Kamis, 15 September 2011

MEMAHAMI PERILAKU PEMILIH DAN KESIAPAN CALON KEPALA DAERAH MENJELANG PILKADA NTB


Pengantar

            Kampanye pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTB akan dimulai tanggal 20 Juni sampai 3 Juli 2008.  Pasangan calon Gubernur dan wakil Gubernur pun sudah mulai melakukan persiapan, baik psikologis maupun material. Dan mungkin juga para pasangan calon sudah mempersiapkan program kerja jika nantinya terpilih menjadi gubernur dan wakil gubernur NTB, termasuk di dalamnya janji-janji manis penyedap rasa supaya masyarakat tertarik untuk menentukan pilihannya pada salah satu pasangan calon.
Keempat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur itu adalah pasangan Drs.H.L Serinata dengan M. Husni Jibril, MM (Serius), TGH. Zainul Majdi, MA dengan Drs.H. Badrul Munir, MM (Baru) dan  Dr. H. Zaini Aroni dengan Nurdin Ranggabarani, MH (Zanur), dan Ir.H.Nanang Samudra, M.Sc dengan Muhammad Jabir, SH (Naja). Dari keempat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur di atas, siapa yang akan menjadi pemenang atau yang akan dipilih masyarakat? Apakah pasangan yang memang mempunyai basis massa yang kuat atau pemilih ideologis, atau pemilih normative (tergantung dari program yang ditawarkan atau dengan kata lain pasangan yang visioner)?
Pada pemilu Gubernur dan wakil gubernur NTB tanggal 7 Juli 2008 mendatang, sepertinya semua pasangan calon akan berusaha memperebutkan pemilih dari Jamaah Nahdlatul Wathan (NW) sebab realitas politik di NTB menunjukan bahwa organisasi NW mempunyai jamaah terbanyak bila dibandingkan dengan organisasi keagamaan yang lainnya. Perebutan simpati dari jamaah NW merupakan suatu kewajaran diperebutkan oleh pasangan calon gubernur dan wakil gubernur kita, sebab mereka merasa menjadi warga NW atau bahkan simpatisannya.
Ada suatu asumsi yang berkembang di masyarakat bahwa pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTB  warga NW tidak akan menjatuhkan pilihannya kepada satu pasangan calon saja tetapi akan tersebar dukungannya pada keempat pasangan calon yang sudah ditetapkan KPU Provinsi, karena faktisitas menunjukan bahwa memang warga NW tidak bersatu. Secara logika politik celah itu bisa dimanfaatkan oleh  pasangan calon gubernur dan wakil gubernur lainnya untuk mencari simpati warga NW; itu artinya bahwa pasti jamaah NW tidak akan memilih satu pasangan calon secara “samikna wa athokna” atau kami dengar dan kami taat, tapi juga akan terkotak-kotak. Di samping jamaah NW, organisasi keagamaan, seperti NU, Muhammadiyah, Tarbiyah, PERSIS, dan pemeluk agama lain perlu dipertimbangkan, karena memiliki jamaah yang tidak sedikit.
Pada aras ini, ternyata secara teoritis massa muslim cendrung tidak menjadikan pilihan politik atau partai sebagai pilihan keagamaan, tapi ekspresi pertemanan, kliental elit-massa, di dalam suatu pola hubungan yang diadik (meminjam istilah Abdul Munir Mulkhan). Masih hangat dalam ingatan, misalnya terpilihnya bupati dan wakil bupati Lombok Tengah lebih disebabkan karena ekspresi pertemanan dan kliental elit-massa. Bagian terbesar pemeluk Islam terdiri dari petani miskin dan kaum buruh, ternyata jauh lebih berteman dengan elit lokal berpengaruh ekonomi dan budaya di luar referensi keagamaan daripada elit agama.
Akibatnya, jeratan kemiskinan yang membuat masa depannya serba tidak jelas yang hanya bisa dipulihkan melalui hubungan kliental dan non-legal dengan elit dan Tuhan. Oleh karena itu, tradisi selamatan, begawe, dan berbagai kegiatan budaya berbau Islam jauh lebih penting bagi mayoritas pemeluk Islam daripada ritual formal.
Tetapi, bukan berarti bahwa massa muslim yang tidak menjadikan pilihan politik sebagai pilihan keagamaan sebagai komitmen iman atau keagamaan mereka rendah, namun lebih dikarenakan perangkap kemiskinan yang mereka derita ditambah lagi seolah elit agama tidak perduli dengan nasib mereka atau dengan kata lain bahwa ternyata organisasi keagamaan tidak mempunyai data base kemiskinan yang semestinya menjadi kitab suci para elit agama.
Secara sosio-kultural, hubungan kliental dan pertemanan sebenarnya bisa saja dijadikan sebagai strategi pemenangan pemilu  oleh masing-masing pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Namun bentuk strategi ini masih perlu dukungan infrastruktur politik yang sesungguhnya dimiliki partai berbasis Islam, yaitu organisasi keislaman, baik tingkat lokal maupun nasional. Namun, masalahnya adalah sejauh mana modal sosial itu bisa dimanfaatkan oleh partai politik berbasis Islam (baca: partai pengusung pasangan calon gubernur dan wakil gubernur)?
Dan secara obyekif  modal sosial inilah yang menjadi salah satu kelebihan yang dimiliki oleh pasangan Bajang-Munir yang mempunyai massa riil yakni warga Nahdlatul Wathan. Namun sayang, seribu sayang, organisasi NW sampai saat ini masih terbelah dua dan tentunya secara politis akan sangat berpengaruh terhadap kemenangan pasangan Bajang – Munir, tetapi tidak berarti pasangan calon gubernur dan wakil gubernur lainnya tidak punya masalah.

Pemetaan Pemilih
           
            Pengalaman pemilih melaksanakan pemilu di Indonesia, dan pengalaman pertama masyarakat Nusa Tenggara Barat memilih calon gubernur dan wakil gubernur secara langsung, tentu para pemilih akan berusaha menentukan pilihannya berdasarkan keinginan hati nurani, program kerja, dan pasangan calon yang visioner atau mempunyai suatu visi yang jelas.
            Idealitas pemilih ini, tentunya tidak bisa disamaratakan dengan pemilih yang lainnya. Paling tidak ada empat tipologi pemilih yang akan muncul dalam pelaksanaan pemilu gubernur dan wakil gubernur Nusa Tenggara Barat mendatang, yaitu pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih tradisional, dan pemilih skeptis (Firmanzah, 2007).
            Dari keempat tipologi pemilih itu, sebagian besar pengamat masih berkeyakinan bahwa 65% pemilih tetap masih tergolong pemilih tradisional, 13 % tergolong pemilih rasional, 12 % tergolong pemilih kritis, dan 20 % merupakan pemilih skeptis. Apa yang bisa dibaca dari prosentase di atas? Melihat prosentase di atas, tentunya pemilih tradisional akan diperebutkan oleh keempat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB.
            Pemilih tradisional sebagian besar merupakan anggota dan simpatisan dari organisasi sosial keagamaan, seperti NW, Persis, NU, Tarbiyah, dan Muhammadiyah. Dukungan yang akan diberikan oleh pemilih tradisional sangat tergantung dari seberapa besar komitmen dan keterlibatan tokoh sentral organisasi keagamaan sendiri untuk mendukung para calon gubernur dan wakil gubernur nantinya, karena pencitraan itu merupakan sebuah proses panjang di dalam setiap organisasi sosial keagamaan khususnya, sehingga awal munculnya istilah tokoh kharismatik atau pemimpin kharismatik lahir dari pencitraan  itu. Hanya masalahnya kemudian, apakah titah sang pemimpin kharismatik dalam organisasi sosial keagamaan akan punya pengaruh signifikan ke ranah politik atau mobilisasi dukungan?
            Dari perspektif  politik, ketertarikan pemilih kepada partai politik atau kontestan (baca: calon kepala daerah)  didasarkan pada kesamaan, kedekatan (kliental), sistem nilai dan keyakinan atau ideologi. Jadi, kesamaan idiologi lebih cendrung dipilih oleh pemilih daripada partai politik atau kontestan yang memiliki idiologi yang berbeda. Ada dua hal yang perlu dijadikan pertimbangan, jika partai politik atau kontestan pilkada ingin menjadi pemenang, yakni pertama. Partai politik atau calon kepala daerah hendaknya mampu memetakan pemilih yang mempunyai kesamaan idiologi. Kedua, partai politik atau kontestan pilkada harus mampu memperkenalkan diri dan meyakinkan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak seidiologi.
