Selasa, 17 Januari 2012

MATA AIR DAN AIR MATA PUN MENGERING


Hari Selasa (17/1/2012) saya kedatangan tamu dan ingin diantarkan ke daerah wisata alam Suranadi, kecamatan Narmada, kabupaten Lombok Barat, NTB. Di Suranadi saya sengaja memilih tempat duduk yang paling nyaman yakni di pinggir sungai kecil sambil memakan sate bulayak (makanan khas daerah Narmada). Kami membincangkan tentang permasalahan dan kasus-kasus aktual yang menimpa bangsa ini (kasus Mesuji, kasus Bima berdarah, pembakaran pesantren Syi’ah di Sampang Madura, kasus Nunun Nurbaiti dan tidak lupa kasus Nazarudin).
Waktu berjalan terasa begitu cepat dan tidak terasa kami sudah berbincang selama satu jam lebih. Perbincangan yang kami lakukan tidak memberikan solusi apapun selain rasa keprihatinan karena memang diantara kami tidak ada satupun pejabat negara yang mendengarkan perbincangan kami. Dan kita hanya bisa berharap siapapun yang terlibat dalam kasus-kasus tersebut di atas harus diberikan sanksi seadil-adilnya karena perbuatan menghilangkan nyawa orang lain termasuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Perbincangan kami tiba-tiba terhenti sejenak karena melihat seekor kera yang datang mendekat seakan minta dikasihani (itu terlihat dari cara kera itu menatap serta isyarat kedua kaki depannya). Si kera terlihat lucu dengan tingkah seperti itu dan tidak mau pergi sampai akhirnya kami menyodorkan sebuah bulayak lalu si kera nyelonong pergi dengan melompat tanpa di paksa. Si kera terlihat begitu sangat gembira menerima sebuah bulayak yang kami berikan, lalu berlari ke tepi sungai dan duduk di atas batu. Kami menatap perilaku sang kera dan di hati kecilku bertanya mengapa si kera turun ke pemukiman manusia? Apakah memang habitatnya sudah tidak mampu lagi mensuplai kebutuhannya sehingga harus berbaur dan meminta belas kasihan manusia? Atau manusia telah sengaja merusak habitatnya? Entahlah.
Saya pun melihat air yang mengalir di sungai terlihat sangat sedikit. Seharusnya di musim penghujan seperti ini mestinya air sungai dipinggiran hutan itu mestinya besar. Saya teringat ketika masa-masa bersekolah di bangku Sekolah Menengah Pertama dahulu. Kami dan kawan-kawan sering bermain di tepian hutan Suranadi. Waktu itu kami melihat air mengalir di sungai-sungai tepian hutan dengan bebasnya hatta di musim kemarau. Pepohonan besar kokoh berdiri yang darinya air keluar mengaliri sungai di tepiannya. Sungguh suatu berkah dari Tuhan sang Pencipta Alam Semesta ini.
Segala sesuatu berasal dari air, kata Thales, filsuf Yunani kuno sebelum era Plato dan Aristoteles. Air dan mata air bagi manusia merupakan hidup dan harapan untuk terus hidup. Tanpa air ternak akan mati. Tanpa air, sayur-sayuran dan segala macam tanaman akan mati. Tanpa mata air, para petani akan kehilangan harapan akan hidup karena setetes air mengajak tetesan-tetesan air yang lain menjadi mata air. Dalam kebersamaan, air yang membual dari mata air-mata air telah menjadi sumber harapan akan hidup bagi tanaman, ternak dan para petani (Sunu Hardiyanta dalam Basis, Nomor 11-12 Tahun ke 58 - 2009).
Daerah kawasan hutan Suranadi dan Sesaot adalah sumber mata air untuk mensuplai kebutuhan para petani di kabupaten Lombok Barat dan kota Mataram. Kawasan hutan Suranandi dan Sesaot termasuk kawasan hutan lindung yang harus dijaga kelestariannya. Tetapi apa lacur kawasan hutan ini sudah mulai kehilangan daya serapnya untuk mensuplai kebutuhan manusia. Sungai-sungai di beberapa tepian hutan Sesaot sudah mulai mengering di musim kemarau karena pepohonan sudah banyak yang menghilang dari hutan. Akibat dari perilaku manusia yang sudah tidak mau lagi bersahabat dengan alam.
Kawasan hutan Sesaot sudah terlihat gundul, pepohonan besar tidak tanpak lagi, yang ada hanya pohon-pohon pisang dan pepohonan kecil yang hanya memiliki sedikit daya untuk menyimpan serapan air hujan. Para penghuni hutan lindung Sesaot ini sudah mulai resah melihat sungai-sungai di tepian hutan yang mengering (termasuk si kera yang sudah mulai kehilangan habitatnya). Para petanipun sudah mulai merasakan kesulitan air untuk mengairi sawah ladangnya. Sementara mereka yang mempunyai modal memanfaatkan sisa-sisa air mata air untuk mencari keuntungan.
Ya, debit air dari mata air kawasan hutan Sesaot semakin mengecil. Kira-kira 10 sampai 20 tahun mendatang sangat mungkin kita akan kesulitan air, terutama bagi para petani. Saat ini para petani di kecamatan Narmada dalam satu tahunnya masih dapat menggarap sawahnya dua kali. Namun memasuki penggarapan triwulan kedua setiap tahunnya, debit air sungai semakin kecil sehingga para petani seringkali di waktu malam terpaksa harus berjaga dan melek sampai pagi demi mendapatkan air untuk mengairi sawahnya dan seringkali para petani bersitegang dengan petani lainnya untuk memperebutkan air. Sungguh air menjadi sumber kehidupan bagi para petani kita.
Di aras ini, pekasih punya peran yang sangat penting dan krusial. Pekasih adalah seseorang yang mempunyai tugas untuk mengatur pembagian air secara merata dan adil. Pekasih merupakan aparat desa yang diangkat dan diberhentikan oleh kepala desa atas nama bupati. Tugas pekasih cukup berat dan mulia karena sebagai pengawal dan penjaga sumber hidup petani. Walaupun tugas pekasih sangat vital tetapi tidak diimbangi dengan penghargaan yang diperolehnya terutama dari pemerintah. Sementara dari masyarakat (petani) pun tidak ada, baik itu berupa zakat ataupun insentif. Menurut hemat saya, pekasih berhak menerima zakat khususnya dari para petani.
Saat saya menulis tulisan ini, fakta di lapangan menunjukan bahwa para petani kita sangat membutuhkan air karena berada pada musim tanam. Sementara debit air dibeberapa saluran irigasi tampak sangat limit. Debit air di sungai babak Gebong juga terlihat sangat kecil. Sungai babak Gebong merupakan batas alam antara desa Bagu kabupaten Lombok Tengah dengan desa Tanak Beak, kabupaten Lombok Barat. Debit air sungai babak ini memang sangat kecil, maka petugas pengairan (pekasih) mengatur dan memberikan jadwal lima hari dalam satu minggunya kepada para petani sesuai dengan wilayah subaknya. Perlu diketahui bahwa sumber air sungai babak Gebong ini adalah dari kawasan hutan lindung Sesaot. Jika air sungai ini mengering berarti ancaman bagi kehidupan manusia. Ya, segala sesuatu berasal dari air.
Di pertengahan tahun (antara bulan Juli sampai Oktober) dalam setiap tahunnya, kekurangan air bersih juga sangat dirasakan oleh masyarakat desa Bagu dan sekitarnya. Sumber-sumber mata air, seperti sumur, lingkok, dan pancuran di wilayah itu mengering, sementara air bersih yang dikelola PDAM ikut-ikutan tidak mengalir. Ya, karena sumber mata airnya kering. Di aras ini, air menjadi sangat bernilai dan tanpa air hidup menjadi tidak bermakna.
Kita belum terlambat untuk kembali berbaikan dengan alam. Kita segera membangun kesadaran baru mengenai makna dan nilai air dan mata air bagi kehidupan manusia. Khusus bagi para petani harus berani menegakan kembali martabat alam, nilai pembangunan dan kemuliaan manusia secara kreatif dan mendalam. Faktisitas menunjukan bahwa manusia tidak pernah lepas dari keinginan dan sahwat memajukan pembangunan di satu sisi dan mempromosikan martabat alam di sisi yang lain. Manusia sering kali mendua di antara kepentingan pembangunan dan pelestarian alam. Walaupun secara bermazhab menganut keduanya.
Jalan terbaik yang harus dilakukan di samping segera membangun kesadaran baru di atas, rujuk kembali dengan alam, hentikan penebangan pohon-pohon di sekitar hutan lindung secara serampangan karena hutan berfungsi sebagai daerah penangkap air hujan atau sumber mata air. Hutan yang sudah gundul dengan kesadaran baru dari masyarakat agar menanam pohon secara swadaya demi masa depan hidup manusia. Tanah-tanah kosong sebaiknya di tanami pohon, baik di halaman rumah maupun di pematang-pematang sawah. Dengan menenam pohon berarti kita peduli dengan keberlangsungan hidup generasi mendatang.
Ya, kesadaran baru harus segera terbangun, jika tidak, tentu malapetaka akan datang kapan saja tanpa diundang. Gunung-gunung banyak yang gundul, hutan-hutan lindung sudah banyak kehilangan pasak buminya (baca pepohonan) dan daerah resapan air kini semakin mengecil, akibatnya sungai-sungai banyak yang mengering di musim kemarau dan pada musim penghujan banjir. Pada aras ini, air tidak banyak memberi manfaat bagi manusia malah mendatangkan mudharat atau malapetaka.
Di musim penghujan seperti sekarang ini, kita dituntut untuk ekstra hati-hati, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah pinggiran bantar sungai. Air dapat datang sesukanya dan siap meluluh lantahkan apapun yang menghadangnya. Ketika air sungai Bengawan Solo meluap, puluhan ribuan rumah dapat terendam dan penghuninya sudah pasti pergi mengungsi untuk cari selamat. Begitu juga di daerah-daerah di sekitar Jakarta yang setiap tahunnya langganan baniir. Apakah itu pertanda sedang alam marah, tetapi marah kepada siapa? Ya, marah kepada manusia yang tidak bisa menahan nafsunya untuk tidak merusak alam.
Diakui atau tidak mengeringnya sumber mata air adalah andil dari manusia sendiri. Tuhan sebagai pencipta alam,  jauh-jauh waktu telah mengingatkan kita untuk tidak merusak alam. Manusia punya andil terbesar sebagai penyebab kerusakan alam ini dan Tuhan telah menyindirnya melalui firman-Nya di dalam Alqur’an...bahwa “ kerusakan di daratan dan lautan adalah kreasi manusia”. Jika kita tidak segera sadar dan mengambil tindakan nyata dengan menanam pepohonan bukan hanya mata air yang mengering tetapi air mata kitapun ikut mengering. Adalah tugas kita semua untuk membangun kesadaran baru itu untuk kembali menggauli dan menjaga harmoni bersama alam,  jika tidak, maka air mata kitapun pasti kering. Wallahul Musta’an Ila Darussalam.
*********

0 komentar: