Jumat, 04 Juli 2014

HORROSOPHY POLITIK INDONESIA

Di dalam dunia politik yang berkembang adalah berbagai sophos (kebijaksanaan, pengetahuan, ilmu) yang mengandung di dalam dirinya berbagai kontradiksi logis kebijaksanaan yang bersimbiosis dengan kekerasan atau apa yang disebut horrosophy. Ketika aktor politik memasuki dunia citra yang ditawarkan oleh era informasi dan tak mampu melakukan refleksi dan reinterpretasi terhadap hakikat politik di dalamnya untuk menemukan maknanya yang hakiki atau ontologisnya.


Pada aras ini, aktor politik terserap atau jatuh ke dalam dunia itu dan larut dalam logika operasionalnya. Di dalam kondisi kejatuhan (das verfallen) itu, aktor politik kehilangan dirinya sebagai subjek. Di dalam keterjatuhan tersebut, aktor politik membiarkan dirinya hanyut di dalam mekanisme ruang - waktu dan ontologi citra yang membentuknya serta tidak dapat bangkit atau keluar dari jerat ruang-waktu tersebut (Piliang, 2005). Oleh karena itu, eksistensinya sebagai manusia politik telah diredusir secara ontologis ke dalam ontologi citra visual.

Foucault melihat kejatuhan aktor politik itu dalam konteks wacana. Manusia abad informasi adalah manusia yang terlarut ke dalam dunia wacana karenanya manusia tidak mempunyai kekuatan dan otoritas apa-apa untuk mengubahnya. Bahasa dan wacana itu sendirilah yang mempunyai kekuasaan dan kedaulatan serta mampu memproduksi dirinya sendiri dalam imajinasi, memori perhatian manusia juga mampu mempresentasikan manusia sebagai subjek. Foucault berpandangan bahwa subjek bukan sebagai pencipta wacana tetapi sebagai efek wacana yang telah terlempar dan terserap ke dalam diskursus yang telah tersedia baginya, bahkan sebelum dilahirkan.

Dominasi ontologi citra atas realitas politik telah menciptakan budaya politik yang menggantungkan dirinya pada budaya visual yaitu budaya yang bertumpu pada unsur-unsur visual sebagai unsur utama pembentuknya. Sebagai contoh, pembentukan citra seorang calon presiden di dalam berbagai media virtual telah menjadi bagian inheren dari dunia politik kontemporer sehingga citra yang di bangun secara antifisual tersebut akan sangat memoengaruhi pilihan politik seseorang (Piliang, 2005). Sementara masyarakat politik yang juga ikut terjatuh ke dalam ontologi citraan itu menerimanya sebagai bagian realitas politik yang sudah given, tanpa mampu lagi mempertanyakan secara kritis status ontologis dan epistemoligisnya.

Membangun citra politik melalui media virtual menjadi keniscayaan. Namun demikian, ada suatu keyakinan yang sudah lama dipercayai sebagian besar aktivis politik "they will do anything necessary to win", mereka akan berbuat apa saja yang diperlukan untuk menang. Ya, demi menggapai tujuan kemenangan para calon presiden benar-benar menghalalkan segala cara. Jika diganti menjadi segala cara halal untuk memenangkan calon presiden mungkin terasa lebih indah dan harmoni.

Di Indonesia untuk membangun citra politik agar pemilih jatuh hati dapat dilakukan dengan kampanye politik sebagaimana di atur dalam Undang-undang Pemilu. Pada tataran strategis, manusia politik dapat melakukan strategi dan taktik.

Pada dasawarsa terakhir taktik yang banyak dilakukan adalah taktik deliberate priming (Farrel, 2001). Dalam taktik ini, para electioner pada intinya melakukan tiga hal utama (1). Menentukan isu-isu yang dinilai penting oleh segmen calon pemilih berdasarkan jajak pendapat. (2). Membuat analisis penentuan isu yang paling menguntungkan individu kontestan dan mengabaikan isu-isu persoalan lain (meskipun dalam platform partai itu merupakan isu sentral). (3). Merekayasa citra kontestan sesuai isu persoalan yang dioilih, merancang pesan dan simbol yang diperlukan, serta merencanakan pemanfaatan media, semuanya diusahakan agar calon pemilih terfokus pada isu yang telah dilekatkan pada kontestan.

Strategi kampanye yang diyerapkan para electiner bisa beragam, namun umumnya diawali dengan analisis positioning atau analisis posisi pasar partai atau kontestan yang hasilnya kemudian di manfaatkan untuk menentukan langkah strategis selanjutnya. Kemunculan kultur kompetisi politik sebagai industri turut memperkokoh eksistensi suatu mode of power production yang kian mengandalkan gelembung politik (bubble politics). Dedi N. Hidayat (2009) dalam kata pengantar buku Iklan Politik TV karya Ahmad Danial menjelaskan bahwa melalui kampanye dan menejemen persepsi, realitas sosok seorang kandidat berusaha untuk digelembungkan sebagai citra unggulan yang dipertarungkan untuk merebut investasi dari konsumen pilitik yang memiliki hak pilih dan mengharapkan memperoleh sesuatu dari penggunaan hak pilih mereka.

Kultur kompetisi politik dan kampanye pemilu sebagai industri semakin memperkokoh pelembagaan mode of  power production, money - power - more money. Maksudnya, pemilik modal atau politikus yang mampu melakukan mobilisasi kekuatan finansial untuk mencalonkan diri dan kampanye, berupaya mendapatkan posisi kekuasaan politik yang kemudian diharapkan mampu pula dimanfaatkan guna menghimpun lebih banyak modal demi tujuan akumulasi dan ekspansi kekuasaan politik.

Bekerjanya sirkuit (meminjam istilah Dedi N. Hidayat) berpotensi menyebabkan relasi negara pasar akan mengalami mutasi berubah ke bentuk yang lebih gamblang, tidak lagi ditandai adanya aliansi antara negara dan pemilik modal tetapi juga oleh penetrasi pemilik modal yang kian massif ke pengendalian negara secara langsung. Sejak pemilu 2004 sampai sekarang, para pemilik modal merebut posisi di lembaga-lembaga legislatif atau eksekutif melakui proses pemilu atau melakui pelbagai pendekatan dan tawar menawar politik. Alhasil, komposisi pebisnis dalam lembaga legislatif dan eksekutif kini tampak meningkat.

Mutasi hubungan negara dan pasar semacam itu menyebabkan negara secara konstan dibayangi krisis representasi. Di satu sisi, negara dituntut berperan mengupayakan kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, negara dipengaruhi oleh kombinasi antara tekanan untuk melakukan liberalisasi pasar dan tuntutan untuk memberi konsesi bagi kepentingan akumulasu modal aneka kelompok pebisnis yang telah memberi dukungan finansial dalam melakukan big money campaign dan politik uang.

Pada aras hubungan negara dengan pebisnis sebagai konsesi terkadang berakibat pada disharmoni antara keduanya dan bahkan masyarakat. Kepentingan mana yang harus didahulukan, antara mensejahterakan masyarakat atau melayani kepentingan pebisnis. Negara dalam konteks ini berada dalam posisi dilematis atau bahkan seringkali kepentingan rakyat yang di kurbankan.

Politik kepentingan semacam itu yang sering berujung pada tindakan kekerasan negara terhadap rakyatnya (horrosophy). Tindak kekerasan seperti itu bukan akibat yang berdiri sendiri tetapi berawal dari perselingkuhan negara dengan kelompok pebisnis sebagai penyebabnya.

Dalam konteks pilpres 9 Juli 2014 sangat jelas terlihat bahwa kelompok pebisnis berada di belakang kedua pasangan calon presiden (Prabowo - Hatta dan Joko Widodo - Jusuf Kala). Mereka tergolong the big money campaign untuk menggelontorkan dana bagi masing-masing pasangan calon. Menang tentu menjadi tujuan yang tidak bisa di tawar-tawar, sehingga they will do anything necessary to win. Pada aras ini, para pebisnis inilah sebenarnya yang punya kepentingan besar sementara rakyat hanya sebagai obyek penderita yang disanjung atau diangkat harkatnya karena memiliki hak pilih. Namun, setelah terpilih dicampakkan kembali ke posisi asalnya.

Terus terang, saya sangat terkejut dengan tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok orang berbaju partai tertentu yang merusak stasiun TVOne di Yogyakarta. Tindakan tersebut menjadi gambar betapa rakyat tidak tahan banting atas berbagai isu dan propaganda yang dilakukan oleh the silen hand yang bermain di air keruh. Lalu apa yang dapat dijelaskan dari tindakan anarkis tersebut?

Akibat dari tindakan tersebut sudah pasti akan merugikan pasangan calon presiden yang sedang bertarung. Kalau benar bahwa sekelompok orang berbaju merah yang melakukan anarkis itu berasal dari simpatisan partai tertentu maka sangat disayangkan sebab pasti akan berpengaruh terhadap kepercayaan masyarakat  kepada salah satu pasangan calon yang diusungnya. Tindak kekerasan yang berujung anarkis inilah yang dimaksud sebagai horrosophy politik.

Atas kasus tersebut, pihak kepolisian harus bisa mengungkap pelaku dan diproses secara adil sebagaimana amanat presiden Susilo Bambang Yudoyono menjelang pilpres 2014. Mungkinkah pemilu berproses dengan nir-kekerasan sehingga politik tidak selalu dinisbatkan dengan kelerasan atau horrosophy.

Penisbatan politik dengan kekerasan berdampak negatif terhadap perkembangan politik Indonesia pada setiap tingkatannya. Oleh karena itu, pendidikan politik dan budaya politik demokratis harus diupayakan agar masyarakat politik terbiasa menerima kekalahan dalam suatu kompetisi. Rusuh politik yang berujung pada anarkisme tidak lagi terjadi sebagaimana kejadiannterakhir di Yogyakarta. Semoga masyarakat politik bisa menahan diri untuk tidak terjebak pada tindakan kekerasan, yang mungkin saja dimainkan pihak the silen men. Hal ini penting agar rakyat tidak menjadi kurban horrosophy agar ke depan rakyat tidak apatis dalam berdemokrasi.

IAI Qamarul Huda lantai II. 04072014.15.45.59

0 komentar: