Diskursus tentang perempuan dan peran politik menjadi isu yang banyak diperbincangkan masyarakat secara luas. Isu-isu ketidakadilan pada ranah politik lebih banyak disebabkan karena perundang-undangan memang belum banyak memberikan space bagi perempuan untuk berpartisipasi, dan juga karena memang disebabkan masalah teologis yang perlu kiranya diberikan penafsiran sehingga peran perempuan tidak dibatasi pada peran privat semata.
Parpol mestinya juga memberikan kesempatan bagi perempuan untuk lebih mengembangkan potensinya pada ranah politik. Undang-undang 31 tahun 2003 dan undang-undang 12 tahun 2003 secara normatif memberikan kuota 30% bagi perempuan untuk menjadi calon legislatif, namun realitasnya banyak partai politik masih setengah hati dalam memberikan kesempatan bagi perempuan untuk mengembangkan potensinya. Kalaupun ada, itupun sebatas pelengkap penderita dan menempatkan perempuan pada nomor sepatu atau dengan kata lain perempuan dijadikan calon legislatif sekedar untuk mengelabui persyaratan calon perempuan 30%, kondisi semacam ini yang dimaksud dengan primitifime politik terhadap perempuan.
Pada aras itu, memang potret suram dan buruknya status perempuan dalam masyarakat Indonesia sehingga berkembang berbagai gagasan untuk kemajuan dan peran politik perempuan harus diperjuangkan. Organisasi perempuan yang lahir dari rahim organisasi keagamaan banyak jenisnya, namun sangat disayangkan masing-masing dari organisasi memiliki tanggapan yang berbeda-beda terhadap perempuan dan peran membangun sosial politik sehingga kehadirannya-atau tidak hadirnya sama saja (wujuduhu ka adamihi) tidak memberikan dampak terhadap perbaikan nasib perempuan.
Teologi perempuan kelihatannya menjadi kebutuhan yang mendesak sebagai alas untuk mengurangi dominasi kaum laki-laki. Imam khomaini menandaskan bahwa sangat penting untuk secara jelas memisahkan aturan ilahiah yang aktual dari perbatasan yang murni bersifat sosial dan tardisional (Borojoerdi,2005). Dan bahkan sering menemukan kenyataan bahwa konflik diantara praktik-paraktik tradisional semacam itu dengan pembatasan aktual hukum syariat.
Pada aras ini, faktanya banyak ahli fiqh secara konsisten menolak ide bahwa perempuan berkompeten bagi kepemimpinan. Sementara pada saat yang bersamaan muncul desakan untuk memberikan ruang bagi perubahan dalam aturan klasik itu dan disesuaikan dengan ruang dan waktu.
Potensi perempuan sebagai pemimpin
Kemampuan perempuan dalam ilmu pengetahuan, gerakan dan penciptaan selalu diulang-ulang dalam kitab suci agama-agama. Hawa adalah pemilik pengetahuan, mempunyai akal dan kecerdasan, sementara Adam tidak lain hanyalah suatu alat baginya untuk merealisasikan pengetahuan dan kemampuannya dalam mencipta. Adam sangat mematuhi Hawa dan terbukti ikut memakan buah pengetahuan dan memperoleh ilmu pengetahuan seperti yang telah didapati Hawa. Oleh karena itu keduanya diusir dari surga dan diturunkan ke bumi tempatnya hidup dan mati.
Dalam penafsiran gereja bahwa buah khuldi yang dimakan Adam dan Hawa adalah buah pengetahuan, karenanya gereja melarang perkembangan pengetahuan yang dipandang sebagai penyebab kejatuhan manusia. Larangan ini ternyata menorehkan luka dengan hukuman yang dijatuhkan Gereja kepada Copernicus dan Galileo dan bahkan memunculkan penafsiran miring bahwa bahwa rasio terbelenggu dan dibunuh oleh agama sehingga ilmu pengetahuanpun mandeg.
Multitafsir dapat diberikan tentang kisah Adam dan Hawa dengan segala rumusan dari fase-fase perkembangan manusia dalam memperoleh pengetahuan secara bertahap dan hubungan pengetahuan itu dengan gender. Adam ketika memakan buah keabadian atau kholdi, sebenarnya tidak jatuh melainkan secara kualitas sebenarnya naik dengan kemampuan akal dan pengetahuannya dari hewani atau dalam bahasa tasauf, Adam sebenarnya telah mampu melepaskan dirinya dari ikatan nafsu amarah menembus batas nafsu lawwamah ke mutmainnah dengan kemampuan akalnya. Oleh karena itu Siti Hawa bukanlah penyebab kejatuhan Adam melainkan yang menyebabkan naiknya ke eksistensi kemanusiaannya yang sebenarnya.
Dari perspektif ini sebenarnya, pandangan dan teori tentang wanita bisa diubah dan diformulasi kembali dengan memberikan porsi yang seimbang, bukankah yang membedakan antara manusia dengan manusia lainnya, laki-laki dengan wanita adalah pengetahuannya? Atau dalam bahasa agama yang membedakan hanyalah kedekatannya dengan Tuhan, sehingga kedudukan wanita bisa diangkat setara dengan laki-laki pada tataran gender tidak dalam artian seks.
Manusia karena fitrahnya mampu mendaki rangkaian gradasi (tingkat-tingkat) kesempurnaan spiritual yang puncaknya pada kedekatan dihadapan Illahi, mampu ber - tahallul dalam bahasa Ibnu Araby yang ditentukan dengan kesalehan. Jastifikasi dari Al-Qur’an dapat dikemukan disini bahwa pria dan perempuan memiliki posisi yang sama di hadapan Tuhan dalam terminologi potensi spiritual. Semua orang yang berilmu dan shaleh adalah satu jenis dan tidak ada seorangpun yang superior atau imperior dikarenakan gender.
Manusia insan secara kodrati sebagai ciptaan Tuhan yang sempurna bentuknya sudah dilengkapi dengan kemampuan mengenal dan memahami kebenaran yang terpancat dari ciptaan-Nya. Kemampuan lebih yang dimiliki manusia itu adalah kemampuan akalnya, sehingga sering disebut animal rationale, hayawan an-natiq. Pada proses kegiatan akalnya itu, terjadi hubungan dialektik antara akal dengan ciptaan Tuhan, sehingga manusia dapat mengenal dirinya, alam semesta dan darinya manusia memperoleh pengetahuan yang disusun secara sistematis guna merancang masa depannya.
Arti manusia sebagai insan seperti terdapat dalam Al-Qur’an dipakai untuk menunjuk pada lapangan kegiatan manusia yang terletak pada kemampuan menggunakan akalnya untuk mewujudkan pengetahuan dalam kehidupan konkrit untuk menata kehidupan yang lebih baik, harmonis, dan teratur, hal inilah sebenarnya makna dari khalifah fil al-ardhli.
Seorang khalifah adalah orang yang menggantikan orang lain dan ia menempati tempat serta kedudukannya, kepemimpinannya atau kekuasaannya. Dalam konteks politik kekuasaan proses pergantian politik sangat rumit karena di dalamnya terdapat kepentingan akibatnya seringkali terjadi pertumpahan darah yang disebabkan oleh bentrok antar pendukung calon pemimpin dan tindakan anarkisme. Kekuasaan seorang khalifah dibatasi oleh pemberi mandat kekhalifahan. Dalam konteks agama pemberi mandat kekhalifahan itu adalah Tuhan, maka mau tidak mau harus tunduk kepada hukum Tuhan. Namun dalam pengertian politik di samping tunduk kepada hukum Tuhan, seorang khalifah juga wajib mendengar hati nurani rakyatnya, mampu menangkap penderitaan rakyat, tuntutannya, walaupun sering kali tidak terdengar nyaring. Atau meminjam istilah Budi Susanto sebagai “sisi senyap politik bising”.
Primitifisasi Politik Perempuan ?
Inti demokrasi bertumpu pada kemahakuasaan kedaulatan rakyat yang mengajarkan tentang kebebasan dan kesetaraan. Kesetaraan secara prinsipil mengondisikan ketiadaan diskriminasi, baik atas dasar etnik, gender, kultural, dan agama. Artinya kesetaraan berdimensi egalitarianisme yang muncul pada setiap bidang, sisi, dan fungsi kemanusiaan dalam menjalankan perannya sebagai sebagai individu ataupun warga negara. Oleh karena itu, kebebasan dan kesetaraan yang termaktub dalam demokrasi sangat berhubungan dengan hak politik kerakyatan dan kewarganegaraan.
Dalam Undang-undang nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum, pasal 57 ayat 1 menyatakan bahwa “setiap Partai Politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Keterwakilan perempuan 30% menjadi perdebatan dan isu yang sangat seru sampai saat ini, terutama oleh kalangan aktivis perempuan. Persoalannya sekarang adalah apakah dengan keterwakilan perempuan di parlemen yang signifikan dapat mengurangi maraknya aksi kekerasan terhadap perempuan atau kekerasan fisik yang sering dialami dalam wilayah domistik? Apakah ada keterkaitan antara keterwakilan perempuan di parlemen dan atau peran perempuan pada ranah politik akan mempercepat proses demokratisasi yang sedang berjalan saat ini?
Namun yang pasti bahwa perubahan peran perempuan dari ranah domistik ke ranah publik atau politik mengalami hambatan kultural maupun politik. Jika dicermati dengan kritis bahwa UU Nomor 10 tahun 2008 yang mengatur tentang kuota perempuan terlihat sangat jelas bahwa rumusan kata “hanya dapat”, bisa memunculkan multitafsir yang lebih mengarah kepada termarjinalnya atau primitifisasi dan semakin sempitnya ruang gerak perempuan untuk berkarir di ranah politik praktis artinya dapat ditafsirkan secara sepihak dan bukan merupakan sebuah keharusan. Di samping itu, bunyi klausulnya sama sekali tidak secara tegas dicantumkan konsekuensi hukum bagi partai politik yang secara sengaja atau tidak, ternyata tidak dapat memenuhi ketentuan tersebut.
Pada aras ini, persoalan mendasar sebenarnya terletak pada kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) kaum perempuan yang perlu ditingkatkan, terutama dalam bidang politik. Oleh karena itu, ada tiga hal yang perlu dilakukan: pertama. Meningkatkan pembelajaran dalam segala bidang kehidupan untuk memperbaiki kualitas SDM, peningkatan partisipasi politik rakyat dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan demi mempercepat kesetaraan gender. Kedua. Perlu diupayakan langkah-langkah kongkrit untuk memperluas jaringan kerja kaum perempuan Indonesia dengan titik tekan pada keswadayaan dan kemandirian untuk menumbuhkan partisipasi politik. Ketiga. Perlu diciptakan suasana yang kondusif bagi peningkatan peran politik perempuan Indonesia, baik melalui upaya legislasi, advokasi dan pendidikan (Ali Masykur Musa, 2005).
Keterlibatan perempuan di ranah politik sebaiknya tidak usah diperdebatkan lagi, sebab kehadiran perempuan di semua lini kehidupan memang sudah seharusnya diperankannya, apalagi di ranah politik. Perempuan pada ranah politik dapat memberi warna perpolitikan Indonesia yang cendrung rusuh, anarkis, dan tidak toleran terhadap keberadaan orang lain sebagai pesaing politik. Pada aras ini, perempuan sebagai simbol kelemah-lembutan diharapkan mampu mempengaruhi dan memberikan warna terhadap perpolitikan keindonesiaan menjadi lebih toleran, penuh kelembutan, santun, dan tidak anarkis.
Potensi perempuan semacam itu tidak bisa dibiarkan berjalan sendiri apalagi secara sosiologis memang terdapat hambatan kultural yang bisa mematikan potensi perempuan berkarir pada ranah politik. Keyword atau kata kuncinya adalah keharusan pemerintah memfasilitasi disertai political will agar tidak bias gender, jika tidak, mungkin akan mengarah ke primitifisasi politik terhadap eksistensi perempuan.
Partai Politik juga harus memberikan perempuan ruang atau space untuk berkarir di ranah politik dengan sepenuh hati. Ruang yang dimaksudkan adalah partai politik memberikan kesempatan untuk menjadi calon jadi anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota pada daerah-daerah pemilihan. Jika ini tidak dilakukan maka sudah barang tentu partai politik akan dicap sebagai partai politik yang tidak memihak atau membela hak-hak perempuan, akibatnya pasti pada pemilu tahun 2009 mendatang pemilih perempuan juga tidak akan memilih partai politik itu.
Jadi menciptakan suasana yang kondusif bagi peningkatan peran politik perempuan harus menggunakan pendekatan multidimensi dengan meminimalisasi hambatan-hambatan kultural dan didukung oleh political will dari pemerintah dan partai politik agar terwujud perpolitikan Indonesia yang lebih santun, toleran, dan penuh kelembutan (baik di parlemen maupun di parpol). Perempuan sendiri harus mampu mengkonstruksi budaya politik yang berpihak pada perempuan sendiri. Jika tidak, malah perempuan tetap terjebak pada politik laki-laki yang cendrung keras dan tidak toleran.
0 komentar:
Posting Komentar