Jumat, 16 September 2011

SERTIFIKASI GURU DAN MUNCULNYA PARA CUKONG


Sungguh pemandangan yang tidak pernah diimpikan dan terbayangkan oleh guru Oemar Bakri dapat mengganti sepeda bututnya dengan sepeda motor dan bahkan mobil, ketika guru Oemar Bakri masih eksis menjadi guru. Kini guru Bakri memang telah tiada, namun telah digantikan oleh guru-guru Bakri muda, rambut tersisir rapi, berpakaian rapi, pakai sepatu buatan Italia, setelan jas dan parfum dari Paris, serta sepeda motor dan mobil buatan Jepang. Penampilan guru-guru kita kini sudah berbeda seribu derajat dengan guru Oemar Bakri ala Iwan Fals (hal itu disampaikan Asroruddin, M.Pd dari Komunitas Lingkar Pendidikan atau CEC, pada diskusi di YPP Darussalam Tanak Beak, tanggal 16 September 2011).
Tentu secara ekonomi, perubahan tingkat dan perkembangan ekonomi para pahlawan pendidikan sangat membanggakan. Ya, itu berkah dari kebijakan dan pengakuan pekerjaan guru sebagai sebuah profesi, sebagaimana profesi dokter. Dengan demikian, guru sebagai suatu profesi harusnya mendapatkan tunjangan yang layak dan hidup berkecukupan. Memang sudah sepatutnya guru diperhatikan kesejahteraannya, karena sudah cukup lama para pahlawan pendidikan dininabobokkan oleh selogan-selogan yang membuat mereka terbuai mimpi-mimpi indah dan terhegemoni oleh gelar “pahlawan Tanpa Tanda Jasa”. Selama ini, mereka bagaikan robot yang tak pernah berfikir siapa dirinya, berangkat pagi dan balik ke rumah siang hari secara rutin. Tapi, sekarang tentu tidak, mereka juga manusia khan.
Tetapi secara kualitas, nanti dulu dan saya fikir perlu dilakukan evaluasi secara serius terhadap penerima tunjangan sertifikasi. Dari pengamatan yang dilakukan tanpak bahwa terjadi ketidaksesuaian antara tunjangan besar yang diterimanya dengan kinerja dan kualitas pembelajaran di sekolah. Malah terlihat fenomena munculnya cukong-cukong baru di banyak sekolah yang mempekerjakan guru-guru honorer, sementara mereka duduk manis menerima laporan. Masalahnya, kualitas seperti apa yang akan dihasilkan dari para guru honorer yang miskin pengalaman? Lalu bagaimana para guru penerima tunjangan bertanggungjawab?
Di aras ini, pihak pemerintah harus serius untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja para guru yang telah menerima tunjangan. Guru yang baik yang telah melakukan tugasnya dengan benar, sesuai dengan beban kewajibannya,  perlu dikasih reward atau penghargaan agar lebih profesional. Sedangkan bagi para guru yang nakal, yang menjadi cukong-cukong baru di sekolahan harusnya diberikan sanksi berupa pemutusan tunjangan profesi. Pemutussan tunjangan profesi tentunya tidak bisa dilakukan secara gegabah dan terburu-buru, tetapi didasarkan pada hasil evaluasi terhadap kinerja para guru. Lalu siapa yang melakukan evaluasi? Inilah masalahnya.
Sebaiknya, menurut saya, evaluasi kinerja dilakukan oleh sebuah tim independen yang dibentuk oleh kemetrian yang mengelola pendidikan. Kenapa tim independen?  Ya,  untuk menjaga obyektivitas semata. Tim itu, bisa dari unsur masyarakat, Komite, dan unsur pemerintah sendiri. Jika tim evaluasi independen terbentuk dan bisa terwujud tentu akan berdampak positif  pada kinerja para pahlawan pendidikan dan output yang dihasilkannya pun akan lebih berkualitas. Menjadi lucu dan aneh, misalnya, terdapat anak kelas 4 (empat) Sekolah Dasar belum bisa baca tulis. Atau terdapat anak di kelas yang sama, misalnya tidak dapat menghafal bacaan-bacaan shalat.
Mesti dicermati bahwa fenomena tumbuh suburnya cukong-cukong baru disekolahan karena kesalahan persepsi yang terus diwariskan kepada masyarakat tentang akan diangkatnya guru-guru honorer menjadi PNS. Masih ingat kasus ribuan tenaga honorer (termasuk guru) yang di rumahkan di kabupaten Lombok Tengah beberapa waktu yang lalu. Tentu hal itu, harusnya dijadikan pelajaran yang berharga agar berhati-hati dalam mengangkat tenaga honorer, termasuk aturannya harus jelas boleh tidaknya mengangkat tenaga honorer, agar masyarakat tidak dirugikan.
Jika saja mau dicermati tentang beban tugas dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh para guru tersertifikasi, rasanya sangat kecil kemungkinannya untuk mengangkat tenaga honorer. Atau dengan kata lain, logika hukum dari adanya sertifikasi itu adalah mendorong para guru agar lebih profesional, bertanggungjawab, dan jujur dalam melaksanakan tugas kewajibannya sebagai pendidik sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Secara berseloroh, teman guru saya berkata, apakah tidak boleh guru mempunyai asisten? Masak, hanya pelatih sepak bola yang boleh punya asisten. Terlepas dari boleh tidaknya, guru punya asisten, saya hanya melihat hal ini sebagai fenomena baru dan akibat negatif dari adanya sertifikasi guru.
Seharusnya,  tingkat kesejahteraan guru secara ekonomi meningkat, mestinya diikuti dengan kinerja yang tinggi pula. Bila coba dikomparasikan antara dokter sebagai profesi dengan guru sebagai profesi, terlihat perbedaan yang sangat signifikan dan besar. Para dokter sangat menjunjung tinggi kode etik dan bertanggungjawab terhadap para pasiennya. Bekerja siang sampai malam untuk melayani pasien secara langsung dan lebih banyak berada di tempat kerja. Sementara para guru (tidak semua guru) lebih banyak berada di rumah dibandingkan sekolahan. Terkesan, para guru mendapatkan identitas baru sebagai cukong yang datang ke sekolah bukan untuk mengajar, tetapi untuk mengawasi dan menerima laporan dari para pekerja yang disebut sebagai guru honorer.
Dari diskusi yang dilakukan hal itu dianggap serius dan harus dicarikan jalan keluar serta evaluasi mutlak harus dilakukan. Kehadiran tim evaluasi independen sangat diharapkan. Jika, dari hasil evaluasi disimpulkan bahwa kinerja para guru tersertifikasi rendah, seharusnya segera diambil tindakan dan diberikan sanksi berupa penundaan pemberian tunjangan dan kalau terbukti mereka tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya, diberikan sanksi berupa tidak dibayarkan tunjangan profesinya. Siapa yang menghendakinya, tentu tidak seorangpun jawabnya.
Semoga para pahlawan pendidikan atau “guru” terus bekerja dan berkarya mencetak manusia-manusia unggul, pintar, berahlak, dan berkarakter. Peningkatan tarap hidup ekonomi para guru kita harus disyukuri (banyak yang bisa beli mobil, tanah dan membangun rumah mewah), tetapi harus diimbangi dengan kualitas diri dan kinerja. Sungguh ironis, identitas baru sebagai cukong terlahir dari berkah sertifikasi. Boleh saja guru punya asisten selama kode etik sebagai guru profesional tetap terjaga. Semoga.

*********

0 komentar: