Sabtu, 17 Desember 2011

LAHIRNYA RAJA-RAJA KECIL DI ERA OTONOMI DAERAH


Pengantar
Otonomi daerah atau desentralisasi[1] menjadi pilihan rasional dan terbaik, ketika pemerintahan yang sentralistik (baca Orde Baru) tidak mampu  menjawab pelbagai permasalahan yang dialami daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota. Persoalan utama yang dirasakan pemerintahan di daerah menyangkut rasa keadilan dan pemerataan pembangunan. Pembangunan dikesankan atau bisa jadi benar hanya difokuskan di wilayah Indonesia Bagian Barat (titik pusatnya di Jakarta), sementara wilayah Indonesia Timur hampir tidak tersentuh. Sementara dalam rasa keadilan ternyata sangat dirasakan, dimana pendapat asli daerah (PAD) hampir 75% disetorkan ke pemerintah pusat dan 25% tetap tinggal di daerah. Kondisi seperti inilah yang menggerakkan beberapa daerah kaya, seperti Aceh, dan Papua terus bergejolak.
Konsep otonomi daerah menjadi begitu populer dalam wacana publik ketika reformasi digulirkan atau setelah Orde Baru runtuh seiring lengsernya Soeharto dari kursi presiden setelah 32 tahun berkuasa. Harapan publik tertumpu pada lahirnya demokrasi yang dipercaya sebagai obat penyembuh penyakit-penyakit kronis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perubahan seolah menjadi impian yang kian dekat dengan kenyataan dan demokratisasi sebagai penawar yang mampu membawa perubahan dalam berbagai aspek ketatanegaraan, baik sistem maupun aktor, dan pada pola hubungan pusat dan daerah.
Dengan semangat desentralisasi, daerah menggunakan otonomi yang dimilikinya untuk berkreasi dan berinovasi dalam mengelola sumber daya-sumber daya yang dipunyainya. Reformasi telah menghantarkan ke gerbang demokrasitisasi yang akan membawa perubahan dalam sistem pemerintahan daerah yang semula sentralistis menjadi desentralistis. Perubahan itu berimplikasi pada terjadinya pergeseran lokus kekuasaan, dari pusat ke daerah. Desentralisasi memberikan surga baru pada daerah-daerah, karena selama 3 (tiga) dekade kekayaan alam yang dimiliki daerah tidak pernah dinikmatinya. Akibatnya, terjadi kesenjangan yang mencolok di daerah-daerah yang kaya sumber daya alamnya, tetapi penduduknya tetap miskin.
Desentralisasi telah membawa perubahan bagi aktor dan pola relasi kekuasaan menjadi lebih berimbang antara pusat dan daerah. Pada tataran aktor terlahir bak jamur di musim hujan para pelaku baru dalam arena pertarungan kekuasaan. Birokrat dan militer tidak lagi dominan, para pengusaha yang selama ini bermain dibelakang layar kini sudah mulai turun gunung ikut bertarung memperebutkan jabatan politik kekuasaan di daerah. Bahkan lebih maju lagi, dengan desentralisasi memunculkan tokoh-tokoh lokal, seperti aktris, bintang film, kyai, kaum bangsawan, dan budayawan, sebagai pemain baru yang turut mempengaruhi relasi kekuasaan di daerah.
Di aras relasi kekuasaan, desentralisasi membawa perubahan yang signifikan menjadi lebih berimbang antara pusat dan daerah, antara suprastruktur politik dengan infrastruktur politik. Masyarakat mempunyai peluang besar ikut berpartisipasi untuk mengontrol kebijakan-kebijakan yang diambil dan dilaksanakan pemerintah. Partisipasi masyarakat menjadi semakin nyata ketika diterapkannya sistem pemilihan kepala daerah secara langsung atau pilkada langsung, sehingga masyarakat dapat memilih calon pemimpinnya sesuai kehendak dan keinginan masyarakat.
Pada tataran praxis, keikutsertaan masyarakat dalam penentuan kepala daerah secara langsung tidak dijadikan jaminan pemimpin daerah untuk memperjuangkannya menuju kehidupan yang lebih baik dan sejahtera secara ekonomis. Lalu permasalahannya, apakah dengan pemilihan kepala daerah secara langsung akan ada jaminan menuju perubahan yang lebih baik dalam tata kelola pemerintahan daerah? Tulisan ini mencoba memberikan deskripsi tentang sisi gelap pelaksanaan otonomi daerah atau desentralisasi dalam pelayanan publik dan tersedianya ruang bebas bagi kemunculan local strongmens.
Demokratisasi sebagai sebuah pilihan pasca pemerintahan sentralistik bermakna sebagai upaya daerah dalam menerjemahkan otonomi yang dimilikinya untuk mensejahterakan masyarakat. Di aras ini, daerah dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam menjabarkan kebebasan dan kewenangan yang dimilikinya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik. Ada beberapa daerah yang sukses menerapkan desentralisasi, seperti Solo, Sragen (Jawa Tengah), Blitar (Jawa Timur), Jembrana (Bali), Solok, Banjarmasin, dan beberapa daerah lainnya, sementara banyak daerah yang jalan di tempat (kalau tidak mau dikatakan gagal) dalam pelaksanaan desentralisasi. Sesungguhnya bagi daerah-daerah yang berhasil desentralisasinya telah membuktikan bahwa desentralisasi dapat menjadi alat untuk bangkit dari keterpurukan dan kemiskinan. Namun, ada pula daerah yang terseok-terseok dan bahkan terkesan gagal dalam penerapan otonomi daerah.

Pilkada dan Demokratisasi Politik Lokal
                Pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada) di Indonesia merupakan mukjizat demokrasi bagi rakyat di daerah[2]. Karena Pilkada menjadi media transformasi politik dengan melahirkan hak politik dan kebebasan sipil (political rights and civil liberties) yang lebih nyata untuk rakyat. Dengan perkataan lain, Pilkada langsung menjadi solusi elegan sekaligus terobosan untuk mengatasi kemacetan demokrasi lokal[3]. Karena itu, proses perubahan akan terus berlangsung dari level Nasional sampai level lokal atau daerah, khususnya dalam memilih pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat sesuai hak pilihnya.
Pilihan pada sistem demokrasi menjadi pilihan terbaik bagi kegiatan pemerintahan, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dibelahan dunia lainnya, seperti Amerika Latin, Asia dan Afrika, juga sekaligus sebagai pembenaran terhadap tesis Huntington tentang gelombang demokratisasi dunia ketiga.  Dalam konteks Indonesia, sebenarnya sejak era tahun 1980-an muncul fenomena gerakan demokratisasi politik yang menuntut perubahan ditandai tampilnya kekuatan masyarakat sipil dan kaum intelektual melalui gerakan reformasi yang titik puncaknya pada Mei 1998 dengan lengsernya Presiden Soeharto sebagai simbol pemerintahan sentralistik ala Orde Baru. Kondisi tersebut memicu dinamika politik berdemokrasi agar dilakukan reformasi total di segala bidang kehidupan bangsa.   
Di bidang Politik, masyarakat menuntut pemerintahan baru yang legitimate yang dihasilkan dari proses demokrasi. Di aras ini, pekerjaan utama yang harus dilakukan pemerintahan transisi di bawah kepemimpinan presiden B.J. Habibie adalah melaksanakan pemilu secepat mungkin. Gerbong reformasi politik mulai bergerak yang ditandai dengan keluarnya Undang-undang No.2 Tahun 1999 tentang partai politik, Undang-undang No. 3 Tahun 1999 tentan pemilihan umum dan Undang-undang No. 4 Tahun 1999 tentang susunan dan kedudukan MPR-DPR-DPRD. Semua kebijakan dan ketentuan tersebut telah diimplementasikan pada pemilu 1999 dan 2004 yang telah melahirkan pemerintahan baru yang dianggap paling demokratis selama sejarah pemerintahan Indonesia. Kemudian di aras lokal, reformasi politik pemerintahan dilakukan dengan dikeluarkannya kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah melalui UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah, lalu diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, kemudian direvisi menjadi Undang-undang  Nomor 12 Tahun 2008 tentang perubahan kedua atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan Daerah membawa implikasi yang significan terhadap diperbolehkannya peserta pemilu kepala daerah dan wakil kepala daerah dari jalur perseorangan.
Pemilihan Presiden Langsung dan Kepala Daerah Langsung menjadi poin baru dalam ketatanegaraan Indonesia. Pemilu langsung merupakan respons dari keinginan warga bangsa untuk mengembalikan kedaulatan rakyat secara demokratis “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” dan inilah inti dari demokrasi substantif atau normatif. Demokrasi dalam kajian ilmu Politik dipahami dari dua aspek yakni demokrasi normatif (substantive demokracy) dan demokrasi Empirik (procedural Demoracy)[4]. Dengan demikian, menurut Huntington, sebagaimana dikutip J. Kaloh bahwa sistem politik yang demokratis adalah sejauh mana para pembuat keputusan kolektif yang paling kuat dalam sistem itu dipilih melalui pemilihan umum yang adil, jujur dan berkala[5]. Para calon secara bebas bersaing untuk memperoleh dukungan suara pemilih dan hampir semua penduduk dewasa berhak memberikan suara.
Proses institusionalisasi sistem demokrasi sepertinya sulit dibendung di negara-negara nondemokratik yang baru merdeka, termasuk di Indonesia. Pilihan desentralisasi dalam tata kelola pemerintahan daerah menjadi bagian dari proses institusionalisasi demokratik pasca kekuasaan rejim otokrasi dan sentralisasi kekuasaan selama Orde Baru. Sistem sentralisasi kekuasaan tidak lagi menjadi pilihan yang menarik bagi warga bangsa karena pengaruh yang ditimbulkannya terhadap disparitas ekonomi, kesenjangan pusat-daerah begitu menganga, dan suburnya oligarki kekuasaan.
                 Bagi Samuel P. Huntington proses institusionalisasi sistem demokrasi diistilahkan sebagai gelombang demokratisasi ketiga[6]. Peristiwa besar ini disebut Fukuyama sebagai The end of history[7]. Demokrasi liberal merupakan pemerintahan terbaik bagi umat manusia (yang terakhir) sebagai puncak dari evolusi ideologi menurut Fukuyama. Dengan demikian, sesudah gelombang demokratisasi ketiga menyebar ke seluruh dunia, maka tekanan ke arah desentralisasi semakin menguat, sebab demokrasi memberikan space pada pelembagaan kewenangan yang lebih mandiri dan luas kepada pemerintahan di daerah dan tentu berbeda dengan rejim otokratik yang sentralistik.
                Berangkat dari pola pikir di atas,  bahwa desentralisasi atau demokrasi di aras lokal menjadi kebutuhan yang mesti diterapkan. Setidaknya, ada beberapa argumen dimana desentralisasi bermanfaat bagi pembangunan politik atau demokrasi di daerah. Pertama, akuntabilitas dan responsivitas. Kedua, pengembangan warga. Ketiga, pelembagaan mekanisme check and balances. Keempat, pemantapan legitimasi politik[8]. Dalam konteks demokrasi lokal, akuntabilitas dan responsivitas diartikan sebagai kemampuan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan untuk pemerataan ekonomi dan politik, sementara responsivitas diartikan sebagai kemampuan pemerintah lokal untuk menanggapi kebutuhan, keperluan dan kemauan untuk mendistribusikan pelayanan publik kepada warga setempat, karena selama sistem sentralisasi berkuasa tidak pernah terlaksana.
                Dengan demikian, di era desentralisasi partisipasi masyarakat menjadi sesuatu yang penting dan diberikan ruang atau ruang publik (public sphere)[9] dalam sistem pemerintahan daerah. Partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pelayanan publik di tingkat lokal diharapkan akan melahirkan masyarakat yang terampil sehingga menjadi modal sosial yang bermanfaat bagi pelembagaan desentralisasi. Ending dari semua proses itu adalah tumbuh, kembang dan matangnya organisasi dan jaringan masyarakat sipil di daerah yang pada gilirannya dapat meindungi sistem demokratik dari alienasi (meminjam istilah Karl Marx) masyarakatnya terhadap kehidupan politik di tingkat lokal.
                Harus diakui bahwa sampai saat ini ghiroh dari philosofi desentralisasi belum terwujud (untuk tidak mengatakan gagal) di banyak daerah di Indonesia. Yang dimaksudkan pelembagaan mekanisme check and balances. Desentralisasi sebagai antitesis dari sentralisasi, sebenarnya kesempatan emas bagi pemerintah daerah untuk bertindak sebagai pengawal dan dan pengawas bagi pemerintah pusat dari tindakan-tindakannya yang mengarah pada munculnya kembali rejim sentralistik. Di samping itu, organisasi-organisasi di tingkat lokal, seperti Lembaga Swadaya Masyarakat, Perguruan Tinggi, Organisasi sosial kemasyarakatan, Pers, dan lembaga lainnya, harus berperan lebih aktif sebagai pengontrol dan pengawal proses desentralisasi. Jika tidak, bukan tidak mungkin reinkarnasi pemerintahan sentralistik akan muncul dalam bentuknya yang lain, apalagi dari hasil evaluasi pelaksanaan desentralisasi dianggap gagal dan malahan yang terjadi munculnya raja-raja kecil di banyak daerah.
                Guna merealisasikan penguatan dan pemberdayaan demokrasi di tingkat lokal, maka ada beberapa nilai dan harapan dari pelaksanaan Pilkada Langsung menurut J. Kaloh yaitu pertama. Pilkada Langsung memungkinkan terwujudnya penguatan demokratisasi di tingkat lokal, khususnya legitimasi politik. Kedua, Pilkada Langsung mampu membangun serta mewujudkan local accountability. Ketiga, terciptanya optimalisasi mekanisme check and balances antara lembaga-lembaga pemerintahan yang dapat meningkatkan pemberdayaan masyarakat dan penguatan demokrasi di tingkat lokal.

Raja-raja Kecil di Daerah?
                Reformasi muncul sebagai konsekuensi logis dari keinginan masyarakat lokal melepaskan diri dari oligarki elit-elit pusat yang selama kekuasaan Orde Baru sangat dominan. Slogan “Abdi Negara” menjadi sangat berarti saat kekuasaan Orde Baru karena dapat memberikan kenyamanan bagi aparatur birokrat dan pundi-pundi mereka. Berangkat dari rasa nyaman dan pundi-pundi tersebut membawa implikasi kepada bagaimana mengkonstruksi mekanisme agar kepentingannya tetap terpelihara. Salah satu caranya gubernur, bupati dan/atau wali Kota dipilih oleh DPRD (dianggap sebagai representasi rakyat) atas restu pemerintah pusat. Kebijakan tersebut ternyata cukup ampuh, terutama dalam menjaga aset-aset elit-elit pusat di daerah. Upaya-upaya tidak demokratis itu hancur berantakan seiring dengan lengsernya Presiden Soeharto.
                Reformasi membawa harapan baru dan angin syurga bagi warga bangsa untuk menata kehidupan menjadi lebih baik, seiring dengan runtuhnya kekuasaan oligarki (meminjam istilah Herbert Feith) Orde Baru yang sudah puluhan tahun terpatri di relung hati dan pikiran masyarakat Indonesia. Harapan itu tidak terlalu berlebihan karena pemerintahan baru dapat lahir dari sistem pemilihan yang langsung dipilih oleh rakyat. Seharusnya, slogan birokrasi “Abdi Negara” secara otomatis juga berubah menjadi “Abdi Masyarakat” atau “Pelayan Masyarakat”.  
Sistem pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan wujud dari kemerdekaan warga di aras lokal untuk memilih kepala daerahnya sendiri. Asumsinya, menurut Leo Agustino, dengan mekanisme itu, maka akan terputuslah intervensi tangan-tangan oligarki elit-elit pusat di daerah. Masalahnya, benarkah demikian? Atau jangan-jangan malah elit-elit daerah yang justru menggantikan hegemoni elit-elit pusat. Atau dengan kata lain, dengan sistem yang dianggap representasi keinginan dan kepentingan masyarakat lokal akan memunculkan masalah baru yakni tumbuh suburnya raja-raja kecil baru atau new local strongmen. Dan jika itu terjadi justru malah menjadi mala petaka bagi demokrasi lokal melalui mekanisme pemilihan secara langsung.
                Pada tataran teoritis pilkada langsung dapat melahirkan demokrasi lokal sebab para pemimpin di daerah dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun, pada tataran praxis, sepertinya tidak ada yang bisa menjamin demokrasi lokal, keadilan, dan keberpihakan pada rakyat terlahir dari proses pilkada yang telah berlangsung selama ini, atau dengan kata lain pemimpin daerah yang terlahir dari Pilkada langsung cendrung melupakan masyarakat yang memilihnya secara langsung. Fenomena yang tampak justru para pemimpin daerah terus melakukan pesta, pesta dengan pikiran sendiri, pesta dengan kekuasaan, pesta dengan menina bobokkan partai pengusungnya saat Pilkada, dan tidak peduli dengan nasib rakyatnya. Pesta demi pesta seperti itu, secara tidak langsung telah memberikan ruang gerak bagi lahirnya kekuasaan kesukuan atau kekuasaan ashabiyah[10] (meminjam istilah Ibnu Khaldun).
Rasa pesimisme dan mungkin apatisme masyarakat justru tumbuh di ruangnya sendiri, mengingat banyaknya kasus-kasus pilkada yang diwarnai money politik, mobilisasi massa, kecurangan, dan ketidakjujuran, serta ancaman pencederaan demokrasi itu sendiri. Kini telah lahir local strongmen baru di daerah sebagai pemain politik yang menggantikan peran langsung oligarki elit Orde Baru[11] dan bersemayam di institusi pemerintahan daerah. Dengan demikian, Pilkada langsung sebenarnya tidak membawa perubahan ke arah yang lebih baik bagi kehidupan rakyat, justru elit-elit daerah yang mendapatkan banyak keuntungan dari sistem pemilihan langsung tersebut.
Atas nama putra daerah, banyak kepala daerah atau elit-elit lokal yang mendapatkan keuntungan dari pelabelan itu, tetapi tidak bagi rakyat. Sungguh ironis nasib rakyat, tetapi apa lacur kata teman saya yang baru pulang dari studi program doktornya di Universitas Malaya, Malaysia. Jika demikian keadaanya, maka sama saja dengan “jeruk minum jeruk” kata Joshua yang mengiklankan produk minuman nutri sari. Inilah yang penulis sebut dengan istilah “ruang hitam otonomi Daerah”. Tumbuh kembangnya raja-raja kecil di daerah semakin kuat seiring dengan satu persatu dari para Gubernur dan Bupati/Wali kota di banyak daerah di ungsikan ke rumah tahanan. Hal itu sebagai bukti begitu kuatnya kekuasaan mereka selama ini.
Di aras ini, warga masyarakat tidak bisa mengharap terlalu banyak untuk mendapatkan pelayanan terbaik dari perubahan paradigma birokrasi “dari abdi negara ke abdi Masyarakat” seolah hanya isapan jempol belaka. Pembuatan Kartu Tanda Penduduk misalkan, mestinya tidak perlu menunggu sampai berhari-hari, karena sistem pembuatannya hampir mirip dengan pembuatan Surat ijin mengemudi. Kenyataannya, tidak demikian. Keinginan pemerintah untuk memberikan pelayanan terbaik bagi rakyat terus diupayakan, namun di sisi lain juga terus bermasalah, seperti rencana penerapan e-KTP. Kritikan terhadap pelaksanaan proyek e-KTP dari masyarakat yang terindikasi bermasalah dianggap angin lalu. Kementerian Dalam Negeri selaku penanggungjawab jawab proyek e-KTP menjamin proyek itu berjalan sukses dan bila gagal si Menteri siap meletakkan jabatannya.
Akhirnya, warga masyarakat hanya bisa ngedumel (ngerumun dalam bahasa Sasak), pekerjaan yang seharusnya selesai dalam beberapa jam saja sampai harus ditunda menjadi beberapa hari. Itulah, kaledoskop budaya perilaku para birokrat di negeri ini tidak banyak berubah, malah cendrung mempertahankan status quo, mereka lebih banyak berdiam diri dalam ruangan yang sejuk dan nyaman, seolah tidak mau tahu dengan kondisi nyata yang dihadapi masyarakat dan kelihatannya lebih senang bermain-main dengan dunia maya. Saling membalas Email dengan teman menjadi demikian mengasikkan dan ber- facebook ria dengan ribuan teman, kawannya teman, dan temannya teman-teman menjadi pekerjaan yang harus dikerjakan para abdi masyarakat, sementara di sisi lain, menelantarkan tugas pokoknya sebagai pelayan masyarakat.
Budaya birokrasi semacam itu disebut sebagai ruang birokrasi virtual. Budaya birokrasi itu akan menambah catatan pada ruang hitam otonomi daerah. Belum lagi fenomena banyak kepala daerah Bupati/wali kota seolah menjadi raja-raja kecil dengan pola kepemimpinan yang otoritatif dan semaunya sendiri, sehingga memunculkan banyak konflik kepentingan antara rakyat dengan pemerintah daerah dan atau antara pemerintah daerah dengan gubernurnya. Sungguh ironis dan hal itu sebagai indikasi gagalnya otonomi daerah. Kesuksesan otonomi daerah dapat dilihat dari kesejahteraan masyarakat, pelayanan publik yang prima dan berjalannya check and balances dari masyarakat. Wallahul Musta’an ila Darussalam.

*********




[1] Istilah otonomi daerah dan Desentralisasi dua konsep yang secara teoritis dapat dibedakan tetapi secara praksis sulit dibedakan.
[2] Leo Agustino, 2011, Sisi Gelap Otonomi Daerah, Bandung: Widya Padjajaran, hal 30
[3] J. Kaloh, 2008, Demokrasi dan Kearifan Lokal, Jakarta: Kata Hasta Pustaka
[4] Ramlan Surbakti, 2001, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
[5] J. Kaloh, op.cit. 65
[6] Gelombang demokratisasi ketiga bermula pada pertengahan tahun 1970-an di Portugal dan kemudian berkembang ke pelbagai belahan dunia mulai Eropa Selatan dan Eropa Timur, kemudian memberikan dampaknya di Amerika Latin, Asia dan Afrika (Huntington S.P. 1991 The third wave: democratization in the late twentienth century, Oklahoma: University of Oklahoma Press).
[7] Francis Fukuyama, 1999, The end of history and the Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal,Yogyakarta; Qalam Press.
[8] Leo Agustino, op.cit. hal 4
[9] Jurgen Habermas, 2008, Ruang Publik, Yogyakarta: Kreasi Wacana
[10] Ibnu Khaldun, 1986, Mukaddimah, Pentj. Ahmadie Thaha, Jakarta: Pustaka Pirdaus
[11] Leo Agustino, Op.Cit. hal. 37

0 komentar: