Kamis, 15 September 2011

MEMAKNAI KEMBALI PERAN POLITIK TUAN GURU


“sesungguhnya perumpamaan ulama di muka bumi, seperti bintang-bintang yang dapat dijadikan petunjuk dalam kegelapan malam, baik di darat maupun di laut. Jika bintang-bintang itu menghilang, hampir dipastikan akan tersesatlah orang-orang yang memberi (telah mendapat) petunjuk”.(HR. Ahmad dari Anas bin Malik).

Sangat indah makna yang terkandung dalam arti hadits di atas. Bintang-bintang dapat dianalogikan sebagai sosok Ulama’ atau Tuan Guru (dalam terminologi orang Sasak). Makna yang dapat diambil antara lain, bahwa ulama’ atau Tuan Guru memiliki  peranan sentral dalam masyarakat. Ulama’ atau Tuan Guru dalam masyarakat sasak dijadikan sebagai referensi atau rujukan dalam berbagai bidang kehidupan, tidak saja persoalan agama, tetapi juga persoalan sosial, politik, ekonomi hingga budaya.
Eksistensi ulama’ atau Tuan Guru merupakan lampu penerang hati, hujjah Tuhan di muka bumi, penyingkap tabir keraguan dari hati dan jiwa, penyangga iman dan pemibimbing ummat atau sederhananya bahwa ulama’ atau Tuan Guru merupakan wajah Tuhan di muka bumi dan dalam bahasa Rasulullah Muhammad SAW ulama’ atau Tuan Guru merupakan pewaris para nabi. Para ulama’ atau Tuan Guru (meminjam istilah Muhamad Sobari, budayawan LIPI) membimbing ruhani masyarakat, menjaga garis depan suara ruh yang selalu siap sedia memikul tanggung jawab atas semua peristiwa  atau persoalan keumatan.
Persoalan keumatan semakin kompleks, seperti menjamurnya aliran-aliran sesat atau bertentangan dengan ajaran Islam, kerusuhan, kemiskinan, konflik sosial yang mengarah kepada anarkisme, dan kekerasan politik. Pada aras ini, tentunya ulama’ atau Tuan Guru mestinya berada pada garda depan yang memberikan solusi untuk memecahkan persoalan-persoalan keumatan, memberikan ketenangan jiwa agar masyarakat tidak mudah terjerumus ke perilaku anarkisme dan kekersan politik. Inilah tugas berat yang dipikul oleh para ulama’ atau Tuan Guru, belum lagi persoalan dekadensi moral yang menjangkiti generasi muda saat ini.
Secara sosiologis, dapat dibaca bahwa masyarakat saat ini bergerak dan menciptakan ruang sendiri-sendiri untuk mencari makna dan pemahaman kehidupan. Masyarakat bergerak mencari peluang ekonomi dan politik sendiri-sendiri terbebas dari acuan moral dan kebenaran seakan menjadi milik perorangan atau kelompok. Jika hal ini terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin akan mengarah kepada krisis kepemimpinan dalam arti luas, termasuk kepemimpinan para ulama’ atau para Tuan Guru mulai dipertaruhkan. Pada saat yang bersamaan, justru para ulama’ atau Tuan Guru malah sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri, sibuk dengan partai politik, sibuk dengan mengeluh dan mengecam perilaku masyarakat yang semakin jauh dari ajaran moral agama. Lalu, siapa yang salah? Masyarakat ataukah para ulama’ atau Tuan Guru sendiri yang secara tidak disadari telah membikin jarak dan atau palang pintu dengan ummatnya sendiri? Bukankah para ulama’ atau Tuan Guru sebagai pewaris ajaran para nabi dan sebagai wajah Tuhan di Bumi?
Antara Peran keumatan dan Ke-Tuhanan
Kecendrungan para ulama’ atau Tuan Guru memasuki ranah politik praktis menjadi perbincangan atau diskursus yang menarik terutama semenjak kran demokrasi dibuka oleh presiden B.J. Habibie tahun 1998 yang lalu. Dibukanya kran demokrasi oleh B.J. Habibie ditandai dengan dibebaskannya masyarakat mendirikan partai politik dan terbukti pada pemilu tahun 1999 tidak kurang dari 99 partai politik yang menjadi peserta pemilu dengan berbagai latar belakang dan basis partainya. Paling tidak ada 3 alasan yang melatarbelakangi para ulama’ atau Tuan Guru tergoda ke politik. Pertama, alasan Teologis. Mayoritas ulama Sunni mengemukakan bahwa dalam Islam tidak ada pemisahan antara agama (din) dengan politik (siyasah), karena itu politik dipandang sebagian integral dari agama. Kedua, alasan moralitas, artinya ada citra yang dibangun oleh masyarakat (termasuk para ulama atau Tuan Guru) bahwa sangat sulit mencari manusia yang independen yang bisa menjembatani kepentingan rakyat dengan pemerintah dan  masih sulitnya menegakan moralitas pada domain politik. Ketiga, lebih disebabkan alasan ekonomi atau kekuasaan semata, artinya profesi politisi lebih menjanjikan dibandingkan dengan profesi lainnya.
Pilihan strategis yang dianggap oleh sebagian ulama’ atau Tuan Guru terjun ke dunia politik, telah memunculkan perdebatan di dalam masyarakat. Bagi mereka yang mendukung ulama atau Tuan Guru terjun ke dunia politik menganggap bahwa pilihan untuk terjun ke dunia politik tidak perlu dipersoalkan dan tidak ada yang salah dari sikap yang diambil ulama atau Tuan Guru, karena itu adalah hak demokrasinya selaku warga negara. Sedangkan bagi mereka yang menentang beranggapan bahwa sebaiknya ulama’ atau Tuan Guru selalu berada pada posisi netral, menjaga suara moral kenabian dan tidak berpihak kepada suatu kekuatan politik manapun agar masyarakat tidak terpragmentasi dan terkotak-kotak.
Terlepas setuju atau tidak setuju terhadap ulama’ atau Tuan Guru yang terjun ke dunia politik, namun hal penting yang harus tetapkan adalah orientasi para ulama’ atau Tuan Guru berpolitik sebaiknya diletakan pada kerangka “amar ma’ruf nahi munkar” dalam artian mengawasi dan mengevaluasi. Pada aras ini, amar ma’ruf nahi munkar yang ingin diperankan para Tuan Guru pada domain politik, sepintas kelihatannya memiliki peran signifikan karena faktisitas tatanan sosial politik Indonesia banyak yang tidak sejalan dengan moralitas kenabian atau ajaran agama. Berbagai bentuk kebobrokan yang terjadi, mulai dari tindakan a-susila  yang dilakukan anggota DPR, korupsi, KKN, pertengkaran antar anggota DPR dalam sidang paripurna beberapa waktu lalu, dan perilaku para pemimpin serta pemegang otoritas kekuasaan yang tidak berdasarkan kepada landasan moralitas kenabian dan nilai-nilai agama. Perilaku yang dipertontonkan pemegang kekuasaan terkesan semaunya, mumpung punya kuasa, bahkan yang paling parah tanpa memperdulikan terhadap kepentingan dan kesejahteraan rakyat, makanya tidak heran kalau Presiden Abdurahman Wahid atau Gusdur menyebut perilaku anggota DPR bersifat kekanak-kanakan atau mirip Taman Kanak-kanak, walaupun akibatnya sang Kiai Presiden akhirnya diturunkan dari jabatannya ditengah jalan melalui sidang istimewa MPR.
Keterlibatan ulama’ atau Tuan Guru dalam partai politik kenyataannya belum optimal dalam menjalankan misi amar ma’ruf nahi mungkar karena idealisme kontrol terhadap perilaku kekuasaan yang sewenang-wenang dan menyimpang dari aturan moral, hukum ataupun aturan agama. Malah terindikasi  para ulama’ atau Tuan Guru yang berpolitik atau menjadi anggota legislatif ikut andil dalam  beberapa bentuk penyelewengan keuangan daerah (baca korupsi berjamaah). Barangkali pada aras ini, benar apa yang diungkapkan Imam Al-Ghazali sebagai model Ulama’ al-syu’ (ulama’ busuk).
            Posisi ulama’ atau Tuan Guru masuk politik praktis, pada tataran tertentu adalah baik, selama tetap menjaga etika politik dan memegang moral kenabian atau wajah Tuhan di bumi. KH Hasyim Muzadi, ketua PBNU, dalam beberapa kesempatan mengungkapkan keprihatinannya terhadap ulama’ atau Tuan Guru yang terjun ke politik praktis. Dia tetap menginginkan agar kiai, ulama’ atau Tuan Guru tetap independen, menjaga suara moral sehingga tetap punya pikiran yang jernih dalam memberikan masukan, kritik terhadap pemerintah, tetapi bukan berarti kiai, ulama’ atau Tuan Guru awwam terhadap politik, bahkan kiai, ulama’ atau Tuan Guru harus lebih cerdas dalam memahami politik.
            Kalaupun misalnya, ulama’ atau Tuan Guru terpaksa masuk ke ranah politik praktis dengan alasan-alasan yang rasional maupun ir-rasional, maka dia harus menetapkan orientasi yang jelas untuk memperjuangkan aspirasi keumatan dan memelihara moral kenabian atau bahkan ke-Tuhanan. Hal itu penting dilakukan agar keterlibatan Tuan Guru masuk ke dalam ranah politik dapat memberikan warna yang lebih berpihak pada pembangunan yang berkeadilan dan kemanusiaan.
            Tanpa orientasi yang jelas berpihak kepada persoalan keumatan, lalu apa bedanya dengan politisi yang memang mencari nafkah lewat politik, atau jangan-jangan terjunnya para Tuan Guru kita ke ranah politik hanya semata-mata untuk kepentingan materi dan kekuasaan semata. Tapi sebagian masyarakat meyakini bahwa politik merupakan bagian dari dakwah sendiri, oleh karena itu tidak ada alasan bagi keterlibatan Tuan Guru di dalam ranah politik untuk tidak memperjuangkan nasib ummatnya. Jika tidak, bukannya rahmat Tuhan  yang diperoleh para ulama’ atau Tuan Guru tapi cemoohan, cacian, dan mungkin sumpah serapah dari ummatnya sendiri dan diaggap tidak mempunyai idealisme politik tapi malah sahwat kekuasaan dan materi  belaka yang diperjuangkan.
            Idealisme politik, etika politik ulama’ atau Tuan Guru yang memilih politik praktis sebagai jalan perjuangan menegakan amar ma’ruf nahi mungkar memang belum teruji. Namun yang perlu ditekankan adalah ketika sebuah pilihan ulama’ atau Tuan Guru terjun ke ranah politik praktis secara otomatis masuk ke dalam sistem politik yang sangat kental dengan nuansa politik rusuh, KKN, licik, saling menjegal dengan menghalalkan segala cara demi tercapai kekuasaan.
Pada aras ini, posisi ulama’ atau Tuan Guru di dalam sistem itu harus tetap terjaga integritas keulamaannya atau ke Tuan Guruannya, sebab untuk menepis citra masyarakat bahwa dunia politik itu penuh dengan intrik (meminjam istilah Iwan Fals sang penyayi balada) dan kebohongan. Pencitraan dunia politik seperti itu memang menyesatkan, lalu masalahnya siapa yang akan menggunakan alat perjuangan ini? Disinilah saya kira peran politik ulama atau Tuan Guru akan diuji dan semua kita juga berhak berjuang untuk menjaga integritas dan menjawab citra politik seperti sudah kehilangan rohnya.
            Di era multi partai seperti saat ini, memasuki partai politik merupakan kesempatan yang dinantikan, sebab di era Orde Baru alat perjuangan itu hanya tiga partai (Golongan Karya, PPP, dan PDI) sedangkan di era transisi menuju demokrasi saat ini terdapat 24 partai politik yang mengikuti pemilu tahun 2004 yang lalu atau dengan kata lain bahwa saat ini memasuki era multi partai dengan berbagai label partai. Ulama’ atau Tuan Guru perlu menyadari bahwa pilihan terjun ke dunia politik praktis bukan tanpa resiko, bukankah di dalam politik pilihannya hanya dua; menang atau kalah, hancur berkeping-keping atau berkuasa. Jika tidak memilih, berarti siap untuk tidak menang; dengan memilih tentunya harus berdasarkan kalkulasi dan pertimbangan yang matang.
            Ulama’ atau Tuan Guru identik dengan pesantren, seorang Tuan Guru akan lebih afdhol ke-Tuan-guruannya bila mempunyai pesantren. Namun ketika Tuan Guru telah memilih untuk menerjuni dunia politik, lalu bagaimana nasib pesantren? Bukankah eksistensi Tuan Guru lahir dari sebuah konstruksi sosio-religius yang cukup lama? Bagaimana bisa membagi antara kepentingan kekuasaan dengan ummat? Akankah menerjuni dunia politik membawa berkah bagi pesantren atau malah mudhoratnya lebih banyak? Saya kira, para tuan-gurulah yang lebih berhak menjawabnya.
            Memang harus diakui bahwa, ulama’ atau Tuan Guru mempunyai nilai tawar dan nilai politik tinggi seakan potensi atau nilai lebih yang dimiliki telah menjadi magnet tersendiri, sehingga tidak heran banyak politisi dan partai politik memanfaatkan potensi itu. Para elit politik secara bergantian datang ke pesantren untuk memperoleh dukungan para Tuan Guru dan pengikutnya, sumbangan dan bantuanpun mengalir ke pesantren dan secara fisik pesantren yang berafiliasi dengan partai politik tertentu nampak maju serta bangunannya pun banyak yang berlantai dua bahkan lebih, apakah ini berkah? Terserah saja, apapun penilaian kita sah-sah saja, bukan.
            Kesadaran politik para ulama atau Tuan Guru semakin berkembang dan seiring dengan kesadaran politik itu, peran  politik para ulama atau Tuan Guru pun semakin besar, terbukti dengan semakin banyaknya para Tuan Guru yang turun gunung memasuki dunia politik dengan suatu idealisme ingin memperbaiki sistem dan berdakwah lewat politik. Idealisme semacam ini, juga diperankan oleh seorang Gatot Koco (putra  Bima dari keluarga Pandawa) dalam cerita pewayangan dengan lakon “Mahabarata” yang turun dari angkasa ikut berperang membantu Pandawa lima dengan kurawa untuk memperjuangkan sebuah idealisme penegakan kebenaran, walaupun pada akhirnya dada Gatot Koco tertembus panah saudaranya sendiri.     
Palang Pintu Politik
            Secara normatif, paling tidak ada 2 tujuan para ulama’ atau Tuan Guru menerjuni dunia politik praktis. Pertama, ibadah kepada Allah. Konsep ibadah dalam Islam mempunyai makna yang sangat luas, yakni segenap aktivitas hidup yang tidak melanggar hukum Tuhan dengan dilandasi keimanan dan semata-mata mengharap ridha Allah. Kedua, memberikan benteng moralitas. Perilaku para politisi sudah banyak yang menyimpang dari koridor moralitas kenabian atau keagamaan, karena yang terpenting dalam dunia politik adalah tercapai tujuan untuk kekuasaan.
            Pada aras inilah, peran yang harus dimainkan oleh para ulama’ atau Tuan Guru yang menerjuni dunia politik. Dia harus mampu memberikan warna yang positip dalam kondisi ajaran moralitas kenabian atau keagamaan yang sudah tercampakkan, tidak diindahkan, seolah ajaran moralitas kenabian atau keagamaan hanya dianggap sebagai lipstick semata, inilah tugas berat yang diemban para ulama atau Tuan Guru, mampukah? Wallahu a’lam.
            Apapun pilihan yang telah diambil oleh para ulama atau Tuan Guru, namun satu hal yang penting diingat bahwa mereka harus mampu memainkan peran lebih yang tidak pernah dimainkan oleh elit politik, menerapkan hight politics dan kecerdasan dalam berpolitik, karena beban yang diembannya juga cukup berat yakni ingin memperbaiki sistem dan berdakwah lewat politik, kelihatannya sangat idealis, tapi itulah pilihan yang harus dihormati dalam sebuah sistem yang demokratis, tentu sah-sah saja khan.
            Hight politics dan kecerdasan dalam berpolitik wajib hukumnya secara politik dimainkan oleh para ulama’ atau Tuan Guru, sebab kalau tidak, rasanya akan sulit untuk merealisasikan idelisme-idealismenya, malah sebagian kita sangat khawatir jangan-jangan malah terjebak ke dalam labelling atau tukang do’a semata. Artinya keberadaan ulama’ atau Tuan Guru di ranah politik semata-mata sebagai palang pintu politik dan penguat segala kebijakan agar dikatakan pro rakyat, agamis (baca bernuansa agama). “Subhanallah”.
Jika ini yang terjadi, apakah tidak sebaiknya para ulama’ atau Tuan Guru kembali ke dunianya yang sejati, dunia eksistensi yang merupakan lampu penerang hati, hujjah Tuhan di muka bumi, pewaris nabi, penyingkap tabir keraguan dari hati dan jiwa, penyangga iman dan pemibimbing ummat atau sederhananya bahwa ulama’ atau Tuan Guru merupakan wajah Tuhan di muka bumi?.
            Dunia keulama’an atau ketuanguruan adalah dunia eksistensi, dunia kesejatian yang lahir dari sebuah rekonstruksi keummatan yang cukup lama dan seharusnya dipelihara dari segala bentuk virus yang akan menggerogoti eksistensi atau kesejatiannya. Akal sehat kita sebagai ummat belum bisa menerima “Tuan Guru kok ikutan korupsi ya”, malah menciptakan istilah “korupsi berjamaah” terus terang ini kan merusak eksistensi dan dunia kesejatian itu sendiri. Semoga saja para ulama’ atau Tuan Guru kita mau berfikir ulang dan kembali ke dunianya yang sejati serta tidak ternodai oleh sahwat politik kekuasaan yang semakin menggoda dan seksi.  Atau kalau tidak, para ulama’ atau tuan guru harus mampu memainkan hight politik, memelihara moral kenabian atau wajah Tuhan di bumi ini, agar bisa melahirkan suatu masyarakat madinah (masyarakat plural dan toleran) di bumi pertiwi Indonesia tercinta. Semoga saja.

0 komentar: