Rabu, 02 Juli 2014

LEMBAGA-LEMBAGA SURVEY MENJADI ALAT KAMPANYE

Perang hasil survey yang di rilis di media-media elektronok terhadap elektabilitas pasangan calon presiden Indonesia membuat sebagian masyarakat meragukan validitasnya. Bagaimana tidak ragu? di salah satu televisi pasangan calon presiden Joko Widodo dan Jusuf Kala selalu diagungkan seakan tanpa cela sedikit pun serta disanjung setinggi langit. Sementara kalau cannel televisinya dipindah ke TV One dan ANTV maka pasangan Prabowo - Hatta selalu berada di atas angin. Saking bingungnya terhadap tayangan dan hasil survey yang dirilis oleh dua blok televisi tersebut membuat masyarakat berhenti sementara untuk menonton tiga cannel televisi tersebut.

Dalam 13 tahun reformasi, lembaga survei bermunculan bagaikan cendawan di musim hujan. Kehadirannya ibarat pisau bermata dua, bisa mendatangkan manfaat dan mudarat, tergantung pihak yang memanfaatkannya.Kecendrungan hasil survey sangat tergantung dari pesan sponsor. Apakah hasilnya sesuai dengan hasil survey atau tidak, bukan menjadi masalah penting untuk diperdebatkan. Misalnya hasil pemilihan tidak sesuai dengan hasil survey yang sudah dirilis maka paling-paling sanksinya tidak akan dipakai kembali jasanya oleh si calon tapi kalau menang sudah pasti akan mendatangkan keuntungan yang tidak sedikit. 

Di ranah politik, survei mampu melambungkan atau mengempaskan pihak tertentu sampai terkapar. Survei mencuat sebagai instrumen pembentuk opini dan alat kampanye paling dahsyat. Parpol dan para kandidat bersedia menyediakan dana besar untuk membayar lembaga survei. Sejumlah lembaga survei pun menjadi kaya raya. Tidak berlebihan, kini banyak kalangan menilai fenomena ini mengancam demokrasi, karena lembaga survei tidak steril  dari kepentingan uang dan kekuasaan. Banyak lembaga survei ditertibkan agar tidak menjadi alat kampanye dan pencitraan semu.

Menjelang pemilu presiden tanggal 9 Juli 2014 mendatang fungsi lembaga survei bergeser menjadi pembentuk opini publik bahkan menjadi alat kampanye. Pada pemilu sebelumnya, independensi sejumlah lembaga survei  masih diragukan. Karena itu masyarakat diimbau agar tidak terkecoh oleh hasil lembaga survei berkaitan dengan elektabilitas parpol maupun pasangan calon presiden yang akan maju pada pemilu 2014.

Oleh karena itu KPU berkewajiban untuk melakukan verifikasi lembaga survei yang telah mendaftar ke KpU sekitar 48 lembaga. Verifikasi dilakukan untuk melihat syarat administrasi dan sumber dana lembaga survei. Peran serta pendanaan partai politik dalam lembaga tersebut tidak dilarang sepanjang transparan. Sehingga kita memahami hasil survei itu dalam konteks dibiayai oleh partai tertentu atau memang independen.

Seluruh lembaga survei yang hendak melakukan survei dan merilis hitungan cepat hasil pemilu wajib mendaftarkan diri ke KPU. Pada awalnya kebijakan KPU itu ditentang oleh beberapa lembaga survey karena dianggap mengekang kebebasan dan terlalu intervensi tapi kemudian menerima sebagai bentuk pertanggung-jawaban kepada publik. Saya belum menemukan data, apakah lembaga-lembaga survey yang merilis hasil survey terhadap elektabilitas pasangan calon presiden sudah memiliki ijin dari KPU atau tidak. Institusi yang harus mendaftar tidak hanya lembaga yang menghususkan diri di bidang  survei. Lembaga lain, seperti media masa, perguruan tinggi atau pusat studi yang ingin melakukan survei juga wajib mendaftar.

Diharapkan dengan pendaftaran tersebut, lembaga survei dapat payung hukum untuk merilis hasil survei, jejak pendapat dan hitung cepat selama masa kampanye dan pada hari pemngutan suara. Tersebut pada pasal 317 Ayat 1UU 8 Tahun 2012 tentang pemilu mengatur bahwa pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang melakukan penghitungan cepat dan tidak memberitahukan bahwa perkiraan hasilnya bukan merupakan hasil resmi pemilu dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan dan denda paling banyak 18 juta rupaih.

Lalu pasal 317 Ayat 2 menyatakan bahwa pelaksana kegiatan penghitungan cepat yang mengumumkan perkiraan hasil penghitungan cepat sebelum 2 jam setelah selesainya pemungutan suara di wilayah Indonesia bagian Barat, dipidana dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan dan denda paling banyak 18 juta.

Pada dasarnya aturan mengenai lembaga survei yang tertuang dalam UU pemilu merupakan langkah negara dalam menjamin hak publik terkait informasi yang akan diterima. Hal itu dianggap penting agar publik tidak terjebak ke dalam sesat pikir dan tindakan politik yang salah sehingga  tidak berujung kepada konflik kepentingan dan sosial.

Terkait pembatasan pengumuman hasil hitung cepat dua jam setelah selesai penghitungan suara di wilayah Indonesia bagian Barat, itu juga semata-mata untuk memastikan bahwa informasi yang didapatkan dari bagian lain Indonesia, yang waktunya lebih cepat, tidak mempengaruhi hasil pemilu. Langkah itu untuk melindungi hak publik terkait informasi. Aturan itu dibuat supaya publik mendapatkan informasi yang akuntabel dan tidak mengandung unsur mempengaruhi pihak lain yang sedang proses pemilihan dan penghitungan.

Diakui atau tidak, lembaga survei di Indonesia saat ini belum sepenuhnya mendorong pertumbuhan demokrasi yang sehat. Sebagian besar survei atau jajak pendapat, yang semula menjadi alat untuk menghimpun pendapat masyarakat, kini telah berubah menjadi alat pembentuk opini sekaligus instrumen kampanye politik partai politik tertentu dan pasangan calon presiden. Kepentingan itu jelas terlihat pada Metro TV dengan beberapa lembaga survey yang memihak kepada pasangan Joko Widodo - Jusuf Kala dan TV One, ANTV dengan beberapa lembaga survey yang pro Prabowo - Hatta. Hasil-hasil survey yang dirilis pada kedua blok media televisi tersebut membuat masyarakat kebingungan akan validitad dan kebenaran hasilnya. Masing-masing mengklaim bahwa pasangannya yang didukungnya memiliki elektabilitas lebih bila di bandingkan dengan pasangan lainnya.Faktisitas ini sangat sulit terbantah karena sebagian besar lembaga survey punya kepentingan walaupun tidak semua.

Umar S Bakri dari Lembaga Survei Nasional (LSN) mengatakan bahwa lembaga survei merupakan lembaga yang mengawasi demokrasi. Kehadiran lembaga survei diyakini bisa untuk memperkaya dan menyehatkan demokrasi. Lembaga survei hadir di Indonesia bersama kehadiran demokrasi. Terlalu riskan jika perkembangan politik dan demokrasimdipercayakan sepenuhnya kepada parpol dan politisi. Namun diakui bahwa lembaga survei belum sepenubnya mendorong pertumbuhan demokrasi yang sehat. Banyak lembaga survei yang justru merusak demokrasi. Mereka bukan menjadi kekuatan pengawas, malah berselingkuh dengan parpol dan pilitisi.

Setiap menjelang pemilu, banyak lembaga survei yang malah menjadi kuda tunggangan parpol dan politisi untuk memenuhi ambisi dan kepentingan politiknya. Tentu para politisi dengan partai politiknya tidak bisa dipersalahkan karena lembaga-lembaga survey membuka diri dan mengiklankan diri menawarkan jasanya untuk melakukan survey menggiring opini publik agar partai politik tertentu bisa memenangkan suara rakyat.

Peneliti lingkaran Survei Indonesia (LSI) Adji Alfarabi menambahkan, sangat mudah untuk menilai atau memilih kredibilitas lembaga survei, yaitu dengan melihat rekam jejak atau trac record lembaga itu. Survei bisa saja salah memprediksi siapa pemenang dalam sebuah pilkada, pileg atau pilpres. Survei merekam opini masyarakat maksimal 7 hari sebelum pemilihan. Suara sampai hari H masih dinamis. Namun yang harus dilihat, berapa persentase kesalahan lembaga itu dalam memprediksi hasil pemilihan. Jika hanya di bawah 5 persen kesalahannya, hal itu masih bisa ditoleransi.

Sampai saat ini, masih banyak lembaga survei yang bisa dipercaya. Persoalannya, banyak sekali lembaga survei yang tiba-tiba muncul dan merilis hasil surveinya, meskipun rekam jejak lembaga itu tidak jelas. Kehadiran lembaga survei yang bak jamur itu akibat dari persepsi sebagian elit politik bahwa survei digunakan untuk menggiring opini dan pada saat bersamaan ada juga elit yang dengan mudah mencari lembaga survei pembanding walaupun tidak jelas rekam jejaknya. Oleh karena itu, perlu diperkuat dengan payung hukum, salah satunya dengan cara didaftarkan ke KPU.

Lembaga survey yang menjadi alat kampanye partai politik dan pasangan calon presiden tidak bisa disalahkan 100 persen tetapi tidak pula dibenarkan 100 persen karena memang mereka menjual jasa. Sehingga ketika para pemilik lembaga itu ditanya, apakah lembaga survey bisa dimanfaatkan sebagai alat kampanye, maka mereka menjawab dengan nada diplomatis untuk tidak mengatakan secara terang benderang. Namun demikian, mereka tetap berharap agar hasil survey yang dilakukan tetap obyektif walaupun untuk kepentingan partai politik dan pasangan calon presiden tertentu. Secara ilmiah, metodologi yang mereka pakai dapat dipertanggung-jawabkan secara ilmiah dan begitu pula hasilnya. Tinggal bagaimana memanfaatkan hasil survey itu untuk kepentingan siapa atau partai apa.

Terlepas dari itu semua, kita berharap agar lembaga-lembaga survey dapat lebih independen dan obyektif dalam melakukan survey terhadap elektabilitas calon pemimpin bangsa ini supaya logika publik tidak lagi dipermainkan oleh lembaga survey yang saling adu gengsi dan eksistensi. Kalaupun ada lembaga survey yang dijadikan alat kampanye partai tertentu dan pasangan calon tertentu agar tidak menggadaikan keilmiahannya. Silahkan saja menjadi alat kampanye tetapi tidak usah terlalu manipulatif sehingga mudah terdeteksi oleh masyarakat yang paling awwam.

Tanak Beak, 03072014.11.25.49

0 komentar: