Kamis, 15 September 2011

REKONSTRUKSI BUDAYA DENGAN PRINSIP KEDAMAIAN


Secara obyektif problem sosial di Indonesia dewasa ini sudah sedemikian parah. Masyarakat Indonesia saat ini sedang di landa penyakit sosial yang sangat ganas yaitu kekerasan dan konflik sosial. Kekerasan muncul di beberapa daerah seperti Ambon, Aceh, Pontianak, Sulawesi Tengah dan NTB. Pada umumnya kekerasan muncul di daerah-daerah yang  mempunyai  problem-problem sosial yang parah, seperti kemiskinan massal, ketimpangan ekonomi dan ketidak adilan sosial, menghadapi problem kehidupan. Akibat tekanan yang demikian, masyarakat cepat putus asa. Kekerasan yang muncul belakangan ini, bagi sebagian orang dianggap sebagai kejadian biasa. Dengan kata lain, problem sosial itu diterima secara falsafiah tapi masyarakat, umumnya berpendapat bahwa problem-problem sosial itu membawa kerisauan yang bukan tak mungkin akan mengantarkan bangsa ini kepada disintegrasi bangsa.
Secara psikologis, kita memiliki kecendrungan menekan keadaan-keadaan tersebut ke dalam dunia bawah sadar kita. Bukan saja oleh karena kita mengira bahwa dengan demikian kita akan dapat menghindarkan konflik-konflik yang lebih tajam, melainkan juga karena kita sesungguhnya enggan mengakui faktisitas tersebut. Pada hakekatnya konflik-konflik sosial yang terjadi selama ini adalah sesuatu yang menodai jiwa dan semangat gotong royong yang sangat kita junjung tinggi, sesuatu yang menodai jiwa dan semangat “bhineka Tunggal Ika” yang kita muliakan.
Setiap hari kita mendengar atau membaca melalui media cetak maupun media elektronik adanya pembunuhan, peperangan, kerusuhan dan konflik sosial. Masalah kelaparan dan kemiskinan di negara-negara sedang berkembang termasuk di Indonesia tak kunjung habis, kesemuanya merupakan kekerasan. Akibat kekerasan ini  jelas memerosotkan derajat manusia  karena tidak mempunyai kebebasan untuk mengungkapkan, meralisasikan, serta memperkembangkan diri lebih leluasa. Penyebabnya tidak hanya tindakan kekerasan nyata tetapi juga kekerasan struktural yang represif, tidak adil, eksplotatip yang menyatu dengan struktur itu sendiri.
Mekanisme psikologis yang demikian itu, justru akan membawa kepada lingkaran konflik-konflik yang semakin mendalam dan sulit diatasi. Pada aras ini, kita justru akan menghilangkan kepekaan untuk melihat perkembangan-perkembangan yang justru dapat mematangkan situasi konflik. Menyelesaikan konflik yang terjadi di Indonesia selama ini adalah bagaikan memasukan api ke dalam sekam. Semenit saja kita terhipnotis oleh anggapan bahwa konflik-konflik sosial yang terjadi telah dapat diselesaikan dengan jiwa dan semangat gotong royong atau bhineka tinggal ika tetapi menjadi sangat terkejut oleh kenyataan bahwa konflik yang sangat dahsyat terjadi.
Di samping itu, faktisitas menunjukan bahwa kekerasan struktural dan kualitas hidup, seperti kemiskinan, pengangguran, melebarnya batas sosial ekonomi, pelanggaran HAM merupakan problem sosial masyarakat yang given. Dalam menghadapi problem sosial masyarakat yang demikian itu menurut hemat penulis dibutuhkan suatu kedewasaan berfikir masyarakat termasuk para elit politik, elit masyarakat, tetapi sayangnya lebih banyak dihadapi dengan kekerasan akibatnya tercipta suatu vicious circle atau lingkaran setan kekerasan dibalas dengan kekerasan. Jarang ditemukan praktek nir-kekerasan dari ihtiar mencari alternatif nir-kekerasan. Yang dimaksud dengan nir-kekerasan adalah suatu upaya penyelesaian konflik sosial atau kekerasan dengan cara damai.
Masyarakat Indonesia membutuhkan alternatif pemecahan masalah kekerasan dengan cara-cara damai, bijaksana dan arif, sebagaimana Gandhi pernah melakukannya di India. Pada dasarnya masyarakat Indonesia tidak menyukai atau atau terpaksa dan kecewa setelah melakukan kekerasan karena akibatnya akan merugikan diri dan komunitasnya. Karena itu, prinsip nir-kekerasan sebagai alternatif pemikiran perlu diperkenalkan sebagai pengganti cara-cara konvensional kekerasan itu. Harus diakui masyarakat Indonesia kurang memiliki budaya nir-kekerasan dalam menyelesaikan konflik atau kekerasan. Ini disebabkan karena pandangan masyarakat mengenai konflik sebagai sesuatu yang tidak bisa dielakan. Atau dengan kata lain, masyarakat umumnya melihat konflik sebagai menang-kalah daripada pemikiran positivisme game sum. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat lebih menonjolkan sikap kompetensi daripada kerjasama dalam setting kehidupan, sosial ekonomi dan politik. Persoalannya adalah apakah masyarakat Indonesia tidak memiliki nilai-nilai budaya nir-kekerasan? Atau kalau memang nilai-nilai budaya itu sudah given dalam masyarakat Indonesia?. Lalu apakah masyarakat Indonesia tidak terbiasa menggunakan cara-cara nir-kekerasan untuk menyelesaikan konflik sosial dan kekerasan?.
Harus diakui bahwa nir-kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik sosial masih masih merupakan mahluk planet yang perlu dibumisasikan atau diperkenalkan. Sebab nir-kekerasn sebagai suatu alternatif penyelesaian konflik sosial atau kekerasan sangat mendesak untuk diterapkan mengingingat banyak korban jiwa dalam setiap tindakan kekerasan yang terjadi atau yang mungkin akan terjadi. Pada dasarnya prinsip nir-kekerasan merupakan suatu idealitas para filosof yang mendambakan kedamaian dalam masyarakat. Kedamaian merupakan esensi penting kebutuhan hidup manusia dan tidak adanya kekerasan, baik kekerasan personal maupun struktural (Galtung, 1988).
Prinsip nir-kekerasan dikemukakan pertama kali oleh Mohandes K. Gandhi (seorang idealis praktis) yang diilhami oleh filsafat Hindu dan tradisi India Kuno. Ada dua konsep penting dalam pandangannya tentang prinsip nir-kekerasan yaitu satyagraha dan ahimsa. Satyagraha adalah kekuatan jiwa atau power of soul sedangkan ahimsa adalah cara untuk melakukan satyagraha itu.
Memang tidak semudah yang dipikirkan untuk menerapka prinsip nir-kekerasan di Indonesia. Untuk mencapai tujuan itu ada hambatan juga peluang dalam masyarakat yang perlu dicermati. Hambatan terbesar adalah kekerasan struktural yang berlangsung dimasyarakat seperti kekersana politik, sosial dan ekonomi.
Sumber kekerasan struktural di Indonesia selama ini adalah kuatnya hegemoni dan dominasi negara terhadap masyarakat (Sutrisno,1988) pemerintahan di bawah presiden Soeharto, misalnya sangat terkonsentrasi pada  lembaga birokrasi dan militer yang sangat menekankan pelaksnaan pembangunan ekonomi nasional. Paling tidak ada dua posi yang berkembangan selama pemerintahan Orde Baru dalam rangka menangani kriminalitas akibat kemiskinan dan kesenjangan ekonomi. Pertama. Pendekatan pembangunan komunitas perkotaan. Kedua. Dengan menembak saja dan menghabisis nyawa mereka yang menganggu jalannya roda pembangunan (Triyono,1988).
Dari kedua cara tersebut diatas, sepertinya cara kedua yang paling banyak dilakukan oleh presiden Soeharto waktu itu, hal ini dapat dibuktikan dari kebijakan pemerintah ORBA untuk melakukan penembakan misterius atau petrus.
Sedangkan peluang terbesar prinsip nir-kekerasan adalah adanya potensi sumberdaya sosial  budaya yang dimiliki masyarakat Indonesia. Hal inilah yang perlu digali dari masyarakat yang akan mendukung prinsip nir-kekerasan dan upaya menemukan potensi kultural serta praktik sosial itu jelas akan memberikan sumbangan yang berharga terhadap perkembangan nir-kekerasan di Indonesia.
Dalam kebudayaan jawa terdapat  banyak sekali dictum atau local terminology yang mendukung prinsip nir-kekerasan, seperti mikul dhuwur mendem jero (walaupun sering dipolitisir oleh Soeharto), ngono – ngono nek ojo ngono, tepo seliro. Sementara di masyarakat Sasak ada sistem nilai budaya yang disebut patuh yang berarti rukun, manunggal, damai dan telu warne sopok darak.
Karena itu, perlu dilakukan rekonstruksi budaya untuk menemukan prinsip nir-kekerasan yang ada disetiap daerah yang tersebar di beberapa komunitas  Indonesia dan untuk kemudian dibumisasikan meminjam istilah Prof. Quraish Shihab. Bukankah nilai sosial budaya (termasuk agama) sudah given di dalam masyarakat Indonesia? Pembumisasian nilai sosial budaya itu akan menjadi resep yang ampuh untuk meredam segala bentuk tindakan kekerasan dan konflik sosial yang terjadi di Indonesia selama ini. Tinggal bagaimana melakukan sosialisasi nilai-nilai lokal anti kekerasan terhadap masyarakat Indonesia agar menjadi masyarakat yang membudayakan nilai-nilai nir-kekerasan sebagaimana Mohandis Mahatma Gandhi di India.

0 komentar: