Minggu, 18 September 2011

Perguruan Tinggi Pesantren Sudah Mulai Kehilangan Orientasi


Hari Selasa (13-9-2011), saya memberikan materi Orientasi Cinta Almamater (Oscar) atau oreintasi pengenalan kampus di kampus IAI Qamarul Huda Bagu, Lombok Tengah, NTB. Dalam acara oscar itu, saya sampaikan rasa keprihatinan terhadap fenomena mulai memudarnya nilai-nilai kepesantrenan pada Perguruan Tinggi Pesanter (PTP). Nilai-nilai itu menyangku perilaku, adab sopan santun, memudarnya budaya akademik, etiket berpakaian, dan orientasi hidup. Memudarnya nilai-nilai kepesantrenan itu, mungkin disebabkan oleh orientasi dari masyarakat yang masuk ke Perguruan tinggi sangat pragmatis yakni untuk mendapat pekerjaan layak dan gaji yang memadai. Tentu masih ada yang idealis untuk memperdalam ilmu pengetahuan, tetapi kuantitasnya sangat sedikit. Permasalahannya, pragmatisme masyarakat itu membawa pengaruh besar pada PTP kita?

Cita PTP selama ini dapat melahirkan ulama-ulama yang ahli dalam Islam dan memberikan warna serta wajah Islam yang damai, demokratis, dan toleran. Melahirkan ulama-ulama intelek dengan membawa misi suci itu diharapkan terlahir dari STAIN, IAIN, UIN, dan PTAIS yang ada. untuk membumisasikan misi suci itu, Perguruaan Tinggi yang berbasis Pesantren harus mampu mengelaborasi dan mengembangkan nilai-nilai kepesantrenan dalam sistem pendidikan, baik itu melalui kurikulum, pembentukan Pesantren Mahasiswa, Lembaga Kajian kitab, dan lainnya. Dalam kaitan ini, apresiasi harus diberikan kepada Profesor Imam Suprayogo, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim, Malang telah melakukan inovasi-inovasi membangun Pesantern Mahasiswa. Langkah Profesor Imam Suprayogo tersebut kini banyak diikuti dan diamini oleh beberapa IAIN dan UIN, seperti IAIN Sunan Ampel Surabaya (kini persiapan menuju UIN) membangun Pesantren Mahasiswa di bawah kepemimpinan Profesor Dr. H. Nursyam, M.Si.

 Civitas akademika, lebih khusus Mahasiswa sebagai salah satu pilar keadaban harus menyadari bahwa memasuki perguruan tinggi sebagai proses belajar untuk menjadi manusia paripurna atau Insan Kamil (meminjam istilah Muhammad Iqbal) saat keluar dari pembelajaran di Perguruan Tinggi Pesantren. Jika kesadaran itu tidak tertanam dari sekarang besar kemungkinan akan menjadi sarjana tidak siap pakai (mungkin kuliah dianggap sebagai proses formalitas yang tinggal menunggu tibanya waktu wisuda). Jika kesadaran itu yang tertanam, maka PTP dan lainnya perlu kerja ekstra keras untuk dapat merubahnya dan menciptakan suatu sistem yang dapat terus memacu semangat mahasiswa. Fenomena itu sudah tidak bisa disangkal, walaupun belum ada hasil penelitian yang menyatakannya.

Mahasiswa sebagai pilar keadaban harus mampu menyatukan dan mendayagunakan tiga pilar potensi manusia yakni nizhomul akli, nizhomil qolbi dan nizhomul amal. Tiga potensi yang dimiliki manusia tersebut mesti mampu disatukan untuk menjadi Insan Kamil. Akal harus diberikan kebebasan berfikir tentang segala sesuatu, tetapi kontrol qolbu harus jalan agar tidak salah arah, dan begitu sebaliknya. Kemampuan menyeimbangkan antara akal dan qolbu dapat menghasilkan peradaban itulah amal. Jika ketiga pilar potensi keadaban tersebut dapat dibangun, maka melahirkan pemikir-pemikir baru yang menghasilkan karya monumental seperti Al-Faraby, Imam Al-Ghazali, Ibn Sina, dan para Imam Mazhab menjadi sesuatu yang sangat mungkin.

Oleh karena itu, PTP sebagai pengelola pendidikan tinggi yang ada di Pesantren atau PTAIN yang memiliki Pesantren Mahasiswa harus mempu membangun suatu sistem budaya akademik yang sudah mulai memudar. Budaya akademik yang saya maksudkan adalah kasratul tilawah wa muzakarah, kasratul tafakkur, kasratul sodaqah, dan kasratul amal. Diakui atau tidak budaya akademik tersebut sudah mulai kehilangan wadahnya dan sistem kejar semalam (SKS) menjadi budaya baru untuk mendapat nilai akhir dari pembelajarannya. Jika, hal itu terus dibiarkan pasti akan berdampak kepada orientasi suci Perguruan Tinggi sendiri. Mencitakan Insan Kamil sudah pasti berada dalam dunia mimpi semata. Akibatkan Insan Kamil hanya tinggal menjadi perbincangan yang tidak jelas ujung pangkalnya.

Lalu, bagaimana melakukan pembenahan? Untuk meningkatkan dan menumbuhkan tilawah wa muzakarah Perguruan Tinggi Pesantren harus menyediakan sumber belajar atau perpustakaan yang memadai. Saya teringat saat satu bulan berada di National University of Singapore (NUS) untuk mengikuti program writing academik kerjasama dengan Direktur Pendidikan Islam, Depag RI. Kami sangat kagum (bukan membela tapi itulah faktanya) bahwa satu pusat studi di NUS mempunyai perpustakaan yang sangat lengkap dan tidak pernah kami bayangkan. Perpustakaan yang sempat kami kunjungi waktu itu adalah Pusat studi Asia Tenggara dan Perpustakaan Pusatnya. Rasanya, waktu 12 jam setiap harinya berada di perpustakaan terasa begitu cepat berlalu, karena literatur yang dibutuhkan tersedia. Jadi, membudayakan  tilawah wa muzakarah harus didukung oleh perpustakaan yang memadai. Saya fikir, budaya tilawah wa muzakarah menjadi pintu masuk kepada budaya tafakkur, sodaqah, dan amal.

Masalahnya sekarang, bagaimana pengelola PTP melakukan elaborasi dan mensinergikan nilai-nilai kepesantrenan, pilar potensi keadaban, dan amal agar terlahir Insan Kamil yang mampu membawa pencerahan bagi ummat manusia. Memudarnya nilai-nilai kepesantrenan dan budaya akademik itu harus  kembali dibudayakan dengan jalan menyediakan sumber-sumber belajar dan media pembelajaran yang memadai sesuai dengan kebutuhan. Ingatlah bahwa lonceng persaingan bebas di era global sudah dibunyikan. Menjadi pemenang atau pecundang saangat tergantung pada kemampuan sendiri. PTP yang tidak mampu bersaing akan menjalani jalannya sendiri. Wallahul Musta’an ila Darussalam.


*********

0 komentar: