Jumat, 16 September 2011

Resensi Buku Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak


Kemana Islam Lokal-Ku: Islam Sasak Sebagi Local Genius ?!
Oleh: Adi Fadli
(Pengasuh Ponpes Tahfizhul Qur’an al-Furqon Batu Kuta Narmada)

Judul               : Islam Lokal: Akulturasi Islam di Bumi Sasak
Penulis            : Muhammad Ahyar Fadly
Penerbit          : STAIIQ Press
Tahun             : Maret 2008
Cetakan           : Pertama


            Agama apapun yang datang ke dunia tidak memasuki ruang vakum budaya. Ungkapan Komaruddin Hidayat ini dalam tulisannya Ketika Agama Menyejarah adalah sangat wajar sekali, karena bilamana Islam lahir di Jazirah Arabia, saat itu pula sudah berkembang dan mengakar keyakinan-keyakinan agama dari pada nabi sebelumnya. (hlm. xiii)
            Demikian pula halnya, ketika Islam mengaliri setiap benua, pulau dan pada akhirnya sampai ke Tanah Sasak pada abad ke-16, Islam tidak datang sebagai tsunami yang menghanyutkan segala apa di hadapannya dan bukan sebagai api yang membakar segala sesuatu menjadi abu tanpa adanya pertanyaan. Islam hadir bagai sungai yang mencari liukan dan kelokan ketika terbentur dengan bebatuan besar yang keras, yang walau terkadang melompati dan membasahinya; Islam ada hanya untuk mensejahterakan semesta (rahmatan lil’ālamīna) dan meneduhkan setiap hati dan jiwa yang memandangnya.
Islam ada di Bumi Sasak bukan sebagai lawan, sebagaimana yang dihadap-hadapkan oleh Erni Budiwanti dalam bukunya Islam Sasak: Islam Wetu Telu versus Islam Waktu Lima; dan bukan pula sebagaimana pandangan Barat bahwa ada pusat dan ada pinggiran, yaitu yang satu Islam murni dan yang lainnya Islam campuran, dimana seakan-akan yang benar hanyalah Islam yang berada di Timur Tengah dan lainnya Islam yang salah. Akan tetapi Islam hadir sebagai kawan yang merangkul dan memberikan kontribusi konstruktif sebagaimana yang dilakukan oleh para sunan (baca: Wali Songo) di Jawa. Islam seperti inilah, yang di dalam konsepsi Bartholomew disebut Islam Konvergentif, yaitu Islam yang bisa bertemu dan beradaptasi dengan tradisi lokal. (hlm. xvi-xvii)
            Islam Lokal. Istilah inilah yang ingin dihadirkan dan diperkenalkan oleh buku ini dan sekaligus bercita bahwa istilah ”Islam Lokal” hanya milik ”Islam Sasak” atau ”Islam Wetu Telu” semata. Maksud dari istilah Islam Lokal ini, oleh penulisnya menjelaskan bahwa tradisi keagamaan yang berkembang dalam komunitas Islam Wetu Telu adalah praktek peribadatan sinkretis yang tidak mencerminkan manifestasi ajaran-ajaran Islam yang hakiki. Keyakinan serta ritual keagamaan penganut Islam Wetu Telu justru lebih banyak dipengaruhi oleh kepercayaan asli (Animisme dan Dinamisme) dan masih kuatnya penggunaan sesajen pada tempat-tempat yang dianggap mempunyai kekuatan gaib dan tempat yang dikeramatkan merupakan bukti yang menguatkan telah terjadinya proses akulturasi. Singkatnya bahwa Islam Lokal merupakan percampuran antara sistem kepercayaan Animisme, Hindu dan Islam. (hlm. viii, xix, 2)
            Dengan berkembangnya zaman yang tentunya diiringi dengan globalisasi, maka sebagaimana yang dikatakan oleh Bassam Thibi bahwa tidak ada sebuah wilayah yang rigid benar dan terbebas dari akomodasi budaya. Bukankah Nurcholish Madjid pernah mengatakan bahwa tidak ada yang abadi dalam dunia ini kecuali perubahan itu sendiri. Dalam pada proses terjadinya perubahan inilah, khususnya nilai-nilai sosial keagamaan tradisional penganut Islam Lokal atau Islam Sasak, buku ini difokuskan. Fakta membuktikan bahwa dari enam desa yang ada di Kecamatan Bayan, ada empat desa yang sudah mengalami perubahan dan dua desa lainnya sedang mengalami proses perubahan. (hlm. xviii, xix, 9, 10, 71)
            Seperti masyarakat Samin di beberapa wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang mengalami perubahan ke arah yang lebih Islami, karena keterputusan mata rantai tradisi. Demikian pula halnya dengan Islam Sasak. Setidaknya, penulis buku ini memetakan dua sebab utama perubahan tersebut yakni dominannya peran dakwah yang dilakukan oleh pemerintah dan pemimpin tradisional (baca: tuan guru) merupakan faktor eksternal di satu sisi. Sedangkan, tidak adanya sistem pembinaan dan perekrutan anggota yang efektif dan tingginya tingkat interaksi penganut Islam Lokal dengan kelompok lain adalah faktor internal pada sisi yang lain. Dengan kata lain bahwa perubahan Islam Lokal terlihat dalam tiga hal, yakni pertama, disorganisasi merupakan keadaan dimana masyarakat mulai mempertanyakan keberadaan institusi lama dengan mencoba membandingkannya dengan institusi baru; kedua, sekulerisasi merupakan proses masuknya lembaga-lembaga non-agama ke dalam kehidupan masyarakat; dan ketiga, internalisasi (individualisasi) merupakan kesadaran masyarakat untuk bertanggungjawab penuh dalam melaksanakan aktivitas kehidupan (ritual keagamaan) dengan tidak lagi memberikan tanggung jawab kepada kyai maupun pemangku adat. (hlm. 8, 89-144, 146-148)
            Sebagai buku dari hasil karya ilmiah, buku ini berhasil menempatkan diri pada posisi netral, tidak dimaksudkan untuk mendukung atau menolak pihak-pihak yang pro dan kontra. Akan tetapi justru sebaliknya yakni untuk mendudukkan secara proporsional Islam Wetu Telu dan Islam Waktu Lima dalam bingkai keislaman yang universal.
            Walaupun buku ini merupakan hasil kajian di daerah Bayan saja, akan tetapi sebagaimana yang dikatakan oleh Nur Syam, Guru Besar Sosiologi IAIN Sunan Ampel Surabaya, inilah buku yang memiliki orisinalitas dan secara lengkap membahas masalah perubahan Islam Wetu Telu sebagai local genius, terutama dari sudut pandang sosial budaya dengan teori modernisasi dan deprivasi relatif serta diperkaya referensi yang refresentatif.

           


0 komentar: