Jumat, 21 Oktober 2011

RESUFFLE KABINET DEMI POLITIK HARMONI



“Bersama kita bisa”, slogan politik yang bertaji dan mengantarkan SBY-Budiono ke kursi RI satu dan dua. Slogan itu, sampai kini masih memiliki tuah dalam membangun citra politik harmoni ala SBY. Dan politik harmoni ini pula yang mendasari resuffle kabinet Indonesia Bersatu jilid dua ala SBY-Budiono. Ya, kabinet “bersama kita bisa, kabinet gemuk, kabinet yang pasti akan membebani anggaran Negara”.
Resuffle kabinet Indonesia Bersatu yang diumumkan Presiden SBY  (18/10/11) pukul 20.00 wita di Istana Negara, setidaknya menjawab teka-teki yang selama ini menjadi pemberitaan di media massa tentang siapa saja Menteri yang akan diganti dan siapa Menteri yang akan berubah posisi, serta siapa yang out dari kebinet SBY-Budiono. Resuffle kabinet kali ini tetap bernuansa pertimbangan wilayah (sebut saja ditunjuknya Azwar Abu Bakar dan Berth Kambuaya; masing-masing dari perwakilan Nangro Aceh Darussalam dan Papua), kepentingan politik dan professional. Ya, tentu tidak ada yang salah dalam resuffle kabinet kali ini, karena memang menjadi hak prerogatif  Presiden. Ya. Inilah politik Harmoni.
  SBY mengemukakan  beberapa alasan yang mendasari diadakannya resuffle kabinet Indonesia Bersatu jilid dua yaitu hasil evaluasi kinerja dan integritas, professionalitas, kebutuhan organisasi Pemerintahan, masukan masyarakat luas dan persatuan dalam kemajemukan. Sementara tujuan diadakan resuffle kabinet tidak lain hanya untuk meningkatkan kinerja dan efektifitas kerja kabinet, tegas SBY saat pengumuman kabinet.
Apapun alasan yang disampaikan SBY tetap saja meninggalkan masalah dan terkesan tidak tersentuh dalam melakukan resuffle kabinet yakni tidak mengusik menteri-menteri yang bermasalah seperti dalam Kementrian Transmigrasi dan Tenaga Kerja dan Kementrian Pemuda dan Olah Raga. Padahal di dalam kedua Kementrian itu terdapat permasalahan korupsi yang terindikasi dapat merugikan uang negara. Suara-suara rakyat sepertinya tidak didengar SBY agar Menteri di kedua Kementrian itu diganti, lalu suara masyarakat mana yang didengar oleh bapak Presiden. Tapi, entahlah, itu khan hak prerogatif. Titik.
Kabinet Indonesia Bersatu jilid dua adalah kabinet gemuk dan terkesan membebani anggaran negara, kritik yang disampaikan Mantan Presiden Megawati Sukarno Putri. Ya, pasti akan menjadi beban negara, apapun alasannya. Jika, berfikir secara bodoh-bodohan (dari 9 wakil menteri menjadi 13 wakil Menteri), memang tidak ada alasan rasional, kalau dikatakan penambahan jabatan wakil menteri tidak membebani negara. Bahkan Mahfud Sidiq dari Komisi 1 DPR RI lebih tegas mengatakan bahwa bukan hanya menjadi beban negara tetapi juga menjadi permasalahan tersendiri dalam sistem ketatanegaraan. Terutama dalam pembagian tugas dan fungsi antara Menteri dan wakil Menteri, karena wakil menteri sama saja dengan wakil-wakil dalam jabatan politik lainnya, hanya sebagai palang pintu politik semata. Atau jangan-jangan dalam hati kecilnya sang Presiden mengakui bahwa Anggota Kabinetnya banyak yang berkinerja buruk sehingga harus dibantu dengan wakil Menteri.
Ya, kita harus banyak belajar berprasangka baik terhadap siapapun, sekalipun terhadap orang yang memusuhi kita, kata Al-Marhum Gus Dur saat saya (Ahyar Fadly) mendampingi Syekh Tgh. Turmudzi Badruddin berada di Ciganjur, tempat kediaman sang Mantan Presiden. Berprasangka baik terhadap resuffle kabinet Indonesia Bersatu harus dibangun, apalagi resuffle itu dilakukan secara sistemik, akuntabel dan bukan RBT (Rencana Bangun Tidur), kata SBY. Kalau ada yang tidak puas dengan hasil resuffle, itu pasti, namun secara sistemik dapat dipertanggungjawabkan.
Sekarang para Menteri baru dan para Wakil Menteri sudah ditetapkan SBY, setuju atau tidak setuju, mesti setuju karena pengangkatan Kabinet menjadi hak prerogatif sesuai dengan UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang KementrianNegara. Dan selaku rakyat hanya bisa mengusulkan, mengingatkan, lalu ditolak; itu resiko sebagai rakyat. Rakyat hanya bisa bersuara dengan turun ke jalan, berorasi, mencaci, dan membubarkan diri atau dibubarkan setelah kerongkongan kita kering karena sekian lama berorasi. Suara rakyat tidak ubahnya pulsa telepon seluler yang hilang tiba-tiba tanpa pernah melakukan transaksi apapun. Kita masih terus-terusan dibodohi, tetapi sadarkah. Tetapi yang jelas bahwa suara rakyat harus didengar agar pemerintahan dapat berjalan efektif sebagaimana harapan sang Presiden.
Kelihatannya memang lucu, kok “Pembantu diangkatkan pembantu”, bagaimana tidak lucu. Bukankah para Menteri itu pembantu Presiden, mengapa harus diangkatkan pembantu lagi yang disebut sebagai wakil Menteri. Apakah ini makna lain bahwa memang kinerja para Menteri itu mendapat rapor merah, sehingga diperlukan wakil Menteri untuk meningkatkan nilainya menjadi lebih baik. Kenapa tidak diganti saja para Menteri yang mendapatkan rapor merah kalau memang hasil evaluasi terhadap kinerja berapor merah? Kira-kira itulah bahasa politik Harmoni, tidak terlalu berani mengambil resiko dan tentu sangat takut akan terjadi kekacauan atau chaos. Ya, manusiawi khan. Dan kata simpulnya “toleransi”. Artinya walau memiliki nilai merah tetapi masih perlu diberikan kesempatan untuk meningkatkan nilai dengan cara mengangkatkan wakil Menteri.
Siapapun bisa menyangsikan, benarkah para Menteri dievaluasi kinerjanya? Sehingga diperoleh data-data tentang siapa saja Menteri yang kinerjanya jelek dan siapa yang bagus. Sampai saat ini masyarakat tidak mempunyai data tentang hal itu. Tiba-tiba saja, Menteri yang kinerjanya bagus dilihat masyarakat, tetapi diganti dengan tanpa alasan (kecuali hak prerogatif), namun, mengapa bapak Presiden tidak mengangkatkan wakil menteri atau mengganti Menterinya sekalian yang jelas-jelas lagi tersandung banyak masalah, seperti di Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Kementrian Pemuda dan Olah Raga. Ya, lagi-lagi politik Harmoni.
Pengangkatan Menteri dan wakil Menteri menjadi hak prerogatif  Presiden, setidaknya itu yang berkali-kali disampaikan oleh Dr. Daniel Sparinga (staf khusus bidang komunikasi politik). Itu betul. Tetapi dapat memunculkan pengaruh negatif  dalam suatu kebijakan, jika tidak jelas tugas dan fungsinya. Atau dengan kata lain bisa menjadi “Matahari Kembar” di dalam kementerian sendiri. Hal itu bukan tidak mungkin dan bila dibiarkan dapat menjadi potensi disharmoni dalam kabinet Indonesia Bersatu. Wakil Menteri bukan anggota Kabinet dan bertugas membantu Menteri dalam making policy, serta berasal dari pejabat karier, kata Presiden SBY. Sehingga tidak ada matahari kembar dalam satu kementrian. Jabatan wakil Menteri bersifat temporal, bisa ada dan bisa tidak ada, disesuaikan dengan kebutuhan, sehingga kalau sekiranya bisa memunculkan potensi disharmoni presiden sesuai haknya dapat memberhentikan atau meniadakan wakil Menteri nantinya.
Dalam resuffle Kabinet Indonesia Bersatu ini memunculkan ketidakpuasan dari partai politik pendukung koalisi, salah satunya adalah Partai Keadilan Sejahtera. Sementara partai lain yang berkurang jatah kursinya di kabinet adalah partai demokrat. PKS merasa dikhianati dan menganggap SBY merubah kontrak politik secara sepihak (mungkin maksudnya jatah kursi di kabinet berkurang).  Inilah bahasa-bahasa politik ala PKS yang sering dikumandangkan, tetapi tidak pernah berani untuk keluar dari kabinet sebagaimana PDI Perjuangan. Saya kira PKS, tidak akan pernah berani memutusan untuk keluar dari kabinet Indonesia Bersatu setelah jatah kursinya berkurang satu kursi, karena mereka masih menganggap masih lebih baik berada dalam kabinet. Sementara itu, dipangkasnya jatah satu kursi di kabinet Indonesia Bersatu jilid dua, malah partai demokrat tidak memberi respon sedikitpun, namun hanya ngedumel dalam hati kecil seraya berucap “kenapa kami yang harus menjadi kurban”.
Bolak balik nama kementrian mestinya tidak perlu dilakukan Presiden sehingga tidak terkesan sebagai dagelan ketoprak humor (yang sering gonta ganti nama, padahal esensi sama). Padahal kemdiknas re-inkarnasi dari Kemdikbud atau Pendidikan dan Kebudayaan dan sekarang kembali lagi menjadi Kemendikbud, padahal esensinya bukan pada nama kementriannya tetapi bagaimana membangun pendidikan yang berkualitas dan berkarakter. Pendidikan yang mampu melahirkan manusia-manusia cerdas, jujur, tidak korup. Seharusnya hal itu yang menjadi titik fokus pembangunan bidang pendidikan, bukannya pada mengganti nama kementriannya. Apalah arti sebuah nama kata ulama yang sufi Syekh Jalaluddin Rumi.
Keputusan resuffle kabinet sudah diputuskan Presiden SBY demi sebuah harmoni politik untuk mengamankan tiga tahun sisa pemerintahannya. Kabinet kerja yang dinantikan masyarakat mungkin tidak akan pernah terwujud. Karena memang penunjukan anggota kabinet Indonesia Bersatu jilid dua sangat kental dengan nuansa politik Harmoni dan menjaga agar koalisi politik enam partai tidak bubar di tengah jalan.  Hal itu sangat nampak terlihat dari reposisi para Menteri dan tidak tersentuhnya para Menteri yang dianggap bermasalah dan atau ketidakmampuan sang Menteri mencegah tindakan korupsi. Kelihatannya memang SBY terlihat gamang dalam memutuskan rasuffle kabinetnya kali ini. Hal itu wajar karena target politiknya demi sebuah harmoni politik. ya, politik harmoni, kata kawan saya.

*********
 

0 komentar: