Jumat, 23 Desember 2011

NON-SINERGIN LAHIRKAN KEKERASAN DI DUNIA PENDIDIKAN


Sabtu (10/12/2011) Institut Agama Islam (IAI) Qamarul Huda Bagu Lombok Tengah, NTB mengadakan wisuda sarjana angkatan ke VIII. Jumlah wisudawan yang dikukuhkan menjadi Sarjana Strata satu dengan gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pdi) sebanyak 262 orang yang kesemuanya jurusan Pendidikan Agama Islam.
Tamu undangan yang hadir tidak kurang dari 700 orang termasuk para orang tua wisudawan sendiri. Tampak di antara tamu undangan yaitu Direktur Urusan Agama Islam Kementrian Agama RI Drs. Jauhari, M.Si (yang mewakili Wakil Menteri Agama RI Prof. Dr. Nazarudin Umar, MA), Drs. Lalu Wildan, MM (mewakili Gubernur NTB), Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama NTB Drs.H. Suhaimi Ismi, MM, Ketua STIKES Qamarul Huda, perwakilan dari Bank Mu’amalat, Kepala-kepala Lembaga di Lingkungan Pondok Pesantren Qamarul Huda dan tokoh Agama, tokoh Masyarakat, serta para Dosen di Lingkungan kampus Kubah Hijau.
Senyum bahagia terpancar dari para wisudawan dan wisudawati hari itu. Tidak tampak sedikitpun dari aura wajah mereka kegalauan dan kerisauan tentang situasi dunia pendidikan yang semrawut dan semakin membudaya tindak kekerasan. Bukan berarti mereka tidak tahu kondisi riil dunia pendidikan, tetapi demi untuk tidak mengganggu pesta yang telah ditunggunya tak kurang dari 4 – 5 tahun dan selama itu mereka bergelut dengan teori-teori pendidikan yang njelimet. Hari ini adalah hari bahagiaku, kata salah seorang wisudawati,  hari dimana aku dikukuhkan menjadi seorang Sarjana dan hari ini bukan hanya milik saya tetapi juga milik orang tua kami.
Memang ada benarnya, apa yang dikatakan wisudawati tersebut di atas terutama melihat dari antusiasme kehadiran para orang tua wali dan keluarganya pada saat wisuda sarjana. Melihat deretan mobil di sepanjang jalan menuju kampus IAI Qamarul Huda Bagu, saat pelaksanaan wisuda Sarjana, walaupun tidak sama persis dengan masyarakat yang mengantarkan keluarga untuk pergi haji. Kesamaannya pada antusiasme sanak keluarga yang ikut menghantarkan si wisudawan/i dan si calon haji, dimana satu wisudawan/i dihantarkan tidak kurang dari 10 orang anggota keluarga dan jika dikalikan 262 orang wisudawan maka konsentrasi massa pada hari sabtu sebanyak 2.062 orang. Makna dari setiap perhelatan wisuda bahwa masyarakat kita masih senang berpesta.
Berkaitan dengan semakin maraknya tindakan kekerasan di dunia pendidikan kita, menjadi keprihatinan Wakil Menteri Agama Prof. Dr. Nazaruddin Umar, MA dalam teks orasi ilmiah yang dibacakan oleh Drs. Jauhari, M.Si (Direktur Urusan Agama Islam) Kementrian Agama RI. Tidakan kekerasan di negara Indonesia sudah memasuki ruang dan institusi Pesantren (yang mestinya steril dari tindakan kekarasan). Pesantren mestinya menjadi pioner pendidikan karakter yang ramah dan lemah lembut, serta menghargai hak-hak orang lain berbasis nilai keislaman rahmatan lil alamin.
Kerukunan umat beragama sekarang ini sedang dijangkiti penyakit akut, saling curiga, truth claim dan tidak jujur. Kerukunan antar dan intra ummat beragama dalam kondisi labil dan sewaktu-waktu dapat meledak. Kerukunan antar ummat beragama sampai saat ini terus terjaga dengan baik, buktinya di negeri ini tidak pernah terjadi konflik antar ummat beragama, sebagaimana terjadi di Irlandia Utara. Namun, tidak diikuti dengan kerukunan intra ummat beragama yang gejalanya semakin tidak kondusif. Kelompok-kelompok dalam Islam menampakan gejala intoleran terhadap kelompok lainnya. Truth claim begitu kuatnya, tidak ada kebenaran sedikitpun pada kelompok lain sehingga muncul fitnah yang berujung pada pengusiran dari kampung halamannya (ingat pengungsi Ahmadiyah di transito Selagalas kota Mataram) yang sampai saat ini belum ada penyelesaian.
Namun tidak bisa dinafikan bahwa hubungan antar ummat beragama sering terjadi gesekan-gesekan yang melibatkan penganut agama. Gesekan-gesekan itu sebagai konsekuensi logis dari pluralitas kehidupan sosio-keagamaan, khususnya di Indonesia. Faktisitas bahwa ketidakserasian kehidupan yang plural telah menjadi pemicu terjadinya pelbagai tindakan kekerasan dan kerusuhan yang melibatkan agama (walaupun agama bukan penyebab utamanya). Kerusuhan di Kupang dan Ambon melibatkan umat Islam dan Kristen. Di Ketapang (Jakarta) pernah muncul kerusuhan yang melibatkan orang Islam dan Kristen. Kerusuhan demi kerusuhan terus silih berganti dan yang dijadikan kambing hitam adalah provokator.
Muncul beragam analisis dari para ahli yang menyebutkan bahwa kerusuhan antar etnis dan antar agama seringkali dipicu oleh provokator, orang atau kelompok, bahkan lembaga atau negara tertentu yang sengaja memancing di air keruh dengan mengadu domba antar etnis dan agama dengan berbagai cara, yang seringkali bersifat misterius, sulit dikenali dan dideteksi, kata Sahrin Harahap dalam bukunya Teologi Kerukunan. Jika dicermati, sebenarnya yang berbahaya bukan para provokator tetapi rasa kebencian dan maksud buruk yang bersemayam di dada manusia.
Guna menciptakan keharmonisan hidup, setidaknya ada dua tawaran dan upaya yang dilakukan yakni pertama. Upaya konstitusional dan politik, seperti penetapan undang-undang dan peraturan pemerintah mengenai penataan pluralitas itu. Lahirnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No.9 dan No.8 Tahun 2006 yang mengatur tugas Pemerintah dalam pembinaan kerukunan hidup umat beragama berbasis kesadaran masyrakat dan pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dapat dikatagorikan sebagai upaya konstitusional dan politik. Kedua, membangun ketulusan pluralitas melalui penumbuhan kesadaran kalimatun sawa’ di aras esoterik agama-agama secara tulus.
Memahami dan menyikapi kehidupan multikultural secara tulus amat penting bagi terciptanya dan kelangsungan kehidupan sosial yang harmonis. Sebab mencurangi dalam menyikapi hidup yang plural dibuktikan sejarah dapat menghambat harmonitas sosial. Masyarakat Madinah yang dipimpin nabi Muhammad, demikian Marshal G.S. Hudgson[1] sebagaimana dikutip Sahrin Harahap, mengalami disintegrasi pada bagian akhir kebersamaan itu karena sebagian komponen masyarakat berlaku curang terhadap konsep piagam Madinah.
Di aras ini, kita tidak bersepakat untuk terus membiarkan kekerasan demi kekerasan terus terjadi. Lawan kekerasan dengan nir-kekerasan kata Mahatma Gandhi. Bagaimana mewujudkannya? Jika ada kemauan nir-kekerasan bisa diwujudkan di Indonesia di saat tindakan kekerasan semakin membudaya. Salah satu medium yang tepat untuk menciptakan dan membudayakan nir-kekerasan dalam kehidupan sosial yakni medium pendidikan.
 Terlepas dari bagaimana gambaran kita tentang dunia dan sistem pendidikan di Indonesia, namun yang pasti bahwa medium pendidikan masih dapat diharapkan untuk melahirkan manusia-manusia yang jujur, berbudi, berahlak mulia, cerdas, berkarakter dan mempunyai hati. Jujur menjadi salah satu pilar penting Islam dan pilar pendidikan karakter yang sedang disosialisasikan pemerintah Indonesia, di samping tiga pilar pendidikan karakter lainnya yakni cerdas, tangguh dan peduli.
Pendidikan karakter seakan menjadi kebutuhan yang mendesak untuk diajarkan di lembaga persekolahan di Indonesia. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan punya tanggungjawab besar melahirkan manusia-manusia paripurna melalui pendidikan karakter. Hal itu menjadi wajar karena melihat perkembangan dan meningkatnya tindakan kekerasan di dunia pendidikan. Tengok saja banyak kasus tindakan kekerasan yang dilakukan para peserta didik, seperti tawuran antar siswa, siswa Sekolah Dasar dapat membunuh seniornya siswa Sekolah Menengah Pertama, anarkisme yang dilakukan mahasiswa di beberapa daerah dan sampai dengan tindakan amoral yang dilakukan pendidik terhadap siswinya.
Kejadian-kejadian tersebut membuat stakeholder pendidikan meradang atau kalau tidak mau dikatakan linglung. Terutama pemerintah yang paling terpukul atas tindakan kekerasan di dunia pendidikan. Lalu permasalahannya, apa yang salah di dunia pendidikan di negeri ini? Sistem pendidikan, kurikulum, kebijakan, atau muatan materi pelajaran yang tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat? Bisakah pendidikan keagamaan cuci tangan atas perilaku kekerasan itu? Dan apakah budaya mentoleransi tindakan kekerasan itu? Tentu tidak ada yang patut dipersalahkan dan tidak perlu saling menyalahkan bukan? Yang penting adalah bagaimana solusi dan mendiagnosa dengan tepat agar tindakan kekerasan di dunia pendidikan tidak terulang lagi.
Tindakan kekerasan di dunia pendidikan tidak berdiri sendiri, tetapi dapat disebabkan oleh berbagai faktor sosiologis. Adalah teori Sisiogenis memberikan penjelasan tentang tindakan kekerasan yang terjadi di masyarakat dan komunitas persekolahan. Menurut teori ini tindakan dan perilaku kekerasan yang dilakukan para peserta didik adalah murni sosiologis atau sosial – psikologis sifatnya[2]. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau oleh internalisasi simbolis yang keliru. Maka faktor-faktor kultural dan sosial itu sangat mempengaruhi, bahkan mendominasi struktur lembaga-lembaga sosial dan peranan sosial setiap individu di tengah masyarakat, status individu di tengah kelompoknya, partisipasi sosial serta konsep diri atau pendefinisian dirinya.
Dalam proses penentuan konsep diri, disebutkan lebih lanjut oleh Kartini Kartono, yang terpenting adalah simbolisasi diri atau penamaan diri. Dalam proses simbolisasi diri, subjek mempersamakan diri mereka dengan tokoh-tokoh penjahat (misalnya El Capone, Mat Peei dari Cidadas, Mat Item dari Pasar Senen).  Konsep umum mengenai sesuatu ide itu dioper oleh anak yang bersangkutan menjadi kekayaan batinnya dan dijadikan konsep hidupnya. Kemudian berlangsung proses penentuan konsep diri yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi sesaat, seperti pembentukan pola tingkah laku menyimpang dari norma-norma umum yang progresif sifatnya yang kemudian dirasionalisir dan dibenarkan sendiri oleh anak lewat mekanisme negatif  serta pembiasaan diri.
Semua kita terkejut oleh tindakan kekerasan di dunia pendidikan seakan datang silih  berganti. Tindakan penghilangan nyawa siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang dilakukan oleh siswa Sekolah Dasar tanpa jelas motipnya; Tawuran antar pelajar SMU dan SMK di Jakarta beberapa waktu lalu; anarkisme yang dilakukan Mahasiswa di Perguruan Tinggi di Makasar; sampai tindakan asusila yang dilakukan oknum guru terhadap siswinya di kabupaten Bima telah menambah daftar panjang tindakan kekerasan di lingkungan pendidikan di negeri yang menghargai dan menjunjung tinggi sopan santun ini. Pertanyaannya siapa yang harus dipersalahkan?
Jika merujuk ke teori sosiogenis sebagaimana terurai di atas jelas bahwa ada andil dari sistem dan komunitas pendidikan (termasuk keluarga). Keluarga dikatakan sebagai unit sosial terkecil yang memberikan fondasi primer bagi perkembangan anak, sedangkan lingkungan sekolah ikut memberikan nuansa pada perkembangan anak. Oleh karena itu, baik-buruknya struktur keluarga dan lingkungan sekolah memberikan pengaruh terhadap baik-buruknya pertumbuhan kepribadian anak.
Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh anak pada umumnya merupakan produk dari konstitusi defektif mental orang tua, keluarga, dan lingkungan sekolah, ditambah dengan nafsu primitif dan agresifitas yang tidak terkendali. Kesemuanya menurut Kartini Kartono (1986) mempengaruhi mental dan kehidupan perasaan anak-anak yang belum matang dan masih labil. Akibatnya, tindakan kriminal itu merupakan mekanisme  kompensatoris untuk mendapatkan pengakuan dan dikenal oleh orang banyak terhadap egonya, kompensasi terhadap perasaan minder dan ingin ditebusnya dengan tingkah laku nyeleneh, aneh-aneh, kriminal dan sok jagoan. Jadi, tindakan kekerasan yang dilakukan anak-anak juga akibat dari kegagalan sistem pengontrol diri dan produk ketidakmampuan anak dalam mengendalikan emosinya.
Untuk mengamputasi tindakan kekerasan yang dilakukan anak-anak, menurut hemat penulis perlu ada kerjasama sinerginitas antara pemerintah, sekolah, orang tua dan atau masyarakat (ketiganya merupakan pilar pendidikan) atau dengan kata lain tindakan kekerasan di dunia pendidikan lahir dari tidak adanya sinerginitas dari ketiga pilar pendidikan itu. Diakui atau tidak ketiga pilar pendidikan itu seakan berjalan sendiri-sendiri. Pemerintah sudah sangat puas ketika mereka mampu menelorkan kebijakan baru (sebut saja pergantian kurikulum dari KBK ke KTSP), sementara pihak sekolah berjalan sesuai dengan juklak dan juknis walau dirasakan tidak rasional untuk diterapkan. Lalu pihak orang tua atau masyarakat lepas tangan atau tidak peduli terhadap persoalan yang dihadapi di sekolah. Akibatnya peserta didik menjadi korban dan mencari jati diri melalui tindakan tidak populer semisal tawuran antar pelajar dan sebagainya.
Membudayakan kejujuran mestinya dijadikan sebagai pilar utama pendidikan agar anak-anak tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan berkarakter. Disadari atau tidak, bukankah kita (masyarakat) dan pemerintah punya andil melahirkan generasi yang tidak jujur dalam segala hal. Masih ingatkah kita, kasus contek massal di Surabaya beberapa waktu yang lalu, dapat dijadikan bukti bahwa kejujuran telah tergadaikan dan digantikan dengan ketidakjujuran. Sungguh ironis, yang jujur malah di asingkan dan diusir dari tempat tinggalnya. Dengan kata lain, sebenarnya tindakan kekerasan dimulai dari ketidakjujuran yang terdesain dengan rapi dan sistemik. Berlaku jujurlah niscaya kamu akan selamat atau Kul al-haq walau Kana Murron (katakan yang benar walau itu sulit) (makna satu hadits Rasulullah SAW). Waalhul Musta’an ila darussalam.

*********


[1] Penulis buku The venture of islam Conscience and history in a World Civilization (Chicago, Illionis, USA: Chicago University Press, 1974).
[2] Kartini Kartono, 1992, Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press

0 komentar: