Di dalam dunia politik yang berkembang adalah berbagai sophos
(kebijaksanaan, pengetahuan, ilmu) yang mengandung di dalam dirinya
berbagai kontradiksi logis kebijaksanaan yang bersimbiosis dengan
kekerasan atau apa yang disebut horrosophy. Ketika aktor
politik memasuki dunia citra yang ditawarkan oleh era informasi dan tak
mampu melakukan refleksi dan reinterpretasi terhadap hakikat politik di
dalamnya untuk menemukan maknanya yang hakiki atau ontologisnya.
Pada
aras ini, aktor politik terserap atau jatuh ke dalam dunia itu dan
larut dalam logika operasionalnya. Di dalam kondisi kejatuhan (
das verfallen)
itu, aktor politik kehilangan dirinya sebagai subjek. Di dalam
keterjatuhan tersebut, aktor politik membiarkan dirinya hanyut di dalam
mekanisme ruang - waktu dan ontologi citra yang membentuknya serta tidak
dapat bangkit atau keluar dari jerat ruang-waktu tersebut (Piliang,
2005). Oleh karena itu, eksistensinya sebagai manusia politik telah
diredusir secara ontologis ke dalam ontologi citra visual.
Foucault
melihat kejatuhan aktor politik itu dalam konteks wacana. Manusia abad
informasi adalah manusia yang terlarut ke dalam dunia wacana karenanya
manusia tidak mempunyai kekuatan dan otoritas apa-apa untuk mengubahnya.
Bahasa dan wacana itu sendirilah yang mempunyai kekuasaan dan
kedaulatan serta mampu memproduksi dirinya sendiri dalam imajinasi,
memori perhatian manusia juga mampu mempresentasikan manusia sebagai
subjek. Foucault berpandangan bahwa subjek bukan sebagai pencipta wacana
tetapi sebagai efek wacana yang telah terlempar dan terserap ke dalam
diskursus yang telah tersedia baginya, bahkan sebelum dilahirkan.
Dominasi
ontologi citra atas realitas politik telah menciptakan budaya politik
yang menggantungkan dirinya pada budaya visual yaitu budaya yang
bertumpu pada unsur-unsur visual sebagai unsur utama pembentuknya.
Sebagai contoh, pembentukan citra seorang calon presiden di dalam
berbagai media virtual telah menjadi bagian inheren dari dunia politik
kontemporer sehingga citra yang di bangun secara antifisual tersebut
akan sangat memoengaruhi pilihan politik seseorang (Piliang, 2005).
Sementara masyarakat politik yang juga ikut terjatuh ke dalam ontologi
citraan itu menerimanya sebagai bagian realitas politik yang sudah
given, tanpa mampu lagi mempertanyakan secara kritis status ontologis
dan epistemoligisnya.
Membangun citra politik melalui
media virtual menjadi keniscayaan. Namun demikian, ada suatu keyakinan
yang sudah lama dipercayai sebagian besar aktivis politik "
they will do anything necessary to win",
mereka akan berbuat apa saja yang diperlukan untuk menang. Ya, demi
menggapai tujuan kemenangan para calon presiden benar-benar menghalalkan
segala cara. Jika diganti menjadi segala cara halal untuk memenangkan
calon presiden mungkin terasa lebih indah dan harmoni.
Di
Indonesia untuk membangun citra politik agar pemilih jatuh hati dapat
dilakukan dengan kampanye politik sebagaimana di atur dalam
Undang-undang Pemilu. Pada tataran strategis, manusia politik dapat
melakukan strategi dan taktik.
Pada dasawarsa terakhir taktik yang banyak dilakukan adalah taktik
deliberate priming (Farrel,
2001). Dalam taktik ini, para electioner pada intinya melakukan tiga
hal utama (1). Menentukan isu-isu yang dinilai penting oleh segmen calon
pemilih berdasarkan jajak pendapat. (2). Membuat analisis penentuan isu
yang paling menguntungkan individu kontestan dan mengabaikan isu-isu
persoalan lain (meskipun dalam platform partai itu merupakan isu
sentral). (3). Merekayasa citra kontestan sesuai isu persoalan yang
dioilih, merancang pesan dan simbol yang diperlukan, serta merencanakan
pemanfaatan media, semuanya diusahakan agar calon pemilih terfokus pada
isu yang telah dilekatkan pada kontestan.
Strategi kampanye yang diyerapkan para
electiner bisa beragam, namun umumnya diawali dengan analisis
positioning
atau analisis posisi pasar partai atau kontestan yang hasilnya kemudian
di manfaatkan untuk menentukan langkah strategis selanjutnya.
Kemunculan kultur kompetisi politik sebagai industri turut memperkokoh
eksistensi suatu
mode of power production yang kian mengandalkan gelembung politik (
bubble politics).
Dedi N. Hidayat (2009) dalam kata pengantar buku Iklan Politik TV karya
Ahmad Danial menjelaskan bahwa melalui kampanye dan menejemen persepsi,
realitas sosok seorang kandidat berusaha untuk digelembungkan sebagai
citra unggulan yang dipertarungkan untuk merebut investasi dari konsumen
pilitik yang memiliki hak pilih dan mengharapkan memperoleh sesuatu
dari penggunaan hak pilih mereka.
Kultur kompetisi politik dan kampanye pemilu sebagai industri semakin memperkokoh pelembagaan
mode of power production, money - power - more money.
Maksudnya, pemilik modal atau politikus yang mampu melakukan mobilisasi
kekuatan finansial untuk mencalonkan diri dan kampanye, berupaya
mendapatkan posisi kekuasaan politik yang kemudian diharapkan mampu pula
dimanfaatkan guna menghimpun lebih banyak modal demi tujuan akumulasi
dan ekspansi kekuasaan politik.
Bekerjanya sirkuit
(meminjam istilah Dedi N. Hidayat) berpotensi menyebabkan relasi negara
pasar akan mengalami mutasi berubah ke bentuk yang lebih gamblang, tidak
lagi ditandai adanya aliansi antara negara dan pemilik modal tetapi
juga oleh penetrasi pemilik modal yang kian massif ke pengendalian
negara secara langsung. Sejak pemilu 2004 sampai sekarang, para pemilik
modal merebut posisi di lembaga-lembaga legislatif atau eksekutif
melakui proses pemilu atau melakui pelbagai pendekatan dan tawar menawar
politik. Alhasil, komposisi pebisnis dalam lembaga legislatif dan
eksekutif kini tampak meningkat.
Mutasi hubungan negara
dan pasar semacam itu menyebabkan negara secara konstan dibayangi krisis
representasi. Di satu sisi, negara dituntut berperan mengupayakan
kesejahteraan rakyat. Di sisi lain, negara dipengaruhi oleh kombinasi
antara tekanan untuk melakukan liberalisasi pasar dan tuntutan untuk
memberi konsesi bagi kepentingan akumulasu modal aneka kelompok pebisnis
yang telah memberi dukungan finansial dalam melakukan
big money campaign dan politik uang.
Pada
aras hubungan negara dengan pebisnis sebagai konsesi terkadang
berakibat pada disharmoni antara keduanya dan bahkan masyarakat.
Kepentingan mana yang harus didahulukan, antara mensejahterakan
masyarakat atau melayani kepentingan pebisnis. Negara dalam konteks ini
berada dalam posisi dilematis atau bahkan seringkali kepentingan rakyat
yang di kurbankan.
Politik kepentingan semacam itu yang sering berujung pada tindakan kekerasan negara terhadap rakyatnya (
horrosophy). Tindak
kekerasan seperti itu bukan akibat yang berdiri sendiri tetapi berawal
dari perselingkuhan negara dengan kelompok pebisnis sebagai penyebabnya.
Dalam
konteks pilpres 9 Juli 2014 sangat jelas terlihat bahwa kelompok
pebisnis berada di belakang kedua pasangan calon presiden (Prabowo -
Hatta dan Joko Widodo - Jusuf Kala). Mereka tergolong
the big money campaign untuk
menggelontorkan dana bagi masing-masing pasangan calon. Menang tentu
menjadi tujuan yang tidak bisa di tawar-tawar, sehingga
they will do anything necessary to win.
Pada aras ini, para pebisnis inilah sebenarnya yang punya kepentingan
besar sementara rakyat hanya sebagai obyek penderita yang disanjung atau
diangkat harkatnya karena memiliki hak pilih. Namun, setelah terpilih
dicampakkan kembali ke posisi asalnya.
Terus terang, saya
sangat terkejut dengan tindakan anarkis yang dilakukan sekelompok orang
berbaju partai tertentu yang merusak stasiun TVOne di Yogyakarta.
Tindakan tersebut menjadi gambar betapa rakyat tidak tahan banting atas
berbagai isu dan propaganda yang dilakukan oleh
the silen hand yang bermain di air keruh. Lalu apa yang dapat dijelaskan dari tindakan anarkis tersebut?
Akibat
dari tindakan tersebut sudah pasti akan merugikan pasangan calon
presiden yang sedang bertarung. Kalau benar bahwa sekelompok orang
berbaju merah yang melakukan anarkis itu berasal dari simpatisan partai
tertentu maka sangat disayangkan sebab pasti akan berpengaruh terhadap
kepercayaan masyarakat kepada salah satu pasangan calon yang
diusungnya. Tindak kekerasan yang berujung anarkis inilah yang dimaksud
sebagai
horrosophy politik.
Atas kasus tersebut,
pihak kepolisian harus bisa mengungkap pelaku dan diproses secara adil
sebagaimana amanat presiden Susilo Bambang Yudoyono menjelang pilpres
2014. Mungkinkah pemilu berproses dengan nir-kekerasan sehingga politik
tidak selalu dinisbatkan dengan kelerasan atau
horrosophy.
Penisbatan
politik dengan kekerasan berdampak negatif terhadap perkembangan
politik Indonesia pada setiap tingkatannya. Oleh karena itu, pendidikan
politik dan budaya politik demokratis harus diupayakan agar masyarakat
politik terbiasa menerima kekalahan dalam suatu kompetisi. Rusuh politik
yang berujung pada anarkisme tidak lagi terjadi sebagaimana
kejadiannterakhir di Yogyakarta. Semoga masyarakat politik bisa menahan
diri untuk tidak terjebak pada tindakan kekerasan, yang mungkin saja
dimainkan pihak
the silen men. Hal ini penting agar rakyat tidak menjadi kurban
horrosophy agar ke depan rakyat tidak apatis dalam berdemokrasi.
IAI Qamarul Huda lantai II. 04072014.15.45.59
0 komentar:
Posting Komentar