Hari ini adalah hari baikku, kata sebagian orang. Atau hari ini adalah hari sialku, kata sebagian yang lainnya. Hari baik dan hari sial ternyata milik semua manusia di dunia ini. Semua manusia, apapun profesinya pernah mengalami hari baik, hari sial, keberuntungan dan kemalangan dalam hidupnya. Dengan demikian, hari baik dan hari buruk (sial) menjadi sunnatullah (dalam bahasa agama) atau hukum alam yang bakal dihadapi manusia. Sepertinya, tidak ada manusia yang tidak pernah tersandung dalam hidupnya. Suka-duka, senang-susah, sehat-sakit, beruntung-sial, baik-buruk, gembira-sedih pasti akan menghiasi kehidupan manusia, baik kelompok maupun individual, tidak terkecuali suku bangsa Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Suku bangsa Sasak (tempat saya mengelompok) mengenal banyak sekali nilai-nilai kearifan lokal yang masih diyakini dan dipraktekan sampai hari ini. Nilai-nilai itu melingkupi daur kehidupan dan kematian. Salah satu nilai kearifan lokal pada suku bangsa Sasak menyangkut tentang hari peruntungan baik dan buruk. Hari baik dan hari buruk bagi suku bangsa Sasak bukan sesuatu yang muncul serta merta, sim salabim, tetapi melalui proses perhitungan yang seksama dan hati-hati dalam wujud sistem nilai yang dianut masyarakat.
Sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup (Koentjaraningrat, 1994: 25). Suatu sistem nilai budaya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Lebih lanjut Kontjaraningrat menjelaskan bahwa sebagai bagian dari adat istiadat dan wujud ideal dari kebudayaan, sistem nilai budaya seolah-olah berada di luar dan di atas diri para individu yang menjadi warga masyarakat. Sejak kecil para individu telah diresapi oleh nilai-nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsepsi-konsepsi itu sudah sejak lama berakar dalam jiwa mereka. Oleh karenanya nilai-nilai budaya tersebut sukar diganti dengan nilai-nilai budaya baru dalam waktu singkat.
Mungkin diri kita pernah mengalami hari baik dan buruk; keberuntungan dan ketidakberuntungan; hari sial atau aneh dalam hidup dan usaha yang dilakukan. Hari baik dan hari buruk; hari sial atau aneh dialami manusia ketika emosi, fisik dan intelektual berada di titik terendah. Hari itu kita menjadi sangat murung, tidak bergairah dan pekerjaan yang dilakukan serasa salah semua. Tubuh secara fisik serasa tidak bersahabat dengan kita. Pemikiran kitapun sepertinya tidak masuk akal dan tidak mencerminkan kemampuan kita yang biasanya. Pada hari itu, apa yang kita lakukan menjadi salah. Sangat sial, ketika hari itu datang disaat momentum penting seperti penyelesaian akhir karya ilmiah, presentasi, bertemu dengan kolega dan pertandingan final suatu pertandingan. Ini hari sialku atau this isn’t my day kata Michael Jordan, setiap kali dia tampil buruk di laga NBA.
Jauh sebelum Jordan memperkenalkan kalimat this isn’t my day, suku bangsa Sasak di Lombok, Nusa Tenggara Barat sudah mengenal hari baik dan hari buruk; keberuntungan dan ketidak beruntungan. Tentu hari baik dan hari buruk; keberuntungan dan ketidakberuntungan masih sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat Sasak di Lombok Nusa Tenggara Barat. Kepercayaan tentang hari baik dan hari buruk sudah menjadi sistem nilai yang mengiringi setiap kegiatan yang dilakukan etnis Sasak. Misalnya, ketika hendak mengadakan suatu upacara pesta, mau menebang kayu, membuka usaha baru, membangun rumah dan keika hendak turun ke sawah untuk memulai proses penanaman padi atau palawija, masyarakat Sasak selalu mendahuluinya dengan penghitungan angka-angka untuk menentukan hari baik dan tidak baik.
Bilamana seseorang mengadakan sesuatu kegiatan yang jatuh pada hari baik misalnya maka akan mendatangkan keberuntungan dan hasil yang baik. Sebaliknya, jika melaksanakan sesuatu pada hari jelek maka kemungkinan besar akan gagal dan mendatangkan musib atau sial. Dengan demikian setiap rencana harus diperhitungkan dengan cermat, sesuai dengan tahun, bulan, hari yang disesuaikan dengan perhitungan sepuluh yang disebut diwase.
Perhitungan tahun ditetapkan dalam satu windu atau delapan tahunan. Setiap satu windu diberikan nama tertentu dengan nilai atau naktunya. Perhitungan bulan dan naktu menggunakan bulan Hijriyah. Di samping penentuan waktu-waktu tersebut di atas, ada juga pembagian sepuluh yang disebut Diwase yang mempunyai makna tertentu.
Berikut ini adalah contoh penggunaan perhitungan naktu-naktu dalam masyarakat Sasak. Seseorang yang akan membangun rumah pada tahun Jimawal bulan Syawwal mempunyai naktu 3 + 7 = 10. Dengan demikian, memulai membangun rumah dilaksanakan pada hari Minggu yang diperkirakan akan jatuh lima hari kemudian yaitu hari Kamis yang kebetulan jatuh pada tanggal 14 Syawal. Selanjutnya, tanggal 14 Syawal di tambah dengan naktu kamis = 8, sehingga dihasilkan angka 22. Kemudian angka naktu tahun dan bulan yakni 10 + 22 = 32 angka pertama yaitu 3 dibuang maka sisanya angka 2 yang berarti Aras Gunung. Pada hitungan Diwase, Aras Gunung berarti baik. Jadi pelaksanaan memulai membangun rumah pada tahun Jimawal, bulan Syawwal hari kamis sampai dengan minggu itu baik untuk dilaksanakan.
Masalahnya, apakah penghitungan hari baik dan hari buruk dapat dibenarkan secara ilmiah atau tidak. Mungkin perspektif ilmiah menganggap bahwa apa yang dilakukan etnis Sasak itu sebagai takhayul yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah. Sehingga apa yang dilakukannya sebagai perbuatan yang sia-sia dan tidak mendasar sama sekali. Mungkin saja anggapan ilmiah itu benar adanya, tetapi sebagai sebuah konstruksi nilai dari proses internalisasi, eksternalisasi dan obyektivasi etnis Sasak sebagaimana konsepsi Peter Berger harus dihargai dan tidak memposisikannya pada posisi benar dan salah.
Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan ilmu pengetahuan, kini kajian terhadap hari baik dan hari buruk telah dan dapat dikaji secara ilmiah. Pengkajian tentang hari baik dan buruk secara ilmiah dapat dilakukan dengan berbagai cara dan pendekatan. Salah satu cara yang dipakai untuk memperkirakan hari baik seseorang dengan teori bioritmik (Jemy V. Confido, 2011). Teori bioritmik menyatakan bahwa ada tiga siklus yang mempengaruhi hari seseorang yaitu fisik, emosi dan intelektual. Siklus fisik mencerminkan kebugaran seseorang dimana ada kalanya sangat fit secara fisik dan ada kalanya lesu darah dan tidak bergairah. Siklus emosi menjelaskan suasana hati dari hari ke hari. Siklus intelektual menjelaskan kondisi kejernihan berfikir seseorang. Ketiga siklus tersebut ketika berada dalam kondisi puncak akan menjadi hari yang sangat indah dan serasa dunia menjadi miliknya. Dan begitu sebaliknya, ketika ketiga siklus itu berada dalam kondisi titik terendah, seseorang merasakan hari yang sangat aneh, benar menjadi salah dan menjadi serba salah walaupun sebenarnya tidak salah.
Penelitian bioritmik mulai dilakukan diakhir abad ke-19 oleh William Filess, seorang dokter Berkebangsaan Jerman. Dia juga pernah menjadi pasien Sigmund Freud. Filess percaya bahwa ia telah menemukan keteraturan dalam siklus 23 dan 28 hari termasuk kelahiran dan kematian.
Pengamatan serupa dilakukan Profesor Herman Swoboda dan Alfred Teltscher. Keduanya percaya bahwa hari baik dan hari buruk dari para siswanya mengikuti siklus 33 hari yang menurutnya merupakan siklus yang dibutuhkan oleh otak manusia untuk menyerap, membentuk kemampuan mental dan kesiagaan.
Dengan demikian, teori bioritmik telah mematahkan anggapan sebagian besar masyarakat Indonesia dan lebih khusus masyarakat Sasak di Lombok, NTB yang menyatakan bahwa penentuan hari baik dan hari buruk yang dipercaya sampai hari ini tidak mendasar dan tahayul belaka. Kearifan lokal dalam penentuan hari baik dan hari buruk yang selama ini diyakini dan dijalankan masyarakat Sasak mendapat penguatan dari teori bioritmik. Setiap kegiatan yang akan dijalankan masyarakat Sasak selalu mencarikan hari baiknya sesuai dengan perhitungan diwase. Kegiatan-kegitan yang ditentukan hari baiknya meliputi daur kehidupan, seperti membangun rumah, membuka usaha baru, menggarap sawah, hari pernikahan dan sampai penentuan hari-hari kegiatan keagamaan.
This is my day. Secara tersirat mencerminkan kebaikan atau keberuntungan yang dialami seseorang. Kebaikan dan keberuntungan dalam usaha yang dilakukan seseorang tidak sepenuhnya ditentukan oleh hasil usaha maksimalnya. Banyak orang yang sangat serius bekerja siang dan malam tetapi hasilnya nihil atau bangkrut dalam usahanya, namun tidak sedikit pula orang yang kelihatannya tidak serius, bekerja sebatas waktu yang telah ditetapkan misalnya toh berhasil dan sukses menggapai impiannya. Lalu dimana masalahnya? Mengapa banyak orang yang bekerja penuh waktu bisa gagal dan bangkrut, sementara tidak sedikit orang bekerja paruh waktu sukses dan mendapat keberuntungan?
Untuk menjawabnya, sebenarnya tidak terlalu sulit dan tidak mudah juga menjawabnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Sudut pandang agama hal itu dianggap sebagai takdir atau qadak dan qadar Tuhan yang telah ditetapkan jauh sebelum manusia dilahirkan. Keberuntungan dan ketidak beruntungan anak manusia sudah jelas garis takdirnya.
Posisi manusia sebatas usaha dan ikhtiar untuk memperoleh ridho dan ijin Tuhan saja, tetapi tidak berarti manusia bersikap fatalis, menerima takdirnya sebagaimana aliran Jabariah meyakininya. Innallaha la yugayyiruma bi qaumin hatta yugayyiruma bi amfusihim, kata Allah dalam sebuah firmannya dalam alqur’an. Baik dan buruk hasil yang digapai anak manusia sangat tergantung pada kemampuannya mewujudkan tujuan dan cita-citanya. Titik akhir dari usaha sungguh-sungguh manusia itulah takdirnya.
Sekarang tinggal, bagaimana memadukan antara sistem nilai budaya, teori ilmiah dan agama dalam menyikapi hari baik dan hari buruk itu. Husnul khotimah merupakan dambaan setiap muslim diakhir kehidupannya di dunia. Berada di rel agama yang benar, menjalankan perintah-perintah dan menjauhi larangan Tuhan menjadi keharusan yang dilakukan demi memasuki pintu khusnul khotimah.
Kondisi fisik yang ideal, emosi yang terkontrol dan intelektual stabil akan mempengaruhi seseorang mencapai tujuan atau hasil yang diharapkan. Kesuksesan dan kecemerlangan karir sepak bola Lionel Messi, Cristiano Ronaldo, dan Zinedin Zidan menjadi pemain terbaik dunia ditentukan oleh kondisi fisik, emosi dan intelektualnya. Ketika emosi tidak terkontrol akibatnya fatal dan dapat merugikan diri sendiri dan kelompoknya. Masih ingat kasus tersingkirnya Tim sepak bola Nasional Perancis gara-gara sang kapten Zinedin Zidan yang tidak bisa mengontrol emosinya. Wallahul Musta’an ila Darissalam.
*********
0 komentar:
Posting Komentar