Minggu, 18 September 2011

TGH. TURMUDZI BADRUDDIN (KIAI KHOS TANPA JUBAH KEKUASAAN)



A. Kelahiran dan Keluarga
TGH.L. Muhammad  Turmuzi Badruddin lahir 74 tahun lalu, tepatnya pada tahun 1937 di Desa Bagu, Pringgarata, Lombok Tengah, NTB. Turmudzi kecil (saya tulis untuk memudahkan dalam penulisan) dilahirkan dari lingkungan darah biru atau keluarga Bangsawan). Karena itu, beliau memiliki gelar kebangsawanan “lalu” sebagai symbol status sosial yang dianggap lebih tinggi di kalangan masyarakat Sasak-Lombok. Dalam istilah masyarakat Sasak dikenal dari lingkungan Perwangse (Raden : Jawa). Tetapi, tidak seperti kaum Perwangse abangan, keluarga Turmuzi dikenal sebagai keluarga santri. Bagaimana tidak, sejak baluknya/datuknya (Buyut : Jawa) hingga kakeknya memiliki tradisi santri yang taat.
TGH. Abdul Wadud, dikenal sebagai ustadz kitab kuning yang memiliki keluasan ilmu dan kedalaman spiritual. Sebagaimana penuturan Turmudzi, datuknya pernah merintis pengajaran kitab kuning di Bagu Dasan. Tentu saja ini tidak merupakan pertanda bahwa benih-benih atau akar-akar pemunculan sebuah pesantren di Desa Bagu sudah tergambar sebelumnya. Cuma, pengajaran kitab kuning yang dilakukan oleh datuknya saat itu belum terkoordinir dengan rapi dan sistematis sehingga ketika datuknya wafat, maka aktivitas pembelajaran kitab kuning pun berhenti begitu saja.
Untung datuknya memiliki seorang putra, ustadz Abdul Hakim. Walaupun tradisi keilmuan yang dikembangkannya berbeda, namun, setidaknya image Bagu sebagai tempat mengaji agama tetap terjaga. Abdul Hakim yang sejak awal mendalami tarekat, atas restu gurunya TGH. Muhammad Siddiq Karang Kelok diperkenankan mengajar tarekat Qadariyah Wan Naqsabandiyah di Desanya. Karena itu, kegiatan keagamaan di Desa Bagu tidak mengendur dan bergairah kembali. Malah kesan nuansanya semakin bagus, karena setiap pagi dan sore, gaung dzikir tarekat para jamaah tarekat hampir tidak pernah berhenti.
Kondisi ini berjalan sampai era bapaknya sendiri. Ustadz Badruddin bin Abdul Hakim. Walaupun beliau sehari-hari merintis pengajian al-Qur’an, sebagai putra mursyid tarekat beliau juga dapat izin untuk mengamalkan tarekat tersebut. Karena itu, sehari-hari beliau dikenal sebagai penganut dan pengamal tarekat yang sangat taat.
Namun demikian, keahlian yang sebenarnya adalah dalam bidang al-Qur’an. Setiap pagi dan sore, beliau tidak pernah dipisahkan dengan tradisi belajar dan membaca al-Qur’an. Setiap pagi dan sore, beliau selalu meluangkan waktunya sehingga menurut penuturan Turmudzi, ayahnya menghatamkan al-Qur’an setiap minggu atau empat kali dalam sebulan.
Sejak kecil, Turmudzi dididik di lingkungan santri seperti itu dan diprioritaskan menjadi tokoh agama. Karena itu, didikan kakek dan ayahnya demikian ketat kepada cucu dan anak kesayangannya ini. Bagi mereka, hanya Turmudzi yang bisa diandalkan untuk mewarisi tradisi keagamaan di Bagu khususnya. Karena itu, pendidikan terhadap Turmudzi saat itu memang dikenal sangat disiplin. Berdasarkan keyakinan mamiknya (ayahnya) Turmudzi-lah orang yang tepat dan dapat diandalkan menjadi penerus atau estapeta yang akan membawa desa Bagu menjadi lebih baik dan dikenal. Oleh karena itu, Turmudzi kecil dicarikan sekolah dan guru yang baik dan berdasarkan petunjuk yang diperoleh mamiknya, dia di sekolahkan ke desa Bengkel di Pondok Pesantren Darul Qur’an d yang diasuh oleh Syekh TGH. Muhammad Soleh Hambali.

B. Dakwah Lewat Jalur Pendidikan
Semenjak pulang dari Makkah, aktivitas TGH. Turmuzi cukup padat mulai dari aktivitas pendidikan, dakwah dan  sosial kemasyarakatan lainnya. Sudah jamak bahwa  dalam pandangan masyarakat Sasak (nama suku masyarakat Lombok), seseorang yang berhak menyandang gelar Tuan Guru adalah orang yang pernah menimba ilmu dan menetap (mukim) di Makkah dalam waktu yang cukup lama dan dianggap menguasai seperangkat ilmu agama.
Mereka secara informal disyaratkan untuk bermukim di Makkah al-Mukarramah sambil melanjutkan studinya bersama ulama-ulama dunia dan  Indonesia yang menjadi guru besar di Masjidil Haram seperti Syekh Ahmad Khatib Al- Minangkabawi, Syek Nawawi Al-Bantani, Syekh Banjari dan lain-lain, di samping guru besar dari kalangan bangsa Arab (Mahmud Yunus, 1966). Tuan Guru di Lombok, memang rata-rata sudah merasakan iklim akademik di Makkah yang dikenal sebagai pusat ilmu-ilmu agama. Taruhlah seperti TGH Umar Kelayu, TGH. M. Zainuddin AM, TGH. Umar Gerantung, TGH. Ibrahim al-Kholidy, TGH. Abdul Karim, TGH. Abdul Hafiz masing-masing di Kediri dan  TGH. Saleh Hambali dan segenerasi dengan mereka adalah sosok-sosok pencari ilmu yang dikenal tekun, ulet dan istiqamah dalam menimba ilmu di Makkah. Tak heran jika sekembalinya ke tanah air, mereka sukses menebar peradaban Islam melalui pondok-pondok pesantren.
Demikian juga halnya dengan TGH.Turmuzi sendiri (selama bermukim di Mekah Al-Mukarramah ditemani oleh sang Istri yang sampai saat ini setia mendampinginya menjalani hidup) dalam pengalaman pendidikannya tercatat menimba ilmu pada delapan guru besar, baik dari Indonesia maupun dari Bangsa Arab sendiri. Sehingga, masyarakat setempat sangat berkeyakinan bahwa beliau memang memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas dan sangat representatif untuk dianugrahi gelar Tuan Guru (baca : Kiyai).
Sebagai konsekwensi gelar sosial dalam bidang keagamaan itulah, maka Turmuzi mau tidak mau harus menampilkan diri sebagai sosok ustadz atau ulama yang berpengetahuan agama yang luas. Hal itu harus terlihat dari simbol-simbol yang dianggap representatif oleh masyarakat seperti cara bergaul, berpakaian hingga dalam bentuk perilaku sehari-hari. Semuanya harus ditampakkan dengan santun di hadapan masyarakat.
Mengapa? Kultur masyarakat Sasak atau masyarakat santri  umumnya memang menilai dari sisi itu.  Simbol-simbol itu menjadi terasa penting dalam masyarakat karena bagi mereka itu merupakan refresentasi keulamaan seseorang. Bahkan, simbol-simbol itu merupakan syarat informal jika seseorang ingin menjadi pemuka agama atau masyarakat .
Jika syarat-syarat informal tersebut terpenuhi, maka seorang tokoh agama mau tidak mau, pasti akan memiliki peran-peran sosial keagamaan yang sangat padat. Sebagaimana yang dialami Turmuzi, karena apa yang diinginkan masyarakat bisa dipenuhi, maka peran-peran sosial kemasyarakatan dan peran keagamaan benar-benar melekat pada dirinya. Karena gelar Tuan Guru atau tokoh agama benar-benar sudah sesuai dengan perilaku sehari-hari yang ditampilkannya. Sebagai seorang ulama Sasak, Turmuzi benar-benar mampu menunjukkan dirinya sebagai seorang sosok ulama yang sesuai dengan zamannya. Berpenampilan apa adanya, sederhana dan bersahaja, serta tidak dibuat-buat merupakan ciri khasnya sampai kini.
Sebagai seorang ulama, peran-peran keagamaan Turmuzi sungguh cukup memadai, mulai dari urusan-urusan kematian, perkawinan hingga dakwah Islamiyah telah menjadi kegiatan rutinnya yang tidak bisa dielakkan. Hampir setiap ada musibah kematian, beliau selalu tampil,  yang tidak saja di desanya, Bagu, juga sudah meluas ke desa lainnya. Begitu juga dengan acara-acara walimah (pesta perkawinan), beliau juga menjadi tokoh sentralnya.
Kehadirannya dalam setiap undangan sangat dinantikan oleh setiap jamaah, walaupun Turmudzi dikenal sebagai tokoh Nahdlatul Ulama dan termasuk dalam bingkai Kiai Khos, tidak pernah sampai memetakan jamaah yang didatanginya sebagai “in group” dan “out garoups” sebagaimana dilakukan oleh sebagian Kiai. Tingkah polah sang Tuan Guru seperti ini yang sangat disukai masyarakat di Lombok, sehingga dalam melakukan dakwahnya dengan cepat diterima masyarakat. Mahyudin warga masyarakat yang penulis temui menyatakan bahwa keberhasilan dakwah yang dilakukan Tuan Guru tidak lepas dari kebersahajaan, sederhana, memperlakukan jamaah secara sama dan husnu zhon yang tinggi dalam menghadapi setiap perkara, sehingga dapat mempertimbangkan dan memutuskan segala perkara atau permasalahan ummat dengan baik berdasarkan dalil naqli, akli, bahkan dengan qiyas sekalipun. 
Dalam bidang dakwah pun demikian, selain kesibukannya mengurus pesantrennya, dakwah juga tidak bisa dilepaskan dari sosok Turmuzi, sejak menjadi Tuan Guru Bajang (muda) hingga sekarang (walau sudah tergolong Tuan Guru sepuh),  Jadwal pengajiannya sangat padat, terutama di kantong-kantong Nahdliyyin di beberapa daerah pedesaan. Maklum sosok Turmuzi sangat erat kaitannya dengan tokoh NU, Syekh TGH. Muhammad Saleh Hambali. Beliau sangat dikenal sebagai ulama NU yang kharismatik. Wilayah dakwahnya pun sangat luas. Tidak saja di Lombok Tengah tetapi juga sudah meluas ke Lombok Timur, Lombok Barat, Sumbawa, Dompu, Bima, dan sampai ke pulau Bali terutama pada basis-basis Nahdlatul Ulama.

Periode Perintisan Pesantren Qamarul Huda
1. Pengajian Al-Qur’an
Memperhatikan akar sejarahnya, benih-benih pesantren di Desa Bagu memang sudah terlihat jauh sebelum Turmuzi lahir. Yaitu sejak kegiatan datuk dan kakeknya dalam pengajaran agama Islam melalui pengajian kitab maupun pengajian tarekat.
Namun, sejauh itu, “moyang” beliau tak sedikit pun memiliki gambaran untuk mendirikan pesantren. Baru setelah ayahandanya ust. Badruddin mengembangkan pengajian Al-Qur’an, benih-benih itu kian lama kian tampak tumbuh dan berkembang. Karena itulah, ketika Turmuzi dikirim ke Bengkel. PP Darul Qur’an, harapan untuk membangun pesantren kian nyata.
Pengajian Al-Qur’an yang dibina oleh ust. Badruddin merupakan suatu tipe pendidikan dalam bentuk yang paling sederhana. Belajarnya dengan duduk bersila dan belum memakai bangku dan meja. Guru pun duduk bersila. Para santri belajar secara bergiliran kepada guru satu persatu dan belum berkelas.
Pada dasarnya, pendidikan ini berupa pelajaran membaca beberapa bagian dari Al-Qur’an. Untuk permulaan, diajarkan surat Al-Fatihah dan kemudian surat-surat pendek lainnya dalam jus Amma, khususnya yang penting untuk melaksanakan ibadah. Sedangkan materi pelajarannya sendiri terdiri atas empat kelompok, yaitu: (a) membaca Al-Qur’an, (b) ibadah : Wudlu’, Sholat dsb., (c) keimanan/tauhid, seperti rukun iman, sifat dua puluh dsb., (d) akhlaq mulia melaluyi cerita-cerita kenabian atau sahabat Rasulullah SAW (Ainul haris, 2000).
Pengajian ini diberikan secara individual di rumahnya. Kadang-kadang di Santren (Langgar: Jawa). Namun, pada awal-awalnya, beliau menggelar pengajian di rumahnya. Setelah memiliki santri dan Masjid di Bagu, beliau memungsikannya dengan baik. Seperti penuturan TGH. Turmuzi;
“Pada awalnya, sejak perintisan pengajian Al-Qur’an ini, biasanya bertempat di rumah. Baru setelah Masjid Bagu dibangun, pendidikan Al-Qur’an ini dipindahkan ke Santren (langgar) terdekat“.
Apa yang dilakukan Ustadz Badruddin ini tidak jauh bedanya dengan yang dilakukan di daerah lain seperti yang digambarkan oleh Snoucj Hurgronjes dalam Karel A. Steenbrinl (1986) sebagai berikut:
“Pengajian Al-Qur’an ini diberikan secara individual kepada para murid. Biasanya mereka berkumpul di salah satu langgar atau di serambi rumah sang guru, Mereka membaca dan melagukan ayat-ayat suci di hadapan guru satu-persatu di bawah bimbingannya selama seperempat jam hingga setengah jam. Ketika salah seorang menghadap guru, murid lainnya dengan suara keras mengulang kajian kemarin atau lanjutan pelajaran yang telah diperbaiki gurunya. Jadi dalam Langgar atau rumah semacam itu, orang dapat mendengar bermacam-macam suara yang bercampur aduk menjadi satu. Tetapi karena semenjak kanak-kanak terbiasa hanya mendengar suara mereka sendiri, para murid tersebut tidak terganggu suara murid yang lain”.
Selama bertahun-tahun, dengan penuh kesabaran, Ust. Badruddin melayani semua santrinya satu-satu. Namun, dalam beberpa tahun kemudian, ketika diantara mereka ada yang sudah dianggap bias, dia dapat membantu gurunya untuk mengajar teman-temannya yang lebih bawah/rendah tingkat pemahamannya. Karena itu secara tidak langsung, ada semacam regenerasi dalam proses pembelajaran Al-Qur’an. Santri Al-Qur’an ini umumnya terdiri dari anak-anak sekitar umur 6 – 10 tahun yang berasal dari sekitar desa Bagu sendiri. Biasanya, mereka mengaji pada malam hari, setelah sholat Maghrib hingga masuk waktu Isya’.
Dalam pengajian Al-Qur’an ini, Badruddin, tidak hanya mengajarkan Al-Qur’an saja, tetapi seringkali diselingi oleh pelajaran lain seperti fiqih-ibadah (sholat, wudlu dan lain-lain) dan beberapa do’a pendek seperti yang dituturkan TGH. Turmuzi (2001).
“Dalam pengajian Al-Qur’an (dulu), memang beliau kerap kali memberikan selingan bagi para santri, seperti mengajarkan tata-cara shalat dan wudlu’. Umumnya, beliau mengajarkan pelajaran ini setelah selesai mengajar membaca Al-Qur’an atau kadang-kadang ditetapkan waktu lain secara khusus seperti malam Jum’at setelah kegiatan mengaji dan shalat selesai. Biasanya, setelah sholat, para santri tidak langsung pulang tetapi menunggu instruksi dari guru ngajinya. Kadang-kadang dalam kesempatan itulah beliau memberikan pelajaran tambahan“.
Tidak itu saja, ada juga pelajaran tambahan yang diberikan, yaitu pelajaran seni membaca Al-Qur’an dan Tajwid. Bidang ini merupakan kemahiran Badruddin. Sama dengan pengajian tambahan itu, pelajaran tajwid ini juga memiliki waktu tersendiri. Tidak berbarengan dengan pengajian Al-Qur’an, meskipun sekali-kali beliau menekankan aspek tajwidnya ketika mengajar Al-Qur’an.
Pengajian tajwid ini sangat penting, terutama untuk memperbaiki bacaan para santri. Karena itulah, khusus dalam pengajian ini, beliau menyelenggarakan setiap malam Jum’at, dimana semua santri mengikuti kegiatan ini tanpa terkecuali. Pengajian Al-Qur’an ini, di samping sebagai kegiatan rutin Badruddin, juga sebagai bentuk tanggung jawabnya terhadap umat Islam serta sebagai modal dasar bagi pengembangan pendidikan Islam lebih lanjut. Beliau, memang tampak sungguh-sungguh dalam mempersiapkan segala sesuatu yang dijadikan sarana pendidikan yang refresentatif, khususnya bagi masyarakat Bagu.
Karena itu, setelah putra kesayangannya menginjak remaja, beliau mengirimnya belajar ke TGH. Saleh Hambali, seorang Tuan Guru pemangku PP. Darul Qur’an Bengkel yang sangat berpengaruh saat itu. Turmuzi benar-benar diharapkan oleh ayahnya sebagai pengganti sekaligus penerus cita-citanya membangun sebuah pesantren.
Setelah empat tahun lebih nyantri di Bengkel,akhirnya pada tahun 1952, beliau meminta izin kepada Tuan Gurunya agar diperkenankan untuk melakukan pembinaan terhadap santri di desanya. Permintaan itu dikabulkan dan sangat direstui oleh gurunya.

2. Pengajian Kitab
Akhirnya Turmudzi memutuskan untuk membina satu kali dalam seminggu dengan mengajarkan beberapa kitab dasar kepada para remaja dan generasi muda Bagu. Mereka dianjurkan untuk mengikuti pengajian kitab yang merupakan bentuk kelanjutan dari pengajian Al-Qur’an. Mata pelajaran yang diajarkan pada level ini adalah berkaitan dengan ilmu nahwu dan sharf sebagai kunci untuk membaca kitab kuning. Di samping itu, pada tingkat ini, diajarkan pula kitab-kitab lain seperti tafsir, fiqih dan lain-lain.
Menurut TGH. Turmuzi, kitab yang dipakai dalam pembelajaran nahwu yang paling dasar adalah Matan Jurmiyah, lalu diteruskan dengan Syekh Khalid. Pada tingkat selanjutnya beliau mengajarkan kitab Mutammimah hingga Al-Fiyah. Sedangkan pada tataran ilmu sharf dimulai dengan kitab Dhammun yang dikombinasikan dengan kitab nahwu seperti Al-Awamil hingga Al-Jurumiyah atau Al-Kalam.
Lama belajar pada tingkat pengajian kitab yang kerapkali disebut Khalaqah ini tidak ditentukan dan sangat tergantung pada kecerdasan dan kerajinan para santri. Biasanya santri-santri yang rajin dan cerdas bias menamatkan kitabnya pada waktu yang jauh lebih awal lalu diteruskan dengan kitab-kitab lanjutannya. Sebaliknya, para santri yang mengalami kesulitan belajar bias tinggal di surau atau rumah Tuan Guru lebih lama lagi hingga bertahun-tahun. Bahkan ada yang keluar dari khalaqah tanpa mendapatkan apa-apa (Mahmud Yunus, 1996).
Pada sistem ini khlaqah ini, Turmuzi benar-benar meniru gaya pembelajaran gurunya, TGH. Saleh Hambali Bengkel yang juga tokoh NU yang disegani di Lombok. Sehingga tidak heran jika ajakannya untuk membina pengajian kitab di desanya tidak bertepuk sebelah tangan. Masyarakat menyambutnya dengan senang hati, begitu juga generasi mudanya. Mereka memang sudah lama menanti kegiatan seperti ini. Maka “Tuan Guru Bajang” ini memulai “karir”-nya sebagai Ustadz di desanya. Menurut beliau ada beberapa bidang ilmu yang sempat diajarkannya antara lain fiqih, tasawuf, aqidah yang masih diajarkannya sampai sekarang secara khalaqah baik untuk para santri maupun masyarakat umum lainnya.
Jika dilihat secara cermat, pengajian kitab ini jelas sekali berbeda dengan pengajian Al-Qur’an yang dirintis ayahnya. Setidak-tidaknya dapat diperhatikan dari beberapa segi antara lain:
a.       Para santri pengajian yang terdiri dari para remaja dan generasi muda pada umumnya sudah mahir membaca Al-Qur’an.
b.       Mata pelajaran utamanya adalah Bahasa Arab yang dianggap sebagai “pembuka” pintu ilmu.
c.        Pendidikan tidak diberikan secara individual, tetapi secara kolektif.
Memang, pada awalnya, tingkat pertama yang diberikan dalam pengajian kitab ini adalah pendidikan bahasa Arab terutama grammar atau rumusnya yang dikenal sebagai ilmu nahwu. Dalam pemahaman masyarakat, orang sangat tidak mungkin bisa memahami fiqih, aqidah maupun tasawuf tanpa memahami bahasa Arab dengan baik. Karena itu, pelajaran nahwu dan sharf menjadi pelajaran utama di pesantrennya.
Demikian pula, para alumni dari pengajian khalaqah ini biasanya meniru gaya dan metode mengajar gurunya ketika mereka pulang kampung dengan membuka Santren [baca; Langgar] dan mengajar sebagaimana gurunya.Hal semacam ini, dialami pula oleh para santri TGH. Turmuzi yang sejak awal mengikuti pengajian khalaqahnya.Mereka sebagian besar telah menjadi pemuka masyarakat di desanya masing-masing sambil meneruskan ajaran gurunya.

3. Memperkenalkan sistim Madrasah (1948-1962 )
Pada periode ini, PP Maarif Qomarul Huda mulai melakukan pembenahan baik secara kelembagaan maupun menejemen serta struktural. Secara kelembagaan,Qomarul Huda mulai melakukan pembenahan organisasi kelembagaan pendidikan dengan mendirikan madrasah [baca; sekolah].Kebijakan TGH.Turmuzi ini sangat terkait erat dengan pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan Islam pada awal abad ke-20 (A. Timur Jaelani 1982). kelahiran kebijakan ini menurutnya tidak terlepas dari ketidakpuasan  terhadap sistim suruau atau pesantren yang semata-mata menitikbertakan pada kajian agama. Sementara di lain pihak sistim pendidikan Barat (umum) justru tidak menghiraukan agama.
Dengan demikian, kehadiran madrasah ini di latar belakangi oleh keinginan memberlakukan secara berimbang antara pendidikan yang berbasis ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum dalam kegiatan pendidikan di kalangan ummat Islam. Atau dengan kata lain, madrasah merupakan perpaduan antara sisitim pendidikan pesantren/surau dengan sistim pendidikan kolonial (Hasbullah, 1996).
Di pondok pesantren Qomarul Huda, sebagaimana juga umumnya pesantren-pesantren  lainya, juga melakukan perubahan-perubhan kelembagaan., dari sistem tradisi psantren, sorongan, kesistim madrasah. Sehingga terdapat dulisme kelembagaan dan pada sisi lain mengikutui alur perkembangan dunia pendidikan dunia pendidikan dengan mendirikan dan mengembangkan sistem madrasah sebagai kebijkan sistem pendidikan nasional.
Kebijkan pembentukan madarasah ini tidak lepas dari pengaruh organisasi-organisasi islam modernis seperti al-Khoir, al-Irsyad Muhammadiyah dan lain-lain (Azyumarzdi Azra, 2000). Sebagai sekolah madrsah memang melakukan beberapa perombakan dalam sisitim pendidikannya. Umumnya diadopsi dari sisitem pemerinthan kolonila yang terlebih dahulu merupakan sisitem modern. Hanya saja, dalam menentukan materi pelajaranya, selalu dikombinasikan dengan mata pelajaran agama Islam. Hanya saja pesantren yang memilih sistem madrasah sebagai model pengembangan pendidikanya tidak begitu saja mengadopsi sisitem pendidikan modern Belanda seperti Muhammadiyah. Organisasi Muhammadiyah yang mengadopsi sistem kelembagaan Belanda secar konsisiten dan menyeluruh dengamn mendirikan sekolahsekolah ala Belanda, seperti MULO, HIS dan lain-lain. Akan tetapi, Muhammadiyah dapat membedakan diri dengan memasukkan materi pendidikan agama ke dalam kurikulumnya.
Namun pesantren juga mengadopsi sistem kelembagaan warisan pendidikan yang sudah ada sebelumnya. Dalam masalah kurikuklum, teknik dan metode mengajar sangat diperhatikan, sehingga ada keluasan bagi madrasah untuk mengembangkan dirinya secara mandiri,
Di PP Qomarul Huda sendiri upaya eksperimentasi sudah dilakukan sejak tahun 1962 dengan mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI). Awalnya, muridnya pun cukup significant untuk sebuah nodel pendidikan yang dianggap baru. Hal tersebut, diakui oleh TGH. Turmuzi dimana penyelenggaraan sistempendidikan madrasah sangat memerlukan waktu dan pikiran. Seperti ungkapan beliau:
“Saya memang harus memusatkan perhatian yang cukup besar untuk merintis madrasah ini. Sebab, system dan kondisinya sangat berbeda dengan pesantren yang hanya cukup dengan seorang guru dengan aneka materi pelajaran. Tetapi, dengan sistem madrasah, kita harus berpikir banyak hal, mulai perangkat lunaknya hingga perangkat kerasnya. Seperti kurikulum, ustadz hingga kepala madrasah yang bertugas menangani kegiatan belajar-mengajarnya“.
Memang, bagi banyak pesantren, proses perubahan orientasi pendidikan dari sistem sorogan ke madrasah cukup merepotkan. Walaupun diakui pada sisi lain sangat memudahkan dalam proses pembelajaran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya tradisi berorganisasi yang dikembangkan pesantren. Akibatnya, ketika pesantren menghadapi perubahan seperti itu, kadang-kadang kurang siap beradaptasi. Kalaupun bisa mewujudkankannya, itu tidak lebih karena mengikuti irama kebijakan pemerintah.
Terkaiat dengan kelanjutan sistem madrasah, TGH. Turmuzi, juga merintis berdirinya madrasah lanjutan yang dikenal dengan madrsah Tsanawiyah, setingkat SLTP, pada tahun 1969. Proyek ini bertujuan untuk menampung lulusan dari Madrsah Ibtidaiyah yang ada. Proses pendirian MTS ini pun dilalui dengan lancar, karena di samping calon muridnya sudah ada, animo masyarakat untuk sekolah di madrasah sangat tinggi.
Kemudian pada tahun 1984, beliau merintis lagi berdirinya Madrasah Aliyah. Namun, diakui bahwa proses pendirian Madrsah Tsanawiyah dengan Madrasah Aliyah ini memiliki tempo waktu yang sangat panjang. Hal ini menurut TGH. Turmuzi disebabkan oleh beberapa hal, sebagai berikut:
Pertama, animo lulusan MTs. Untuk melanjutkan ke jenjang madrasah yang lebih tinggi sangat kurang. Hal ini karena para orang tua santri rata-rata berekonomi lemah, sehingga semangat untuk melanjutkan studi anaknya menjadi lemah pula.
Kedua, para santri (termasuk orang tuanya), lebih terkesan jika melanjutkan dengan sistem modern tersebut, mereka banyak yang mengakui kurang mendapatkan ilmu agama yang cukup significant. Karena itu, mereka kebanyakan kembali menjadi santri dengan sistem sorogan.
Ketiga, ada anggapan teologis, bahwa mengaji melalui sorogan lebih banyak barokahnya ketimbang belajar dengan sistem madrasah. Sebab, menurut anggapan ini, belajar ilmu agama itu hukumnya wajib, sedangkan ilmu umum itu tidak wajib. Bagi mereka di akhirat nanti yang paling berguna adalah ilmu agama itu sendiri.

4. Menjangkau Perguruan Tinggi
Kedekatannya dengan KH. Abdurahman Wahid yang juga mantan Presien RI ke-4 telah membawa berkah tersendiri bagi PP Qomarul Huda. Pasca penyelenggaraan Konperensi Besar Nadlatul Ulama tahun 1994, Gus Dur menyarankan agar di Bagu didirikan sebuah perguruan tinggi. Saat itu juga, atas nama Pengurus Besar Nahdaltul Ulama, Gus Dur mengamanahkan agar Pondok Pesantren salafiyah al-Syafiiah Situbondo dapat bekerjasama dan membuka cabang perguruan tingginya di Bagu.
Maka pada tahun 1999 Institut Agama Islam Ibrahimy Situbondo secara resmi membuka cabang di Qomarul Huda dengan membuka dua fakultas yaitu Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Syari’ah. Atas prakarsa dari KH. Fawaid As’ad di Qamarul Huda didirikan lembaga tinggi yang diberi nama Sekolah Tinggi Agama Islam Ibrahimy (STAII) Qamarul Huda. Berdirinya perguruan tinggi ini, bagaimana pun, telah menorehkan sejarah tersendiri. Pasalnya, tak pernah ada yang menyangka kalau di desa Bagu sendiri akan bisa berdiri sebuah perguruan tinggi. Tapi, faktalah yang menjawabnya.
Kemudian pada tahun 2000, berdasarkan kesepakatan bersama, Qomarul Huda, memberanikan diri membuka perguruan tinggi secara mandiri yang berwujud STAI Ibrahimy Qamarul Huda. Di tahun 2002 STAI Ibrahimy Qamarul Huda Bagu berdiri secara resmi setelah mendapatkan  Surat Keputusan (SK) Operasional dari Direktur Kelembagaan Agama Islam, Departemen Agama Republik Indonesia yang ditandatangani oleh Dr.H. Husni Rahim, MA. SK Operasional STAI Ibrahimy Qamarul Huda diserahkan langsung oleh Bapak Menteri Agama KH. Tolhah Hasan dalam suatu acara Haul Syekh Abdul Kadir Jaelani dan Syekh TGH. Muhammad Saleh Hambali, serta dirangkaikan dengan milad Yayasan Pondok Pesantern Qamarul Huda Bagu. Kehadiran Perguruan tinggi di desa Bagu kami anggap sebagai berkah dan diijabahnya do’a para kiai dan Tuan Guru yang hadir pada saat pada pertemuan besar Nahdlatul Ulama dan tentunya tak lepas dari restu KH. Abdurrahman Wahid (Gusdur).
STAI Ibrahimy Qamarul Huda Bagu tumbuh dan berkembang secara dinamis, hal itu dapat dilihat dari besarnya antusiasme masyarakat untuk melanjutkan pendidikannya. STAI Ibrahimy Qamarul Huda semenjak berdirinya dipimpin oleh Drs. Kamaruddin (Almarhum) dari tahun 1999 sampai 2001 akhir. Kemudian kepemimpinan dilanjutkan oleh M. Ahyar Fadli, S.Ag. M.Si sejak tahun 2002 sampai 2008. Lalu, Desember 2008 STAI Ibrahimy Qamarul Huda melakukan alih status menjadi Institut Agama Islam (IAI) Qamarul Huda sampai sekarang dengan tiga Fakultas yakni Tarbiyah, Syari’ah dan Ushuluddin. Fakultas Tarbiyah terdiri dari jurusan Pendidikan Agama Islam (PAI), Pendidikan Bahasa Arab (PBA) dan Akta IV. Fakultas Syari’ah terdiri dari dua jurusan yakni Mu’amalah dan Ekonmi Syari’ah. Sementara fakultas Ushuluddin dengan jurusan Pemikiran Politik Islam (PPI). Untuk memberikan pelayanan terbaik bagi ummat IAI Qamarul Huda berencana membuka jurusan-jurusan baru sesuai dengan minat dan kebutuhan masyarakat ke depan.
Dalam perkembangannya sampai sekarang ini, IAI Qamarul Huda terus melakukan peningkatan kualitas dan kerjasama agar alumni-nya terus dapat bersaing dengan perguruan tinggi lain dalam mengisi formasi-formasi yang tersedia pada setiap tahunnya. Dalam bidang kerjasama IAI Qamaru Huda bekerja sama tidak hanya dengan instansi pemerintah tetapi juga dengan perbankan (terutama Perbankan Syari’ah, seperti Mu’amalat, Syari’ah Mandiri, Bank NTB). Dalam bidang pengelolaan program IAI Qamarul Huda dipercaya untuk mengelola program beasiswa Pendidikan Guru Agama Islam (PGPAI) pada Sekolah oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Depag RI Jakarta.
Kemudian, melalui Lembaga Penelitian dan Pengabdian (LP2M) IAI Qamarul Huda melakukan kerjasama dalam pengelolaan program Pendidikan Keaksaraan Fungsional (KF) Dasar dengan Kementerian Pendidikan, Pemuda dan Olah Raga Wilayah NTB. Selanjutnya, oleh subdit Penelitian, Pengabdian Masyarakat, dan Karya Ilmiah Depag RI diberikan hibah penelitian kepada staf pengajar IAI Qamarul Huda.  
Merasa tertantang untuk mengembangkan perguruan tinggi, lagi-lagi TGH. Turmudzi Badruddin (yang juga menjadi guru spiritual KH. Abdurahman Wahid) ini membuka perguruan tinggi baru yaitu Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan pada tahun 2006 dengan program studi Keperawatan, Kebidanan, dan Rekam Medik. Dan di tahun 2010 kembali merintis Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Qamarul Huda dengan program studi Pendidikan Ekonomi, Pendidikan Bahasa Inggris, Bahasa Indonesia, dan Pendidikan Matematikan.
Kini terdapat tiga lembaga Perguruan Tinggi yang berada di bawah Yayasan Pondok Pesantren Qomarul Huda Bagu. Sungguh prestasi pencapaian yang terbilang luar biasa dari seorang TGH. Turmudzi. Kadang kami sulit mencerna menurut akal sehat sejarah pendirian dan perkembangan lembaga-lembaga mulai dari Pendidikan Usia Dini sampai Perguruan Tinggi yang ada di Yayasan Ponpes Qamarul Huda. Ya, kata yang bisa mewakili tentang itu adalah “Luar Biasa”.

C. TGH Turmuzi dan Gus Dur
Siapa sangka jika TGH L Turmuzi yang lahir dan tumbuh di lingkungan pedesaan yang agak jauh dari kota, bisa akrab dengan KH. Abdurrahman Wahid, sang mantan Presiden RI ke 4. Tapi itulah faktanya. Secara khusus TGH. Turmuzi bercerita tentang kedekatannya kepada penulis, keakrabannya dimulai dari pelaksanaan Mubes NU di Ponpes Qamarul Huda Itetapi sebelumnya sudah sering bertemu Gusdur dalam banyak kesempatan). Baginya kedekatannya dengan Gus Dur sebenarnya merupakan karekteristiknya yang asli, tidak ada muatan politis sedikitpun (walau dalam perkembangan Tuan Guru menjadi pendukung setia Gus Dur sampai akhir hayatnya). Saya melihat Gus Dur kata Tuan Guru, tidak semata-mata karena faktor Gus Durnya, tetapi saya juga melihat siapa dibalik sosok Gus Dur yaitu Syekh Hasyim As’ary, yang tidak saja dikenal sebagai ulama besar tetapi beliau juga adalah tokoh kunci berdirinya organisasi Nahdaltul Ulama. Nah Gus Dur ini adalah titisan ulama besar yang juga harus dihormati. Kedekatan saya dengan Gus Dur kata Tuan Guru tidak bisa dipisahkan oleh siapapun kecuali kematian, ungkapnya. Kedekatan kami sudah ditakdirkan Allah SWT. Karena itu sampai akhir hayatnya Gus Dur selalu mendengar nasehat saya dan dilaksanakan, baik sebelum menjadi presiden maupun setelah menjadi presiden, baik saat senang ataupun susah. Saat susah Gus Dur selalu minta do’a dan saat senang sering ngelucon (dengan sering mengatakan “tuan Guru saya tidak punya apa-apa yang bisa diberikan”, apa makna perkataan Gus Dur, saya tidak pernah tahu sampai sekarang, kata Tuan Guru).
Ketawadu’an Dato’, panggilan akrabnya,  kepada guru-gurunya bahkan kepada guru dari guru-gurunya memang luar biasa. Apalagi dengan TGH Saleh Hambali yang mendidiknya secara langsung, tentu benar-benar beliau ekspresikan dengan meneruskan perjuangan beliau baik dalam organisasi maupun dalam pengabdiannya di dunia pendidikan.
Dalam organisasi Nahdatul Ulama, kecintaan TGH. Turmuzi terhadap organisasi yang didirikan oleh para ulama besar di pulau Jawa ini memang sudah mendarah daging. Beliau sudah identik dengan NU. 
Oleh karena itu, sepeninggal TGH. Saleh Hambali dan juga TGH. Lalu Faisal Praya Lombok Tengah, beliau benar-benar mampu menjadi pengganti yang arif untuk meneruskan organisasi yang diwariskan oleh guru-gurunya. Sampai sekarang ini, tidak ada tokoh sekaliber TGH Turmuzi yang memiliki penghidmadan yang luar biasa selain beliau. Banyak tokoh-tokoh muda NU yang bermunculan tetapi belum ada yang menyamai maqomat beliau. Sehingga Dato’ Turmudzi termasuk dalam kelompok Kiai Khos di zaman Gus Dur.
                Lalu, apakah persahabatan Gus Dur terputus setelah kembalinya Gus Dur ke tempat asalnya yang abadi? Tentu tidak, ungkap beliau. Saya masih tetap menghormati keluarga besar Gus Dur sampai kapan pun. (di samping tetap mengirimkan Al-Fatihah untuk Gus Dur dalam setiap kesempatan). “ Inilah makna persahabatan yang sejati ” pikir saya. Bentuk penghormatan itu, nampak terlihat ketika Gus Solah (Kiai Solahudin Wahid) mencalonkan diri menjadi ketua Tanfiziyah PBNU. Dukungan kepada Gus Solah untuk menjadi ketua Tanfiziyah berangkat dari kecintaan Dato’ kepada keluarga besar Gus Dur dan saat itu tidak ada pengurus wilayah dan cabang NU NTB yang mendukungnya kecuali TGH. Turmudzi. Lalu, ketika Yeni Abdurrahman Wahid mendeklarasikan berdirinya PKBN setelah secara resmi bercerai dengan PKB Muhaimin Iskandar.

D. Politik untuk Dakwah
TGH. Turmuzi benar-benar menemukan jati dirinya sebagai tokoh ulama NU di NTB yang sudah menasional. Terutama setelah keterlibatannya pada kepengurusan Dewan Mustasyar Pengurus Besar NU maupun Dewan Syuro Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Hampir setiap ada gawe besar baik di NU maupun Partai Kebangkitan Bangsa, TGH. Turmuzi tidak pernah absen dan apalagi Gus Dur ada disitu. Mengurus PKB sama juga dengan mengurus NU“, katanya suatu ketika. Berpartai bagi Dato’ Turmudzi tidak untuk mengejar jabatan, tetapi semata-mata sebagai media dakwah. Ya, sebenarnya, inilah yang dimaksud “tanpa jubah kekuasaan” dalam tulisan ini.
Mengambil posisi seperti Dato’ Turmudzi di sekarang ini, menjadi aneh dan dianggap tidak masuk akal. Sebab faktisitas menunjukkan bahwa para Tuan Guru atau Kiai banyak turun gunung dari singgasana Pesantrennya merebut kekuasaan untuk duduk di Parlemen ataupun eksekutif. Namun, beliau tetap istiqomah pada posisinya. Dan tentu pilihan-pilihan para tokoh agama untuk turun gunung itu tidak salah dan harus di apresiasi, asal sesuai dengan keahlian dan tidak lupa jati dirinya sebagai pemegang amanah ummat.
Saat ini, Dato’ Turmudzi terlihat sudah mengurangi aktivitas-aktivitas politiknya, karena memang umur Dato’ yang sudah mulai sepuh atau tua. Kegiatan-kegiatan Dato’ saat ini lebih banyak memberikan pengajian pada Majlis Ta’lim dan lebih banyak melakukan munajat kepada Allah SWT. Sesekali tetap menghadiri undangan dari masyarakat itupun sesuai dengan kesehatan Dato’. Semoga Allah SWT. Tetap memberikan perlindungan dan kesehatan untuk membimbing ummat diusianya yang tergolong sepuh.

*********



0 komentar: