Kamis, 15 September 2011

MALPRAKTIK PENDIDIKAN: SEBUAH PENDEKATAN SOSIOLOGIS


Absract
Malpraktik ternyata tidak hanya terjadi dalam dunia kedokteran. Di dunia pendidikan, banyak ditemukan kasus mulai dari jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMU/SMK bahkan sampai Perguruan Tinggi. Malpraktik pendidikan dapat melingkupi keseluruhan sistem pendidikan, mulai dari administrasi akademik pendidikan sampai dengan kreatifitas dan prestasi siswa atau mahasiswa. Untuk menyelesaikan kasus malraktek seperti tersebut di atas butuh perhatian dan keseriusan dari pemerintah dan stakeholder pendidikan.

Pengantar
            Saya memulai tulisan ini di tengah suasana pikiran yang lagi kalut tentang nasib pendidikan dan masa depan anak bangsa yang terlahir dari sebuah sistem pendidikan yang tidak terurus dengan baik. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional sudah diatur secara gamblang tentang bagaimana mengelola pendidikan baik pendidikan formal maupun informal.
Sebuah dialog dengan seorang calon mahasiswa yang saya tahu memang sudah menyandang gelar kesarjanaan strata satu (baca : Sarjana Pendidikan Islam) yang mungkin terlahir dari sebuah malpraktek pendidikan. Pada awalnya saya bingung dan sangsi, kenapa dia mau kuliah lagi dengan mengambil jurusan yang sama dengan gelar kesarjanaan strata satu yang disandangnya sekarang. Berikut petikan dialognya :
CM      : pak boleh saya kuliah lagi?
AF       : ya, boleh, khan tidak ada yang melarang, tetapi bukankah anda sudah sarjana?
CM      : disitulah masalahnya, pak?
AF       : masalah bagaimana?
CM      : saya, disuruh kuliah lagi karena ijasah saya tidak diterima untuk sertifikasi.   Menurut dinas, ada kesalahan di dalam ijasah dimana antara tahun masuk menjadi mahasiswa dengan tahun tamat-tidak sesuai dengan gelar kesarjanaan yang disandang.
AF       : o…begitu ya.

            Masalahnya, makna apa yang dapat diambil dari inti sari dialog itu? Apakah itu memang dapat dikatagorikan sebagai malpraktik pendidikan? Lalu kalau ya, siapa yang harus bertanggung jawab? Puluhan pertanyaan-pertanyaan sejenis dapat diajukan, namun yang jelas bahwa terdapat kejanggalan dan ketidak-konsistenan dalam administrasi akademik pembuatan ijasah. Belum lagi ke persoalan, apakah memang terjadi proses perkuliahan secara wajar, sebagaimana layaknya perkulihan yang secara jamak berlaku.
            Secara umum, pendidikan sarjana strata satu untuk semua jurusan ditempuah selama sembilan sampai sepuluh semester atau 4,5 tahun sampai  5 tahun. Untuk diploma dua tidak kurang dari lima semester atau 2,5 tahun. Kalau tidak sesuai dengan ketentuan itu, maka lembaga pendidikan itu dapat dikatagorikan sebagai lembaga yang mengkomersilkan ijasah, dan sebagai salah satu indikator  dari sistem malpraktik pendidikan. Lalu, siapa yang harus dipersalahkan, masyarakatkah atau lembaga penyelenggara pendidikan itu sendiri? Atau- hal itu sebagai bukti curat marut pendidikan kita akibat dari seringnya gonta ganti kebijakan dalam sistem pendidikan di negeri ini.         
           
Anak pasif dan Terpenjara di Sekolah = Malpraktik Pendidikan
            Malpraktik ternyata tidak hanya terjadi dalam dunia kedokteran. Di dunia pendidikan, banyak ditemukan kasus mulai dari jenjang pendidikan TK, SD, SMP, SMU/SMK bahkan sampai Perguruan Tinggi. Malpraktik pendidikan dapat melingkupi keseluruhan sistem pendidikan, mulai dari administrasi akademik pendidikan sampai dengan kreatifitas dan prestasi siswa atau mahasiswa.
Abi Sujak, Kasubdit Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) sebagaimana di rilis di Harian Republika (2/9) memberikan indikator yang sangat rigit tentang malpraktik di dunia pendidikan, yakni siswa malas belajar, menjadi pasif dan takut terhadap jenis mata pelajaran tertentu, serta prestasi siswa yang tidak optimal. Disadari atau tidak indikator  tersebut banyak ditemukan pada anak didik, sementara banyak guru menganggap sebagai dinamika biasa. Pada aras ini, anggapan banyak guru itu sebenarnya dapat menjadi penyebab tumbuh suburnya malpraktik, ditambah lagi dengan guru yang kurang memahami latar belakang dan bakat siswa serta perbedaan budaya antara guru dengan lingkungan sekolah.
Kisah nyata seorang anak usia 15 tahun yang terpenjara oleh sekolah formal. Jika mengacu pada indikator yang diungkapkan Abi Sujak di atas, maka perasaan terpenjara adalah bentuk lain dari malpraktik pendidikan di negeri ini. M. Izza Ahsin seorang murid, anak dari seorang guru teladan di Wonosobo Jawa Tengah yang harus keluar atau hengkang dari pendidikan formalnya karena menurutnya pendidikan formal tidak membentuknya mandiri. Semasa Taman Kanak-kanak, ia pernah mengompol karena dipaksa tampil di depan kelas (M. Izza Ahsin, 2007). Mestinya masa-masa di Taman Kanak-kanak merupakan masa dipergunakan untuk bersenang hati dan bersenda gurau, tetapi tidak bagi Izza.
Di Sekolah Dasar, ia mengalami masa-masa yang lebih tidak menyenangkan lagi. Dia terpaksa harus kabur dari kelas karena takut dengan jarum suntik, bahkan harus melompat jendela saking takutnya dalam acara imunisasi masuk sekolah. Hal paling menyakitkan ketika harus berhadapan dengan guru yang paling ditakuti para murid. Tipe gurunya ceplas-ceplos, pilih kasih dan korban utamanya adalah murid yang tidak mengikuti lesnya (M.Izza Ahsin, 2007). Walaupun Izza tergolong murid yang cerdas namun, ia termasuk dalam daftar hitam gurunya yang sering kena umpatan dengan kata-kata goblok, dungu, otak udang, atau semacamnya.
Lingkungan pendidikan seperti itu dapat menjadi pemicu semakin banyaknya peserta didik angkat kaki dari sekolah atau berhenti sekolah. Tentu, pada aras ini, tidak bisa mencari pembenar atau siapa yang benar dan siapa yang salah atas hengkangnya para murid dari sekolah atau pindah ke sekolah lain. Jika ditelusuri secara sosiologis, apa yang dilakukan oleh para guru dengan cara seperti itu adalah demi pendidikan dan untuk anak-anak itu sendiri.
Sekolah sebagai pusat pembudayaan nilai, sikap dan kemampuan peserta didik sebagaimana tertuang dalam GBHN 1999-2004, maka lingkungan sekolah atau lembaga pendidikan, termasuk para guru berkewajiban untuk membentuk budaya akademik di lingkungan sekolah., sehingga peserta didik betah dan kerasan berada di lingkungan sekolah, merasa memiliki, dan bertanggung jawab terhadap sekolahnya sendiri. Seandainya budaya akademik ini tidak bisa dibudayakan dilingkungan sekolah, maka tidak usah heran semakin menjamurnya Izza Ahsin yang lain. Tentu, pada aras ini, guru yang harus paling dipersalahkan dan paling dimintai pertanggungjawabannya.
Dari perspektif sosiologi, pendidikan mulai dari zaman Yunani di era Plato (427-327) pendidikan lebih di arahkan pada penciptaan manusia sebagai pemikir, ksatria dan penguasa. Di era Romawi, seperti masa kehidupan Cicero (106-143), pendidikan lebih di arahkan pada penciptakan manusia yang humanistic (Muhammad Hata, 1981). Di abad pertengahan, pendidikan diutamakan menjadikan manusia sebagai pengabdi khalik (versi Islam maupun Kristiani) dan di abad 1600-1800-an melahirkan teori nativisme (Rousseau, 1712-1778) dan teori Empirisme John Locke (1632-1704), serta teori Konvergensi oleh Stern (1971-1939). Semuanya bermuara kepada pembentukan nilai individu anak sebagai manusia yang memiliki karakteristik yang unik.
Ketika memasuki peradaban modern terdapat dua terminologi pendidikan yakni Paedagogik dan konsep education (Batubara, 2004). Terminology Paedagogik (Langeveld, 1952) sebagai upaya untuk mendewasakan anak sebagai proses dan hasil pendidikan, serta terbatas hanya mencapai usia lebih kurang 20 Tahun. Sementara konsep Education lebih berorientasi kepada pendidikan sepanjang hayat (long life education). Ketika konsep education menjadi terminologi modern dalam kehidupan manusia, maka pada itu terjadi revolusi pemikiran dalam pendidikan (artinya ketika berbicara tentang pendidikan, maka dalam waktu yang sama juga berbicara tentang dimensi-dimensi yang berkaitan dengan pendidikan secara langsung maupun tidak langsung).
Pada aras ini, walaupun banyak persoalan yang terjadi di dunia pendidikan tetapi bukan berarti masyarakat tidak peduli atau lepas tangan dengan pelbagai persoalan itu. Masyarakat sangat menggantungkan harapan yang besar  terhadap proses dan interaksi yang terjadi dalam dunia pendidikan. Pendidikan tetap diyakini sebagai instrumen peningkatan kemajuan masyarakat, perkembangan ideologi, budaya dan ekonomi. Itulah sebabnya pendidikan merupakan sebuah kekuatan sosial sekaligus dapat digunakan untuk melakukan penelitian dan kritik terhadap upaya-upaya pencapaian sesuatu di masyarakat.
Kritik dan penelitian mesti dilakukan oleh masyarakat terhadap lembaga-lembaga pendidikan yang ada di masyarakat. Lembaga-lembaga pendidikan tidak lahir di dunia hampa dan bebas dari kritik oleh siapa saja yang peduli terhadap pendidikan dan nasib anak bangsa. Lembaga-lembaga pendidikan yang dilahirkan masyarakat, tentu tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri tanpa kontrol masyarakat, apalagi di tengah semakin kompleksnya persolan di dunia pendidikan kita. Apa yang akan terjadi bila masyarakat tidak peduli dengan nasib pendidikan atau lebih tepat dengan nasib pendidikan anak bangsa ke depan? Ketika masyarakat diam, itu sama saja dengan membiarkan pendidikan berjalan dengan pelbagai masalahnya (baca: semakin maraknya malpraktik di dunia pendidikan).

Bukan Salah Ibu Mengandung?
            Malpraktik di dunia pendidikan sudah given dan sudah sangat telanjang terlihat oleh mata telanjang orang awwam. Pada aras ini, tidak perlu saling menyalahkan apalagi mencari kambing hitam. Dialog yang penulis paparkan di awal tulisan ini, dijadikan sebagai otokritik bagi pelaku pendidikan, stakeholder pendidikan, pemerintah, dan masyarakat sendiri. Pelbagai permasalahan pendidikan, sepertinya menjadi tanggung jawab semua pihak yang  ikut andil baik secara sadar maupun tidak sadar.
             Penyelenggara pendidikan, baik negeri maupun swasta, mulai dari tingkat dasar, menengah, bahkan sampai Perguruan Tinggi, mestinya terus menerus melakukan evaluasi diri terhadap penyelenggaraan pendidikan yang dijalannya selama ini. Evaluasi diri sebaiknya ditekankan pada  pelayanan akademik, pelayanan administrasi, budaya akademik, atau singkatnya menekanka pada Tri Dharma Perguruan Tinggi. Budaya akademik menjadi masalah yang harus mendapatkan perhatian lebih sebab menyangkut nilai, etika, dan adab berperilaku  dengan civitas akademika.
            Di dunia Pesantren pengenalan nilai, etika, dan adab sejak dini sudah melalui diperkenalkan melalui pengkajian kitab-kitab berbahasa Arab, mulai dari kitab paling dasar, seperti kitab akhlakulil Banin atau akhlakulil Banat maupun kitab Ta’limul Mutaallim. Begitu juga di sekolah-sekolah umum, pengenalan terhadap etika inipun sudah dilakukan melalui Mata Pelajaran Pendidikan Agama, PPKn, maupun Pendidikan Moral Panca Sila, dan lebih-lebih di Perguruan Tinggi.
            Ada kesan yang menggejala di dalam otak masyarakat kita bahwa semakin banyak nilai, etika, adab atau aturan yang diperkenalkan, maka akan semakin pandai juga masyarakat dalam menyiasati aturan itu (bukannya semakin menjadi baik). Idealnya, para pembelajar atau pelaku pendidikan mestinya bergerak atau berjalan dalam koridor perundang-undangan yang berlaku pada skala makro dan pada skala mikro tentu harus bergerak atau berjalan pada tata aturan, nilai, etika, dan adab yang berlaku pada institusi-institusi itu sendiri.
            Pada aras ini, siapapun akan sepakat bahwa semua tata aturan, nilai, etika dan adab, di dunia pendidikan dibuat untuk kebaikan peserta didik atau civitas akademika. Namun, sebaik apapun aturan itu, pastinya sangat tergantung pada kualitas Sumber Daya Manusianya, terutama kualitas moralnya. Kalau kualitas moral sebagai tenaga pendidik diragukan, tentunya akan menjadi masalahnya sendiri dan akan dipertanyakan oleh peserta didik, akibatnya tata aturan itupun tidak dapat dijalankan dengan baik atau dengan kata lain tata aturan itu hanya menjadi “traktat bisu” yang tidak dapat mengikat siapapun (termasuk dirinya sendiri).
            Kalau sudah begini faktanya, tentu masyarakat tidak perlu memberikan reaksi yang berlebihan terhadap kasus-kasus yang menimpa dunia pendidikan kita, seperti tindakan kekerasan disekolah sampai jatuh korban jiwa[1], tawuran antara mahasiswa dengan mahasiswa, tawuran mahasiswa dengan preman, dan bahkan semakin menjamur kelas-kelas sangat jauh yang dilahirkan oleh PTN maupun PTS kita. Siapapun patut sedih karena pemerintah masih saja kecolongan atas tragedi memilukan yang terjadi di dunia pendidikan kita.
Secara sosiologis, memang kekerasan sangat akrab dengan kahidupan keseharian masyarakat kita. Penyelesaian konflik selalu saja disertai dengan tindakan kekerasan. Tindakan kekerasan bukan hanya milik individu-individu, melainkan sudah menjadi milik masyarakat dan aparat Negara. Sebagai orang Timur, mestinya  penyelesaikan konflik mengadopsi konsep “Nir-kekerasan”  milik Mahatma Gandhi seorang pemimpin berkebangsaan India dan terkenal juga dengan konsep Ahimsa-nya. Konsep Nir-kekerasan atau kekerasan di lawan dengan tindakan tidak dengan kekerasan menjadi sebuah alternative bagi penyelesaian tindak kekerasan di dalam Negara yang  menjunjung tinggi nilai-nilai gotong-royong dan kebersamaan ini.
 Menurut Johan Galtung (2003), ada tiga tipologi kekerasan yaitu kekerasan langsung, kekerasan cultural, dan kekerasan structural. Lebih lanjut di jelaskan bahwa kekerasan langsung adalah sebuah peristiwa; kekerasan structural adalah sebuah proses; sedangkan kekerasan kultural adalah sesuatu yang bersifat permanen. Ketiga tipologi kekerasan itu memasuki waktu secara berbeda-beda. Sementara menurut Robert Gurr, kekerasan muncul karena deprivasi relatif  yang  dialami masyarakat maupun individu. Deprivasi relatif  dimaknai sebagai perasaan kesenjangan antara value of expectation and value capabilities atau kesenjangan antara nilai harapan dengan kapabilitas nilai.
Pisau analisis teori Galtung dan Robert Gurr dapat dipakai untuk melihat kekerasan di dunia pendidikan kita sudah memenuhi jenis kekerasan tersebut. Kekerasan langsung yang menghujam pada unsur utama bangunan pendidikan kita, yakni pelaku utama pendidikan (Agus Wibowo, 2008). Kekerasan ini bersifat horizontal, individu vis a vis individu yang lain. Sementara, bentuk kekerasan structural dan cultural. Kekerasan ini terjadi pada unsur selain unsure pelaku utama pendidikan, yang mewujud dalam dkerangka pendidikan, pranata pendidikan, dan kurikulum pendidikan. Kekerasan ini bersifat vertikal karena melibatkan Negara melalui apparatus, institusi, dan kebijakan vis a vis masyarakat. Akibatnya, satu demi satu peserta didik tewas mengenaskan, direnggut oleh pendidikan yang seharusnya membuatnya menjadi manusia beradab atau Insan Kamil menurut Muhammad Iqbal, filosof  berkebangsaan Pakistan.
Ironis memang, sekolah seharusnya menjadi rumah kedua bagi anak atau peserta didik, justru belum bebas dari potensi kekerasan. Belum terbebas dari potensi dan perasaan kekerasan, tidak betah betah di sekolah, sebagaimana dijelaskan masuk dalam katagori Malpraktik pendidikan menurut Abi Sujak dari  Kasubdit Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK). Para pelaku tindak kekerasan, sepertinya masih bisa bernapas lega dan hukum seolah tidak punya kekuatan untuk menjeratnya. Keberadaan Undang-undang No.23/2002 tentang perlindungan anak tidak bisa membuat pelakunya jera. Sangsi 15 Tahun penjara dan denda 300 Juta bagi pelaku berdasarkan undang-undang perlindungan anak di atas, terlihat begitu ringan. Ya, mau apalagi itulah hukum tertulis, dan sebenarnya yang lebih penting untuk mencegah tindakan kekerasan itu sejatinya adalah hati nurani dan kasih sayang. Tapi masalahnya, hati nurani sebagian pendidik (terlibat tindak kekerasan) sedang  mati suri dan pada akhirnya akan mati juga, akibatnya kasih sayang pun tidak akan pernah dapat tempat, malah yang terjadi sebaliknya.
Harus disadari bahwa esensi dasar pendidikan adalah wahana membentuk jatu diri dan perilaku dalam koridoe kecerdasan (kognitif), sikap (afektif) dan keterampilan (psikomotorik), ungkap H.A. Tilaar, pakar pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta. Lingkungan, kurikulum, metode dan kultur budaya merupakan unsur-unsur yang penting dengan out-come pendidikan itu sendiri. Institusi pendidikan yang dikelola secara humanis, toleran tetapi tidak meninggalkan disiplin akan melahirkan out-put siswa atau mahasiswa yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan dan tetap mengedepankan kedisiplinan. Tentu, di aras ini, sistem pendidikan top-down-militeristik patut dikaji ulang dan dipertanyaan, apalagi di era reformasi saat ini.
Menurut Agus Wibowo (2008) sistem pendidikan top-down atau dari atas ke bawah dengan karakter dasar mendikte, memang cocok diperuntukkan dalam sistem pendidikan militer. Metode pendidikan seperti ini juga  mirip dengan metode yang dipakai untuk mendidik anjing. Anjing dididik oleh tuannya dengan sistem reward and punishment, agar si anjing menjadi setia dan tunduk kepada tuannya. Pendekatan top down, sistem militer, dan metode anjing yang selama ini cendrung digunakan dalam system pendidikan kita telah menjadikan lembaga kependidikan sebagai institusi penghantar kekerasan, baik langsung maupun tidak langsung.
 Akhir dari lakon malpraktik ini, secara politik akan melahirkan para politikus yang tidak bermoral. Tanpa merasa bersalah apalagi berdosa telah mengkorupsi secara berjamaan uang rakyatnya ataupun kalau tidak mereka akan membuat kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan atau konstitennya sendiri saat melakukan kampanye. Dengan janji-janji manis dan angin sorga, mereka berhasil membuai mimpi dan mendekap hati pemilih dan memilihnya, namun yang terjadi kemudian mereka melupakan janji manisnya dan hanya menumpuk-numpuk harta dan  popularitasnya.
Ketika moralitas bangsa dipertanyakan esensinya, semua perhatian akan tertuju kepada tokoh agama dan pendidikan agama. Kalau sudah begini, masyarakat akan mempertanyakan, dimana dikau gerangan para tokoh agamaku? Adakah yang Mulia tokoh agama sudah terjebak ikut terpancing menjadi politikus kampium di negeri ini? Ikut-ikutan sibuk dengan urusan perut dan untuk mencapai tangga puncak politik di legislatif maupun eksekutif  di negeri yang sangat religius ini?. Jika sudah begini, siapa yang memegang otoritas penjaga moral ummat dan rakyat ini? Mau tidak mau, para tokoh agama harus kembali ke habitat asli sebagai pemegang otoritas atau ujung tombak dalam proses pencerahan spiritualitas, di tengah permasalahan bangsa (termasuk pendidikan) yang semakin pelik seperti saat ini.
  Bukan salah Ibu mengandung, istilah yang seringkali kita dengar. Ya, si Ibu tidak perlu dipersalahkan atas kebobrokan moral dan semakin menjamurnya malpraktik-malpraktik pendidikan dengan seribu wajah di negeri ini. Ibu sudah susah payah melahirkan dan membesarkan anak-anaknya sampai akil balig, serta sudah mampu mandiri. Kalau dengan kemandiriannya si anak sudah mampu berinovasi dan mengembangkan diri, maka si Ibu mestinya merasa bangga dan terus mengayomi anak-anaknya. Jika terjadi kesalahan perilaku, maka perlakukan ia dengan lembut dan kasih sayang, tidak perlu dipersalahkan, apalagi menghakimi. Mesti diakui bahwa malpraktik di dunia pendidikan, sudah merusak tatanan peraturan  yang telah ada selama ini; tetapi tidak perlu saling menghakimi. Jalan terbaik mencari solusi dan penyelesaian yang terbaik agar masyarakat dan dunia pendidikan tidak tercoreng. Di sinilah kearifan pemerintah perlu dikedepankan dan pelaku pendidikan harus selalu mawas diri dengan terus mencermati peraturan perundang-undangan tentang pendidikan.

Perlu penyelesaian yang Komprehensif
            Banyak aturan hukum dan tindakan yang telah dilakukan oleh pemerintah dan penegak hukum terhadap pelaku malpraktik di dunia pendidikan. Banyak yang sudah ditindak dan dijatuhi hukuman namun sebanyak itu pula pola dan praktik yang tumbuh subur, seperti kesan adanya jual beli ijazah yang dilakukan oleh lembaga formal, malah tidak tersentuh (perhatikan inti dialog di awal tulisan ini). Jika yang jelas produknya saja tidak ditindak, lalu bagaimana dengan praktek yang lainnya (sebut saja yang inklud dengan praktek jual beli ijasah adalah jual beli skripsi dan jual beli nilai).
            Memang untuk menyelesaikan kasus seperti tersebut di atas butuh perhatian dan keseriusan dari pemerintah dan stakeholder pendidikan. Walaupun UU No. 20/2003 tentang Sisdiknas telah mengatur dan memberikan ancaman bagi siapa saja terbukti dengan sah melakukan plagiat terhadap hasil karya orang lain, maka hukumannya 8 (delapan) tahun penjara (termasuk di dalamnya pembuatan skripsi, jelas ada unsur plagiatnya atau ada unsur copy and paste) hasil karya orang lain.
Tentu, untuk menyikapi dan meminimalisir kasus-kasus seperti di atas mestinya masing-masing PTN, PTS, dan PTAIS membuat aturan sendiri, semisal diharuskan bagi Mahasiswa untuk membuat pernyataan di atas materai 6000,-  yang ditandatangani sendiri dengan menyatakan bahwa hasil karya itu asli, bukan plagiat, dan siap bertanggung jawab secara hukum. Regulasi itu  penting dilakukan sebagai langkah antisipatif agar tidak melibatkan lembaga ke ranah hukum, sebagaimana yang telah dan pernah terjadi di beberapa PTN.
            Secara struktural pihak pihak pemerintah (Diknas dan Depag) telah banyak mengeluarkan surat edaran-surat edaran tentang berbagai hal yang berkaitan dengan malpraktik pendidikan, untuk menyelamatkan siswa dan mahasiswa dari malapraktik ini, tentu harus ditangani secara komprehensif  dan penuh kehati-hatian. Artinya stakeholder (pemerintah, pelaku pendidikan dan masyarakat) perlu membangun kerja sama agar malpraktik pendidikan dapat ditekan perkembangannya dan dituntut secara hukum.
Untuk memberikan rasa aman, nyaman, tidak takut, dan mampu berprestasi, maka  Depdiknas telah menyiapkan program induksi bagi guru pemula. Program induksi merupakan orientasi bagi guru pemula untuk mengenal dan memahami tugas-tugasnya sebagai pendidik, dengan mengedepankan pengenalan lingkungan dan siswa yang akan dihadapi.
Program induksi Depdiknas itu melibatkan kepala sekolah maupun guru senior untuk menjadi mentor saat guru pemula melakukan tugas pengajaran di kelas. ”Jika dalam evaluasi ternyata guru yang bersangkutan tidak layak mengajar, maka ia tidak bisa dipaksakan menjadi guru. Ia bisa saja dialihkan ke tugas lain seperti administrasi atau petugas perpustakaan. Kelihatannya, program induksi ini sangat bagus dan perlu diusahakan  payung hukum yang jelas, sehingga program induksi bisa diterapkan di seluruh Indonesia. Pada tahap awal  Depdiknas sendiri sudah menerapkan program ini pada enam kabupaten percontohan yakni Sumedang, Bantul, Pasuruan, Padang, Banjarbaru, dan Minahasa Utara.
Jika nantinya, program induksi ini berhasil, tentu akan sangat baik hasilnya dan guru-guru yang akan mengajar adalah guru-guru yang memang disiapkan untuk menjadi guru. Mereka yang tidak siap menjadi guru karena terseleksi lewat program ini memang harus dipindahtugaskan untuk menjadi tenaga administrasi atau lainnya. Sehingga peserta didikpun akan merasa senang dan betul-betul terwujud, sekolah menjadi rumah kedua, serta sekolah menjadi pusat pembudayaan nilai-nilai.











DAFTAR  RUJUKAN

Barbara Coloroso, 2006, Penindas, Tertindas, dan Penonton, Jakarta: Serambi
Darmaningtyas, 2005, Pendidikan Rusak-rusakan, Yogyakarta: LKIS
Eko Prasetyo,2007, Guru: Mendidik Itu Melawan, Yogyakarta: Resist Book
John P. Miller, 2002, Cerdas di Kelas: Sekolah Kepribadian, disadur oleh Abdul Munir Mulkhan, Yogyakarta: Kreasi Wacana

Johan Galtung, 2003, Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konfli, Surabaya: Pustaka Eureka
M. Izza Ahsin, 2007, Dunia Tanpa Sekolah, Bandung: Mizan Media Utama
Muhyi Batubara, Prof.Dr, 2004, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Ciputat Press
Muhammad Hatta, 1981, Alam Fikiran Yunan, Jakarta: UI Press
Paulo Freire, 2004, Politik Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rasyidi, 1981, Filsafat Agama, Jakarta: Bulan Bintang
Zubaidi, Dr, 2006, Pendidikan Berbasis Masyarakat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar



[1] Meninggalnya Cliff  Muntu, Praja Tingkat II IPDN akibat dianiaya oleh senior-seniornya; nasib sebelumnya dialami oleh Wahyu Hidayat. Belum lagi oknum Guru yang memukul anak didiknya dan bahkan ada guru yang mencabuli muridnya sendiri, dan banyak lagi kasus kekerasan fisik yang dilakukan guru terhadap anak muridnya sendiri.

0 komentar: