Selasa, 15 Juli 2014

RUNTUHNYA ETIKA POLITIK KEKUASAAN

Menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan kekuasaan dapat dilakukan oleh siapa pun, tidak hanya politisi. Menjelang pilpres 2014 segala macam propaganda, saling menjelekan atau negative campign dan black campaign dilakukan oleh para pihak untuk memenangkan pasangan yang diusungnya. Beredarnya tabloid yang mendeskreditkan pasangan calon presiden tertentu tersebar ke beberapa Pondok Pesantren di pulau Jawa. Dan yang disayangkan sampai-sampai mempersoalkan keyakinan dan agama nenek moyang pasangan tertentu ikut mewarnai propoganda politik demi kekuasaan. Segala cara mereka tempuh untuk menggapai kekuasaan demi pemuasan hasrat politiknya.

Berlomba-lomba untuk menggapai kekuasaan diperebutkan oleh masyarakat politik melalui media yang disebut pemilihan umum (baik pemilu legislatif ataupun pemilu presiden serta pemilu kepala daerah). Dalam perjalanan pemilu di Indonesia susah sekali untuk menjalankan aturan dan atau aturan yang ditaati oleh peserta pemilu. Selalu saja ada celah dan ruang hampa yang dilanggar oleh peserta pemilu sehingga pemilu tidak berada pada posisi yang seharusnya oleh peraturan kepemiluan. Buktinya, usai pelaksanaan pemilu perkara atau sengketa ada saja masuk ke ranah hukum. Apakah hal itu berarti bahwa peraturan dibuat memang untuk dilanggar bukannya untuk ditaati. Jika demikian, maka dimungkinkan suatu tatanan normatif yang disebut etika dalam politik.

Apakah ada etika politik? Pertanyaan ini layak dikemukakan di tengah proses pelaksanaan presiden. Lalu di susul dengan bermazhab-mazhabnya lembaga survey yang baru kali ini terjadi selama sejarah pemilu di Indonesia. Hal itu berangkat dari hasil quick count yang berbeda. Memang sulit dimengerti mengapa hasil quick count bisa berbeda terhadap perolehan suara dua pasangan calon presiden (Prabowo-Hatta dan Joko Widodo - Jusuf Kala). Bukankah sumber datanya berdasarkan suara real dari tempat pemungutan suara (TPS)? Kalau hasil survey mungkin bisa berbeda karena memang berdasarkan persepsi masyarakat terhadap sesuatu, tetapi kalau hasil quick count mestinya menghasilkan prosentase yang sama atau beda-beda tipis.

Faktisitas di atas semakin menguatkan akan pentingnya pertanyaan adakah etika politik? Etika merupakan patokan tentang perilaku apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan; apa yang benar dan yang salah; apa yang baik dan apa yang buruk untuk dilakukan oleh manusia. Jika patokan-patokan etika bisa dilakukan secara purna maka kehidupan harmonis serta merta dapat terwujud. Siapa yang tidak mengidealkan kehidupan saling menghormati, saling sayang menyayangi satu sama lain, tepo seliro, dan saling membantu antara sesama manusia yang membutuhkan. Sungguh akan indah kehidupan dalam masyarakat bila patokan-patokan etika bisa

Era baru perpolitikan atau kekuasaan dipandang sebagai era ekonomi-politik atau humanisasi politik (Antonio Gramsci, 2000) sehingga kekuasaan adalah praktek kemanusiaan.  Dalam konteks civil society, HAM dan demokrasi masih diperlukan kritik substanstif dan epistemologis terhadap gagasan kekuasaan yang dilegitimasi oleh ajaran agama, seperti Islam yang selana ini diyakini benar, semourna dan komplit meliputi segala persoalan hidup duniawi. Diperlukan klaripikasi ajaran agama (Islam) mana yang serba baik, benar dan saleh secara duniawi. Apakah yang dimaksudkan adalah apa yang selama ini dipelajari di berbagai lembaga pendidikan Islam ala UIN atau IAIN, mungkin banyak hal yang harus dikritisi, oleh karena signifikansi fungsionalnya terhadap berbagai persoalan kekuasaan atau kebangsaan masih diragukan.

