Kamis, 15 September 2011

Fenomena Radikalisme dalam Pilkadasung


A. Pendahuluan
           
Salah satu inti pokok keluarnya undang-undang 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah adalah keikusertaan calon perseorangan menjadi peserta pemilihan umum kepala daerah dan wakil kepala daerah dan untuk mengatur secara teknis tentang calon perseorangan Pemerintah mengeluarkan PP Nomor 49 Tahun 2008 pengganti atas PP Nomor 6 Tahun 2005. Kemudian, KPU mengeluarkan Peraturan Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Teknis pelaksanaan pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Keluarnya peraturan perundang-undangan tersebut di atas, membawa perubahan signifikan pada pemerintahan di daerah dari pola pemerintahan yang sentralistis menjadi desentralistis membawa pergeseran lokus kekuasaan dari pusat ke daerah, termasuk pula perluasan kewenangan politik di tingkat lokal. Hanya saja, semangat desentralisasi pada realitasnya tidak diimbangi oleh pertumbuhan demokratisasi di tingkat lokal dan memunculkan banyak banyak persoalan.
Pelaksanaan Pemilu Gubernur dan wakil gubernur provinsi Nusa Tenggara Barat yang bersamaan waktunya dengan pemilu Bupati dan Wakil Bupati Lombok Timur, dan Pemilu Wali Kota dan Wakil Walikota Bima,  tanggal 19 Mei 2008 yang baru lalu, merupakan hasil dari proses penerapan perundang-undangan di atas. Hanya saja, sebelum pelaksanaannya ada kecendrungan suhu perpolitikan di daerah ini semakin memanas dan munculkan fenomena penggunaan simbol-simbol keagamaan sebagai sebuah justifikasi. Hal itu_ bisa dilihat dari bermunculannya pusat-pusat komunikasi para bakal calon kepala daerah. Pada satu sisi, ada kehawatiran dari sebagian masyarakat menjelang pemilu kepala daerah akan ada sejumlah partai politik melakukan politisasi simbol-simbol sosial termasuk agama, terutama oleh partai-partai politik yang menjadikan agama sebagai identitas politiknya dan ditambah lagi ada tokoh agama yang sudah mulai muncul sahwat politiknya untuk mencari keberuntungan menjadi kepala daerah. Politisasi agama adalah pemanfaatan idiom-idiom keagamaan yang secara langsung digunakan dalam perjuangan politik untuk meraih kekuasaan politik, baik pada aras rasionalisasi, legitimasi dan sampai kepada manipulasi pesan-pesan ajaran untuk kepentingan politik.
Dilihat dari kacamata sosiologi, politisasi agama wajar adanya, sebab masyarakat Indonesia dikenal sebagai masyarakat yang religius dan taat beribadah, tentunya agama dianggap sebagai identitas komunal yang paling fundamental. Dalam konteks dakwah Islamiyah misalnya, untuk mewujudkan suatu masyarakat yang religius, politisasi agama juga memiliki legitimasi yang kuat selama perjuangan politik untuk menegakkan kebenaran dan membangun suatu masyarakat yang dalam berperilaku dilandasi oleh nilai-nilai religius. Namun perlu disadari bahwa penggunaan dan pemanfaatan simbol-simbol atau idiom-idiom keagamaan, selain mempunyai nilai positif untuk menegakan kebenaran, juga mepunyai nilai negatif yang dapat mengarah kepada penguatan radikalisasi politik atau  semakin menguatnya perilaku politik yang bersifat antagonistik dan bahkan konflik untuk memperjuangkan kepentingan politik.
Persoalan etnisitas juga bisa menjadi misiu yang tak kalah hebatnya sebagai penyebab terjadinya konflik antar pendukung pasangan calon kepala daerah. Sehingga jauh-jauh hari perlu ada kalkulasi politik yang mesti diperhatikan oleh elit-elit partai politik dalam menentukan pasangan calon Gubernur dan wakil gubernur yang akan datang. Walaupun misalnya, etnis Sasak menjadi etnis yang terbesar di NTB tentunya tidak bisa memaksakan diri untuk berpasangan dengan sesama etnisnya, sebab NTB terdiri dari dua kepulauan yakni pulau Lombok dan pulau Sumbawa dan begitu juga dengan etnis lainnya. Jika ini dipaksakan bukan tidak mungkin akan melahirkan kekerasan politik, oleh karena itu perlu kedewasan politik dalam penentuan pasangan bakal calon kepala daerah.
Politisasi agama dan  perbedaan etnis merupakan unsur yang cukup dominan dalam mengangkat konflik menjadi kekerasan terbuka, hal ini terjadi karena dalam waktu yang bersamaan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik cendrung melemah sebagai akibat dari tekanan liberalisasi atau integrasi global. Persoalannya menjadi semakin runyam manakala kontrak-kontrak sosial memberi peluang kriteria-kriteria religius dan etnik tertentu dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi dan politik. Akibatnya, kekerasan struktural politik akan memberi peluang bagi satu identitas politik untuk membangun karakter dan mendominasi kompetisi politik.
Perilaku politik yang diperagakan oleh pasangan calon yang kalah dalam pemilu gubernur dan wakil guberur Sulawesi Selatan dan Maluku_Utara dapat dijadikan sebagai referensi semakin menguatnya perilaku politik antagonistik untuk memenangkan kekuasaan serta simbol-simbol sosial termasuk agama dijadikan sebagai legitimasi, walaupun memang ada kecurangan-kecurangan yang terjadi sehingga KPU Pusat sampai mengambil alih proses penghitungan suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara dan akhirnya dimenangkan oleh Pasangan Abdul Gafur (namun dianulir oleh Mahkamah Agung karena dianggap KPU pusat melanggar aturan)[1]. Pada aras ini harus diakui, itulah realitas perilaku politik di negeri ini, masih kental dengan pemanfaatan simbol-simbol atau idiom-idiom sosial untuk mencapai tujuan politik dan pada akhirnya dapat mengarah kepada proses radikalisasi politik yang bersifat antagonistik. Akibat penciptaan suasana yang penuh pertentangan itu, lahirlah berbagai tindak kekerasan politik baik pada aras psikologis maupun fisik sebagaimana disinyalir oleh Mapinawang ketua KPU Sulawesi Selatan.
Secara prosedural, ada beberapa daerah yang sukses melaksanakan Pemilu Kepala Daerah yang berlangsung damai dan melahirkan pemimpin yang terpilih secara demokatis. Tetapi demokrasi bukan persoalan prosedur, melainkan sebuah komitmen untuk menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai terbaik yang melekat pada seseorang atau komunitas. Kita baru menyentuh aspek prosedural dari demokrasi,  Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syahida Jakarta) dalam “Workshop Civic Education” di Malang beberapa waktu yang lalu, tetapi belum memasuki esensi serta membangun kultur demokrasi yang memerlukan sikap toleran atau belum siap kalah, serta melindungi hak-hak asasi warga negara. Pemilu kepala daerah yang diharapkan menjadi gerbang kesejahteraan rakyat lokal hanya dijadikan perebutan kekuasaan raja lokal untuk meraih kekuasaan, walaupun melakukan tindakan anarkis. Persoalannya adalah mengapa fenomena radikalisme dan politisasi agama menjadi begitu dominan dalam pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah?
Kecendrungan radikalisasi politik makin menonjol menjelang pelaksanaan pemilu kepala daerah selama ini  (tidak terkecuali di Nusa Tenggara Barat), terlebih lagi dengan munculnya figur Tokoh Agama[2], yang menjadi bakal calon Kepala Daerah. Sulit membayangkan sekiranya figur Tokoh Agama kalah dalam pemilihan Kepala Daerah, apakah pada aras ini, masyarakat pendukungnya akan serta merta menerima kekalahan itu dengan sabar atau legowo dengan mengedepankan nilai-nilai kesabaran sebagai bentuk pembelajaran dari Tuhan  atau malah sebaliknya hancur-hancuran, anarkisme, fanatisme ketokohan, yang akhirnya menodai agama sendiri.  Kecendrungan perilaku radikal itu dapat dilihat dari beberapa kemungkinan; pertama. Marginalisasi politik yakni ketika  kekuatan politik tertentu merasa terpinggirkan atau tersisih dari arus besar (mainstream) kekuasaan politik. Kedua, faktor bawaan dari sebuah budaya sebagai produk dari idiologi politik yang berwatak fundamentalis. Ketiga, faktor keterancaman politik, bahwa kelompok politik yang bersangkutan merasa memperoleh pesaing dari berbagai pihak dalam proses perebutan kepentingan politik (Haedar,1999). Bila kecendrungan radikalisasi politik terus berlangsung, justru akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan demokratisasi di tingkat lokal yang  diinginkan bersama.
Perilaku yang sarat dengan pertentangan politik lebih diakibatkan oleh penciptaan suasana yang langsung maupun tidak langsung, inilah sebenarnya yang dimaksud dengan kakekat radikalisasi politik. Akibat langsung dari penciptaan suasana yang penuh potensi pertentangan itu lahirlah berbagai jenis kekerasan politik, baik pada aras psikologis maupun fisik, seperti bentrok antar pendukung pasangan calon yang kalah, pengrusakan dan pembakaran pasilitas umum, termasuk tempat ibadah serta tindakan anti-demokratis lainnya. Perilaku radikal dalam politik sudah menjadi citra dan virus yang semakin lama akan menggerogoti proses demokrasi yang menjadi cita bersama dan tentunya perlu langkah antisipasipatif agar kecendrungan menempuh cara-cara yang kasar bahkan sampai benturan fisik dalam rolling kepentingan politik tidak sampai merusak cita demokrasi. Meminjam istilah kang Muhammad Sobari,  radikalisasi politik lahir dari proses pembudayaan yang secara sadar atau tidak dipelajari masyarakat dari para elit politik.
Dari beberapa daerah yang melakukan pemilu Kepala Daerah mulai kurun waktu  tahun 2005 sampai tahun 2010, ada beberapa gejala yang bisa dicermati. Pertama, kekerasan bahasa politik seperti terbaca dalam brosur, buletin, spanduk, ceramah, dan berbagai bentuk komunikasi politik lainnya yang vulgar, kasar dan dapat menjadi pemicu ketegangan psikologis antar pendukung partai politik. Kedua, gejala yang palin kentara ialah pertentangan antar pendukung partai politik yang mengakibatkan bentrokan fisik yang berujung pada jatuhnya korban. Ketiga, persaingan yang makin kuat, yang melahirkan konflik politik yang melampaui batas-batas toleransi dan berakibat pada rusaknya hubungan antar kelompok etnis, agama, dan kelompok politik.
Akar persoalan lain yang cukup dominan adalah menguatnya “passion politique” meminjam istilah J. Benda, yaitu kegairahan atau sahwat politik yang memungkinkan orang bangun dan memusuhi orang lain[3]. Sahwat politik ini menampakan diri dalam politik kekuasaan yang menjangkiti para elit politik sampai tokoh agama yang pada akhirnya pola politik ini, diamini oleh masyarakat luas dan seolah menjadi sebuah kultur politik Indonesia dewasa ini.

B. Perspektif  Teori Sosial
1.      Teori Fungsionalisme Struktural
Kerangka berpikir teori ini, melihat masyarakat sebagai suatu sistem dinamis yang terdiri dari subsistem-subsistem yang saling berhubungan antara yang satu dengan lainnya. Teori ini memandang bahwa subsistem tersebut memilikikonsekuensi-konsekuensi bagi yang lainnya dan untuk sistem secara keseluruhan. Melalui teori struktural fungsionalisme tokoh agama yang dianggap memiliki fungsi yaitu sebagai ulama dan pengayom ummatnya. Fungsi-fungsi tersebut membawa konsekuensi tertentu bagi anggota pondok pesantren dan masyarakat umumnya, terlebih lagi bagi partai politik.
Tokoh teori Fungsionalisme struktural adalah Talcott Parson dan teori ini menekankan pada keteraturan atau order dengan konsep utamanya fungsi, disfungsi, fungsi laten, fungsi manifest dan keseimbangan atau equilibrium.  Fungsi dalam teori ini adalah akibat yang dapat diamati yang sesuai dalam suatu sistem.
2.      Teori Tindakan
Max Weber mengemukakan bahwa ada lima ciri objek penelitian sosiologi yang terkait dengan tindakan sosial, yaitu:
a.       Tindakan manusia yang menurut si aktor mengandung makna subjektif  yang meliputi berbagai tindakan nyata.
b.      Tindakan nyata bersifat membantu yang sepenuhnya dan bersifat subjektif.
c.       Tindakan yang meliputi pengaruh positif  dari suatu situasi, tindakan yang sengaja diulang dan tindakan dalam bentuk persetujuan secara diam-diam.
d.      Tindakan itu diarahkan pada seseorang atau kepada beberapa individu.
e.       Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang lain itu[4].
Weber dalam mempelajari tindakan sosial dengan penafsiran dan pemahaman (interpretative understanding atau verstehen). Dalam tulisan ini, penulis akan mengintrepretasikan tindakan si aktor, memahami motif  dari tindakan si aktor. Ada beberapa klasifikasi perilaku sosial menurut Weber yaitu:
a.       Kelakuan yang diarahkan secara rasional kepada tercapainya suatu tujuan;
b.      Kelakuan yang berorientasi kepada suatu nilai seperti estetis, politik, keagamaan, dan lainnya.
c.       Kelakuan yang menerima orientasinya dari perasaan atau emosi seseorang.
d.      Kelakuan yang menerima arahnya dari tradisi (kelakuan tradisional)[5].
Kemudian Max weber membedakan empat macam rasionalitas yang mendasari   tindakan sosial. Semakin rasional tidakan sosial akan semakin mudah dipelajari. Keempat macam rasionalitas tindakan tersebut adalah:
a.       Instrumentally rational (Zweckrational) yaitu tindakan sosial murni, dimana si aktor tidak hanya menilai cara terbaik untuk mencapai tujuannya, tetapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri. Bila aktor berkelakuan dengan cara yang paling rasional, maka mudah untuk memahami tindakannya tersebut.
b.      Value rational (Werkrational). Dalam tindakan tipe ini, aktor tidak dapat menilai_ apakah cara-cara yang dipilihnya itu merupakan sebuah cara yang paling tepat ataukah lebih tepat untuk mencapai tujuan yang lain (menunjuk kepada tujuan itu sendiri). Dalam tindakan ini, memang sukar untuk membedakan antara tujuan dan cara-cara untuk mencapainya. Hanya saja, tindakan ini rasional, karena pilihan terhadap cara-cara kiranya sudah menentukan tujuan yang dikehendaki dan masih bisa dipertanggungjawabkan.
c.       Affectual (especially emotional), merupakan tindakan yang dibuat-buat dan sangat dipengaruhi oleh emosi dan kepura-puraan si aktor. Tindakan ini sukar dipahami dan kurang atau tidak rasional.
d.      Traditional yaitu tindakan yang didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan mengerjakan sesuatu di masa lalu saja[6].
Teori tindakan ini digunakan untuk menginterpretasikan tindakan-tindakan pelaku dan memahami rasionalitas dibalik tindakan pelaku tersebut. Sejalan dengan tulisan ini, yang mencoba menyoroti tentang fenomena radikalisme dan politisasi agama yang dilakukan oleh tokoh agama untuk mencapai tujuan serta memahami motif  apa yang mendasarinya melakukan politisasi agama.
3.      Teori Konflik
Ada beberapa asumsi yang dimiliki oleh Teori Konflik, antara lain:
a.       Manusia sebagai mahluk hidup memiliki sejumlah kepentingan yang paling dasar yang mereka inginkan dan mereka berusaha untuk mendapatkan kepentingan tersebut.
b.      Kekuasaan mendapatkan penekanan sebagai pusat hubungan sosial.
c.       Ideologi dan nilai-nilai dipandang sebagai suatu senjata yang digunakan oleh kelompok-kelompok yang berbeda, dan mungkin bertentangan untuk mengejar kepentingan mereka sendiri[7].
Teori konflik memang bertentangan dengan teori struktural fungsional pada tulisan ini, hanya dapat digunakan untuk melengkapi teori struktural fungsional, karena ketika tokoh agama berperan sebagai politisi dia akan mempengaruhi masyarakat (sementara agama tidak dapat di pisahkan dari si subjek). Pada aras ini, terjadi peran ganda, di satu pihak sebagai pengayom ummat dan sekaligus sebagai politisi yang berusaha mempengaruhi ummatnya dengan pelbagai cara yang dimungkinkan.
Turner[8], dalam bukunya “The Structure of Sociological Theory” mengemukakan bahwa teori konflik berakar pada pemikiran Marx dan Weber. Marx misalnya mengajukan beberapa proposisi sebagai berikut:
1.      Semakin distribusi pendapatan yang tidak merata, semakin besar konflik kepentingan antara kelompok atas dan kelompok bawah.
2.      Semakin sadar kelompok bawah akan kepentingan mereka bersama, semakin keras mereka mempertanyakan keabsahan sistem permbagian pendapatan yang ada.
3.      Semakin besar kesadaran akan interest kelompok mereka dan semakin keras pertanyaan mereka terhadap keabsahan sistem pembagian pendapatan, maka semakin besar kecendrungan mereka untuk kerja sama memunculkan konflik menghadapi kelompok yang menguasai sistem yang ada.
4.      Semakin kuat kesatuan ideologi anggota kelompok bawah dan semakin kuat struktur kepemimpinan politik mereka, semakin besar kecendrungan terjadinya polarisasi sistem yang ada.
5.      Semakin meluas polarisasi semakin keras konflik yang terjadi.
6.      Semakin keras konflik yang ada, semakin besar perubahan struktural yang terjadi pada sistem dan semakin luas proses perataan sumber-sumber ekonomis.
Wallace, mengemukakan bahwa teori konflik merupakan suatu alternatif  pendekatan dari teori fungsional dalam menganalisis struktur masyarakat[9]. Persepsi teori konflik terhadap masyarakat sebagai suatu arena dimana kelompok satu dengan yang lain saling bertarung memperebutkan power dan control yang bagi teori konflik berarti satu group mampu menjinakkan kelompok yang lain. Randal Collins pada aras ini, menggunakan teori konflik untuk menganalisis perkembangan masyarakat. Asumsi yang diabangunnya bahwa rakyat banyak sebagai individu senantiasa ingin memiliki hal-hal tertentu, seperti kekuasaan, kekayaan, dan prestise. Dalam usaha untuk memiliki hal-hal di atas, tidak ada individu yang mau kalah secara sukarela, karenanya masyarakat akan senantiasa ada dalam konflik sosial.
Sementara Dahrendorf adalah tokoh utama teori konflik, berpendirian bahwa masyarakat umumnya mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus). Teori konsensus berada pada tataran menguji nilai integrasi dalam masyarakat dan teoritisi konflik menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan.
4.      Teori Adaptabilitas
Pada prinsipnya teori ini digunakan atas dasar bahwa manusia mempunyai sifat-sifat yang selalu berusaha menyesuaikan dirinya dengan lingkungan sekitar, sehingga sebagai organisme hidup manusia memiliki karakteristik adaptif, self  regulation dan proses memperhatikan diri.
                                               
Perspektif  teori sebagaimana diuraikan di atas, teori adaptabilitas memiliki relevansi yang signifikan sebagai alat analisis untuk memahami fenomena politik. Adaftabilitas, dalam batas-batas tertentu_akan berlangsung dalam diri individu atau komunitas. Arus perubahan sosial politik bisanya diikuti oleh perubahan dalam cara pandang, pola pikir, paradigma, maupun pilihan politik.
Fenomena radikalisme politik dan politisasi agama menjadi sebuah kewajaran karena memang peran ganda tokoh agama (sebut kiai) sebagai ulama dan politisi, hal itu juga akan berpengaruh kepada bentuk-bentuk partisipasi dalam berpolitik serta motif atau orientasinya. Peran yang harus dilakoninya, tidak semua berjalan mulus dalam menjalankan peran yang melekat dalam dirinya. Oleh karena itu, tidak jarang terjadi kekurang_berhasilan dalam menjalankan perannya.
Untuk memahami dan menjelaskan tentang perilaku politik, yang paling dominan dianut oleh para sosiolog dalam menjelaskan hubungan politik dengan agama adalah teori struktural fungsional. Setiap orang dapat memberikan makna yang berbeda tentang bentuk peran politik kiai, dan tentunya memiliki argumen dan rasionalitas yang berbeda terhadap setiap makna bentuk peran atau kiprah yang mereka berikan.
Dikarenakan setiap orang dapat memberikan makna sosial yang berbeda terhadap sesuatu sesuai dengan persepsi dan sikapnya, maka akibatnya akan melahirkan tindakan sosial yang berbeda pula. Tindakan sosial masyarakat yang nampak pada tindakan berperilaku atau tidak berperilaku, di samping muncul dari pemaknaan mereka terhadap perilaku masyarakat.
Tiap orang menghendaki agar semua persoalan politik berjalan mulus, diselesaikan dengan aturan-aturan hukum dengan menghindar jauh dari segala kemungkinan timbulnya kerugian dan dibangun di atas super-ego. Setiap perkara sebaiknya diselesaikan dengan cara musyawarah – mufakat, sehingga bila persetujuan itu disetujui bersama, maka haram hukumnya pergantian kepemimpinan menggunakan cara-cara kekerasan atau radikalisasi politik.
Amy Gutmann dan Dennis Thompson dalam “Ethics and Politics” menyatakan bahwa kekerasan atau radikalisasi itu melanggar nilai moral fundamental, karena mencelakai pihak lain. Tetapi, pada situasi tertentu menurut Aristoteles sang Filosof Yunani,  negara punya legitimasi untuk menggunakan kekerasan demi mempertahankan nilai-nilai moral yang fundamental itu[10].
Verstehen-nya Weber mempunyai relevansi dengan fenomena yang menjadi fokus pada tulisan ini, karena dalam pandangan Weber sosiologi sebagai ilmu yang berusaha menafsirkan dan memahami tindakan sosial antara hubungan sosial untuk sampai kepada penjelasan kausal; dan teori ini yang disebut sebagai teori tindakan. Seiring dengan tulisan ini, peran tokoh agama dalam partai politik dapat melakukan interpretasi terhadap tindakan-tindakan sosial, bentuk-bentuk politisasi agama yang dikatagorikan berperan dalam partai politik serta memahami motif  apa yang mendasarinya melakukan atau memilih politisasi agama.
Teori konflik juga dijadikan pilihan karena penulis menganggap bahwa teori konflik dapat dijadikan sebagai melengkapi teori fungsionalisme struktural, karena ketika kiai berperan sebagai politisi_tentu dia akan banyak mempengaruhi masyarakat atau dengan kata lain ketika simbol-simbol agama sudah dipolitisasi pasti akan mempengaruhi masyarakat. Ini titik awal, konflik peran terjadi antara peran kiai sebagai pimpinan ummat dan sekaligus sebagai politisi yang berusaha mempengaruhi masyarakat. Tentu pada aras ini, positif  dan negatif, pro dan kontra terhadap politisasi agama itu, akan dapat menimbulkan atau menciptakan dukungan luar biasa dari masyarakat jika memang mendukung, tetapi sebaliknya bisa melahirkan suatu bentuk radikalisme untuk menentang penggunaan simbol-simbol agama untuk mencapai tujuan (oleh siapa saja).  
 Dari empat teori yang diuraikan di atas, menurut penulis, teori tindakan Sosial yang dianggap paling tepat untuk menjelaskan fenomena radikalisme dan politisasi agama dalam penghelatan Pemilihan Kepala Daerah secara langsung. Pada aras ini, penulis akan mencoba memberikan interpretasi tindakan si aktor, memahami motif  dari tindakan si aktor. Titik fokus kajian lebih dikhususkan pada pelaksanaan Pilkada di NTB (baik pemilu gubernur/Wagub, maupun Pilkada bupati/Wabup) yang dilaksanakan pada rentang waktu tahun 2008.

C. Agamawan turun gunung?
            Teori tindakan sosial yang digunakan sebagai pisau analisis tentang fenomena radikalisme dan politisasi agama dalam Pemilihan Kepala Daerah, terutama dari tindakan yang menurut si aktor mengandung makna dan berpengaruh positif, tindakan yang sengaja diulang. Juga yang terpenting adalah apa motif  yang mendasari tindakan politisasi agama itu.
       Kontribusi mengetahui bentuk peran dan motif  yang sesungguhnya para tokoh agama masuk parpol sebagai masukan bagi pemerintah dalam rangka mengambil kebijakan yang terkait dengan pengembangan demokrasi. Ketika kiai sebagai tokoh agama yang menjadi panutan ummat melakukan peran sebagai politisi yang harus mempengaruhi untuk mendapat dukungan dalam rangka meraih kekuasaan, di sini terjadi konflik peran antara kiai sebagai panutan dan kiai yang mencari dukungan demi kekuasaan.
       Pada aras ini, tokoh agama yang mencari dukungan demi kekuasaan, menurut Weber adalah tindakan yang dapat diinterpretasikan yaitu Zweckrational, Werkrational, Affectual and traditional action. Perilaku politik dalam bentuk politisasi simbol-simbol agama merupakan implementasi dari Zweckrational, yaitu tindakan sosial murni dimana si aktor tidak hanya menilai cara terbaik untuk mencapai tujuannya, tetapi juga menentukan nilai dari tujuan itu sendiri.
       Keterlibatan tokoh agama atau kiai dalam politik praktis berorientasi pada penegakan kebenaran, hanya saja perkembangannya menjadi lain, bahkan dikemas menjadi bentuk kekuasaan. Retorika politik kiai menjadi sangat menentukan apalagi menggunakan simbol-simbol agama, yang perlu dibuktikan secara nyata dalam kerja-kerja politik yang lebih riil. Ketika orientasi politik kiai, sebagai penegak kebenaran, maka kerja kiai terfokus pada strategi penyelesaian kemungkaran yang bisa dirasakan manfaatnya oleh ummat. Namun, apabila simbol-simbol agama di kedepankan tanpa kera-kerja politik yang lebih riil, maka akan menciptakan suatu fanatisme atau bahkan radikalisme berlebihan pada diri kiai oleh ummat. Tindakan ummat ini, oleh Weber disebut sebagai affectual action, yakni tindakan yang dibuat-dibuat dan dipengaruhi oleh emosi kepura-puraan.
Fanatisme merupakan tindakan kurang atau tidak rasional. Hanya persoalannya, adalah menciptakan fanatisme untuk mendukung tindakan rasional mengejar kekuasaan dapat dikatagorikan sebagai tindakan rasional? Hanya tindakannya mengambil pilihan untuk penggunaan simbol-simbol agama merupakan tindakan rasional untuk suatu kepentingan atau tercapainya suatu tujuan.
Kepentingan merupakan tujuan yang dikejar oleh pelaku politik. Hal itu jelas tergambar pada Pemilihan Gubernur NTB pada bulan 19 Mei 2008 baru lalu, sebagai contoh. Fanatisme organisasi (Nahdlatul Wathan) sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di NTB memberi dukungan 100% kepada Calon Kepala Daerah yang Tuan Guru dan sekaligus sebagai Pimpinan Besar Nahdlatul Wathan. Begitu juga, pada pemilihan Bupati/Wakil Bupati Lombok Timur. Tindakan tersebut di atas merupakan kelakuan yang menerima orientasinya dari perasaan atau emosi seseorang atau kelakuan efektif.
Hasil Pilkada NTB dimenangkan oleh pasangan “Tuan Guru” dengan menyingkirkan pasangan “incumben” dan pasangan mantan Sekda NTB. Terpilihnya sang “Tuan Guru” tentu tidak lepas strategi dari penggunaan simbol-simbol agama dan organisasi NW untuk menggugah emosional pemilih (tindakan efektif). Namun, jika sang “tuan Guru” tidak terpilih, maka akibatnya bisa memunculkan radikalisme bahkan mungkin anarkisme yang akibatnya bisa dibayangkan.
  Untuk memutus dan meminimalisasi radikalisme politik dalam pemilu kepala daerah sebagai akibat dari politisasi simbol-simbol agama, maka perlu dikembangkan kehidupan budaya politik yang demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, agama substansial, serta kemanusiaan sebagai prasarat yang harus dibumikan. Kehidupan demokratis inilah yang perlu menjadi tatanan dan dasar pijakan moralitas institusi politik di NTB.
Kukuhnya nilai-nilai kemanusiaan tersebut diharapkan melahirkan political body yang membawa masyarakat dalam kebersamaan dan sudah menyiapkan memori untuk menerima kekalahan dan atau kemenangan. Dengan demikian, teori tindakan sosial menurut penulis telah memberikan kontribusi dalam menafsirkan motif  dan tindakan yang di ambil aktor untuk mencapai tujuannya.

_______________________








DAFTAR  PUSTAKA


Aristoteles, 2007,  Politik (La Politica), peny. Nino Cicero, Jakarta: Visimedia
Jonathan H.Turner,1986, The Structure of Sociological Theory, Chicago: The Dorsey Press

Walter L.Wallace,1986, Metode Logika Ilmu Sosial, terj.Lailil Kadar, Jakarta: Bumi Aksara

Max Weber,1978, Economy and Society: an outline of interpretive sociology, Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press.

Zamroni,1992, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana
George Ritzer,2003, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

K.J.Veeger,1985, Realtas Sosial, Refleksi Filsafat  Sosial atas Hubungan Individu – Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia.

Bahtiar Effendi,2001, Teologi Baru Politik Islam, Yogyakarta: Galang Press.
Ahmad Syafi’i Maarif, 1996, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Depan Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Jakarta: Gema Insani Press.



[1] Kompas, Juni 2008
[2] Dalam terminologi orang Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat_ tokoh agama di sebut dengan istilah “Tuan Guru”. Gelar Tuan Guru, khusus diberikan kepada tokoh agama yang mempunyai sebuah institusi pendidikan atau Pondok Pesantren dan tidak untuk yang lainnya.
[3] Bahtiar Effendi,2001, Teologi Baru Politik Islam, Yogyakarta: Galang Press; Ahmad Syafi’i Maarif, 1996, Islam dan Politik: Teori Belah Bambu Masa Depan Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Jakarta: Gema Insani Press.
[4] George Ritzer,2003, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
[5] K.J.Veeger,1985, Realtas Sosial, Refleksi Filsafat  Sosial atas Hubungan Individu – Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi, Jakarta: Gramedia.
[6] Max Weber,1978, Economy and Society: an outline of interpretive sociology, Berkeley and Los Angeles, California: University of California Press.p.24
[7] Zamroni,1992, Pengantar Pengembangan Teori Sosial, Yogyakarta: Tiara Wacana
[8] Jonathan H.Turner,1986, The Structure of Sociological Theory, Chicago: The Dorsey Press
[9] Walter L.Wallace,1986, Metode Logika Ilmu Sosial, terj.Lailil Kadar, Jakarta: Bumi Aksara
[10] Aristoteles, 2007,  Politik (La Politica), peny. Nino Cicero, Jakarta: Visimedia

0 komentar: