Rabu, 02 Juli 2014

DESAKRALISASI KUALAT DI DUNIA PROFAN

Terminologi kualat semakin santer terdengar menjelang pemilihan umum, baik legislatif maupun presiden.  Terminologi "kualat" lebih bersifat patron-klien antara pemegang otoritas dengan yang dikuasai, misalnya dalam masyarakat adat dan masyarakat pesantren. Faktisitas ini seringkali dimanfaatkan secara maksimal oleh para politisi untuk meraup suara atau dijadikan sebagai lumbung suara dengan tanpa mengeluarkan cost sosial terlalu besar.


Menggerakkan Kiai atau Tuan Guru bagi kepentingan elit politik bukan strategi yang baru tetapi strategi lama yang terbarukan hingga kini. Mereka selalu dimanfaatkan untuk kepentingan sekelompok elit tertentu. Hanya masalahnya apakah keikutsertaan Kiai atau Tuan Guru akan serta merta diikuti pula oleh keluarga besarnya atau para santrinya? Kalau ya tentu akan berdampak positif tetapi kalau tidak tentu berakibat negatif bagi lembaganya serta akan dilabeli "kualat" secara personal bagi santri yang tidak ikutan.

Hubungan Kiai atau Tuan Guru (Patron-klien), hubungan guru-murid tampak sudah terjadi pergeseran nilai yang tidak lagi "sami'na wa ato'na", kami dengar dan kami taat terutama dalam masalah profan atau keduniawian (baca: politik). Namun dalam masalah agama tidak banyak mengalami pergeseran nilai. Artinya Kiai atau Tuan Guru masih menjadi sumber rujukan utama sehingga kalau tidak mengikuti titah Kiai atau Tuan Guru bisa berujung kualat atau petaka.

Dari perspektif Sosiologi Agama dikenal dua istilah yang perlu dipahami secara benar yakni "sacral dan profan" atau yang suci dan keduniaan. Berkaitan dengan "sacral" Kiai atau Tuan Guru memiliki otoritas yang besar karena mereka sebagai "warasatul al-Anbiya" atau sebagai pewaris para nabi. Setelah kerasulan nabi Muhammad Saw maka tidak ada lagi nabi dan rasul setelahnya. Para Kiai atau Tuan Guru memiliki peran untuk memegang estapet kepemimpinan umat atau agama. Semua urusan yang berkaitan dengan masalah hukum keagamaan harus merujuk kepada fatwa ulama.

Dunia profan atau politik tidak lagi menjadi otoritas ulàma walaupun di antara mereka ada yang terun gunung mengurusi politik. Tentu tidak salah dan sah-sah saja mereka turun gunung mengurusi dunia profan tetapi tetap saja otoritas keulamaannya tidak hilang kemudian tergantikan dengan yang profan. Faktanya banyak Kiai atau Tuan Guru berada di dunia politik namun tetap saja identitasnya tidak berubah. Oleh karena itu dunia propan menjadi dunia lain yang hanya disinggahi sementara waktu untuk kemudian kembali ke otoritasnya yang sacral, maka segala keterikatan perilaku yang berkaitan dengan yang profan tidak lantas dianggap sebagai kualat tetapi lebih merupakan pilihan rasional "setuju tidak setuju; ikut atau tidak ikut". Hal itu berbeda dengan sesuatu yang suci atau sacral.

Di kalangan masyarakat awwam tampak tidak bisa membedakan yang sacral dengan profan, sehingga mereka mudah sekali untuk di arahkan atau dipolitisasi untuk mendukung elite atau pasangan calon presiden dan atau pasangan kepala daerah tertentu. Di antara mereka ada yang perpandangan bahwa pokoknya ikut Kiai atau Tuan Guru (benar atau salah), tetapi sebagian yang lain beranggapan bahwa kesertaan dengan Kiai atau Tuan Guru tergantung konteksnya. Maksudnya kalau hal itu urusan agama pasti "sami'na wa ato'na" tetapi kalau hal itu urusan politik perlu dipertimbangkan untung ruginya. Pada aras ini, mereka yang mencoba menimbang yang pada akhirnya berbeda pilihan dengan Kiai atau Tuan Guru tidak bisa diklaim sebagai "kualat" atau penentang. Hanya berbeda pilihan pada hal yang profan tidak bisa dikatagorikan sebagai "kualat".

Suara-suara moral seringkali menghimbau agar tidak mempolitisasi agama. Para pihak yang dihimbau itu terus menggunakan simbol keagamaan bagi usaha pengerahan massa guna membenarkan atau menolak suatu tindakan politik. Masalahnya bukan mengagama-kan politik atau mempolitik-kan agama, kata Profesor Abdul Munir Mulkan tetapi bagaimana politik dengan seluruh aspeknya diletakkan pada posisi profan yang bisa dinegosiasi. Benar-salah dan baik-buruk dalam dunia politik adalah soal apakah ia bisa diterima atau tidak oleh mayoritas, bukan cocok atau tidaknya tindakan politik itu dengan teks suci yang multi tafsir.

Kalah-menang  atau gagal-sukses dalam dunia politik, bukanlah pertanda ridha Tuhan atau kemenangan iblis, tapi soal bagaimana meyakinkan mayoritas publik dalam proses politik karena itu "kualat" tidak dikenal dalam soal proses politik. Pada aras ini, politik tidak bisa direduksi sebagai persoalan kaum santri (Kaia atau Tuan Guru). Siapapun boleh mendukung siapa tapi kalau tidak diikuti jangan sampai mengutuk sebagai manusia kualat. 
Mendudukan ajaran agama bahwa "perbedaan sebagai rahmat" perlu ditafsirkan lebih jelas lagi agar tidak mencampur adukkan sesuatu yang sacral dengan profan. Kalau kita ambil contoh posisi Gus Dur sebagai presiden adalah adalah jabatan publik. Dalam kaitan itu, legalitas usaha membela Gus Dur yang dikenal dengan pasukan berani mati tidak bisa direduksi dari posisi primordial Kiai atau ulama. Soalnya, bagaimana suatu tindakan atau pernyataan itu bisa diterima atau dioahami mayoritas publik di luar komunitasnya sendiri.

Memang dinamika politik nasional menjadi ruwet dan misterius karena yang profan dan sederhana di tempatkan ke dalam wilayah sakral, mistis atau magis. Konflik di negeri ini bisa berubah menjadi anarkisme mistik dengan hanya satu jalan keluar (Mulkan, 2003) via penghancuran pihak penentang. Dalam sejarah Islam dikenal dengan doktrin jihad dalam arti sempit.

Hal tersebut sebagai konsekuensi logis dari wilayah politik yang disakralisasi sehingga memperumit penjeenihan dan pemecahan krisis politik yang berkepanjangan. Timbul kesan bahwa kaum santri lebih potensial memperluas konflik dan tidak memiliki kesadaran publik dengan kemampuan mengelola dunia sosial di luar dunianya sendiri dalam alam yang semakin terbuka dan global.

Kebenaran wahyu sering dipahami dan dioraktekkan sepihak bagi diri sendiri dalam perangkap benar sendiri. Tuhan pun dikuasai bagi diri sendiri, kata Profesor Munir Mulkan, seolah ia yang dioihaki Tuhan, dan semua pihak lain ada di luar peta ketuhanan. Keyakinan kebenaran dari Tuhan harus membuat seseorang bisa bertindak bagi dunia dan kemanusiaan melampaui batas ego teologisnya sendiri.

Terpecahnya ulama dan masyarakat ke dalan dua blok pasangan presiden Prabowo-Hatta dan Joko Widodo-Jusuf Kala seakan menjadi pembenaran kesan tersebut di atas. Masing-masing kelompok pendukung mengklaim yang paling benar sendiri sehingga pasangan lain salah di harus black campaign. Mereka bertindak seperti itu atas nama siapa? Dan bahkan bagi pengikut para ulama yang tidak berada pada gerbong yang sama dengan Kiai atau Tuan Guru dianggap penentang dan kualat. Mungkin saja mereka belum tentu bertindak bagi kepentingan pasangan calon atau mungkin hanya penumpang padahal ia bertindak atas nama kelompoknya.

Kalau sudah seperti itu, maka sulit dinalar sampai kepada kesimpulan bahwa mereka yang tidak ikutan Kiai atau Tuan Guru akan kualat dan ilmunya tidak berkah. Sungguh tidak masuk akal kalau hanya sebatas soal dunia profan lalu para santri dan pengikutnya dilabeli sebagai penentang dan kualat. Kiai atau Tuan Guru yang tidak rasional atau santri yang bego yang tidak bisa membedakan antara sesuatu yang sakral dan profan. Dalam dunia profan tidak ada yang  namanya kualat tetapi ada pada sesuatu yang sacral.

Dengan demikian, dukungan terhadap ulama dan masyarakat terhadap kedua pasangan calon presiden (Prabowo-Hatta dan Joko Widodo-Jusuf Kala) sebaiknya dipetakan dalam polarisasi kepentingan profan dan sekuler ketimbang sakral karena kedua terminologi tersebut memang harus berbeda. Tidak, kemudian dicampur adukkan antara kepentingan sakral dengan profan atau sekuler. Berikan saja kebebasan kepada para santri dan pengikutnya untuk memilih satu di antara dua pasangan calon presiden RI tersebut. Tugas Kiai atau Tuan Guru sebatas menyuarakan suara moral untuk tidak golput sehingga eksisitensi para ulama sebagai pewaris ambiya' atau nabi tidak ternodai dengan sesuatu yang profan dan sekuler. Kualat, siapa yang mau kualat. 

Tanak Beak, 03072014.08.25.19

0 komentar: