Aku bagian dari rakyat, aku berhak kecewa dan marah.
Apa yang dilakukan para politisi muda yang tersangkut berbagai kasus.
Sungguh telah menyakiti dan membuat kami kecewa.
Siapa lagi yang bisa dipercaya melanjutkan estapeta kepemimpinan negeri ini.
Akankah kami mentauhkan kembali kepada tokoh-tokoh senior?
Atau kami harus menunggu raja adil?
Setidaknya itulah pernyataan dan penggalan hasil diskusi di ruang LP2M Institut Agama Islam (IAI) Qamarul Huda, Bagu Lombok Tengah. Diskusi rutin yang diadakan oleh lembaga, diikuti oleh para dosen muda dari beberapa fakultas yang ada di Institut ini. Para dosen muda, seperti paduan suara yang penuh harmoni menyampaikan kekecewaannya terhadap perilaku para politisi muda yang terlibat atau sengaja membiarkan tindakan korupsi beroperasi di beberapa kementrian dan partai politik. Sungguh jail kata beberapa peserta diskusi.
Dalam kosa kata bahasa Indonesia, pemuda disebut juga generasi muda dan kaum muda. Sebutan pemuda dapat menggunakan istilah young human resources sebagai salah satu sumber pembangunan. Namun disisi lain tak dapat dipungkiri bahwa pemuda sebagai objek pemberdayaan, yaitu mereka yang masih memerlukan bantuan dan pengembangan ke arah pertumbuhan potensi dan kemampuan efektif ke tingkat yang optimal untuk dapat bersikap mandiri dan melibatkan secara fungsional.
Dilihat secara fisik, pemuda dapat didefiniskan sebagai individu yang sedang mengalami pertumbuhan jasmani dan sedang mengalami perkembangan emosional. Karena itu, pemuda merupakan sumber daya manusia pembangunan baik kini maupun mendatang. Terutama sebagai calon generasi penerus yang akan menggantikan generasi tua.
Sejarawan senior Taufik Abdullah menyebut pemuda atau generasi muda adalah konsep yang sering dibentuk oleh nilai-nilai. Makna nilai-nilai itu cendrung sangat idiologis, seperti pemuda sebagai harapan bangsa, pemuda harus dibina. Semua itu menurut sang Bangawan Sejarah Indonesia memperlihatkan saratnya nilai-nilai yang melekat pada kata pemuda (yang dari sudut kependudukan umumnya dimasukkan ke dalam golongan usia 15 sampai 25 tahun).
Jika melepaskan diri dari pelbagai macam kebudayaan yang memberikan definisi pemuda, maka mungkin akan punya kesimpulan yang sama bahwasanya posisi pemuda paling ideal adalah selalu menjadi avant garde atau garda terdepan dari perubahan. Banyak contoh yang dapat dirujuk orang-orang terkenal pada level dunia dan Indonesia yang memiliki daya juang dan daya fikir sangat menakjubkan.
Setidaknya dalam setiap tahunnya, kita memperingati banyak peristiwa penting sejarah bangsa tentang bagaimana peran kaum muda sebagai pelopor bagi sebuah perubahan. Sebut saja misalnya, setiap tanggal 20 Mei diperingati sebagai hari kebangkitan nasional (di tanggal itu, sejumlah pelajar STOVIA yang dipimpin Budi Oetomo); tanggal 28 Oktober diperingati sebagai hari Sumpah Pemuda; dan tanggal 12 Mei yang dianggap sebagai awal reformasi.
Dengan melihat peran kaum muda sebagai avant garde di negeri Indonesia, tentunya siapa saja yang menganggap atau mengaku diri sebagai kaum muda pastinya akan marah melihat perilaku yang ditunjukkan politisi muda yang terlibat dalam lingkaran korupsi. Sebut saja misalnya, Nazarudin, Angelina Sondakh, Anas Urbaningrum, Muhaimin Iskandar, dan Andi Alpian Malarangeng (walaupun masih dalam proses pemeriksaan dan mungkin belum tentu bersalah). Tetapi yang jelas bahwa perilaku mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan secara politis dianggap cacat. Dan dari ghirah kepemudaan perilaku mereka telah mencedrai semangat kebangkitan pemuda untuk dapat melanjutkan estapet kepemimpinan bangsa guna menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi bangsa. Bahkan makin santer terdengar ungkapan tokoh senior bahwa “kaum muda belum saatnya memimpin”. Nah, kalau sudah begini yang rugi, ya pemuda juga.
Jika posisinya sudah begini, maka sangat tepat apa yang dikatakan oleh Bayu Sutikto (pengajar UGM ) sebagaimana dikutip Syadat Hasibuan bahwa definisi pemuda tidak terbatas pada aspek demografis namun yang lebih penting adalah pada aspek psikologis. Pemuda katanya adalah siapa saja yang berjiwa dan berpikiran muda. Jadi Amin Rais, Akbar Tanjung, Megawati Sukarno Putri dapat digolongkan kaum muda jika berjiwa dan berpikiran muda, tetapi walaupun umurnya baru 21 tahun namun pola pikirnya selalu pro status quo, maka status kepemudaannya perlu dipertanyakan.
Pada aras ini, kita mencoba berfikir ulang dan memang tetap pada posisi, tidak waktunya atau out of date untuk mendikhotomikan antara pemimpin Tua – Muda. Ya, pemimpin Tua – Muda semestinya saling melengkapi agar tercipta harmoni dalam budaya dan politik. Artinya pemimpin Tua – Muda terlahir dari proses interaksi budaya dan politik.
Di Prancis sebagai contoh, pasca perang dunia ke- II muncul fenomena baby boom yakni kelahiran bayi di negara ini sangat besar dan mengantarkan pada tumbuh pesatnya jumlah pemuda. Akibatnya, kaum muda Prancis menunutut agar identitasnya didukung secara politis. Apa yang dilakukan kaum muda Prancis itu berujung pada revolusi Mei 1968 dan konflik antar generasipun tidak terhindarkan.
Di Amerika sebagaimana di Prancis, muncul gerakan Hippies yang mendewakan dan cinta pada kekuatan yang dapat membebaskan diri manusia dan proses pengasingannya sebagai manusia. Maka mereka bersikap anti perang sebagai reaksi invasi AS ke Vietnam kala itu. Dengan suara yang sama grup band The Beatles, Joan Baes dan Rolling Stone menyuarakan semangat anti perang dengan semboyan “ Make Love Nor War “.
Dengan demikian, konflik generasi merupakan suatu keniscayaan karena dipengaruhi oleh zaman dan perbedaan nilai yang di dapat karena pengalaman berbeda. Generasi Soekarno (1929-an) akan berbeda dengan generasi Soeharto (1940-an) dan atau Gus Dur (1960-an). Perbedaan nilai antar generasi juga sangat berpengaruh, misalnya kaum muda Islam yang belajar di Mekkah (seperti KH. Ahmad Dahlan, Hasyim Asy’ari, Muhammad Natsir) banyak bersentuhan dengan nilai-nilai luar ke dalam fikirannya. Akibatnya timbul pertentangan dengan kaum tua yang mempertahankan nilai-nilai lama.
Pada aras ini, tua – muda mestinya dianggap sebagai sesuatu yang wajar, tidak perlu dipertentangkan yang terpenting adalah bagaimana mensinergikan keduanya generasi itu, agar saling mengisi sehingga tercipta suatu kepemimpinan yang harmonis. Yang harus diperjuangkan adalah komitmen moral yang utuh dari para pemimpin. Keinginan kaum muda untuk tampil mengindikasikan bahwa adanya kegelisahan dan kepedulian dari kaum muda untuk ikut naik gunung dalam menyelessaikan persoalan-persoalan kebangsaan.
Apa yang diperjuangkan kaum muda selama ini tampaknya sedikit terganjal dan ternodai oleh perilaku politisi muda yang terlibat dalam berbagai tindakan ketidakjujuran dan tindakan korupsi. Perilaku politisi muda itu patut dipertanyakan komitmen moralnya. Jika sudah begini, masih layakkah menaruh harapan di pundak mereka untuk ikut serta menyelesaikan persoalan kebangsaan? Rasanya tidak, kami butuh politisi muda lain yang bersemangat, memiliki cita-cita, semangat baru dan berkomitmen moral yang tinggi (kata Asroruddin, M.Pd dari kelompok diskusi rutin LP2M IAI Qamarul Huda Bagu).
Kenyataan dan perilaku politisi muda itu semakin tersadari oleh kaum muda Indonesia bahwa mereka sangat mengecewakan dan menodai proses pergantian generasi yang kini berada di rel yang benar. kealpaan yang mereka lakukan sarat dengan kepentingan politik ambisi pribadi, baik yang tidak kasat mata (haus kehormatan, pengkultusan diri dan motivasi untuk berkuasa) maupun yang kasat mata seperti penimbunan harta benda dan uang (Syadat Hasibuan, 2008).
Atau bisa jadi, perilaku para politisi muda itu saling kait mengkait dengan skema besar sehingga mereka terlarut dan ikut arus besar. Yang terjadi kemudian, mereka membeo dan masuk dalam barisan atau memperpanjang daftar orang-orang bermasalah. Mereka membebek karena ingin cepat kaya, cepat berhasil, tanpa harus mengeluarkan keringat terlalu banyak (sebagaimana para TKW yang terpaksa menyerahkan nyawanya via pancungan). Jika ini yang terjadi, maka tepat apa yang diistilahkan Koentjaraningrat (1991) bahwa bangsa kita terhinggapi budaya “suka nerabas” yakni mental orang-orang yang ingin sukses tetapi tanpa berusaha.
Nasi sudah menjadi bubur. Lalu apa yang harus diperbuat? Haruskah proses pergantian generasi ter-cancel dan untuk sementara mempercayakan kepemimpinan pada generasi tua kembali? Sebaiknya jangan berpikiran kembali ke belakang. Walaupun nasi sudah menjadi bubur, tetapi masih bisa mengenyangkan (setidaknya kalau berpikir fungsional). Saya teringat pernyataan sang Bengawan Politik Prof. Dr. Amin Rais, MA, bahwa generasi tua harus rela memberikan peluang dan kesempatan kepada generasi muda dengan cara jangan mencalonkan diri kembali menjadi Presiden atau lainnya.
Keinginan pak Amin Rais harus dianggap sebagai pil penyemangat. Masih banyak generasi muda yang punya semangat, cita-cita dan integritas moral yang baik. Raja Adil pembawa gerbong kebaikan harus terlahir dari generasi muda negeri ini. Biarkan mereka yang sudah terjebak ke dalam melodrama korupsi itu, biarkan mereka bangkit dengan kemampuannya sendiri. Tidak usah dipusingkan oleh politisi muda tersebut di atas. Tinggalkan mereka demi masa depan pergantian generasi yang lebih baik dan adil, sambil menunggu sang Raja Adil. Wallahul Musta’an ila Darussalam.
*********
0 komentar:
Posting Komentar