            Para kontestan pemilu gubernur dan wakil gubernur NTB memang sepantasnya memperkenalkan diri kepada seluruh lapisan masyarakat, terutama kepada masyarakat yang berbeda idiologi sehingga para pemilih merasa bahwa idiologi para kontestan sama dengan idiologi mereka. Memang, kelihatannya perlu kerja keras dan kecerdasan lebih para kontestan yang akan bertarung memperebutkan NTB satu, untuk mencari strategi jitu dan meyakinkan agar pemilih yang berbeda idiologi memilihnya, terutama kepada pemilih yang rasional dan kritis.
            Komunikasi politik merupakan kata kunci yang mesti dilakukan oleh para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB untuk mendekati pemilih rasional dan kritis agar dapat memenangkan pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTB. Kecerdasan dan kemampuan pasangan calon kepala daerah memberikan solusi terhadap persoalan yang dihadapi masyarakat saat ini, tentu akan menjadi perhatian yang utama kelompok pemilih rasional dan kritis ini.
Pada aras ini, calon kepala daerah yang punya kemampuan problem solving dan visi, misi, serta program yang pro rakyatlah yang akan menjadi pilihan kelompok pemilih ini atau dengan kata lain pasangan calon yang visioner pasti akan dipilih oleh kelompok pemilih rasional dan kritis. Apalagi saat ini masyarakat NTB khususnya, masih dalam posisi tidak berdaya akibat kenaikan harga BBM dan diikuti oleh kenaikan harga kebutuhan pokok masyarakat. Jika saja, keempat pasangan calon kepala daerah, tidak antipati terhadap kesusahan dan penderitaan yang dihadapi masyarakat NTB, bukan tidak mungkin kekhawatiran sebagian pengamat politik bakal tingginya angka GOLPUT  pasti terwujud.
              Namun yang pasti bahwa tinggi-rendahnya masyarakat yang tidak menggunakan hak pilihnya atau GOLPUT sangat tergantung kepada seberapa banyak sosialisasi yang telah diberikan oleh penyelenggara pemilu gubernur dan wakil gubernur (KPU Provinsi). Khan, sangat ironis bila masyarakat sampai tidak tahu siapa bakal calon gubernur dan wakil gubernur NTB dan kapan pelaksanaan hari pencoblosan suara; hal ini penting untuk menjadi bahan perenungan dan otokritik bagi penyelenggara pemilu kepala daerah ke depan.
            Masalahnya kemudian, siapa yang harus disalahkan? Ya, tidak ada yang harus disalahkan, dan tidak penting dalam kondisi saat ini ”siapa yang menyalahkan siapa”? Namun yang terpenting adalah  problem solving – nya; terutama sekali terhadap kelompok pemilih skeptis atau massa mengambang. Golongan putih (Golput) yang dikhawatirkan akan semakin bertambah menjelang pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTB memang akan banyak didominasi oleh kelompok pemilih skeptis atau massa mengambang ini, karena tidak memiliki orientasi ideologi, platform, dan program dari pasangan calon kepala daerah.
Akan menjadi masalah ketika struktur pemilih dalam pilkada mendatang didominasi oleh pemilih skeptis dan ini berarti bahwa golput semakin menjamur serta menjadi satu indikasi ketidakpercayaan masyarakat terhadap pasangan kepala daerah NTB nantinya. Akibatnya, hasil pemilihan kepala daerah dapat dianggap tidak representatif  dan tidak akan membawa ke perubahan yang diharapkan masyarakat.
           
Bagaimana kesiapan Pasangan calon?

            Persiapan paling urgen yang harus dilakukan oleh pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB menjelang pelaksanaan kampanye adalah kesiapan menandatangani prasasti ”siap menang dan siap kalah” pada perhelatan pemilu kepala daerah tanggal 7 Juli 2008 yang akan datang. Hal ini, penting dilakukan oleh pasangan calon gubernur dan wakil gubernur agar melahirkan pemimpin yang dapat dipercaya dan patut di contoh oleh masyarakat NTB dan membuat citra NTB bisa terangkat pada level nasional terutama dalam pelaksanaan demokratisasi di daerah.
Dari hasil pemetaan pemilih di atas, patut rasanya selaku warga masyarakat NTB untuk berfikir positif  dan meyakinkan diri bahwa pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTB nantinya akan berjalan aman dan lancar, tetapi akan menjadi suatu yang wajar juga, jika saja sebagian warga masyarakat NTB khawatir terhadap pelaksanaan pemilihan gubernur dan wakil gubernur NTB sebab proses jadwal dan tahapan yang sudah dan sedang berjalan saat ini ternyata tidak sepi aksi demonstrasi dan tuntutan hukum.
Lalu masalahnya, siapa yang harus bertanggung jawab terhadap proses demokratisasi (pilkada) di daerah NTB supaya aman dan lancar, serta tidak sampai mengorbankan setetes darahpun?
Secara politis semua warga masyarakat NTB dan para pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang bertanggung jawab terhadap proses pelaksanaan demokratisasi di daerah ini. Siapapun, tentu tidak menghendaki terjadinya rusuh, konflik antar pendukung pasangan calon, atau bahkan sampai muncul kurban jiwa pada pemilihan gubernur dan wakil gubernur mendatang; pada aras inilah, sedini mungkin dikonstruksi sikap mental spiritual untuk siap menerima kekalahan dan kemenangan dari pasangan calon.
Jika tidak, tentu proses demokratisasi di daerah ini akan ternoda dan akan menjadi catatan sejarah kelam dan akan ditiru oleh generasi NTB mendatang, apalagi secara kuantitas 65 %  pemilih di NTB tergolong  pemilih tradisional. Artinya bahwa dari keempat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur NTB  tentu memiliki basis massa tradisional atau modal sosial dan siap membela dan mendukung jagonya pada situasi dan keadaan bagaimanapun; tinggal bagaimana menjaga dan memelihara modal sosial itu.
Pada aras ini, kecerdasan, kedewasaan, dan dengan semangat untuk melakukan perubahan serta perbaikan nasib rakyat NTB ke depan, mestinya menjadi alas nilai dan pedoman moral dari keempat pasangan calon gubernur dan wakil gubernur. Dengan kecerdasan tentunya, keempat pasangan calon itu tidak sampai menjerumuskan warga masyarakat, konstituen, dan atau siapapun; jika tidak ingin menjadi piramida pengorbanan. Dan dengan kedewasaannya, ”siap kalah dan siap menang” mestinya sudah terpatri di dalam sanubari pasangan calon itu.
Semoga saja pemilihan gubernur dan wakil gubernur pada tanggal 7 Juli 2008 yang akan datang dapat melahirkan pemimpin yang bermartabat sebagaimana motto sosialisasi pilkada NTB yang ditayangkan di media elektronik dan media cetak. Dan semoga dengan semangat perubahan dan perbaikan nasib rakyat NTB dari keterpurukan (baca : ekonomi, pendidikan, dan kesehatan)  akan menjadi ”prasasti bertinta emas” dan dijadikan sebagai ”data base”, bagi siapa saja yang nantinya terpilih memimpin daerah ini.

0 komentar: