Selasa, 20 September 2011

Membangun di atas Serpihan Hati Yang Hilang


Rabu (21/09/11) pukul 2.30 Wita dini hari, saya tersentak atau dipaksa bangun dari tidur panjangku. Malam itu, entah kenapa saya juga tidur teramat pagi yakni selesai menunaikan kewajiban shalat Isya’ dan tidak biasanya seperti itu. Tapi sudahlah itu tidak penting untuk dibahas dalam tulisan ini. Hanya saya agak heran dan seolah terbimbing, entah oleh siapa, untuk menulis apa saja yang berkaitan dengan hal ihwal Yayasan Darussalam Tanak Beak. Sebelum saya memulai menulis apapun, terlebih dahulu saya menunaikan shalat sunat tahajjut 4 rakaat dan baru sesudah itu memulai membuat tulisan ini.  
Yayasan Darussalam Tanak Beak merupakan reinkarnasi atau peralihan dari yayasan Pendidikan Raudlatul Fadliyah yang didirikan pada tahun 2006 silam. Yayasan ini didirikanberangkat dari sebuah cita-cita besar dan bentuk pengabdian melahirkan SDM yang mempunyai skill, menguasai teknologi, dan mampu menghafal Al-Qur’an. Background kelahiran cita tersebut berangkat dari suatu keprihatinan kami terhadap kondisi anak bangsa, terutama di desa Tanak Beak yang sedari kecil saya mengetahui sebagai masyarakat yang gemar membangun, kaya amal, tetapi lupa akan dirinya sendiri. sehingga wajar kalau desa Tanak Beak tergabung dalam kelompok IDT dan miskin Sumber Daya Manusia.
Sebelum berinkarnasi menjadi YPP Darussalam, Yayasan Pendidikan Raudlatul Fadliyah mengelola kegiatan-kegiatan non-formal dalam bidang sosial keagamaan, seperi Majlis Ta’lim, Diniyah dan pelatihan-pelatihan keterampilan yang dikelola Drs. H. Sudiatun, S.Pd (Almarhum). Ia adalah perintis dan sekaligus pengelola yayasan tersebut dikenal sebagai seorang yang sabar, ahli ibadah, dan dermawan. Sampai kini, ia tidak pernah mati di hati kami, pemberi spirit untuk terus berkarya, mengabdi membangun masyarakat agar lebih beradab melalui medium pendidikan. Mendidik panggilan jiwanya, menjadikan manusia ‘alim adalah citanya, membantu sesama tanpa tedeng aling-aling adalah karyanya, walaupun ditebusnya dengan harga yang teramat mahal.
 Tonggak dan dasar pembangunan Yayasan Pondok Pesantren Darussalam Tanak Beak oleh Ustadz H. Sudiatun tidak dimulai dari sesuatu yang bersifat material, namun dimulai dari bermunajat, berzikir, wiridan, dan memohon kepada Allah SWT demi suksesnya pembangunan ini. Setiap selesai wiridan setiap malamnya, ia selalu cerita tentang bacaan-bacaan yang dibacanya kepada saya. Apakah ini termasuk ujub atau tidak wallahu ‘a’lam bissawab. Namun yang jelas, semua itu ia lakukan dengan didasari atas semangat yang luar biasa sebagai pengabdi.
Di suatu sore, minggu ke dua bulan September tahun 2010, saya dipanggil oleh Ustadz H. Sudiatun (yang juga kakak saya) ke rumahnya. Saya duduk saling bersebelahan, ia mulai bercerita tentang salah seorang kiai dari Pasuruan Jawa Timur yang sengaja datang ke Lombok, khususnya di Yayasan Darul Qur’an desa Bengkel, Lombok Barat, atas wangsit dari Syaikh TGH. Muhammad Saleh Hambali (guru dari Syaikh TGH. LM. Turmudzi Badaruddin Bagu Lombok Tengah). Kiai itu adalah Hasyim Asy”ari (tetapi Bukan Kakeknya Gus Dur) namanya. Ia tidak mau disebut kiai, namun lebih senang dipanggil mbah Hasyim saja. Inti pertemuan sore kamis itu adalah mengajak saya bersilaturrahiem ke Bengkel  dengan Mbah Hasim. Besok pagi kita bertemu Mbah Hasyim di Darul Qur’an Bengkel, ucapnya singkat mengakhiri pertemuan itu, karena memang sudah menjelang adzan shalat Maghrib.
Sesuai pertemuan sore itu, pagi jum’at sekitar jam 07.00 Wita, kami berdua (Saya dengan Ustadz H. Sudiatun) berangkat ke Bengkel dan bertemu dengan Mbah Hasyim di kantor Mts Darul Qur’an pinggir kali. Sebelum ketemu Mbah Hasyim dalam hatiku sempat bertanya, mengapa Mbah Hasyim tinggal di ruang seperti ini? Kenapa tidak ditempatkan di salah satu rumah keluarga? Kenapa mesti di sini. Saat bertemu dengan Ustadz H. Halisussabri (cucu dari Syaikh TGH. Saleh Hambali), semua pertanyaan yang tidak terucap itu terjawab bahwa Mbah akhirnya hanya mau tinggal di sini (maksudnya ruang Mts), awalnya Mbah mau tinggal di area Makam Dato’ Bengkel. Mbah Hasyim datang dengan tidak diketahui oleh pihak keluarga, dia datang langsung menuju area Makam dato’ , kata ustadz Halisussabri. Mbah Hasyim agak aneh kata Halis, ia sejak kecil tidak pernah makan nasi, namun yang dikonsumsi sampai sekarang adalah ubi jalar dan sayur-sayuran, ubi jalarpun dia bawa sendiri, kami hanya dimintai tolong untuk memasaknya, ucap ustadz Halis.
Tidak beberapa lama, kamipun di bawa bertemu dengan Mbah Hasyim. Harus kami akui bahwa agak sedikit lama menunggu Mbah, karena rupanya baru bangun tidur dan tertidur setelah menunaikan shalat subuh. Apa yang dilakukan Mbah, tanya saya kepada Ustadz Halis, katanya, Mbah tidak tidur karena melakukan shalat sunat hajat bersama 20 orang santri terpilih sebanyak 1000 rakat setiap malamnya. Masya Allah sahut saya spontanitas. Ditengah keheranan saya, tiba-tiba Mbah Hasyim mencul dari ruangan, lalu kami salaman satu persatu dengan cium tangan Mbah sebagai bentuk Ta’zim kami dan memang sesuai dengan tradisi Nahdlatul Ulama.
Kemudian kakanda Ustadz H. Sudiatun membuka pembicaraan dengan memperkenalkan diri dan saya diperkenalkan sebagai pengabdi sebagai Rektor di IAI Qamarul Huda Bagu, Pesantrennya Syaikh TGH. Turmudzi Badruddin. Lalu, ia mengeluarkan tulisan berbahasa Arab dan setahu saya itu do’a Nurun Buat kepada Mbah Hasyim untuk diijasahkan. Ustadz H. Sudiatun dan Mbah Hasyim masuk berdua ke dalam kamar, beberapa saat kemudian keduanya keluar dari kamar. Mbah Hasyim hanya berucap silahkan diamalkan dan dapat diturunkan do’a itu kepada siapa yang dikehendaki. Terima kasih, kata Ustadz H. Sudiatun.
Mbah, kata kakanda Ustadz Sudiatun, kami punya rencana membangun  Pondok pesantren yang diberinama “Darussalam”, kami mohon agar kiranya memberikan do’a pada lokasi pembangunan Pondok Pesantren itu. Insya Allah, jawab Mbah Hasyim singkat. Apa dibawa gambarnya? Tanya Mbah. Kamipun, mengeluarkan gambar sekolah yang memang sudah dipersiapkan sebelum berangkat. Gambar dipegang, ditiup, dibacakan do’a, ditiup lagi, lalu dibacakan do’a lagi, dan Senen Sore saya ke Lokasi pembangunan bersama pak Marinah Hardi kata Mbah Hasyim. Jangan dijemput, tunggu saja di rumah saya pasti datang katanya. Lalu, karena pertemuan kami cukup lama, kami mohon pamit.
Tepat jam 05.00 Wita, hari Senen, Mbah Hasyim datang dan langsung menuju rumah saya, duduk sebentar tanpa berkomentar apa-apa, berdiri dan kita ke lokasi ujarnya. Tidak usah pakai mobil kita berjalan kaki ke lokasi pondok. Mbah berjalan di temani oleh Ustadz H. Sudiatun, kanda H. Saefudin Farid, Mamik H. Fadli, H. Suwandi, H. Multazam dan saya waktu itu masih berada di Kampus, sehingga tidak sempat ketemu dengan Mbah Hasyim. Di lokasi Pondok sudah menunggu warga masyarakat dan semua tukang yang akan mengerjakan pembangunan Pondok, seperti Semah, Han, Amaq Rim, dan yang lainnya. Mbah mengelilingi lokasi Pondok dan sempat memegang pohon Pete dan berkata, tolong jangan ditebang pohon ini ya, ucapnya. Kemudian, Mbah pamit balik ke Bengkel.
Saat itu, kondisi kakanda Ustadz H. Sudiatun kesehatannya sudah menurun, penyakit diabetes yang dideritanya sering kambuh, terlihat dari gula darahnya yang tidak stabil. Saya berkesimpulan karena ia terpukul dan shock karena meninggalnya adik kami Siti Sarah (dengan meninggalkan 3 anak perempuan). satu yang tidak pernah padam darinya adalah semangat membangun Pesantren Darussalam di tengah bertahan hidup melawan penyakit yang dideritanya selama hampir empat tahun. Sungguh perjuangan hidup yang tidak ringan. Dr HL. Ahmadi merupakan dokter spesialis penyakit dalam yang selalu merawatnya sampai akhir hidupnya.
Kami berdua cukup intens mempersiapkan peletakan batu pertama pembangunan gedung Yayasan Pondok Pesantren Darussalam Tanak Beak. Saat penggalian pondasi Yayasan Darussalam Tanak Beak terjadi hujan yang sangat deras yang dilakukan oleh masyarakat secara gotong royong. Penggalian di mulai jam 02.00 Wita atau habis shalat Jum’at, hadir saat itu Dato’ TGH Turmudzi Badarudin, TGH Muhammad Syafi’in, Ustadz H. Abdul Manan, serta tokoh agama dan Masyarakat Desa Tanak Beak. Di sore Jum’at itu, saya melihat gelagat yang tidak biasa dari kakanda Ustadz H. Sudiatun, ia berbaur dengan masyarakat basah kuyup tanpa mau menggunakan payung walaupun sudah diantarkan oleh murid-murid setianya (Rawisah, Sahril, Jupri, dan lainnya). Sebagian keluarga yang melihat yang tidak biasa itu, marah-marah karena hawatir atas kondisi kesehatannya. Ia tetap tidak menghiraukan teguran dan nasehat untuk segera berlindung dari derasnya hujan seraya berucap “satu titik dari hujan ini membawa berkah bagi berjuta-juta hamba Allah yang berdiam di bumi ini”. Apa lacur, itulah watak keras yang diturunkan secara genetika dari orang tua (terutama ayah)  kami.
Setiap pagi selesai menunaikan shalat subuh, ia datang dan kadang diantar oleh istri, anak, dan lainnya ke lokasi bangunan.  Ia mengelilingi lokasi bangunan sebanyak 7x putaran dengan membaca amalan-amalan tertentu. Setelah itu, baru ia pulang sebentar dan datang lagi ke lokasi bangunan sampai menjelang tengah hari, duduk bertafakkur atas balai-balai yang terbuat dari ilalang. Suatu ketika ia pernah berucap, “dinda hanya ini yang dapat saya lakukan dan semoga Allah SWT meridhloi perjuangan kita”. Saya hanya terdiam seraya mengucap “Amin Alhamdulillah”.  Oh ya, kanda, apa yang kita rintis sebagai suatu bentuk pengabdian dalam rangka menanam saham dan bekal kita memasuki alam yang kekal abadi; apalah artinya ilmu yang begitu tinggi tapi tidak bisa memberikan manfaat bagi banyak orang dan harta yang kita miliki saat ini hanya titipan Allah SWT sementara kita hidup. Investasi dan warisan seperti inilah yang mestinya kita wariskan kepada anak-anak kita. Marilah kita berdo’a, semoga apa yang kita karyakan dapat memberi manfaat bagi keluarga dan ummat.
Walaupun saya adik kandung dari Ustadz H. Sudiatun, tetapi saya tidak pernah tahu dan faham jalan fikirannya. Secara rasional saya menangkap terlalu banyak beban dan masalah yang dihadapainya, namun ia tertutup dan tidak pernah mau berbagi atas kesedihan dan permasalahan yang dihadapinya, seolah dia mengatakan bahwa biarlah kesedihan itu menjadi miliknya, biar ku selesaikan dengan caraku sendiri.
Ustadz H. Sudiatun dapat menyaksikan pembangunan gedung Pondok Pesantren sampai terpasang jendela angin dan bahkan dia sendiri yang memilih model dan bentuknya. Itulah saya kira kali terakhirnya datang ke bangunan sampai akhirnya kesehatannya terus menurun. Satu hari sebelum ajal menjemputnya, ia sempat meminta kepada beberapa orang yang dekat dengannya (salah satunya H. Halid Isnaeni) untuk minta dibelikan dibelikan jubah berwarna putih. Secara kebetulan waktu itu, H. Halid Isnaeni bertindak selaku khatib dan tidak mendapatkan firasat apapun dari permintaan itu. Di hari jum’at itu juga, H. Syafi’in dan H. Darwan sengaja menunggu beliau selesai wirid. Kami melihat wajah lain, ucapnya, tetapi tidak berfirasat apa-apa kecuali tetap berkhusnu zhon dan berdoa untuk kesehatannya.
Selesai shalat jum’at, kami berdua bertemu pada acara zikiran di rumah Tuak Jumaah gubug Sukun (sebuah gubug dimana kami berdua dan adik Siti Sarah) dibesarkan dengan penuh kasih sayang oleh orang tua kami. Dialah yang memimpin acara zikiran hari itu, kami semua tidak punya firasat. Menurut cerita istrinya, kanda pada sore harinya sempat terkena diare dan tidak mau dibawa ke dokter. Istri dan anak-anaknya sempat khawatir sementara ia sendiri tidak pernah tidur sampai pagi karena cairan yang terus keluar. Sekitar jam 6.30 Wita pagi menurut pengakuan istrinya, kanda sempat menyuruhnya untuk berangkat kuliah, saya sudah baikan katanya. Kak, kata istrinya, saya akan tetap mendampingi sampai sehat. Belum saat kemudian, dia tidak sadar, kemudian saya ditelepon dan langsung meluncur ke rumahnya. Tanpa berpikir panjang saya langsung ambil keputusan untuk membawanya ke rumah sakit Islam walaupun ia meminta untuk jangan di bawa ke rumah sakit “saya tersiksa” katanya.
Perjalanan dari rumah ke rumah sakit Islam Siti Hajar Matarm, kami meyaksikan seluruh tubuhnya sudah dingin, kata-katanya sudah tidak jelas terdengar (mirip dengan apa yang dialami oleh Putri Intan Rahma Ilmiani menjelang kematiannya). Saya meminta kepada keluarga yang mengantar untuk terus mengingatkan Asma Allah Azzawajalla.
Di RSI Siti Hajar Mataram akhirnya kakanda Ustadz H. Sudiatun  menghembuskan nafas terakhirnya setelah hampir  3 jam di rawat. Tepat pukul 10.15 menit ia meninggalkan dunia yang fana ini untuk selama-lamanya. Saya tidak bisa berucap apa-apa selain mengirimkan SMS berita duka kepada semua keluarga yang sedang berada di rumah. Segera kami putuskan untuk membawa jenazahnya kembali ke rumah.
Membangun Pondok Pesantern Darussalam di tengah serpihan hati yang menghilang terasa sangat berat. Adik tercinta Siti Sarah meninggal dunia, lalu kakanda Ustadz H. Sudiatun, kemudian putri tersayang Intan Rahma Ilmiani juga ikut menghadap Allah SWT di tengah usianya yang masih suci bersih. Sungguh cobaan yang teramat berat yang saya rasakan, begitu juga dengan Mamik H. Fadli terlihat begitu terpukul sampai di setengah kesadarannya berucap “Ya Allah, adean anak sak seke ne, dendek bait juluk” dalam bahasa Indonesia artinya “ Ya Allah, sisakan anakku yang tinggal satu ini, jangan kau ambil dulu”.
Saya berharap, semoga Allah SWT selalu membimbing dan menolong, serta meridhoi semua tugas suci yang sedang kami jalani dalam rangka pengabdian kepada Ya Allah. Apa hikmah di balik semua kejadian dan cobaan ini. Wallahul Mustaan ila Darussalam.

*********

0 komentar: