Citra pulau Lombok sebagai pulau seribu masjid sedikit ternodai oleh tindakan pengrusakan tempat ibadah milik warga Hindu yang ada di sekitar desa Sedau kecamatan Narmada, kabupaten Lombok Barat, beberapa waktu lalu. Pengrusakan tempat-tempat ibadah bukan kali pertama terjadi tetapi kejadian-kejadian serupa juga pernah terjadi beberapa waktu yang lalu, siapa yang kita salahkan, ummat kitakah atau ummat lain yang secara keyakinan mungkin berbeda. Saat ini mungkin kita tidak berada pada posisi saling menyalahkan, tetapi yang terpenting adalah bagaimana kejadian-kejadian yang serupa tidak terulang kembali dan jika dibiarkan bukan tidak mungkin akan mengarah kepada posisi saling berhadap-hadapan antara penganut agama atau perang antar agama.
Dalam setiap agama mempunyai ajaran eskatologis dan keyakinan bahwa ajaran agama yang dianut nya yang paling benar, tetapi tidak berarti bahwa setiap agama diberikan hak oleh Tuhan untuk meleyapkan agama atau kepercayaan yang tidak sepaham atau sealiran dengan yang diyakininya. Paling tidak ada 2 ungkapan yang indah di dalam Al-Qur’an yakni “lakum dinukum wa liyadien” artinya bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun 6) dan “lana a’maluna wa lakum a’malakum” artinya bagi kami amal perbuatan kami dan bagi kamu amal perbuatan kamu (QS Al-Baqararoh 139).
Sungguh indah makna yang terkandung dalam kedua ayat tersebut di atas dan merupakan dasar pokok toleransi dalam agama Islam yang mengandung nilai-nilai dasar atau based values, dasar pandangan hidup dan perilaku hidup Islami. Rasulullah Muhammad SAW, khulafaurrasyidien dan khalifah Islam lainnya banyak memberikan contoh atau i’tibar tentang pentingnya nilai toleransi. Diantaranya perlindungan yang diberikan kepada warga negara non muslim (kafir zimmi) setara atau tidak kurang dengan perlindungan yang diberikan kapda kaum muslimin, sampai-sampai Rasulullah SAW mengatakan “barang siapa yang berbuat zalim kepada kafir zimmi maka saya akan menjadi pembelanya nanti di hari kiamat” (HR Abu Daud dan Baihaqi).
Dari kacamata sosiologis sikap tenggang rasa atau lapang dada (toleransi) baik sekali dikembangkan di Indonesia karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari multi etnik, multi ras, suku bangsa, budaya, adat istiadat, dan bahasa. Tidak hanya itu, bukankah secara teologis fitrah manusia adalah sebagai mahluk sosial atau homo socious dan keragaman tersebut termaktub di dalam adagium kenegaraan yaitu “Bhineka Tunggal Ika” artinya berbeda-beda tapi satu tujuan.
Pada aras ini, untuk menjaga dan tetap berada pada harmonisasi hubungan antar berbagai etnik, suku, agama, dan ras, maka peran negara sebagai pelindung rakyat tetap penting, sehingga rakyat merasa tentram hidup berdampingan dengan saudara-saudara seagama maupun antar agama. Peran negara seharusnya bersifat persuasif, seperti aturan-aturan yang mengatur tentang tata cara pendirian tempat-tempat ibadah, etiket pelaksanaan upacara-upacara keagamaan dan lain sebaginya, bukannya represif dengan memenjarakan warga masyarakatnya sendiri. Peraturan yang berkaitan dengan pola hubungan antar ummat beragama sudah banyak, tetapi persoalannya peraturan-peraturan itu hanya ada di dalam kantor pemerintahan, Depag ataupun organisasi keagamaan lainnya, tidak pernah sampai tersosialisasi ke ummat yang membutuhkan toleransi itu sendiri, atau siapa sebenarnya yang membutuhkan toleransi itu sebenarnya ummatkah atau para tokoh? Persoalan inilah yang harus menjadi bahan renungan kita semua, sehingga tidak merugikan ummat kita yang memang belum pernah tahu peraturan dan begitu ada gejolak ummatlah yang dirugikan.
Moralitas Kenabian
Ada tiga dimensi dalam ajaran Islam yaitu akidah yang harus diyakini, syari’ah yaitu rambu-rambu hukum yang harus di patuhi dan diamalkan, dan akhlak yaitu norma-norma atau nilai-nilai yang hendaknya menghiasi hubungan manusia. Akidah yang diajarkan nabi kepada ummatnya tanpa ruhsah atau penahapan tapi diajarkan secara tegas dan jelas. Berbeda halnya dengan syari’ah, menurut Prof. Quraish Syihab, pada mulanya shalat diwajibkan hanya dua kali sehari, dan ketika itu berbicara sambil shalat masih dibolehkan, ini menunjukan bahwa ada semacam kompromi dalam pelaksanaan syari’ah. Diharamkannya khamar misalnya, melalui proses pentahapan, seperti tidak boleh shalat dalam keadaan mabuk, baru kemudian syari’ah secara tegas mengharamkan khamar karena bisa menghilangkan akal sehat dan pada aras ini sangat dimungkinkan syaiton dapat masuk dengan leluasa ke lubuk hati manusia. Tetapi yang jelas, segala cara yang ditempuh dalam penegakan syari’ah semata-mata untuk memelihara kemurnian akidah.
Tokoh lintas agama sepakat bahwa kerukunan ummat beragama harus diciptakan, apalagi di dalam masyarakat multietnis, multi agama, dan multikultural seperti Indonesia. Kerukunan dapat tumbuh subur dengan rambu-rambu tidak boleh mengaburkan apalagi mengorbankan akidah, bahkan sikap yang mengarah ke pengaburan akidahpun di tidak dibolehkan, “lakum dinukum wa liyadien (Al-Kafirun-8) dan lana a’maluna wa lakum a’malakum (Al-Baqaroh-139), firman Tuhan dalam Al-Qur’an. Dalam kaitan inilah menurut Prof. Quraish Syihab, Islam melarang ummatnya menghadiri upacara ritual keagamaan non-muslim, seperti perayaan natal dan lain sebagainya. Karena betapapun menghargai Isa Almasih, namun pandangannya terhadap beliau berbeda dengan ummat Kristiani.
Toleransi suatu keharusan
Siapapun merasa terusik dengan tindakan pengrusakan tempat-tempat ibadah, terutama Gereja dan masjid yang dilakukan oleh sebagian masyarakat yang yang tidak bisa bertanggungjawab. Tindakan semacam itu dilakukan berdasarkan atas truth claim bahwa keyakinan yang dianutnya yang paling benar. Tentu, yang paling merasa tersakiti adalah penganut agama yang menjadi korban pengrusakan. Pengrusakan tempat-tempat ibadah itu mungkin disebabkan oleh kecemburuan sosial atau memang sengaja diciptakan kondisi caos oleh beberapa gelintir orang yang punya kepentingan. Tanpak terang terekam oleh media bahwa yang dirugikan oleh tindakan-tindakan pengrusakan itu adalah ummat Islam sendiri sebab pelakunya seringkali menggunakan simbol-simbol Islam. Walaupun belum terdapat data yang valid bahwa pelakunya adalah mereka yang menganut agama Islam.
Sebagai pengikut nabi Muhammad SAW, kita diharuskan untuk mengikuti perkataan dan perbuatan inilah yang dalam terminologi Islam disebut sebagai sunnah. Toleransi yang dibangun rasulullah SAW saat berada di Madinah patut diteladani, tidak hanya oleh ummat Islam tetapi juga oleh penganut agama lain. Permulaan rasulullah SAW membangun negara Madinah, hal utama yang dilakukannya adalah mempersatukan kaum Muhajirin dan Anshor, serta mengkonstruksi aturan agar ummat Islam bisa hidup berdampingan dengan penganut agama lain, seperti agama Yahudi, Nasrani, Majusi, dan penyembah berhala.
Nilai-nilai moralitas kenabian mesti harus diterapkan oleh siapa saja yang mengaku nabi Muhammad SAW sebagai panutan atau mauizhotil hasanah dan pemilik akhlak alquran. Toleransi kehidupan beragama yang telah dikonstruk-nya tidak sepatutnya ternodai oleh kepentingan-kepentingan sesaat demi kekuasaan. Moralitas kenabian dalam toleransi harus dilakukan agar terjaga hubungan yang harmonis diantara para penganut agama di Indonesia, sebagimana rasulullah SAW menerapkannya di Madinah.
0 komentar:
Posting Komentar