Pandangan bahwa kekuasaan adalah amanat Tuhan memang bisa dijadikan dasar bagi sebuah kekuasaan. Namun, pada aras yang sama berarti tidak mungkinnya manusia mengontrol kekuasaan kecuali Tuhan sendiri. Dengan demikian, atas nama negara seseorang bisa menindas, berbuat biadab dan begitu gampang berubah menjadi diktator dan tirani. Pada dirinya kekuasaan memang netral sehingga bisa dipakai bagi kebaikan bersama dan kehancuran bersama. Penyerangan negara Israel ke Jalur Gaza Palestina menjadi contoh betapa kekuasaan atas nama kebaikan bersama menjadi momok yang menakutkan bagi bangsa Palestina. Ukuran kebaikan pada aras ini bisa berarti seperti akibat buruk keyakinan kekuasaan sebagai amanat Tuhan.

Demokrasi yang berarti kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat pun bisa berakibat serupa ketika rakyat sendiri bukan obyek yang jelas tapi abstrak yang bisa ditafsirkan apa pun sesuai si penguasa itu sendiri. Dalam sistem demokrasi seperti ini tetap terbuka peluang tertindasnya manusia atas nama kekuasaan yang semula dulahirkan oleh rakyat seperti nasib kaum Indian di Amerika dan Aborigin di Australia. Karena itu, penting untuk meletakkan kekuasaan di dalan keadaan terkontrol oleh suatu kepentingan bersama yang lahir dari dialog setiap anggota warga sebuah bangsa dan negara. Kekuasaan dengan demikian hanya sebuah media untuk mewujudkan kesejahteraan bersama sekaligus tujuan bersama.

Untuk mewujudkan kesejahteraan bersama, maka demokrasi harus dikembalikan ke posisi yang sebenarnya. Demokrasi seringkali disalahartikan, khususnya setelah lahirnya era-reformasi. Semenjak lengsernya Orde Baru di tahun 1998, demokrasi menjadi kosa kota umum bagi siapa saja yang hendak menyatakan pendapat. Dari kalangan kuli bangunan sampai cendekiawan menggunakan demokrasi dengan tujuannya masing-masing. Demokrasi kini sudah menjadi milik semua orang dengan pemahaman yang berbeda, sehingga demokrasi sangat mungkin disalahgunakan untuk melanggengkan kekuasaan dan atau melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Sama halnya dengan agama, demokrasi banyak digunakan dan diungkapkan dalam diskursus sehari-hari tapi banyak juga disalahpahami; padahal prinsip-prinsip moral agama dapat bertemu dengan nilai-nilai demokrasi.

Ketidakmengertian akan makna demokrasi sebagai tatanan ketertiban, taat aturan, dan hukum, masih banyak dipahami oleh sebagian masyarakat dengan kebebasan untuk bertindak anarkis dan main hakim sendiri. Dengan perkataan lain, demokrasi masih dimaknai dengan tindakan-tindakan yang jelas-jelas berlawanan dengan demokrasi. Berangkat dari keawwaman sebagian masyarakat akan demokrasi ini, maka pemahaman demokrasi menjadi penting karena kalau dilakukan pembiaran maka demokrasi dapat menjadi alat penindas bagi sesamanya. Seperti pada peralihan kekuasaan, seringkali menghalalkan segala cara untuk berebut kursi presiden, dan atau kepala daerah. Tindakan intimidasi, kampanye hitam dengan propaganda melalui berbagai media pun sudah biasa dilakukan demi tersalurkannya hasrat kekuasaan. Etika berpolitik dalam perebutan kekuasaan selalu alpa dan baru diingat kembali ketika gendrang pemilu sudah usai.

Semua hal tersebut bersandar pada pemahaman yang salah tentang demokrasi.Secara umum, demokrasi adalah sebuah sistem sosial-politik modern yang paling baik dari sekian banyak sistem ideologi yang ada dewasa ini ( Nurcholis Madjid, 1986). Ada dua alasan dipilihnya demokrasi sebagai sistem bermasyarakat dan bernegara menurut Profesor Mahfud MD, yakni (1). Hampir semua negara di dunia ini telah menjadikan demokrasi sebagai asas yang fundamental. (2). Demokrasi sebagai asas kenegaraan secara esensial telah memberikan arah bagi peranan masyarakat untuk menyelenggarakan negara sebagai organisasi tertingginya. Karena itu, diperlukan pengetahuan dan pemahaman yang benar pada warga masyarakat tentang demokrasi. Dan di dalamnya sudah termaktub tentang etika bagaimana mendapatkan kekuasaan secara baik dan tidak melanggar hukum.

Pada aras ini, layak untuk direnungkan makna demokrasi menurut Joseph A. Schmeter, merupakan suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan politik di mana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitip atas suara rakyat. Untuk mendapatkan kepercayaan rakyat, para kompetitor diharuskan untuk mengikuti aturan main yang sudah diatur dalam undang-undang pemilu. Segala bentuk pelanggaran untuk memenangkan pemilihan presiden pada pemilu presiden 2014 harus disanksi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukannya. Indikasi pelanggaran pemilu presiden sudah terlihat sejak pengundian nomer urut pasangan calon presiden, pemasangan alat peraga pemilu, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara. Dan juga, pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga survei yang menyelenggarakan quick count atau perhitungan cepat hasil pemilu. 

Baru pada pemilu presiden 2014 lembaga survei terbelah menjadi dua mazhab dengan tingkat akurasi data yang berbeda pula. Mazhab lembagai survei (Jaringan Suara Nasional, Puskaptis, dkk) yang pro Prabowo - Hatta pada hasil hitung cepat memenangkan pasangan ini, sedangkan mazhab LSI,SMRC, Litbang Kompas, Politica, dkk) yang pro Joko Widodo - Jusuf Kala memenangkan pasangan ini. Faktisitas ini, diperparah dengan deklarasi kemenangan dari masing-masing-masing pasangan calon persiden. Lalu siapa yang akan menjadi pemenangnya? Jawabannya akan ditentukan oleh hasil rekapitulasi yang akan dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum secara manual pada tanggal 22 Juli 2014. Kemduian, bagaimana nasib lembaga-lembaga survei itu jika nantinya berbeda dengan hasil rekapitulasi KPU? Kita lihat saja apa yang bakal dilakukan oleh Perhimpunan Lembaga Survei Indonesia di bawah pimpinan Profesor Muluk. 

Apa yang bisa dimaknai dari faktisitas tersebut di atas? bahwa pada pemilu presiden 9 Juli 2014, etika politik dengan sengaja tidak dihadirkan dalam proses demokrasi. Demi kekuasaan mereka melakukan tindakan-tindakan yang terindikasi melanggar hukum, seperti menyebarkan tabloid yang isinya mendeskreditkan lawan politiknya, mempersoalkan ideologi dan keyakinan agama lawan politiknya, dan berbagai macam tuduhan, fitnah yang mengarah negative campaign. Seandainya mereka memenangkan pertarungan itu nantinya, lalu mungkinkah etika politik kekuasaan akan menjadi pertimbangan ketika penyusunan kabinetnya? Apakah rakyat bisa diberikan ruang atau public sphere untuk dapat didengarkan suara-suaranya? Apakah kesejahteraan rakyatnya dapat menjadi prioritas utama pemerintahannya? atau malah rakyat akan tetap bernasib sama dengan sebelumnya? Entahlah. Rakyat hanya berharap agar presiden mendatang dapat berpihak pada nasib mereka dengan mengedepankan etika kekuasaan demi terwujudnya kesejahteraan bersama. jIka tidak, maka hal itu pertanda mulai runtuhnya etika politik kekuasaan sebagai patokan bersama dalam sistem demokrasi.

Wallahul Wuwafiq Ila Darissalam
Tanak Beak,16072014.06.38.09 

1 komentar:

ASMUNI mengatakan...

mungkin ini adalah sebuah konsekuensi atas kebebasan pers yang di terapkan di indonesia sehingga, terjadinya duel antar media tersebut juga sebagai akibat dari hanya ada dua capress yang kita miliki. dan terbaginya masyarakat kita menjadi dua kubu yang saling berlawanan memang tidak bisa kita nafikkan.