Kamis, 15 September 2011

TOLERANSI SEMU DAPAT MEMUNCULKAN KONFLIK AGAMA


Dalam perbincangan sehari-hari, baik di ruang kuliah, di kantor, di pasar, di warung kucing, di pinggiran toko atau di warung bakso, orang sering menggunakan istilah toleransi. Terlepas dari orang dapat memahami makna toleransi atau tidak. Toleransi dapat diartikan sebagai sikap mengakui atau tenggang rasa terhadap pendirian, agama, keyakinan, dan faham orang lain. Toleransi faktisitasnya dapat bergerak pada hubungan antar ummat beragama dan intra ummat beragama.
Kelihatannya, toleransi sangat sulit dilakukan orang, karena butuh sikap lapang dada, tidak picik, berwawasan luas, dan tidak bertindak sebagai polisi kebenaran. Jangankan toleransi antar ummat beragama, toleransi intra ummat beragama sendiri sangat jauh dari harapan, malah memunculkan persoalan baru. Munculya agama Protestan tidak lepas dari kakunya praktek keagamaan dalam Katolik dan dianggap sebagai cara beragama yang tidak toleran, terutama isu perubahan yang dikehendaki oleh Luther. Begitu juga, munculnya firqah-firqah dalam Islam lebih disebabkan oleh keakuan dan claim kebenaran dari masing-masing firqah. Yang selamat hanya kelompoknya, yang lain salah, kafir, dan masuk neraka. Menurut Harun Nasution, Kalim-klaim semacam ini yang menghiasi sejarah, perdebatan dan pertentangan firqah-firqah dalam sejarah Islam.
Bangsa Indonesia yang penduduknya terdiri dari berbagai macam etnis, agama, dan kepercayaan seakan menjadi ciri khas dari bangsa ini. Pada kehidupan yang multi etnik, ras, agama dan kepercayaan, konflik sosial juga sangat rentan terjadi yang mungkin disebabkan oleh berbagai problem kemasyarakatan, seperti kemiskinan, salah paham, perasaan egoisme, dan truth claim.
Dari kacamata sosiologis sikap tenggang rasa atau lapang dada (toleransi) baik sekali dikembangkan di Indonesia karena masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk yang terdiri dari multi etnik, multi ras, multi agama, suku bangsa, budaya, adat istiadat, dan bahasa. Tidak hanya itu, bukankah secara teologis fitrah manusia adalah sebagai mahluk sosial atau homo socious.
Paling tidak ada 2 ungkapan yang indah di dalam Al-Qur’an yakni “lakum dinukum wa liyadien” artinya bagimu agamamu dan bagiku agamaku (QS Al-Kafirun 6) dan “lana a’maluna wa lakum a’malakum” artinya bagi kami amal perbuatan kami dan bagi kamu amal perbuatan kamu (QS Al-Baqararoh 139).
Kedua ayat tersebut di atas merupakan dasar pokok toleransi dalam agama Islam yang mengandung nilai-nilai dasar atau based value dasar pandangan hidup dan perilaku hidup Islami. Rasulullah  SAW, khulafaurrasyidien dan khalifah Islam lainnya banyak memberikan contoh atau  i’tibar tentang pentingnya nilai toleransi. Diantaranya perlindungan yang diberikan kepada warga negara non muslim (kafir zimmi) setara atau tidak kurang dengan perlindungan yang diberikan kapda kaum muslimin, sampai-sampai Rasulullah SAW mengatakan “barang siapa yang berbuat zalim kepada kafir zimmi maka saya akan menjadi pembelanya nanti di hari kiamat (HR Abu Daud dan Baihaqi).
Dan dikisahkan pada suatu hari, baju besi milik Ali bin Abi Thalib terjatuh kemudian diambil oleh seorang Nasrani. Hal itu, kemudian diadukan Ali bin Abi Thalib kepada Qadhi Syuraih, maka bertanya Qadhi kepada Ali : apakah benar baju besi ini milik anda, ya Ali? Betul jawab Ali. Apakah betul baju besi itu diambil si Nasrani? Betul jawab Ali. Lalu Qadhi bertanya kepada si Nasrani : apa betul anda mengambil baju besi ini? Betul jawab si Nasrani. Apa betul baju besi ini milik Ali? Si Nasrani menjawab, tidak betul  ya Qadhi. Baju besi ini adalah milik saya sendiri. Lalu Qadhi bertanya kepada Ali (kebetulan saat peristiwa ini terjadi khalifahnya adalah Ali bin Abi Thalib), apakah anda memiliki saksi bahwa si Nasrani ini telah mengambil baju besi milik anda? Tidak jawab Ali singkat. Maka keputusan hukum yang diambil oleh sang Qadhi adalah karena anda tidak dapat membawa saksi dan tidak dapat membuktikan bahwa baju besi ini milik anda, maka pengaduan anda ditolak dan oleh karena itu baju besi ini menjadi milik si Nasrani. Melihat sikap khalifah, maka si Nasrani memeluk agama Islam.
Begitulah perilaku hidup seorang khalifah yang tidak bertindak sewenang-wenang atau otoriter, kendatipun terhadap orang Nasrani yang sudah jelas berbeda idiologi dan kepercayaan dengan khalifah. Ali bin Abi Thalib dapat saja memberikan hukuman terhadap si Nasrani karena jabtannya sebagai khalifah. Apa yang dilakukan Ali bin Abi Thalib didasarkan atas kesadaran menjaga ajaran tentang nilai-nilai toleransi dalam Islam. Sungguh sulit dilakukan oleh orang kebanyakan, tetapi tidak berarti tidak mungkin dilakukan. Bukankah rasulullah SAW telah berhasil mengkonstruksi nilai-nilai toleransi dalam masyarakat Madinah yang sekaligus dipraktekkannya. Di aras ini, tidak berlebihan kalau Roberstson sosiolog Barat mengatakan bahwa “hanya ummat Islam saja yang dapat memadukan antara semangat atau ghiroh agama dan toleransi terhadap pemeluk agama lain, sekalipun di dalam Islam sendiri terdapat satu diktum untuk membela dan menyiarkan agamanya melalui dakwah Islamiyah dan jihad.
Saat ini, nilai-nilai toleransi telah tercabut dari akarnya atau dengan kata lain manusia Indonesia telah teralienasi meminjam istilah Karl Marx dari nilai-nilai toleransi yang diakibatkan oleh tidak ada lagi kontrol individu dan di pihak lain. Disadari atau tidak, nilai-nilai luhur bangsa yang terlahir dari local values hilang tanpa bekas oleh tindak tanduk dan  telah tumbuh subur perilaku-perilaku yang menghancur luluhkan nilai-nilai integrasi bangsa, seperti pengeboman masjid istiqlal Jakarta, pengeboman Gereja pada malam Natal beberapa waktu lalu, terjadinya konflik sosial secara silih  berganti dibeberapa daerah, yang kesemuanya bermuara kepada perilaku nir-toleransi yang dipraktekkan selama ini.
Bila penganut agama lain sudah tidak lagi menghargai keyakinan yang dianut orang lain, itu sebagai pertanda bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap sunnatullah dan moralitas kenabian yang pernah di contohkan nabi Muhammad SAW di Madinah dulu. Sungguh bila hal itu terus dibiarkan terjadi, maka bukan tidak mungkin akan memunculkan konflik sosial (untuk tidak mengatakan perang agama) yang tidak berkesudahan. Bila sampai terjadi perang agama, maka dapat dipastikan bahwa toleransi yang terbangun selama ini berarti toleransi semu.
Tentu, tidak ada yang menginginkan perang agama terjadi di Indonesia. Namun, upaya-upaya ke arah itu kian terang terlihat, indikasi yang jelas tanpak, seperti penyegelan dan pengrusakan tempat-tempat ibadah, pemaksaan terhadap penganut minoritas, dan keinginan untuk membubarkan ormas-ormas yang sudah given sejak lama. Pengembangan isu-isu yang berkaitan dengan keagamaan menjadi pemicu atau misiu yang sangat ampuh untuk membikin suasana menjadi caos. Toleransi menjadi ramuan yang baik agar tidak terjebak ke dalam perangkap yang sudah di desain oleh beberapa gelintir orang yang memang sengaja bermain di air keruh.

0 komentar: