Senen pagi (19/09/2011), saya melihat waktu di handpon dan waktu menunjukkan jam 6.30 pagi Wita. Tiba-tiba handphone saya berdering dan ternyata Syaikh Tgh. Turmudzi Badruddin memanggil. Tanpa berfikir panjang, sesuai tradisi pesantren, saya bergegas ke gedeng Dato’ Turmudzi untuk mengetahui hal apa yang bakal disampaikannya. Sesampainya di gedeng atau rumah beliau, ternyata Dato’ Turmudzi sudah menunggu dan menyapa dengan bahasa khas “kaifa haluka ya waladi”, saya menjawab dengan singkat “Ana bi khair”.
Saya kemudian bersalaman seraya mencium tangan Dato’ sebagai bentuk ta’zim. Saya sama Dato’ berdua saja. Kami banyak berbincang tentang ijin operasional STKIP Qamarul Huda dan siapa yang akan menggantikan Kepala Kementrian Agama Wilayah NTB pasca kepemimpinan Drs. H. Suhaimi Ismy, MM yang akan memasuki masa pensiun atau kemungkinan ditarik ke Jakarta.
Di saat kami berbincang dalam suasana hati yang tenang dan bahagia, kemudian datang seorang jama’ah yang mengundang Dato’ untuk mengadakan acara selamatan dan do’a atas keberangkatan calon jama’ah haji bernama Saparuddin dari desa Peneguk kecamatan Pringgarata, Lombok Tengah. Kami berdua berangkat menuju rumah sang empunya gawe dan ternyata sedang mengadakan acara tasyakkuran atau begawe besar dalam rangka keberangkatannya ke Mekkah untuk menunaikan ibadah haji.
Tradisi begawe itu sudah mentradisi dalam masyarakat Sasak. Hal itu dimaksudkan untuk ungkapan rasa syukur dan mohon do’a agar diberikan kekuatan, ketabahan, dan kesehatan oleh Allah SWT, sebelum berangkat, saat berada di tanah suci, dan sampai kepulangan kembali di Tanah air. Juga acara tersebut dimaksudkan untuk informasi secara resmi kepada masyarakat, handai taulan dan sahabat bahwa mulai hari itu acara ziarahan mulai dibuka sampai menjelang keberangkatannya ke tanah suci. Acara ziarahan dilaksanakan mulai pagi sampai malam hari dan lama waktu pelaksanaannya tidak ditentukan berapa lama, bisa 10 hari, 20 hari, dan bisa juga sampai 30 hari tergantung situasi dan kondisi.
Selama masa ziarahan, waktu siang sampai malam hari diisi dengan kegiatan Yasinan atau membaca surat Yasin secara berkelompok, al-Barzanji (sesuai tradisi Nahdlatul Ulama) dan bacaan serta amalan-amalan lainnya (sesuai tradisi atau kebiasaan masyarakat). Masyarakat dari pagi, siang dan sampai malam hari datang silih berganti untuk memberikan do’a dan ucapan selamat atas keberangkatan si calon jama’ah haji dan tak lupa para jama’ah yang datang juga mohon di do’akan di tempat-tempat yang ijabah agar secepatnya mendapat panggilan Allah SWT untuk naik haji.
Ada satu hal yang unik dan sudah menjadi keyakinan masyarakat Sasak bahwa barang-barang bawaan, seperti baju, kain sarung, sandal, dan peralatan lainnya, tidak boleh dimasukkan ke dalam koper atau tas secara sembarangan sebelum di do’akan oleh para Tuan Guru (baca kiai). Sebab kalau tidak di do’akan kemungkinan besar barang-barang bawaan itu akan hilang atau nyasar. Sehingga sampai sekarang ini mengundang Tuan Guru untuk memasukkan barang bawaan ke dalam koper menjadi tradisi yang sulit dihapuskan. Oleh sebagian Tuan guru hal itu dianggap sebagai tradisi yang baik ala etnis Sasak, namun sebagian lainnya dianggap sebagai sesuatu yang tidak perlu dan dianggap mengada-adakan sesuatu yang belum tentu benar.
Hemat saya, permasalahan itu tidak perlu diperdebatkan benar atau salah, namun lebih baik dianggap sesuatu bagian dari tradisi etnis Sasak yang baik yang lahir dari sebuah konstruksi etnis Sasak yang cukup lama. Itu saja. Kalau ada yang tidak setuju dengan tradisi itu, sebaiknya jangan menjadi palang pintu atau penghalang orang berbuat baik, tetapi berlaku lebih arif dan bijaksana, toh tidak ada orang yang dirugikan dari pelaksanaan tradisi ziarahan calon haji itu. Mungkin lebih banyak nilai positifnya. Hal itu diakui oleh Syaikh Tgh. Turmudzi Badruddin, Pimpinan Pondok Pesantern Qamarul Huda Bagu.
Dan yang pasti bahwa tradisi tidak menghalangi calon jama’ah haji untuk menggapai haji mabrur. Kita berdo’a agar calon jama’ah haji mendapatkan haji yang mabrur dan sepulangnya dari pelaksanaan ibadah haji, nilai-nilai kemabruran itu akan dipancarkan kepada masyarakat, serta si pemegang gelar haji dapat menjadi panutan yang baik bagi masyarakat sekitarnya.
Di tahun 1970-an, saat itu saya masih sangat kecil, terutama ketika kedua orang tua menunaikan ibadah haji, bayangan saya waktu itu bahwa orang naik haji berarti orang kaya dan sangat terhormat. Tentu, bayangan itu tidak salah dan mungkin benar adanya sebab orang tidak akan naik haji kalau dia tidak kaya. Pak haji bayangan waktu kecil adalah orang yang sangat ikhlas dalam segala aktifitasnya. Tingkah laku dan mimik wajahnya sangat normal dan tidak dibuat-buat. Ucapan dan perbuatannya benar-benar keluar dari hati nuranya. Sungguh sangat menyenangkan cara bergaulnya. Masyarakat sekitarnya sangat betah kalau dekat dengannya dan ia menjadi panutan dan tauladan bagi keluarga dan orang-orang sekitarnya. Secara sosiologis pak haji model ini yang saya sebut sebagai haji mabrur sosial.
Di samping mabrur sosial, ada juga yang disebut sebagai mabrur vertikal artinya kehajiannya diterima oleh Allah SWT namun tidak memberikan dampak sosial kepada masyarakat sekitarnya. Bukannya menjadi panutan dan tauladan bagi masyarakat tetapi malah ia diurus oleh masyarakat. Sepulang menunaikan ibadah haji, bukannya menjadi lebih dermawan dan ihklas dalam segala aktivitasnya, tetapi menjadi lebih pelit, medit, alias bahkhil dan selalu pamrih dalam tindakannya. Masalahnya kemudian, dimana tempat kelirunya? Wallahu a’lam bissawab.
Kawannya Agus Mustofa (penulis buku “menjadi Haji tanpa Berhaji”) mengatakan bahwa “sekarang ini banyak haji yang haji-hajian. Sudah memakai kopiah dan pakaian haji, namanya juga sudah diberi tambahan haji atau hajah, tapi perilakunya sama sekali tidak mencerminkan sifat seseorang yang sudah melaksanakan haji”. Kutipan tersebut sebagai sebuah renungan dan mungkin otokritik bagi siapa saja yang bertitel haji atau hajah.
Haji yang ideal adalah haji yang mabrur secara vertikal maupun sosial. Ia dapat menjadi panutan dan tauladan bagi masyarakat. Ketaatannya dalam beribadah, keikhlasan hatinya dalam beribadah, kesabarannya menghadapi berbagai masalah, dan sifat pengorbanannya yang tanpa pamrih dapat tercermin dan dijadikan panutan. Inilah kualitas muslim paripurna yang sebenarnya. Tradisi haji yang dilaksanakan oleh muslim Sasak dengan waktu yang relatif lama dapat menjadi batu pijakan menggapai haji yang mabrur dalam makna yang ideal. Sehingga berhaji menjadi puncak pencapaian peningkatan kualitas muslim sejati sesuai tingkatan rukun Islam yang diyakini selama ini. Amin. Wallhul Musta’an ila Darussalam.
*********
0 komentar:
Posting Komentar