Kamis, 15 September 2011

MENCERMATI FENOMENA RADIKALISME DAN POLITISASI AGAMA DALAM PEMILU KEPALA DAERAH


Mendekati pemilu Gubernur dan wakil gubernur provinsi Nusa Tenggara Barat yang rencananya akan bersamaan waktunya dengan pemilu Bupati dan Wakil Bupati Lombok Timur, dan Pemilu Wali Kota dan Wakil Walikota Bima,  tanggal 19 Mei 2008 yang akan datang, tanpak kecendrungan suhu perpolitikan di daerah ini semakin memanas. Hal itu bisa dilihat dari bermunculannya pusat-pusat komunikasi para bakal calon kepala daerah. Pada satu sisi ada kehawatiran dari sebagian masyarakat menjelang pemilu kepala daerah akan ada sejumlah partai politik melakukan politisasi simbol-simbol sosial termasuk agama, terutama oleh partai-partai politik yang menjadikan agama sebagai identitas politiknya dan ditambah lagi ada tokoh agama yang sudah mulai muncul sahwat politiknya untuk mencari keberuntungan menjadi kepala daerah. Politisasi agama adalah pemanfaatan idiom-idiom keagamaan yang secara langsung digunakan dalam perjuangan politik untuk meraih kekuasaan politik, baik pada aras rasionalisasi, legitimasi dan sampai kepada manipulasi pesan-pesan ajaran untuk kepentingan politik.
Dilihat dari kacamata sosiologi, politisasi agama wajar adanya, sebab masyarakat Indonesia dikenal sebagai masarakat yang religius dan taat beribadah, tentunya agama dianggap sebagai identitas komunal yang paling fundamental. Dalam konteks dakwah Islamiyah misalnya, untuk mewujudkan suatu masyarakat yang religius, politisasi agama juga memiliki legitimasi yang kuat selama perjuangan politik untuk menegakkan kebenaran dan membangun suatu masyarakat yang dalam berperilaku dilandasi oleh nilai-nilai religius. Namun perlu disadari bahwa penggunaan dan pemanfaatan simbol-simbol atau idiom-idiom keagamaan, selain mempunyai nilai positif untuk menegakan kebenaran, juga mepunyai nilai negatif yang dapat mengarah kepada penguatan radikalisasi politik atau  semakin menguatnya perilaku politik yang bersifat antagonistik untuk memperjuangkan kepentingan politik.
Persoalan etnisitas juga bisa menjadi misiu yang tak kalah hebatnya sebagai penyebab terjadinya konflik antar pendukung pasangan calon kepala daerah di Nusa Tenggara Barat. Sehingga jauh-jauh hari perlu ada kalkulasi politik yang mesti diperhatikan oleh elit-elit partai politik dalam menentukan pasangan calon Gubernur dan wakil gubernur yang akan datang. Walaupun misalnya, etnis Sasak menjadi etnis yang terbesar di NTB tentunya tidak bisa memaksakan diri untuk berpasangan dengan sesama etnisnya, sebab NTB terdiri dari dua kepulauan yakni pulau Lombok dan pulau Sumbawa dan begitu juga dengan etnis lainnya. Jika ini dipaksakan bukan tidak mungkin akan melahirkan kekerasan politik, oleh karena itu perlu kedewasan politik dalam penentuan pasangan bakal calon kepala daerah.
Politisasi agama dan  perbedaan etnis merupakan unsur yang cukup dominan dalam mengangkat konflik menjadi kekerasan terbuka, hal ini terjadi karena dalam waktu yang bersamaan kepercayaan masyarakat terhadap institusi politik cendrung melemah sebagai akibat dari tekanan liberalisasi atau integrasi global. Persoalannya menjadi semakin runyam manakala kontrak-kontrak sosial memberi peluang kriteria-kriteria religius dan etnik tertentu dalam mengalokasikan sumber daya ekonomi dan politik. Akibatnya, kekerasan struktural politik akan memberi peluang bagi satu identitas politik untuk membangun karakter dan mendominasi kompetisi politik.
Perilaku politik yang diperagakan oleh pasangan calon yang kalah dalam pemilu gubernur dan wakil guberur Sulawesi Selatan dan Maluku Utara dapat dijadikan sebagai referensi semakin menguatnya perilaku politik antagonistik untuk memenangkan kekuasaan serta imbol-simbol sosial termasuk agama dijadikan sebagai legitimasi, walaupun memang ada kecurangan-kecurangan yang terjadi sehingga KPU Pusat sampai mengambil alih proses penghitungan suara Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara dan akhirnya dimenangkan oleh Pasangan Abdul Gafur (namun dianulir oleh Mahkamah Agung karena dianggap KPU pusat melanggar aturan). Pada aras ini harus diakui, itulah realitas perilaku politik di negeri ini, masih kental dengan dengan pemanfaatan simbol-simbol atau idiom-idiom sosial untuk mencapai tujuan politik dan pada akhirnya dapat mengarah kepada proses radikalisasi politik yang bersifat antagonistik. Akibat penciptaan suasana yang penuh pertentangan itu, lahirlah berbagai tindak kekerasan politik baik pada aras psikologis maupun fisik sebagaimana disinyalir oleh Mapinawang ketua KPU Sulawesi Selatan.
Secara prosedural, ada beberapa daerah yang sukses melaksanakan Pemilu Kepala Daerah yang berlangsung damai dan melahirkan pemimpin yang terpilih secara demokatis. Tetapi demokrasi bukan persoalan prosedur, melainkan sebuah komitmen untuk menjunjung tinggi hukum dan nilai-nilai terbaik yang melekat pada seseorang atau komunitas. Kita baru menyentuh aspek prosedural dari demokrasi, kata Bang Komaruddin Hidayat (Rektor UIN Syahida Jakarta) dalam Workshop Civic Education di Malang beberapa waktu yang lalu, tetapi belum memasuki esensi serta membangun kultur demokrasi yang memerlukan sikap toleran atau belum siap kalah, serta melindungi hak-hak asasi warga negara. Pemilu kepala daerah yang diharapkan menjadi gerbang kesejahteraan rakyat lokal hanya dijadikan perebutan kekuasaan raja lokal untuk meraih kekuasaan, walaupun melakukan tindakan anarkis.
Superego dan gejala radikal
Kecendrungan radikalisasi politik makin menonjol menjelang pelaksanaan pemilu kepala daerah saat ini, tidak terkecuali di Nusa Tenggara Barat, terlebih lagi dengan munculnya figur Tuan Guru yang menjadi bakal calon gubernur mendatang. Sulit membayangkan sekiranya figur Tuan Guru kalah dalam pemilihan gubernur yang akan datang, apakah pada aras ini, masyarakat pendukungnya akan serta merta menerima kekalahan itu dengan sabar atau legowo dengan mengedepankan nilai-nilai kesabaran sebagai bentuk pembelajaran dari Tuhan  atau malah sebaliknya hancur-hancuran, muncul anarkisme, fanatisme ketokohan, yang akhirnya menodai agama sendiri.  Kecendrungan perilaku radikal itu dapat dilihat dari beberapa kemungkinan; pertama. Marginalisasi politik yakni ketika  kekuatan politik tertentu merasa terpinggirkan atau tersisih dari arus besar (mainstream) kekuasaan politik. Kedua, faktor bawaan dari sebuah budaya sebagai produk dari idiologi politik yang berwatak fundamentalis. Ketiga, faktor keterancaman politik, bahwa kelompok politik yang bersangkutan merasa memperoleh pesaing dari berbagai pihak dalam proses perebutan kepentingan politik (Haedar,1999). Bila kecendrungan radikalisasi politik terus berlangsung, justru akan menjadi preseden buruk bagi perkembangan demokratisasi yang  diinginkan bersama.
Perilaku yang sarat dengan pertentangan politik lebih diakibatkan oleh penciptaan suasana yang langsung maupun tidak langsung, inilah sebenarnya yang dimaksud dengan kakekat radikalisasi politik. Akibat langsung dari penciptaan suasana yang penuh potensi pertentangan itu lahirlah berbagai jenis kekerasan politik, baik pada aras psikologis maupun fisik, seperti bentrok antar pendukung pasangan calon yang kalah, pengrusakan dan pembakaran pasilitas umum, termasuk tempat ibadah serta tindakan anti-demokratis lainnya. Perilaku radikal dalam politik sudah menjadi citra dan virus yang semakin lama akan menggerogoti proses demokrasi yang menjadi cita bersama dan tentunya perlu langkah antisipasipatif agar kecendrungan menempuh cara-cara yang kasar bahkan sampai benturan fisik dalam rolling kepentingan politik tidak sampai merusak cita demokrasi. Meminjam istilah kang Muhammad Sobari,  radikalisasi politik lahir dari proses pembudayaan yang secara sadar atau tidak dipelajari masyarakat dari para elit politik.
Akar persoalan lain yang cukup dominan adalah menguatnya “passion politique” meminjam istilah J. Benda, yaitu kegairahan atau sahwat politik yang memungkinkan orang bangun dan memusuhi orang lain. Sahwat politik ini menampakan diri dalam politik kekuasaan yang menjangkiti para elit politik sampai tokoh agama yang pada akhirnya pola politik ini diamini oleh masyarakat luas dan seolah menjadi sebuah kultur politik Indonesia dewasa ini.
Tiap orang menghendaki agar semua persoalan politik berjalan mulus, diselesaikan dengan aturan-aturan hukum dengan menghindar jauh dari segala kemungkinan timbulnya kerugian dan dibangun di atas super-ego. Setiap perkara sebaiknya diselesaikan dengan cara musyawarah – mufakat, sehingga bila persetujuan itu disetujui bersama, maka haram hukumnya pergantian kepemimpinan menggunakan cara-cara kekerasan atau radikalisasi politik. Pada aras ini, bila aturan main disepakati bersama oleh para pasangan calon kepala daerah sebagaimana diutarakan oleh Sri Nuryanti, MA, anggota KPU pusat beberapa waktu yang lalu saat memberikan sambutan dalam acara rapat kerja KPU se NTB,  maka tidak perlu terjadi misalnya penghitungan suara hasil Pemilu Gubernur dan Wakil Gubernur Maluku Utara diambil alih oleh KPU Pusat, cukup masalahnya diselesaikan oleh KPU Provinsi Maluku Utara.
Amy Gutmann dan Dennis Thompson dalam “Ethics and Politics” menyatakan bahwa kekerasan atau radikalisasi itu melanggar nilai moral fundamental, karena mencelakai pihak lain. Tetapi, pada situasi tertentu menurut Aristoteles sang Filosof Yunani,  negara punya legitimasi untuk menggunakan kekerasan demi mempertahankan nilai-nilai moral yang fundamental itu.
Untuk meminimalisasi radikalisasi politik dalam pelaksanaan pemilu kepala daerah yang akan dilaksanakan di Nusa Tenggara Barat, maka perlu dicermati beberapa gejala radikalisasi politik. Dari beberapa daerah yang melakukan pemilu Kepala Daerah mulai kurun waktu  tahun 2005 sampai tahun 2007 saat ini, ada beberapa gejala yang bisa dicermati. Pertama, kekerasan bahasa politik seperti terbaca dalam brosur, buletin, spanduk, ceramah, dan berbagai bentuk komunikasi politik lainnya yang vulgar, kasar dan dapat menjadi pemicu ketegangan psikologis antar pendukung partai politik. Kedua, gejala yang palin kentara ialah pertentangan antar pendukung partai politik yang mengakibatkan bentrokan fisik yang berujung pada jatuhnya korban. Ketiga, persaingan yang makin kuat, yang melahirkan konflik politik yang melampaui batas-batas toleransi dan berakibat pada rusaknya hubungan antar kelompok etnis, agama, dan kelompok politik.
Humanisasi Politik
Rakyat sudah menunjukan mampu berdemokrasi, terbukti dengan diberikannya penghargaan “Demokrasi Award” oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa kepada Presiden Susilo Bambang Yudoyono beberapa waktu yang lalu. Penghargaan itu diberikan karena keberhasilan rakyat Indonesia untuk mengamankan Pemilu tahun 2004 dan Pemilu Presiden putaran I dan II  yang lalu dan hasilnya diakui dunia sebagai pemilu yang sangat demokratis.
Namun, ada pertanyaan yang selalu mengemuka di setiap perhelatan demokrasi di negara Indonesia, apakah setiap partai politik dan atau calon kepala daerah, selain bersiap untuk menang juga menyiapkan memori untuk menerima kekalahan. Kelihatannya agak sulit sebab selama puluhan tahun sebuah kemenangan selalu berarti kecurangan, di lain pihak kelompok yang dirugikan atau kalah dalam pemilu (juga pemilu kepala daerah), sulit menerima bahwa kekalahan itu adalah bagian dari kenyataan demokrasi yang harus diterima.
Partai politik ataupun calon kepala daerah perlu melihat bahwa rival politik adalah suatu keniscayaan. Tanpa mereka tidak akan tercipta kemajuan, bukankah inovasi dan kreativitas politik muncul dari persaingan?. Ending dari persaingan politik tentu untuk memperebutkan dukungan dan simpati hati rakyat membuat masing-masing kontestan pemilu kepala daerah berlomba-lomba untuk menjadi yang terbaik di mata rakyat, karena di tangan rakyatlah kemenangan pemilu kepala daerah akan ditentukan.
Sudah tidak zamannya lagi pemilu kepala daerah dilakukan secara tidak fair dan penuh manipulasi politik, sebagaimana terlihat di daerah-daerah lain. Cara-cara kekerasan dan refresif politik dalam pemilu kepala daerah semakin tidak dapat ditoleransi lagi oleh masyarakat karena memang sangat bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi. Untuk itulah pada aras ini, para calon kepala daerah yang menjadi kontestan perlu memikirkan cara atau alternatif supaya dapat memenangkan persaingan pemilu dengan cara-cara yang lebih humanistis sehingga hasilnyapun akan lebih humanis dan menang dengan santun.
Dalam beberapa kasus Pilkada misalnya, pendukung tokoh yang kalah kemudian marah dan melakukan tindakan kekerasan, kerusuhan, bentrok antar pendukung, kasus pemilu gubernur Sulawesi Selatan, misalnya berakhir rusuh dan akhirnya Depdagri tidak melantik pemenang dalam pemilu, tapi malah melantik Balilimo sebagai pelaksana tugas gubernur Sulawesi Selatan. Pada aras ini, kiranya perlu dikembangkan politik berwawasan kemanusiaan dijadikan alternatif. Pemikiran mengenai politik berwawasan kemanusiaan mungkin akan otomatis dianggap sebagai kontraproduktif atas penyelenggaraan tata hidup kenegaraan yang berlangsung akhir-akhir ini. Gagasan politik berwawasan kemanusiaan sebenarnya lebih relevan dikaitkan dengan masyarakat atau dengan lain perkataan bahwa rakyatlah sebenarnya yang membutuhkannya. inilah makna membangun politik berwawasan kemanusiaan sebab real politics kita ditinggalkan oleh nilai-nilai kemanusiaan, keadilan dan kebenaran.
Untuk memutus dan meminimalisasi radikalisasi politik dalam pemilu kepala daerah sebagai akibat dari politisasi simbol-simbol agama dan etnisitas, maka perlu dikembangkan kehidupan yang demokratis yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral, agama substansial, serta kemanusiaan sebagai prasarat yang harus dibumikan. Kehidupan demokratis inilah yang perlu menjadi tatanan dan dasar pijakan moralitas institusi politik menjelang pelaksanaan pemilu kepala daerah, khususnya di Nusa Tenggara Barat yang akan datang.
Kukuhnya nilai-nilai kemanusiaan tersebut diharapkan melahirkan political body yang membawa masyarakat dalam kebersamaan dan tentunya sedini mungkin para bakal calon kepala daerah sudah menyiapkan memori untuk menerima kekalahan dan atau kemenangan. Dengan demikian perbedaan menjadi sesuatu yang alamiah ( atau dalam kacamata agama perbedaan adalah sebuah rahmat), bagian dari kehidupan dalam rangka membangun kerjasama yang kokoh untuk kehidupan yang berkeadilan, damai dan sejahtera, sehingga kalah atau menang dalam pemilu kepala daerah yang akan datang merupakan proses demokrasi yang wajar tidak malah mengorbankan rakyat dalam tindakan kekerasan, apalagi mengatas namakan agama dan atau atas nama etnis. Semoga pemilu kepala daerah kita tidak rusuh dan tidak menimbulkan radikalisme politik.

0 komentar: