Pemilu 2014 masih tiga tahun lagi, tetapi gaungnya terasa sangat dekat. Para bakal calon Presiden pun sudah mulai menunjukkan jati dirinya. Beberapa partai besar masih malu-malu menyebut balon Presiden yang akan diusungnya, sementara partai-partai kecil sibuk mensosialisasikan partainya untuk mendulang suara sebanyak mungkin pada pemilu 2014 mendatang. Partai-partai baru pun mulai bersosialisasi untuk mendapatkan simpati, dukungan dan sekaligus menggadang-gadang bakal calon Presiden, jika partainya mendapat dukungan luas dari masyarakat.
Beberapa lembaga survei Indonesia membuat suasana balon Presiden pasca SBY semakin memanas. Setidaknya tiga lembaga Survei Indonesia yakni Reform Institute, Soegeng Sarjadi Syndicate dan Jaringan Survei Indonesia sudah merilis hasil surveinya. Nama-nama tokoh dari Partai Politik masih mendominasi, terutama dari tokoh-tokoh tuanya. Hasil Survei memang tidak bisa menjadi ukuran utama untuk menjadi presiden mendatang. Hasil survei bisa macam-macam, ada yang menempatkan tokoh partai politik di urutan teratas dan kadang hasil survei lain menempatkannya di urutan tengah atau bawah, tergantung siapa sumber dananya kata pengamat politik Ikrar Nusa Bakti (Gatra, 9 Nopember 2011).
Ada banyak nama yang di munculkan oleh tiga lembaga survei Indonesia yakni Abu Rizal Bakri, Megawati Soekarno Putri, Prabowo Subiyanto, Mahfud MD, Jusuf Kalla, Sri Mulyani Indrawati, Ani Yodoyono, Sri Sultan HB X, Surya Paloh, KH. Said Aqil Siradj, Wiranto, Hidayat Nurwahid, Dien Syamsuddin, Hatta Rajasa, Anas Urbaningrum, Muhaimin Iskandar dan Pamono Edhi Wibowo. Mencermati nama-nama yang dirilis lembaga survei Indonesia di atas terlihat jelas bahwa masih didominasi tokoh-tokoh tua yang selama ini menghiasi jagat perpolitikan negeri ini. Munculnya tokoh-tokoh tua membuktikan bahwa kaderisasi partai politik gagal total atau mungkin ada kesengajaan menghambat lajunya kader muda. Entahlah, hanya orang partai yang bisa menjawabnya.
Kaderisasi politik atau proses rekrutmen keanggotaan politik menjadi keharusan demi menjaga continuity. Di dalam sebuah sistem politik yang demokratis, sebagaimana dikemukakan Cornelis Lay (Dosen Fisip UGM Yogyakarta) adalah sebuah keharusan melakukan rekrutmen agar beragam kelompok memiliki peluang formal dalam pengambilan keputusan dan ikut menikmati prestise yang selama ini dinikmati elit politik. Rekrutmen elit yang bersifat terbuka merupakan prasyarat dasar ke arah tersebut. Sementara rekrutmen bersifat tertutup, menggiring proses yang ada ke arah pembentukan elit oligarkhis. Namun yang jelas rekrutmen elit politik sangat menentukan perjalanan politik suatu masyarakat.
Ada beberapa pertimbangan menurut Lay (1997:21) yang dijadikan acuan dalam proses rekrutmen elit politik. Pertama, rekrutmen elit merupakan indikator yang sensitif dalam melihat nilai-nilai dan distribusi pengaruh politik dalam sebuah masyarakat politik. Kedua, pola-pola rekrutmen politik merefleksikan sekaligus mempengaruhi masyarakat. Artinya lewat pola-pola rekrutmen elit politik bisa diungkapkan sistem nilai, derajat dan tipe keterwakilan politik, struktur dan perubahan peran-peran politik, serta basis dan stratifikasi sosial dalam sebuah masyarakat. Ketiga, dari pola-pola rekrutmen elit politik itu dapat menjadi indikator untuk melihat pembangunan dan perubahan dalam sebuah masyarakat politik. Proses pergeseran ekonomi, infrastruktur politik, derajat politisasi dan partisipasi politik masyarakat dapat terungkap dari pola-pola rekrutmen elit politik bila dilakukan secara terencana melalui sistem politik yang sudah disepakati.
Ketika prinsip-prinsip demokrasi diberlakukan dalam masyarakat moderen, maka kelayakan untuk melakonkan peran-peran politik dibangun melalui mekanisme Pemilu, Mukernas, dan atau istilah lain pada masing-masing Partai Politik. Pada aras ini, representasi menjadi basis kriteria dalam menentukan kelayakan untuk menjadi elit politik dan atau elit partai (bukan keluarga yang dilatih untuk menjadi elit partai). Oleh karena itu, berbagai kelompok berpengaruh mendapatkan tempat lewat kerja agen, juru bicara atau simbol kepercayaan yang dipilihnya. Kelompok-kelompok berpengaruh itu bisa hadir dari penampakan area geografi, kelompok okupasi, etnik, agama dan lingkaran kerabat.
Pada tataran simbolik dan fungsional elit wajib mencerminkan prinsip representasi jika ingin terus bertahan. Menjadi sebuah keharusan dalam sistem politik yang demokratis agar aneka kelompok dalam masyarakat memiliki peluang formal dalam pengambilan keputusan dan ikut menikmati prestise yang dinikmati elit politik. Persoalannya, terkadang efektivitas dan preservasi kekuasaan elit yang sedang berkuasa tidak jarang berakhir dengan pembatasan yang semakin ketat cakupan rekrutmen elit. Akibatnya rekrutmen elit politik menjadi sangat tertutup dan melahirkan elit politik oligarkhis. Karenanya pasti akan berpengaruh terhadap dukungan dan partisipasi publik yang justru dapat menjadi penghambat perkembangan sebuah organisasi politik.
Problem utama partai-partai besar dalam menyambut pemilu 2014 adalah minimnya kader muda partai yang berkualitas, bersih dan dapat diandalkan, terutama untuk menjadi calon Presiden. Setidaknya, dua partai politik yang sudah mulai terang-terangan membicarakan capres 2014 mendatang, yakni Golkar dan PDI Perjuangan. Partai Demokrat sebagai pemenamg pemilu 2009 lalu masih belum mau membicarakan calon presiden dan apalagi menyinggungnya. Apakah hal itu sebagai bentuk kehati-hatian partai demokrat sebagai partai penguasa? Ataukah lebih karena faktor psikologis karena masa jabatan SBY sebagai Presiden masih tiga tahun lagi. Jka itu yang dijadikan dasar, maka cukup beralasan partai ini belum mau berbicara tentang siapa capres partai Demokrat mendatang.
Berbeda dengan Partai Golkar yang secara terang-terangan mengusung sang ketua umum. Wacana mengusung nama Aburizal Bakri digulirkan oleh Sharif Cicip Sutardjo pada saat rapimnas partai Golkar di Jakarta beberapa waktu lalu. Pengusungan nama Aburizal Bakri tanpak tidak terkendala dan berjalan mulus sebagai capres 2014. Tetapi tidak berarti menafikan friksi-friksi dan riak-riak perpecahan di tubuh Golkar. Sebut saja kritikan dari politikus senior partai Golkar Zainal Bintang (Gatra, 9 Nopember 2011), ia menilai banyak terjadi kejanggalan dalam rapimnas, diantaranya tidak adanya pernyataan politik dan yang ada malah suara bulat 33 DPD mengusung Sang Ketua Umum sebagai capres.
Lain dengan Golkar, PDI Perjuangan di bawah pimpinan Megawati Soekarno Putri belum dapat keluar dari permasalahan antara mencapreskan kembali sang ketua umum atau mencari calon alternatif yang lebih fresh, energik dan muda berkualitas. Mencarikan calon alternatif sebagai pengganti Megawati bukan hal baru, tetapi pada Kongres II PDI Perjuangan muncul nama Guruh Soekarno Putra (yang tak lain adiknya sendiri), tetapi gagal. Mengganti bu Megawati sepertinya harus melalui proses alamiah dan restu.
Partai demokrat sebagaimana partai-partai lain, juga dihadapkan pada siapa pengganti SBY mendatang. Persoalannya lebih rumit lagi karena di intern Demokrat terdapat priksi-priksi yang saling menjatuhkan dan mengambil hati sang pembina. Belum lagi, banyak kader-kader muda demokrat yang tersangkut kasus korupsi. Tidak satu kata dalam menanggapi kasus yang sama oleh kader-kader demokrat, juga menjadi problem tersendiri yang menjadi beban berat partai ini.
Dengan demikian, problema yang dihadapi partai-partai politik besar terletak pada sistem kaderisasi yang mandek dan cendrung jalan di tempat. Sehingga menentukan kader-kader muda yang akan menggantikan tokoh-tokoh senior terasa sangat sulit. Tentu, tidak dinapikan banyak kader muda partai yang berkualitas tetapi belum teruji secara moral dan integritas. Kondisional seperti itu mengharuskan turun gunungnya tokoh-tokoh tua partai bersaing untuk (misalnya) menjadi presiden pada 2014 mendatang.
Begawan Politik Prof. Amin Rais pernah menyatakan bahwa tokoh-tokoh tua seharusnya lebih arif untuk memberikan kesempatan kepada kader-kader muda partai untuk menunjukkan eksistensi dan kemampuan diri, dengan cara jangan mau dicalonkan kembali. Apa yang diinginkan sang begawan politik itu, oleh sebagian politisi dianggap angin lalu dan tidak rasional, sementara politisi lain menganggapnya sangat tepat dan beralasan. Namun yang pasti bahwa integritas politisi muda kini sedang dipertaruhkan dan dipertanyakan kesiapannya sebagai pemimpin masa depan. Betapa tidak, politisi muda banyak yang terjerembab ke dalam lumpur korupsi yang tidak jelas juntrungnya.
Suara hati sang begawan itu seolah mendapatkan tempat dan pembenaran menjelang pemilu 2014 terutama disaat partai politik sedang kebingungan menentukan capresnya. Apa itu pertanda terjadi krisis kader politisi muda? Entahlah. Namun yang pasti bahwa kaderisasi melalui pendidikan politik mestinya dilakukan secara sistematis dan terprogram oleh semua partai politik, jika tidak ingin terjadi krisis kader berkepanjangan. Partai politik harus segera menjawabnya secara cepat dan terprogram. Politisi senior harus legowo memberi kesempatan kepada politisi muda dan ikhlas untuk tidak mau dicalonkan menjadi presiden pada pemilu 2014 mendatang. Mungkinkah. Semoga. Wallahul Musta’an ila Darussalam.
*********
0 komentar:
Posting Komentar