Jumat, 16 Desember 2011

UNITAS SAINS, KESADARAN DAN CINTA (Refleksi Idhul Qurban)


Bulan Zulhijjah adalah salah satu bulan yang sangat dimuliakan kaum muslimin di seluruh dunia, karena di bulan itulah drama kolosal kelahiran manusia haji dilangsungkan. Lokasinya di Mekah, sebuah kota yang aman dan damai. Kota yang dikelilingi oleh lautan padang pasir dan tempatnya kabah berdiri kokoh sampai saat ini. Di kota ini suasana ibadah, kata Ali Syariati, menjadi terasa syahdu, tempat manusia bebas menghadap Allah Yang Maha Kuasa. Ya, di kota inilah rumah Tuhan yang bernama kabah berdiri kokoh.   
Setiap tanggal 9 Dzulhijjah pada setiap tahunnya, ummat Islam di seluruh belahan dunia merayakan hari raya qurban (Idhul Adha).  Sudah jamak kiranya, orang muslim mengetahui bahwa hari raya qurban berkaitan dengan pengalaman ruhani seorang tokoh dan pemimpin ummat manusia atau oleh sebagian orang dipandang sebagai nenek moyang tiga agama monoteis yaitu agama Yahudi, Nasrani dan Islam bernama nabi Ibrahim As. Oleh karena itu, hari raya qurban dapat dikatakan sebagai usaha pelestarian pengalaman ruhani nabi Ibrahim dan putranya nabi Ismail As.
Pada tanggal yang sama, ratusan juta calon jamaah haji dari seluruh belahan dunia berkumpul di sebuah padang pasir yang luas bernama padang Arafah untuk memenuhi panggilan Allah SWT menunaikan ibadah haji. Secara filosofis, Arafah merupakan tahap awal dari perjalanan kembali kepada Allah SWT dan tempat memulai pelaksanaan haji yang seseungguhnya. Di tempat inilah, ratusan juta jamaah dari berbagai belahan dunia berbaur, melupakan kepentingan pribadi, melepaskan egoisme, ujub, kecongkakan, melampaui keterbatasan diri untuk menemukan eksistensi diri masing-masing dan di aras inilah para jamaah dapat berdialog dengan Allah SWT. Setelah melalui tahap Arafah, barulah melangkah ke tahap berikutnya yakni tahap Muzdalifah (Masyi’ar) dan Mina. Masalahnya, nilai dan makna apa yang terkandung dari ketiga tahap tersebut?
Secara historis, tahap Arafah melambangkan awal penciptaan manusia dan bukankah di padang Arafah ini, tempat dimana Adam dan Hawa dipertemukan kembali setelah terusir dari syurga? Pada tahap ini, jamaah haji melakukan wukup pada siang hari di tengah terik matahari yang sangat menyengat badan wadag manusia, serta tahap ini, dilambangkan sebagai tahap pengetahuan dan sains. Secara obyektif, analisis pengetahuan atau sains merupakan sebuah korelasi diantara ide-ide dan fakta yang ada untuk meneropong sesuatu dengan tajam. Oleh karena itu, diperlukan cahaya yang terang benderang di siang hari atau rasio murni.
Tahap Muzdalifah (Masy’ar) adalah tahap kesadaran dan pengertian. Tahap Muzdalifah merupakan proses kelanjutan dari Arafah dalam rangka untuk menggapai kesadaran mulia yakni kesadaran yang dikendalikan oleh kesholihan (baik individual maupun sosial), kerendahan hati dan kesucian. Oleh karena itu, Allah SWT telah memilih waktu yang tepat (malam hari) untuk memperoleh kesadaran sebagai korelasi obyektif di antara ide-ide. Inilah sebenarnya sebuah kesadaran yang tercetus dari pengetahuan, sains, karya dengan cinta dan sebagai puncak piramidnya adalah hikmah.
Tahap Mina, merupakan tahap cinta dan keyakinan. Pada hakekatnya tahap Mina merupakan simbol pertempuran dan pertarungan besar melawan tiga basis kekuatan syaithon dalam rangka kecintaan dan keyakinan total kepada Allah SWT. Pertempuran besar melawan Syaithon itu, dilakukan ketika sang mahluk setia Matahari menampakkan diri pada tanggal 10 Dzulhijjah, tahap ini dikenal dengan Jumratul ula, jumratul wusto dan jumratul uqba. Pasca tahap Mina, oleh ummat Islam diyakini telah memperoleh kemenangan dan karenanya diperkenankan menggunakan pakaian yang paling disenangi, diperbolehkan merangkul istri dan atau suami masing-masing. Namun di aras ini, para jamaah masih dituntut untuk melakukan ibadah qurban dengan seekor kambing, sebagaimana nabi Ibrahim As ketika itu mau mengorbankan putra tercintanya dengan penuh keihlasan dan ketundukan demi Allah SWT. Persoalannya, siapakah dan apakah Ismail kita? Untuk menjawabnya, tentu masing-masing pribadi Muslim harus mampu memaknai Ismailnya masing-masing, bawalah dan berqurbanlah dengan penuh keihlasan, penuh ketundukan semata-mata mengharap ridho Ilahi Robby.
Kiranya, Allah SWT telah memberikan simbol-simbol kepada hambanya sebagai suatu medium untuk kembali ke pangkuan-Nya. Oleh karena itu, perlu ikhtiar yang sungguh-sungguh untuk memadukan (unitas) Arafah, Muzdhalifah, dan Mina atau antara sains, kesadaran, dan cinta agar tidak terjebak ke dalam tipu daya shaithon yang memiliki banyak wajah. Pada aras keterpaduan (Arafah, Muzdhalifah, dan Mina) inilah sebenarnya nabi Ibrahim As dengan penuh keihlasan dan ketundukan mau mengorbankan putra tercintanya Ismail As.
Lalu, bagaimana manusia mampu dan bisa menangkap nilai Idhul Qurban dari prosesi pengorbanan yang telah dilakukan nabi Ibrahim As? Apakah kita hanya mampu menangkap makna qurban pada tataran wadag belaka ataukah sudah sampai kepada pemaduan proses Arafah, Muzdhalifah, dan Mina sebagaimana nabi Ibrahim As. sehingga mampu membawa perubahan ruhaniah untuk menjalani kehidupan yang lebih baik di bumi ini. Semua ummat Islam sudah seharusnya memahami Idhul Qurban tidak sebatas mampu memotong seekor kambing semata, tetapi yang lebih penting adalah mampu dan bisa memahami qurban pada pengertian yang lebih luas yakni berkurban demi memperbaiki Sumber Daya Manusia menjadi lebih baik dan berdaya saing sebagaimana semboyan yang dikonstruksi bapak gubernur NTB, serta mampu merubah posisi Sumber Daya Manusia NTB ke urutan yang lebih baik dari daerah-daerah lainnya di Indonesia.
Untuk dapat merubahnya dapat dimulai dari penataan kelembagaan pendidikan karena dari lembaga-lembaga pendidikan inilah diharapkan mampu melahirkan manusia paripurna atau Insan Kamil (meminjam istilah Muhammad Iqbal), manusia supermen dan akhirnya mampu menciptakan suatu masyarakat yang damai, aman, adil, jujur, dan toleran, sebagaimana nabi Muhammad SAW merintisnya saat menjadi pemimpin di negara Madinah. Oleh karena itu, berkurban harus mampu diimplementasikan dengan berpijak pada nilai kesadaran dan cinta serta melepaskan kepentingan pribadi, golongan, partai politik, etnis sehingga dapat mewujudkan sebuah bangsa yang “baldatun tayyibatun warabul ghafur”. Dengan demikian unitas kesadaran dan cinta tetap menjadi pijakan bagi khalifah Allah SWT di bumi ini dan tidak terbatas hanya ketika Idhul Qurban saja.  Semoga. Wallahul Musta’an ila Darussalam.

*********

0 komentar: