Senin, 31 Oktober 2011

BERHAJI (MENJADI MANUSIA HAJI)


Ritual haji adalah evolusi manusia menuju Allah Swt.
Haji merupakan drama simbolik dari filsafat penciptaan Adam As.
Dengan kata lain, ibadah haji memuat kandungan objektif dari segala yang relevan
dengan filsafat penciptaan tersebut, yang dipertunjukkan dalam alur
gerak yang simultan: drama penciptaan, drama sejarah, drama keesaan,
drama ideologi Islam, dan drama ummah (Ali Syari’ati).


Kamis pagi (20/10/2011), saya melakukan perjalanan menuju kabupaten Dompu dalam suatu acara ilmiah. Perjalanan ke kabupaten Dompu menggunakan pesawat Trans Nusa pukul 10.10 Wita. dari Bandara Internasional Lombok menuju  Bandara Sultan Salahuddin Bima. Dalam penerbangan menuju Bima, saya teringat buku “ Menjadi Manusia Haji” yang ditulis oleh Dr. Ali Syari’ati. Banyak nilai dan pelajaran yang sangat berharga yang dapat diambil dari buku itu, terutama tentang bagaimana memahami makna dan signifikansi haji. Dengan membatin, saya berdo’a, ya Allah, kapan giliranku datang ke rumah-Mu, Rumah ummat manusia (dalam makna hakiki) untuk memenuhi panggilan-Mu.
Pada perjalanan dari kabupaten Bima ke kabupaten Dompu, saya melihat suatu tradisi calon haji yang sangat berbeda dengan tradisi calon haji masyarakat Sasak di Lombok. Tanda ataupun simbol-simbol para calon jamaah haji tidak terlihat sama sekali sepanjang perjalanan Bima sampai Dompu, baik berupa ucapan “selamat menunaikan ibadah haji, semoga menjadi haji mabrur” dan tanda berupa hiasan janur di depan gang atau pintu masuk ke rumah calon jamaah haji. Ya, tidak terlihat sama sama sekali. Inilah tradisi calon jamaah haji di daerah ini kata Ustadz H. Sarwan, pimpinan Pondok Pesantren Al-Ittihad, desa Suka Makmur, kecamatan Manggelewa, kabupaten Dompu.
 Tulisan ini tidak bernaksud memperbesar perbedaan itu, namun yang jelas bahwa para calon jama’ah haji memang harus mempersiapkan diri dzohir dan batin sebelum sampai di area rumah ummat manusia atau Makkatul Mukarromah. Persiapan-persiapan calon jama’ah haji untuk memenuhi panggilan Allah Yang Maha Besar mutlak harus dilakukan sebab ritual haji bukan perkara mudah dan tidak boleh digampangkan. Perjalanan haji merupakan peristiwa safar yang mengguncangkan menuju Allah SWT kata Ali Syari’ati. Haji adalah perjalanan kehidupan, perjalanan totalitas diri, sebuah perjalanan suci untuk menghampiri sang khalik, karena itu dibutuhkan semangat dan niat yang teguh.
Ya, meneguhkan niat untuk meninggalkan rumah menuju rumah bersama; meninggalkan hidup sehari-hari guna menggapai cinta sesungguhnya; meninggalkan keakuan untuk berserah diri melebur dengan Allah SWT; meninggalkan penghambaan untuk memperoleh kemerdekaan; meninggalkan pakaian untuk memperoleh kesucian; meninggalkan sikap mementingkan diri sendiri dan hidup yang hampa untuk menjalani kehidupan yang penuh bakti dan tanggung jawab. Mari tinggalkan pola kehidupan yang demikian beralih total ke keadaan “ihram”.
Muslim Sasak di Lombok sangat memahami beratnya perjalanan ritual haji, sehingga wajar kalau mereka mengkonstruksi tradisi dalam rangka persiapan diri secara total sebelum bersanding dengan Allah SWT di rumah bersama; rumah ummat manusia dan rumah Allah SWT. Mengkonstruksi tradisi meminta do’a selamat dari handai taulan, sanak keluarga, para sahabat, tetangga dan jamaah Muslim lainnya, para calon haji Muslim Sasak menjadi sesuatu kebiasaan yang sudah cukup lama dan wariskan secara turun temurun. Bentuk tradisi itu berupa Yasinan, Al-Barzanji, Tahlilan dan zikiran  yang dilakukan dua sampai empat minggu hingga menjelang keberangkatan calon haji. Sebelumnya para calon haji di Lombok melakukan acara pembukaan ziarahan dan kemudian dilanjutkan dengan pelbagai bentuk tradisi tersebut di atas.
Yang saya pahami dari pelaksanaan pelbagai bentuk tradisi calon haji Muslim Sasak di Lombok itu adalah sebagai medium untuk saling memaafkan, saling mendo’akan, saling mengihlaskan dan sebaiknya lunasi dulu semua hutang piutang, sebab perjalanan haji merupakan perjalanan menghampiri Allah SWT (lalu bagaimana berhaji dari berhutang atau kredit?). Namun, terlepas dari hal itu bahwa yang jelas bahwa si calon haji harus bersih dari rasa benci dan marah kepada sanak keluarga atau para sahabat. Seharusnya juga si calon haji harus membuat surat wasiat dan hal ini biasa dilakukan oleh Tgh. Turmudzi Badruddin (Pimpinan Ponpes Qamarul Huda, Bagu, Lombok, NTB) sebelum berangkat menunaikan ibadah haji setiap tahunnya. Semua ini dilakukan sebagai bentuk prakondisi sebelum mati (yang akan menimpa setiap manusia) kata Ali Syari’ati dalam bukunya.
Menjadi manusia haji melalui proses ritual yang panjang dan penuh pengorbanan. Setidaknya ada tiga fase  berliku dan panjang yang mesti dilalui para calon jama’ah haji yakni fase persiapan, ritual haji dan menjadi haji. Ketiga fase tersebut menjadi satu kesatuan yang saling mengkait agar memperoleh haji mabrur, yakni haji yang mempunyai nilai yang tinggi di sisi Allah SWT dan dihadapan manusia (barangkali ini makna haji sebagai perjalanan kehidupan, perjalanan totalitas diri dan perjalanan suci menghampiri Allah SWT ala Ali Syari’ati). Jadi singkatnya haji mabrur adalah haji yang diterima nilai kehajiannya oleh Allah SWT dan manusia.
Fase ritual haji merupakan fase perjalanan calon jama’ah haji berangkat dari rumah dan kembali ke rumahnya semula. Ritual haji dimulai sejak si calon haji mulai meninggalkan rumah menuju Mekkah dengan diantar sanak keluarga, handai taulan dan masyarakat, seraya mendo’akan semoga mendapatkan haji mabrur dan kembali ke masyarakat menjadi panutan. Suatu harapan yang tidak terlalu berat untuk diwujudkan tetapi sulit menterjemahkannya dalam hidup keseharian karena banyak haji kita yang setelah kembali ke tanah air, malah diurus oleh masyarakatnya (ya tentu tidak semua).
Ritual haji bermula di miqat. Di sini calon haji harus berganti pakaian lama yang penuh warna dan kualitas yang berbeda, digantikan pakaian baru berwarna putih dengan ukuran serta harga yang sama. Di aras ini, seseorang individu tidak sedang mengenakan pakaian, tetapi pakaianlah yang menutupi individu, urai Ali Syari’ati. Pakaian perlambang pola, status dan pembeda antar manusia, karena itu dapat melahirkan diskriminasi, perpecahan dan darinya timbul konsep “aku”.
Di Miqat ini semua jubah kebesaran ditanggalkan kecuali dua helai kain berwarna putih (satu ditaruh di bahu dan satunya dililitkan dipinggang). Semua orang mengenakan pakaian ihram sama yang terbuat dari bahan yang sangat sederhana (tidak diperbolehkan menggunakan bahan mewah dan mahal) sehingga tidak terlihat perbedaan diantara manusia. Di Miqat ini semua ras dan suku berbaur menjadi satu dengan maksud sama, lepaskan semua pakaian yang dikenakan sehari-hari sebagai simbol kekejaman dan penindasan, simbol kelicikan, simbol tipu daya, serta simbol penghambaan. Di Miqat ini mantapkan niat safar menuju Allah SWT, seorang individu dituntut tidak sekedar menjadi manusia, tetapi harus menjadi manusia sebenar-benarnya manusia. Semua bertekad untuk kembali kepada Allah SWT. Segala keakuan, identitas, ras, suku, status sosial dan kecendrungannya yang mementingkan diri sendiri tercampakkan. Yang dirasakan  adalah persatuan absolut menuju satu titik Allah SWT semata.
Dari Miqat semua calon haji bergerak menuju Kabah (sebuah tonggak penunjuk jalan). Di sinilah gerakan abadi menuju Allah SWT, bukan menuju Kabah. Di Kabah inilah Allah SWT, Ibrahim As, Muhammad SAW, dan manusia-manusia berjumpa. Kehadiran manusia di tempat ini mesti dilandasi niat suci dan menyadari bahwa individu adalah bagian dari semua serta berkumpul dalam satu kesatuan.
Di Kabah semua ritual haji dilaksanakan dan puncaknya melakukan wukuf di padang Arafah. Kabah melambangkan ketetapan dan keabadian Allah SWT, sedangkan Arafah menjadi simbol sejarah awal penciptaan manusia (tempat pertemuan Adam dan Hawa setelah terusir dari syurga). Arafah merupakan hamparan padang gersang yang dilapisi pasir-pasir halus dan di tengah padang ini terlihat bukit Jabal Rahmah. Di Arafah ini, semua manusia berkumpul dalam kesatuan sebuah komune yang tidak mengenal batas-batas; seluruh penghuni dunia berhimpun dengan kemah-kemah putih yang terhampar. Di tempat ini terbukti ungkapan “sesungguhnya Allah SWT tidak melihat pada jasad kamu, tidak pula pada rupa kamu, tetapi hanya melihat pada hati kamu” (Al-Hadits).
Ketika ritual-ritual haji yang diwajibkan telah berakhir dan saat itu pula manusia haji telah mengikat sebuah kontrak suci dengan Allah SWT. Kini manusia haji telah mencampakkan sikap yang mementingkan diri sendiri; dengan upaya maksimal manusia haji telah mendapatkan air di puncak gunung-gunung; dari Mekah engkau turun ke Arofah, tahap demi tahap ke Mahsyar dan Mina untuk kembali ke Mekkah; menggapai negeri cinta diakhir perjalanan suci dan pendakian tertinggi. Kini manusia haji telah merdeka dan telah menyelamatkan negeri keyakinan dan cinta. Kini predikat manusia haji telah engkau dapatkan dan saatnya untuk kembali lagi ke awal berangkat (rumah perjuangan dan pengorbanan) setelah melewati ketetapan dan berperan sebagai  aktor Ibrahim As menggapai puncak kemuliaan.
Sebenarnya fase yang tersulit dari ketiga fase dalam ritual haji adalah menjadi haji dalam arti sesungguhnya. Dimana para haji setelah kembali dari rumah bersama dan rumah Allah SWT kemudian hidup bersama di tengah-tengah masyarakat, bergaul, berinteraksi, berbisnis, berpolitik dan terpenting menjadi anutan masyarakatnya. Ya, berbaur kembali dengan masyarakat, tetapi bedanya pada predikat atau gelar haji.
Menjadi haji atau manusia haji gampang-gampang susah dan tidak semua bisa menjadi manusia haji, kecuali gelar hajinya. Malah muncul fenomena, panggilan gelar haji sudah tersamarkan dan berubah menjadi celaan pak haji di tambah akhiran “an” menjadi pak  “hajing-an” (karena membikin onar ditengah di masyarakat, melakukan korupsi, mabuk-mabukan, nyabu, dan tipu menipu). Sungguh menyedihkan. Ya, menjadi manusia haji memang sulit, tetapi bukan berarti tidak bisa. Kata ustadz Abdurrahman (guru saya di Ponpes Nurul Hakim, Kediri, Lombok Barat).
   Lalu apa yang salah pada proses fase ritual-ritual haji? Ya, mungkin tidak ada yang salah, tetapi mungkin saja terletak pada ketidakmampuan mengalahkan rasa keakuan dan kurang mantapnya niat saat di Miqat. Kemungkinan-kemungkinan dapat saja diurai lebih banyak lagi tetapi yang terpenting, bagaimana memaknai ibadah haji sebagai suatu evolusi objektif dari segala yang relevan dengan filsafat penciptaan manusia, yang dipertunjukkan dalam alur gerak yang simultan: drama penciptaan, drama sejarah, drama keesaan, drama ideologi Islam, dan drama ummah.
            Ya, menjadi manusia haji suatu keharusan bagi siapa saja yang pernah berhaji, tetapi tidak berarti bahwa manusia yang belum berhaji tidak bisa menjadi manusia haji. Dengan demikian manusia haji adalah manusia yang dapat memaknai dan menterjemahkan nilai-nilai haji dalam kehidupan keseharian (dapat menjadi pendidik bagi ummat manusia) menuju satu titik keabadian Robbul izzati.
Sebagai bahan renungan,  saya sampaikan suatu hikayat sufistik yang sangat menggugah hati tentang manusia haji yang sebenarnya. Syahdan, di ceritakan bahwa “Seorang sufi atau ahli ibadah yang berkeinginan dan berniat untuk menunaikan ibadah haji. Untuk merealisasikan niatnya, si sufi harus menabung selama puluhan tahun lamanya. Malam-malamnya dihabiskan untuk beribadah dan menyebut Asma Allah Azzawajalla, seraya berdoa agar niatnya menunaikan ibadah haji segera dikabulkan. Singkat cerita, si sufi telah berhasil mengumpulkan ongkos naik haji pada tahun itu. Segala persiapan telah dilakukan dan tinggal menunggu hari pemberangkatan. Tetapi apa yang terjadi, si sufi mengurungkan niatnya untuk naik haji tahun itu karena ia melihat tetangganya hidup miskin dan berhari-hari tidak dapat makan. Kemudian si sufi mendatangi tetangganya itu seraya menyerahkan kantong hitam berisi uang. Terimalah uang ini saudaraku, uang ini saya kumpulkan bertahun-tahun sebagai ongkos naik haji dan ini menjadi hajiku, kata si sufi. Tidak tuan, kata tetangga si sufi, berangkatlah menunaikan ibadah haji.  Semoga kita dapat mengambil pelajaran dari kisah si sufi tersebut dan sekaligus menjadi otokritik bagi kita yang mengaku muslim sejati. Jika kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari cerita tersebut, maka rasa-rasanya kita tidak perlu menunggu atau masuk daftar tunggu sampai puluhan tahun lamanya untuk dapat menunaikan ibadah haji. Amin. Wallahul Mustaan ila Darussalam.

*********

0 komentar: