Senin, 02 Januari 2012

SELAMAT DATANG TAHUN 2012


Mengakhiri Tahun 2011 menuju Tahun 2012  saya membayangkan keindahan hidup berbangsa dan bernegara tanpa kekerasan di negeri sejuta impian yang bernama Indonesia, khusus di pulau Lombok yang dikenal sebagai pulau seribu masjid. Bayang-bayang kuasa tanpa kekerasan semakin jelas di kepala saya ketika detik-detik terakhir menjelang pergantian tahun dan jam terus berputar mendekati pukul 24.00 Wita. Ternyata bayang-bayang itu laksana fatamorgana di padang pasir pemberi harapan palsu bagi sang musafir. Akhir 2011 meninggalkan kondisi buram di Nusa Tenggara Barat dan daerah Lambu, Sape, kabupaten Bima.
Memasuki Tahun 2012, saya mengikuti acara refleksi bersama semua pejabat dan guru di lingkungan SMK Plus Darussalam Tanak Beak, Narmada, Lombok Barat, NTB. SMK Plus ini berada di bawah naungan Yayasan Pondok Pesantren Darussalam Tanak Beak, Narmada, kabupaten Lombok Barat, NTB. Acara refleksi diadakan sangat sederhana dan selesai sekitar pukul 22.30 wita lalu kami bubar secara teratur dan kemudian hanya berdiam diri di rumah menonton Televisi menyaksikan detik-detik pergantian Tahun menuju Tahun 2012 yang penuh harapan dan do’a menuju kehidupan yang lebih sejahtera dan bermartabat.
Refleksi malam itu dibicarakan tentang tema-tema sekitar kekerasan yang bertumbuh di sekitar kita, baik di dunia pendidikan, ekonomi, politik, budaya dan agama. Kekerasan di dunia ini seakan terus berlanjut dan mencari bentuk dalam setiap sendi kehidupan ini. Anak-anak sudah berani baku hantam dengan orang tuanya sendiri, siswa di beberapa sekolah berani duel dengan gurunya, pemimpin semakin tidak dihormati oleh rakyatnya, tawuran antar siswa yang berakhir dengan korban jiwa menjadi sesuatu yang biasa terjadi dan anarkisme yang dilakukan mahasiswa. kasus Mesuji Lampung, Lambu, Sape kabupaten Bima dan  pembakaran Pesantren Syi’ah di Madura. Kesemuanya merupakan muara dari tindakan kekerasan.
Ide tentang prinsip tanpa kekerasan sangat mungkin diterapkan di daerah Nusa Tenggara Barat yang  dikenal dengan daerah Bumi Gora. Sebagai jaminannya adalah seorang gubernur dari Tokoh Agama yang berpredikat Tuan Guru (Kiai orang Jawa menyebutnya dan Ajengan di daerah Sunda) dengan didukung oleh masyarakatnya yang sangat religius. Bila ide tanpa kekerasan ini dapat terwujud di daerah Nusa Tenggara Barat jelas itu menjadi sebuah prestasi dan sukses besar.
Ide tentang prinsip tanpa kekerasan ini hanya dikenal oleh sedikit orang dan sulit diterapkan kata Maurice Friedman, tetapi tidak bagi Mahatma Gandhi. Pemimpin India ini telah membuktikan melalui satyagraha melakukan kampanye prinsip tanpa kekerasan dan pembebasan di India. Terinspirasi konsep satyagraha Gandhi di banyak negara muncul gerakan yang menuntut hak-hak warga negara yang mulai sebagai suatu gerakan tanpa kekerasan. Banyak orang telah mengambil sikap tanpa kekerasan sebagai suatu teknik dalam perlawanan politik dan ekonomi sesuai dengan semangat yang termuat dalam pernyataan Filosof kritis Herbert Marcuse, “sikap tanpa kekerasan bukanlah suatu kebajikan, tetapi keharusan”.
Saat ini kita disibukkan oleh kekuasaan dengan cara kekerasan yang tumbuh dan membudaya di sekitar kehidupan kita dalam bentuk-bentuk yang lebih buas, biadab, tidak berperikemanusiaan dan melanggar Hak Asasi Manusia. Sementara di sisi lain, mereka yang sadar akan keharusan untk perubahan sosial makin lama makin sedikit menaruh perhatian pada cara tanpa kekerasan sebagai unsur penopang perubahan dan malah cendrung pada kekerasan dinamis sebagai tanggapan atas kekerasan status quo yang beku dan statis. Oleh karena itu, pemahaman kita mengenai kekuasaan tanpa kekerasan harus diperdalam dan diperkuat melalui suatu pemahaman baru mengenai kekuasaan yang menggunakan kekerasan.
Adalah ironis, ketika kita hendak memasuki Tahun baru 2012, tahun yang penuh harapan untuk perbaikan nasib menuju kesejahteraan yang lebih beradab dan berkeadilan, malah kita disuguhi pemandangan yang mengerikan yakni tindakan refressif  aparat kepolisian terhadap rakyat Lambu, kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat yang memakan 5 (lima) korban jiwa dan ratusan orang luka-luka. Kasus Sape Bima belum tertangani muncul kasus pembakaran Pondok Pesantren Aliran Syi’ah di Sampang Madura dan menurut pemberitaan media, hal itu disebabkan karena perselisihan faham diantara pimpinan pesantren.
Kasus Lambu, Sape Bima menjadi raport merah kepemimpinan gubernur Tgh. Muhammad  Zaenul Majdi umumnya dan khususnya Bupati Bima di akhir tahun 2011. Kasus Lambu kabupaten Bima sudah menjadi issu nasional dan ditengarai telah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) karena memang telah memakan korban jiwa manusia. Ide kuasa tanpa kekerasan atau satyagraha ala Gandhi, seolah sia-sia saja untuk dihayalkan apalagi diterapkan di Gumi Gora ini. Dari sudut pandang politik jelas kejadian Sape itu mengindikasikan wajah buram politik Nusa Tenggara Barat memasuki Tahun 2012. Lalu masalahnya masihkah kita berharap di Tahun baru kehidupan kuasa tanpa kekerasan dapat terwujud di provinsi Seribu Masjid ini?
Tentu harus tetap optimis bukan. Kasus Bima, Mesuji (Lampung) dan kasus Sampang Madura sebagai pembelajaran yang kesekian kalinya agar kita lebih dewasa dan tetap memiliki cinta (sebenarnya keadaan alamiah manusia). Bagi Jean Jacques Rousseau membayangkan manusia dalam keadaan alamiahnya sebagai ciptaan yang baik, sempurna dan memiliki cinta. Hanya rantai peradabanlah yang telah mengubah manusia menjadi binatang yang memiliki sifat menyerang seperti kasus-kasus yang terjadi saat ini.
Protes, aksi dan demontrasi yang dilakukan rakyat jangan dianggap sebagai bentuk pembangkangan dan musuh. Aksi-aksi yang dilakukan adalah murni bentuk kontrol yang dilakukan rakyat karena rakyat menganggap ada yang salah dalam kebijakan yang dilakukan pemerintah. Masyaraat Bima butuh penjelasan, sosialisasi dan partisipasi dalam soal pertambangan di daerahnya. Mereka khawatir akan dampak lingkungan pasca eksploitasi nantinya. Apa itu salah? Tentu tidak, tetapi mengapa mereka harus dihadapkan dengan pihak keamanan (akibatnya lima jiwa manusia melayang).
Ya, itulah kuasa yang tidak bisa lepas dari kekerasaan. Kekerasan seolah menjadi satu kesatuan dengan kekuasaan yang sulit dipisahkan. Kekerasan menjadi alat yang legal untuk mengamankan kebijakan walau harus mengorbankan rakyatnya sendiri. Sejarah kapitalisme dan sosialisme telah mencatatnya dengan sangat apik, dimana kapitalis maupun komunis dapat menunutut pengakuan yang sama dengan cara kekerasan.
Kuasa dengan kekerasan tidak perlu terjadi lagi. Satyagraha harus diberikan space dalam kuasa yang cendrung keras. Aksi yang dilakukan masyarakat Bima menolak tambang hanya sebuah akibat dari sistem kuasa yang tertutup dan tidak transparan. Ada sesuatu yang terlupakan oleh pemerintah sebelum ijin pertambangan itu dikeluarkan yakni analisis sosial terhadap kesiapan struktur sosial dan budaya masyarakat di lingkar tambang. Akibatya masyarakat di lingkar tambang seolah shock dengan kedatangan peralatan tambang canggih yang lalu lalang di daerahnya. Belum lagi persoalan batas-batas wilayah pertambangan yang diklaim sepihak dan bahkan termasuk tanah ulayat serta hak milik rakyat, urai Mesir Suryadi dalam acara Mataram dialog forum di TV9 (1/1/2012).
Membangun struktur sosial yang egaliter di lingkar tambang adalah kewajiban pemerintah dan korporasi. Struktur sosial yang egaliter itu menjadi penting karena di dalamnya akan terjadi proses perubahan sosial dari masyarakat agraris menjadi masyarakat industrial. Secara teoritis dapat dikatakan bahwa proses industrial suatu masyarakat di lingkar tambang benar-benar akan memberi manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat dan mampu melakukan transformasi terhadap masyarakat itu, apabila terjadi dalam suatu masyarakat yang memiliki struktur sosial yang mampu mendukung proses tersebut.
Ketika pulau Jawa jatuh ke tangan penguasa kolonial Belanda, struktur sosial yang feodalisitis tetap dipertahankan oleh pemerintah Belanda, bahkan dipergunakan sebagai wahana mengeksploitasi sektor pertanian pulau Jawa untuk membiayai industri negeri Belanda. Tentu pemberdayaan struktur sosial masyarakat di sekitar tambang dimaksudkan untuk mendukung proses eksplorasi dan eksploitasi tambang. Dan yang tidak kalah pentingnya mengemas model partisipasi masyarakat di sekitar tambang agar tidak memunculkan konflik sosial, sebagaimana yang terjadi di banyak tempat pertambangan.
Kita hanya bisa berharap agar kasus Lambu, Sape Bima tidak terulang kembali. Pemerintah dan pemerintah daerah harus melakukan kajian dan analisis sosial, terutama kesiapan struktur sosial dan nilai budaya masyarakat Bima agar tidak berbenturan dan bertentangan. Ya, kasus Bima telah terjadi dan memakan korban jiwa manusia. Kita hanya bisa berharap pihak kepolisian segera menemukan dan mengadili siapapun pelaku penembakan itu. Pemerintah dan para anggota DPR sebaiknya berempati terhadap penderitaan dan apa yang yang dirasakan rakyat, tidak malah tunggang langgang seolah tidak terjadi kasus apapun. Bima berdarah sebagai bukti wajah buram politik kekuasaan dengan kekerasan di Nusa Tenggara Barat. Selamat datang Tahun 2012 tahun yang penuh harapan dan cita untuk perubahan menuju NTB yang lebih sejahtera. Wallahul Musta’an Ila Darussalam.

*********
 

0 komentar: