus mereformasi pendidikannya sesuai dengan tuntutan zaman dan kebutuhan masyarakat modern dan di sisi lain harus tetap menjaga dan melestarikan identitasnya sesuai dengan prinsip-prinsip ajaran Islam dan nilai-nilai luhurnya. Untuk mengurai permasalahan pendidikan yang begitu rumit dan kusut, maka diperlukan kompetensi tenaga kependidikan yang memadai dan unggul.

D. Kompetensi Guru PAI
Kritikan dari Prof. Dr. KH. Tolhah Hasan (mantan Menteri Agama di era pemerintahan KH Abdurahman Wahid) patut dicermati. Kiai Tolhah sangat prihatin tentang kondisi dan kemampuan para guru Pendidikan Agama Islam dalam menguasai materi-materi Pendidikan Agama Islam. Banyak dari guru-guru agama Islam yang diragukan kemampuan dan kompetensinya dalam mengajarkan agama Islam pada sekolah umum (terutama di Sekolah Dasar). Kritikan yang diungkapkan Prof. Tolhah Hasan diamini oleh Kasubdit Pendidikan Agama Islam pada sekolah SMP Dr. H. Nifasri, M.Pd. Nifasri menuturkan hasil temuannya bahwa ada ditemukan guru Pendidikan Agama Islam pada suatu sekolah yang tidak bisa baca tulis Al-Qur’an.

Jika memang demikian kondisi para guru Pendidikan Agama Islam, maka perlu dicarikan terobosan dan program untuk meningkatkan kompetensi serta kemampuan pengampu Pendidikan Agama Islam itu. Kalau tidak, maka pasti akan berakibat pada rendahnya kualitas para calon guru Pendidikan Agama Islam pada masa mendatang. Tentu, Kementrian Agama RI yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kemampuan dan kompetensi para guru Pendidikan Agama Islam itu.

Mendasarkan pada undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa Guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, dan sosial, serta kompetensi professional yang diperoleh melalui pendidikan profesi. Yang dimaksud dengan kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kompetensi professional adalah kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Dan yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua atau wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Kompetensi guru sebagaimana tersebut di atas, juga pernah disampaikan oleh para pemikir pendidikan dan praktisi pendidikan Islam, seperti Ibnu Sahnun, Ibnu Khaldun, Al-Ghazali. Guru-guru yang dibutuhkan, tidak hanya dapat mengajar atau transfer of knowledge kepada peserta didik, tetapi juga yang bertanggung jawab atas pengelolaan pembelajaran (manager of learning), pengarah pembelajaran (director of learning) dan fasilitator dan perencana (planner of future society). Guru, dengan demikian harus dapat berfungsi sebagai pengajar, pendidik dan sekaligus sebagai pemimpin.

Untuk meningkatkan kualitas SDM dan profesionalisasi tenaga kependidikan dapat melalui pelatihan-pelatihan yang intensif, mengikuti workshop menyangkut pengembangan bahan ajar, ICT, PTK dan atau dilakukan pendidikan lanjut ke program yang lebih tinggi S1, S2 atau S3. Namun yang terpenting dari semua itu adalah para guru hendaknya mengaktualisasi diri dengan budaya membaca dan mengakses informasi-informasi aktual melalui media teknologi informasi yang ada dalam rangka memperluas wawasan dan pengayaan informasi.

Kementrian Agama RI melalui Direktorat Pendidikan Agama Islam pada Sekolah Umum sangat serius menjalankan program peningkatan kualitas guru Agama Islam pada Sekolah Umum . Banyak program yang telah dilakukan Kementrian ini dalam rangka peningkatan kompetensi Guru Pendidikan Agama Islam dengan melakukan kerjasama dengan Perguruan Tinggi Agama Islam, misalnya memberikan beasiswa penuh bagi guru-guru PAI pada sekolah umum untuk studi lanjut ke Perguruan Tinggi Agama Islam (S1, S2, S3), memberikan bantuan beasiswa bagi guru Pendidikan Agama Islam yang masih kuliah dan memberikan pelatihan serta workshop bagi guru-guru Pendidikan Agama Islam yang sudah sarjana.

Perhatian dan program peningkatan kualitas tenaga pendidik, juga pernah dilakukan Paulo Freire ketika melakukan reformasi pendidikan di Brazil pada tahun 1990-an. Enam prinsip dasar yang dikonstruksi sebagai pedoman pelatihan pendidik, yaitu:
1. Pendidik adalah subjek dari praktik pengajarannya (inilah tugas pendidik untuk menciptakan dan mereka ulang praktik pengajaran tersebut);
2. Pelatihan pendidik ini harus memberikan alat-alat untuk menciptakan dan mereka ulang praktik pengajarannya yang dilandasi pemikiran-pemikiran atas rutinitas keseharian mereka;
3. Pendidik harus mengikuti pelatihan secara konstan dan sistematis, karena praktik pendidikan selalu berupa trasnformasi;
4. Praktik pendidikan mensyaratkan pemahaman tentang asal usul ilmu pengetahuan itu sendiri, dengan kata lain pemahaman tentang bagaimana proses penemuan itu terjadi;
5. Program pelatihan pendidik adalah sebuah batu loncatan untuk proses reorientasi kurikulum sekolah;
6. Program pelatihan pendidik akan memiliki hal-hal mendasar tentang pandangan tentang sekolah yang dicita-citakan sebagai horizon tawaran pendidikan yang baru; kebutuhan untuk menyediakan komponen formatif dasar bagi para pendidik dalam bidang studi yang berbeda-beda; dan tambahan kemajuan ilmiah oleh para pendidik yang bisa memberi kontribusi pada peningkatan kualitas sekolah yang dicita-citakan .

Program-program pelatihan peningkatan kompetensi guru dapat melalui beragam bentuk. Misalnya pelatihan yang di lakukan di sekolah itu sendiri dengan kelompok-kelompok kecil yang beranggotakan para pendidik yang tergabung dalam KKG atau kelompok yang lebih besar dengan melibatkan sekolah-sekolah terdekat yang tergabung dalam KKM atau Rayon.

Program pelatihan itu sebaiknya melingkupi tema pemikiran tentang aksi para pendidik yang bekerja di sekolah-sekolah. Program tersebut menggunakan penjelasan dan analisis atas praktik pendidikan dengan mengangkat tema-tema analisis yang membutuhkan penguatan teoritis dan reanalysis atas praktik berdasarkan teori tertentu.

E. Reorientasi Peran Guru PAI
Saat ini guru Pendidikan Agama Islam (PAI) berada pada dunia yang berbeda. Era globalisasi, demikian orang menyebutnya. Globalisasi sudah memasuki dunia private kehidupan manusia, sarat akan informasi, cepat berubah dan penuh persaingan serta menggiring manusia untuk tidak sempat beristirahat sekejap pun dari berbuat kreatif. Para guru PAI dalam konteks ini dituntut untuk bersaing, gesit, cepat dan mengadakan berbagai perbaikan .
Perubahan yang dihasilkan perkembangan itu, menawarkan perluasan wawasan dan gagasan yang terbuka bagi pengembangan kehidupan dan sekaligus melahirkan tantangan yang cukup berat dan mendasar yang menyentuh sendi-sendi kehidupan manusia. Dalam menghadapi dunia yang berbeda itu, peran guru Pendidikan Agama Islam harus diarahkan pada pengembangan Sumber Daya Manusia yang kreataif, cerdas, baik, sopan dan berahlak mulia. Sebab setiap anak yang dilahirkan ke dunia ini adalah pikiran Tuhan yang baru, kemungkinan yang senantiasa segar dan bersinar, kata Kate Douglas Wiggin, sebagaimana dikutip Eko Prasetyo dalam bukunya “Guru: Mendidik itu Melawan”.

Keteladanan dan wawasan yang memadai dari seorang guru merupakan kebutuhan peserta didik guna mengurai tindakan kekerasan dan tawuran pelajar . Wawasan dan peka terhadap gegap gempita dunia di luar sekolah yang akan selalu membentuk karakter peserta didik, sementara di sekolah bagi sebagian peserta didik masih mengajarkan bagaimana cara mengeja hurup, menghitung dengan benar dan menghapal nama-nama pulau di Indonesia.

Melalui arus informasi yang sangat cepat, kini anak-anak terpelajar mengalami proses pendewasaan yang begitu cepat. Satu diantaranya, menurut Prsetyo, lahirnya kelas menengah baru hasil didikan luar negeri. Sebuah kelas yang mempercayakan anak ke sekolah bukan semata-mata mendapatkan pengetahuan tapi kecakapan dan keterampilan teknis. Pendidikan sama halnya dengan bagaimana mendapatkan layanan makan siap saji, yang cepat, enak, dan harga bisa dibayar dengan cara mudah. Bagi anak, kemudian sekolah menjadi tempat ke tiga setelah Mall dan kafe atau gedung Bioskop. Di mall mereka dikenalkan bukan hanya dengan budaya uang melainkan bagaimana mengkonsumsi dengan mudah, cepat dan massal. Handphone, Facebook, Twitter dan Blog juga makin memudahkan mereka untuk membangun interaksi sosial secara individual.

Pada aras ini, guru apalagi guru PAI menjadi profesi yang begitu tua karena harus berhadapan dengan tuntutan pasar yang membuat mereka menjadi suplemen pelengkap proses belajar belajar. Guru ada untuk memuluskan hasrat orang tua yang ingin anaknya menjadi manusia superman, seperti Ksatria Baja Hitam.
Dengan demikian, sudah seharusnya para guru Pendidikan Agama Islam (PAI) pada sekolah menjadi tokoh sentral dan panutan, baik di tingkat SD, SMP maupun SMU/SMK atau dengan istilah lain orientasi pembelajaran harus di arahkan kepada character building dan pembinaan akhlak mulia. Hal itu dimaksudkan sebagai ikhtiar untuk memutus rantai perilaku kekerasan para peserta didik.

Namun, faktanya tidak banyak guru Agama pada sekolah yang bisa menjadi tokoh utama yang akan ditiru dan digugu oleh teman sejawat maupun peserta didiknya. Entah apa penyebabnya. Malahan banyak guru Agama yang membuat ulah di sekolahnya, seperti jarang masuk dan kurang pandai membawa diri, serta berbuat tidak senonoh dengan siswanya.

Ironis memang. Di tengah kondisi peserta didik yang nakal dan butuh bimbingan, malah tidak sedikit guru PAI kita yang sulit keluar dari masalahnya sendiri. Belum lagi kondisi lingkungan sekolah yang menyebabkan mereka semakin jarang dan malas untuk mengajar. Salah satunya masih ada kesan bahwa mereka anak tiri pada Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, bukankah status mereka Guru Agama yang diangkat oleh kepala Daerah. Persoaln ini masih belum terselesaikan atau ada tarik menarik kepentingan antara Kemendikbud dengan Kementrian Agama. Persoalan ini sampai sekarang masih menjadi problem yang imbasnya pada hak untuk mengajukan sertifikasi bagi para guru PAI.

Melupakan sementara waktu semua problem yang dihadapi para Guru PAI sangat bijak kemudian mereka bekerja professional dan penuh semangat untuk memperbaiki perilaku negatif para peserta didik pada semua level pendidikan. Perbaikan moralitas peserta didik menjadi tugas utama para Guru PAI. Tugas itu sangat berat tetapi harus dilakukan demi anak bangsa ke depan. Baik buruknya peserta didik di sekolah pasti akan berpengaruh pada citra guru PAI kita. Kalau peserta didik baik dan alim pasti dipuji dan begitu sebaliknya, kalau peserya didiknya banyak yang nakal maka guru PAI disumpahi dan dianggap tidak becus mendidik.

Memang tidak adil kalau semua kesalahan anak nakal di sekolah sepenuhnya ditimpakan kepada para guru Agama, namun tidak baik juga kalau kenakalan peserta didik tidak dialamatkan kepada orang tua siswa. Mengapa? Karena orang tua wali berkewajiban pula untuk menjaga anak-anaknya. Dengan kata lain tanggung jawab utama pendidikan berada pada keluarga, baru kemudian sekolah atau dewan guru. Karena itu, sinerginitas antara sekolah dengan komite sekolah sangat diperlukan, sehingga tidak terkesan tugas komite sekolah hanya ngerecoki sekolah terutama berkaitan dengan pendanaan tetapi lupa pada perbaikan akhlak .

Pada kondisi hubungan yang kurang mesra antara sekolah dengan komite sekolah, seharusnya para guru PAI tampil sebagai tokoh agama yang membuat hubungan antara keduanya lebih mesra. Namun peran itu, tidak banyak dilakukan oleh para guru PAI di semua tingkatan sekolah. Yang terjadi justru banyak guru PAI yang tidak merasa mampu dan tidak percaya diri.

Saya teringat bagaimana pengajaran yang dilkukan oleh nabi Khidir As kepada nabi Musa As tentang ilmu kasyaf. Secara tingkatan keilmuan nabi Musa lebih tinggi dari nabi Khidir, hanya ilmu nabi Khidir tidak dimiliki nabi Musa. Ilmu yang diajarkan nabi Khidir kepada nabi Musa hanya ilmu sabar . Tidak lebih, itupan nabi Musa tidak mampu dan gagal menjadi murid nabi khidir. Kenapa gagal? Sebab apa yang diajarkan nabi Khidir tentang ilmu kasyaf selalu dilihat nabi Musa dari kaca mata syariat, sehingga selalu dipertanyakan, padahal persyaratan yang disepakatinya adalah tidak boleh banyak bertanya terhadap apa yang akan dilakukan nabi Khidir.

Pengajaran pertama diberikan nabi Khidir kepada nabi Musa, ketika diajak berlayar menuju satu pulau sampai di tengah laut Nabi Khidir mematahkan papan perahu dengan kapak. Melihat kejadian itu, nabi Musa protes, mengapa anda lakukan itu, bukankah merusak milik orang lain itu melanggar syariat dan bukankah dengan perbuatan itu akan membuat para penumpangnya tenggelam termasuk Khidir dan nabi Musa sendiri, kata nabi Musa. Sudah saya katakan, kamu tidak akan mampu menerima pengajaran dari aku, kata nabk Khidir.

Pengajaran kedua nabi Khidir kepada nabi Musa adalah ketika mereka bertemu seorang gadis kecil nan cantik jelita, lalu nabi Khidir mengambil pisau lalu memotong leher gadis itu sampai putus. Melihat kejadian itu, nabi Musa kembali protes karena bertentangan dengn syariat. Khidir pun menjawab, anda tidak akan mampu sabar menerima ilmu dariku kata Nabi Khidir. Maafkan saya Tuan, kata nabi Musa. Saya maafkan untuk kedua kalinya, jawab nabi Khidir.

Pengajaran ketiga, ketika melewati rumah anak yatim yang akan roboh karena memang temboknya sudah miring. Nabi Khidirpun merobohkan rumah itu kemudian membangunnya kembali. Lagi-lagi nabi Musa protes seraya bertanya, mengapa Tuan lakukan itu? Kasihan pemilik rumah yang yatim piatu itu. Bukankah, akibat perbuatan itu, si anak yatim tidak punya tempat untuk berteduh dari hujan dan pamasnha terik matahri. Tanya nabi Musa kepada nabi Khidir. Cukup sudah, kata Nabi Khidir, anda telah gagal . Akhirnya, keduanya berpisah.

Dari pengajaran yang diberikan nabi Khidir kepada nabi Musa itu, apa hikmah yang dapat diambil oleh para guru PAI kepada peserta didik dan dewan guru yakni kesabaran dalam memberikan pendidikan dan pengajaran kepada para peserta didik, terutama untuk pembinaan akhlak. Guru PAI harus banyak mengelus dada, memegang kepala dan bersabar. Hanya itu pengajaran nabi Khidir kepada nabi Musa, namun gagal total.

Memberikan pengajaran agama di sekolah sangat dibutuhkan untuk memantapkan tata nilai dan moral kepada siswa. Harapannya agar dapat mengurangi dan meniadakan perilaku negatif seperti tawuran, pengrusakan fasilitas publik dan penggunan obatan terlarang.

Karena itu, materi PAI di sekolah tidak hanya mengajarkan bagaimana mengabdikan diri kepada Allah,tapi juga diajarkan berbuat baik, menghormati sesama, menghargai pendapat orang lain, saling tolong, jujur, dan cinta tanah air, ini inti dari pembinaan akhlak yang harus menjadi orientasi pengajaran agar kekerasan dan tawuran diantara mereka dapat terminimalisir.
Dengan demikian, pengajaran PAI harus bersifat aplikatif sehingga siswa menjadikan nilai-nilai Islam sebagai sumber tindakan sehari-hari, terutama dalam berinteraksi antar sesama dan lingkungan sekolah. Pada aras ini, guru PAI pada sekolah harus betul-betul menguasai materi PAI dan mentasbihkan diri sebagai “mauidzatil hasanah di lingkungan sekolah”. Jadilah tokoh diantara tokoh yang ada pada sekolah masing-masing agar eksistensi guru-guru PAI diperhitungkan di lingkungan sekolahnya. Kalau tidak mampu, maka akan selamanya menjadi pelengkap penderita di sekolah itu.

Agar nampak hasilnya, sebaiknya pengajaran PAI dilakukan melalui kegiatan ekstrakurukuler. Beberapa bentuk kegiatannya seperti membiasakan akhlak mulia dengan mengucapkan salam, kegiatan pesantren kilat, bimbingan rohani Islam, membaca alquran, pengembangan keterampilan dan seni. Semua pembiasaan itu harus dilakukan agar tercipta peserta didik yang berkarakter dan berwawasan luas menjadi amanat peraturan pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Tujuan pendidikan agama untuk berkembangnya kemampuan peserta didik dalam memahami, menghayati dan mengamalkan penguasaan nilai-nilai agama yang diserasikan dengan ilmu pengetahuan teknologi dan seni.

Sangat berat tugas para guru Pendidikan Agama Islam di sekolah, tapi itulah kewajiban yang wajib diembannya. Semoga dengan berkah dan kemanfaatan ilmu agama yang diajarkan kepada peserta didiknya, para guru agama menjadi tokoh panutan yang mulia yang akan ditiru ilmu dan tingkah polahnya di sekolah. Dengan begitu pendidikan agama Islam yang diajarkan guru agama dapat meminimalisir atau menihilkan perilaku kekerasan dan tawuran di sekolah dan lingkungan sosialnya. wallahul Musta'an ila Darissalam.

0 komentar: